Check out the Latest Articles:

Senin, 30 Mei 2011

KEBAJIKAN-KEBAJIKAN YANG PERLU DILAKUKAN (KUSALA DHAMMA)

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US ZH-CN X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

KEBAJIKAN-KEBAJIKAN YG PERLU DILAKUKAN (KUSALA DHAMMA)

&

Sepuluh (10)

Perenungan Pâramitâ (Buddhavaæsa 6)

April, 18. 2007. Jayaratano Bhikkhu

*Apabila seseorang berbuat baik, hendaklah ia mengulang-ulang perbuatannya itu dan membuat hatinya bergembira dalam perbuatannya itu. Sungguh membahagiakan akibat dari memupuk kebajikan.

*Perbuatan memberi (berdana) adalah langkah awal yang menjadi landasan dasar bagi semua jenis kebajikan lainnya, untuk berkembang ke arah tujuan yang luhur. Ada tiga faktor yang menentukan nilai kebajikan dalam berdana: 1. niat atau motivasi dari si pemberi dana, 2. tingkat kemurnian batin dari si penerima dana, 3. objek yang didanakan.

*Siapapun yg menghalangi dan menghambat niat orang lain untuk berdana berarti merugikan tiga pihak sekaligus yaitu si pemberi dana, si penerima dana dan dirinya sendiri. Si pemberi dana kehilangan kesempatan melakukan perbuatan baik, si penerima dana kehilangan kesempatan mendapatkan manfaat dari dana yang batal diberikan, si penghalang atau penghambat akan menerima buah penderitaan yg sesuai dgn benih perbuatan buruk yg merugikan itu.

*Meskipun seseorang dengan hati yang sujud dan tulus memberikan dan yang tertinggi, nilai kebajikan akan lebih besar bila ia mampu memegang teguh dan menjaga kemurnian moralitasnya yaitu menahan diri dari tindakan membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan (mencuri), perbuatan asusila, berkata dusta, dan mempergunakan obat atau zat yang melemahkan kesadaran (mabuk). Selanjutnya, meskipun seseorang mampu mengembangkan dan memancarkan cinta kasih universal, tanpa pamrih, tanpa diskriminasi, tanpa batas kepada semua makhluk di seluruh alam semesta. Selanjutnya, meskipun seseorang mengembangkan cinta kasih universal dalam batinnya, nilai kebajikan akan lebih besar apabila ia mampu merenungkan hakikat dari “KETIDAKKEKALAN SEGALA SESUATU” walaupun hanya untuk sesaat saja.

*Suatu persembahan atau pemberian menjadi murni karena dimurnikan oleh si pemberi sendiri apabila si pemberi itu luhur; menjadi murni karena dimurnikan oleh si penerima apabila si penerima itu luhur; menjadi murni karena dimurnikan oleh si pemberi dan penerima apabila keduanya luhur; dan sebaliknya tidak menjadi murni apabila keduanya tidak luhur.

*Delapan motivasi (niat) berdana:

1. memberi dengan kejengkelan, sbg cara menyinggung/menghina si penerima,

2. memberi karena dilandasi ketakutan,

3. memberi sbg bentuk membalas kebaikan yg pernah diterima sebelumnya,

4. memberi dengan harapan untuk memperoleh bantuan serupa di masa mendatang,

5. memberi dengan anggapan bahwa ini adalah perbuatan yang baik,

6. memberi dengan dorongan pikiran, “Aku memasak, sedangkan mereka tidak memasak. Tidaklah pantas bila aku yang memasak tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak,”

7. memberi demi mendapatkan reputasi yang baik,

8. memberi dalam upaya melatih batin mengikis keserakahan, kekikiran dan egoisme.

Ada juga motivasi memberi yang didasarkan pada niat jahat. Ada juga yang memberi sebagai bentuk tradisi keluarga yang sudah berjalan lama. Ada juga yang memberi dengan keinginan agar terlahir di alam surga setelah kematian. Dari semua motivasi, dinyatakan bahwa yang terbaik adalah motivasi dalam upaya melatih diri mengikis kekotoran batin yaitu keserakahan (lobha).

*Moralitas adalah pondasi dasar kehidupan harmonis dgn manusia lain, antara manusia dgn makhluk lain dan antara manusia dgn dirinya sendiri.

*Seseorang yang menikmati sendiri apa yang enak dan memberikan apa yang tidak enak kepada orang lain adalah pendana yang seperti budak bagi pemberian yang dia serahkan. Orang yang mendanakan apa yang sama enaknya dengan yang dinikmatinya sendiri adalah orang yang seperti sahabat bagi pemberiannya itu. Orang yang berpuas diri dengan apapun yang dimilikinya tetapi memberikan yang enak bagi orang lain adalah pendana yg agung. Dialah seorang penguasa atas dana yg diberikannya itu.

*Seorang pendana yang mulia adalah orang yang berbahagia sebelum, selama dan sesudah memberikan dana. Sebelum berdana, ia berbahagia menantikan kesempatan melatih diri mengikis kekikiran. Selama berdana, ia berbahagia karena sedang memberikan manfaat kepada si penerima dana. Sesudah berdana, ia berbahagia dan puas hati karena telah melakukan perbuatan baik.

*Dana selayaknya diberikan; dengan sedemikian sehingga si penerima tidak merasa direndahkan atau dihina. Dengan pertimbangan yang sesuai dan dengan rasa hormat. Dengan tangannya sendiri. Barang-barang yang digunakan sebagai alat untuk membunuh atau menyakiti orang lain dan makhluk lain seperti senjata, racun, jala dan perangkap seharusnya tidak didanakan karena menyebabkan penderitaan, demikian pula dengan zat-zat yang memabukkan yang dapat merusak fisik dan mental makhluk lain.

*Jika di dalam menjalani kehidupan yang benar, seseorang hidup dengan sangat sederhana, menopang keluarganya sesuai dengan sarananya, tetapi ia tetap menganggap penting berdana walaupun sumbernya terbatas, maka kedermawanannya berharga lebih dari seribu pengorbanan.

*Berdana dengan keyakinan dan pemahaman yang benar akan hukum sebab akibat akan menghasilkan kekayaan dan keelokan. Berdana dengan disertai pemilihan objek dana yang tepat, seseorang akan memperoleh anak, istri, pegawai dan pelayan yang patuh, tahu tugas dan penuh pengertian. Berdana pada saat yang sesuai, seseorang bukan hanya akan memperoleh kekayaan tetapi juga terpenuhinya kebutuhan pada waktunya. Memberikan dana dengan niat tulus membantu orang lain akan menghasilkan kekayaan serta kecenderungan untuk menikmati kesenangan indria yang terbaik. Dengan memberikan dana tanpa menyakiti diri sendiri dan orang lain, seseorang akan terhindar dari mara bahaya.

*Bahkan membuang air bekas mencuci piring (alat makan) yang terdapat sisa-sisa makanan, sudah merupakan tindakan berjasa apabila diiringi dengan pikiran yang dermawan; “Semoga partikel-partikel makanan dalam air bekas cucian ini bisa bermanfaat bagi makhluk-makhluk yang dapat memakannya.” Jika demikian halnya maka betapa jauh lebih berjasanya memberi makan kepada manusia. Apalagi bila si penerima bukan hanya sekedar manusia biasa, tetapi manusia bermoral tinggi, maka manfaatnya menjadi berlipat ganda. Selanjutnya bila si penerima merupakan manusia luhur yang telah mencapai kesucian dengan membasmi kekotoran batin (kilesa) yaitu keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, maka manfaatnya menjadi tidak ternilai dan tak terukur.

*Janganlah meremahkan perbuatan baik, dengan berpikir, “Pahala dari jasa kebajikan tidak akan datang kepada saya.” Sesungguhnya, setetes demi setetes air yang terus menerus jatuh bahkan dapat mengisi penuh sebuah tempayan. Sebagaimana para bijaksana, sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dgn jasa kebajikan.

*10 Cara menghasilkan jasa kebajikan :

1. dengan berdana atau memberi

2. dengan menjaga moralitas

3. dengan melatih memurnikan batin

4. dengan menghormat dan menghargai

5. dengan membantu, menolong dan

melayani

6. dengan mengajak makhluk lain

berbahagia (muditacitta) atas jasa

kebajikan yang telah dilakukan

7. dengan turut bergembira atas jasa

kebajikan orang lain (anumodana)

8. dengan menunjukkan Jalan Yang Benar

9. dengan mendengarkan Ajaran Yg Benar

10.dengan meluruskan pandangan keliru

Orang/pihak lain.

Sepuluh Perenungan Pāramitā (Buddhavaæsa 6)

1. Dāna : Semoga saya dermawan dan suka menolong sesama.

2. Sīla : Semoga saya disiplin, sopan santun dan berbudi pekerti halus. Semoga saya bersih dalam berusaha. Semoga pikiran, perkataan dan perbuatan jasmani ku bersih dan jujur.

3. Nekkhama : Semoga saya tidak hanya mengingat keuntungan diri sendiri atau kepunyaan diri sendiri saja tetapi semoga saya ingat juga kepada kepentingan dan kepunyaan orang lain.

4. Paññā : Semoga saya cerdas, bijaksana, dapat melihat semua hal

sebagaimana adanya dalam keadaan yang sebenarnya. Semoga saya memiliki

pri-kebenaran serta dapat memimpin orang lain dari kegelapan dan

kebodohan menuju penerangan.

5. Viriya : Semoga saya bersemangat, bertenaga, berdaya upaya, pantang

mundur. Semoga saya rajin bekerja sampai dengan tujuan. Semoga saya tidak

takut menempuh bahaya, berani menghadapi segala rintangan. Semoga saya

dapat membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan dengan sebaik-

baiknya, sebisa-bisanya dan dengan memuaskan.

6. Khanti : Semoga saya selalu sabar, dapat menahan kritikan dan menanggung

beban orang lain. Semoga saya dapat bertoleransi, melihat keindahan dan

kebaikan di dalam segala hal.

7.Sacca : Semoga saya suka berterus terang, selalu terbuka, jujur dan tidak

menutupi kesalahan maupun kebenaran. Semoga saya tidak menyimpang dari

jalan kebenaran.

8. Adiööhāna : Semoga saya berteguh hati, tidak mudah goyah dalam pendirian

dan kemauan. Semoga saya dapat berkuat hati bagai gajah, lembut bagai

selembar helai bunga, keras bagai batu karang serta berpendirian luhur.

9. Mettā : Semoga saya baik hati, suka bersahabat, simpatik dan penuh kasih

sayang pada semua makhluk, pada siapa pu dan pada apa pun.

10. Upekkhā : Semoga saya selalu tenang, tentram tidak cepat tersinggung,

penuh pengertian, berpikir luwes dan seimbang tidak berat sebelah, adil pada

apa pun.

Kisah Devadatta

Kisah Devadatta

(Kisah berikut mengenai Devadatta sejak saat penahbisannya hingga saat ia ditelan bumi disajikan seringkas mungkin berdasarkan banyak kisah Devadatta dalam Kitab Pàëi.)
Kisah mengenai Devadatta hingga saat penahbisannya telah diceritakan (baca bagian “Penahbisan Enam Pangeran dan Upàli, Si Tukang Cukur” di bab XXV).
Dari enam pangeran Sakya dan si tukang cukur Upàli setelah penahbisan mereka,
(1) Thera Bhaddiya mencapai tiga pengetahuan spiritual dan menjadi seorang Arahanta selama masa vassa pada tahun itu juga.
(2) Thera Anuruddhà memperoleh Mata-Dewa (Dibbacakkhu) 1784 Riwayat Agung Para Buddha
dan setelah mendengarkan Mahàvitakka Sutta, ia mencapai kesucian Arahatta (Aïguttara Nikàya, Vol. 3)
(3) Thera ânanda mencapai kesucian Sotàpatti-Phala setelah mendengarkan khotbah tentang perumpamaan sebuah cermin yang disampaikan oleh Yang Mulia Puõõa Mantànã-Putta. (Saÿyutta Nikàya, Vol. 2)
(4) & (5) Thera Bhagu dan Kimbila melatih meditasi Vipassanà dan mencapai kesucian Arahatta.
(6) Devadatta memperoleh kekuatan batin duniawi, namun tetap sebagai seorang awam. Ia tidak berhasil menjadi seorang Ariya.
Pada suatu ketika, sewaktu Buddha sedang mampir di Kosambã, Buddha dan banyak siswa-Nya menerima persembahan berlimpah. Para penduduk datang ke vihàra dengan membawa jubah, obat-obatan, dan barang kebutuhan lainnya dan bertanya, “Di manakah Buddha? Di manakah Yang Mulia Sàriputta? Di manakah Yang Mulia Moggallàna? Di manakah Yang Mulia Mahà Kassapa? Di manakah Yang Mulia Bhaddiya, Anuruddhà, ânanda, Bhagu, dan Kimbila?” Mereka selalu mencari-cari di mana delapan puluh Siswa Besar (Mahà Sàvaka) itu menetap, tetapi tak seorang pun yang menanyakan tentang keberadaan Devadatta.

Devadatta Mencoba untuk Memperoleh Kekuasaan
Kemudian Devadatta berpikir, “Aku juga menjadi bhikkhu bersama-sama dengan Bhaddiya dan lainnya. Mereka adalah para bhikkhu yang berasal dari keluarga penguasa (khattiya); aku juga seorang bhikkhu yang berasal dari keluarga demikian. Tetapi mereka membawa persembahan dan menanyakan Bhaddiya dan lain-lainnya. Sedangkan aku, tak seorang pun yang memedulikan bahkan sekadar menanyakan namaku. Kepada siapakah aku harus bergaul dan kepada siapakah aku harus mengabdi agar aku dapat memperoleh persembahan berlimpah untukku sendiri?” Ia melanjutkan lamunannya, “Raja Bimbisàra telah mencapai kesucian Sotàpatti-Phala bersama seratus sepuluh ribu brahmana saat pertama kali melihat Buddha. Tidaklah mungkin bergaul dengannya. Juga tidak mungkin bersekutu dengan Raja Kosala. Tetapi Pangeran Ajàtasattu, 1785 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
putra Raja Bimbisàra, belum memahami kemuliaan dan kejahatan seseorang karena ia masih muda. Aku akan mendekatinya.” Dengan pikiran demikian ia pergi ke Ràjagaha dan menyamar sebagai seorang pemuda yang berhiaskan empat ekor ular, dua di kedua tangan dan dua di kedua kaki, ia juga menempatkan seekor ular di lehernya, seekor di kepalanya dan seekor lagi di bahu kirinya; ia mengikatkan ketujuh ekor ular tersebut menyerupai sabuk pinggang yang menghias dirinya. Akhirnya ia turun dari angkasa dan duduk di pangkuan Pangeran Ajàtasattu.
Sang pangeran ketakutan dan bertanya siapakah dirinya. Pemuda itu mengaku bahwa ia adalah Devadatta dan pangeran itu memintanya untuk memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya sebagai Devadatta. Devadatta menyingkirkan samarannya dan berdiri di depan pangeran dalam wujud aslinya, mengenakan jubah kuning dan tangannya memegang mangkuk. Terkesan dengan pertunjukkan kegaiban itu, Pangeran Ajàtasattu menjadi pengikut Devadatta. Ia secara rutin pergi mengunjungi gurunya bersama lima ratus kereta setiap pagi dan malam hari. Ia juga mengirimkan lima ratus kendi makanan, masing-masing kendi berisi makanan yang cukup untuk sepuluh orang bhikkhu.

Devadatta Kehilangan Kekuatan Jhàna
Kesombongannya membubung karena banyaknya persembahan yang ia terima, Devadatta berkeinginan jahat untuk menjadikan dirinya seorang Buddha dan memimpin Saÿgha. Segera setelah munculnya keinginan tersebut, Devadatta kehilangan kekuatan gaibnya yang berdasarkan atas Lokiya Jhàna.

Brahmà Kakudha Melaporkan Kepada Moggallàna
Pada saat itu seorang murid awam Thera Moggallàna, seorang pangeran Koliya bernama Kakudha terlahir sebagai brahmà setelah meninggal dunia. Brahmà Kakudha mendatangi Moggallàna dengan badannya yang setinggi tiga gàvutta (tiga perempat yojanà) dan melaporkan, bagaimana, dengan penuh kesombongan, Devadatta memiliki keinginan jahat untuk menjadikan dirinya seorang Buddha 1786 Riwayat Agung Para Buddha
dan memimpin Saÿgha dan bagaimana ia kehilangan kekuatan gaibnya. Setelah memberikan laporan, brahmà tersebut menghilang dari tempat tersebut.
Yang Mulia Moggallàna mendatangi Buddha dan memberitahu Beliau mengenai apa yang dikatakan oleh Brahmà Kakudha. Buddha bertanya apakah ia telah memeriksa kebenaran laporan brahmà itu melalui kekuatan gaibnya dalam membaca pikiran orang lain. Ketika Thera menjawab bahwa ia telah memeriksanya, Buddha berkata,
“Moggallàna, simpanlah persoalan ini! Sekarang Devadatta yang kosong dari Jalan dan Buahnya akan memperlihatkan dirinya yang sebenarnya.”
Kemudian Buddha membabarkan khotbah tentang lima jenis guru palsu: (1) guru yang mengaku memiliki moralitas yang murni tetapi sebenarnya tidak memilikinya, (2) guru yang mengaku memiliki penghidupan yang murni tetapi sebenarnya tidak memilikinya, (3) guru yang mengaku memiliki ajaran yang murni tetapi sebenarnya tidak memilikinya, (4) guru yang mengaku memiliki kata-kata yang murni tetapi sebenarnya tidak memilikinya, dan (5) guru yang mengaku memiliki pandangan intelektual yang murni tetapi sebenarnya tidak memilikinya. Murid-murid langsung mereka mengetahui tentang lima jenis guru ini. Tetapi mereka tidak memberitahukan kepada murid-murid awam mereka tentang guru mereka, karena jika memberitahukan, guru mereka yang menerima empat barang-barang kebutuhan dari umat awam akan menjadi tidak senang. Maka mereka tidak mengatakan apa-apa dan bekerja sama dengan guru mereka, percaya bahwa melalui tindakan mereka, suatu hari guru mereka akan mengungkapkan sendiri sifat sejatinya. Murid-murid terpaksa melindungi guru-guru seperti itu dan guru-guru itu terikat kepada perlindungan murid-murid mereka. Sedangkan Buddha, Beliau benar-benar memiliki moralitas murni dan oleh karena itu Beliau mengakuinya. Beliau sungguh memiliki penghidupan murni, ajaran yang murni, kata-kata yang murni, dan pandangan intelektual yang murni, dan oleh karena itu Beliau mengakui memiliki semua harta yang murni ini. Karena alasan ini, para siswa tidak perlu melindungi gurunya 1787 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
dalam hal moralitas, penghidupan, ajaran, kata-kata dan pandangan intelektual, demikian pula guru tidak memerlukan perlindungan demikian. (Lengkapnya dapat merujuk pada Cåëàvagga dari Vinaya Piñaka).

Khotbah Buddha Sehubungan Dengan Perolehan Devadatta
Kemudian Buddha meninggalkan Kota Kosambã dan tiba di Ràjagaha dan menetap di Vihàra Veëuvana. Di sana banyak bhikkhu melaporkan kepada Guru bahwa Pangeran Ajàtasattu mengunjungi Devadatta dengan lima ratus kereta pada pagi dan malam hari, dan bahwa ia juga mengirimkan lima ratus kendi makanan setiap hari. Kemudian Guru berkata:
“Para bhikkhu, jangan menilai dari banyaknya persembahan yang diperoleh oleh Devadatta. Selama Pangeran Ajàtasattu mendatangi Devadatta dengan lima ratus kereta setiap pagi dan malam hari dan mengirimkan lima ratus kendi makanan setiap hari, hal itu berarti menurunnya kebajikannya. Tetapi peningkatannya tidak dapat diharapkan. (Tidak pasti).”
“Para bhikkhu, misalnya, jika empedu seekor beruang dipotong dan diletakkan di depan hidung seekor anjing liar, binatang itu akan menjadi semakin buas. Demikian pula, selama Pangeran Ajàtasattu mendatangi Devadatta dengan lima ratus kereta setiap pagi dan malam hari dan mengirimkan lima ratus kendi makanan setiap hari, hal itu berarti perbuatan baik Devadatta semakin menurun. Peningkatan perbuatan baiknya tidak dapat diharapkan. (Tidak pasti)”
Phalaÿ ve kadaliÿ hanti
phalam veëuÿ phalaÿ nàlam
Sakkàro kàpurisaÿ hanti
gabbho assatim yathà.
“Para bhikkhu, reputasi Devadatta atas perolehannya akan menghancurkan dirinya sendiri. Misalnya, para bhikkhu, (1) pohon pisang yang berbuah menandakan kehancuran dirinya sendiri, 1788 Riwayat Agung Para Buddha
(2) pohon bambu yang berbuah menandakan kehancuran dirinya sendiri, (3) tanaman buluh yang berbuah menandakan kehancuran dirinya sendiri, (4) binatang assatara betina mengandung janin di dalam rahimnya menandakan kehancuran dirinya sendiri. Demikian pula, reputasi Devadatta dalam memperoleh persembahan akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri.”
“Para bhikkhu, bagaikan buah pisang yang membunuh pohon pisang, buah bambu membunuh pohon bambu, buah buluh membunuh tanaman buluh, dan janin binatang membunuh ibunya, si assatara betina; demikian pula perolehan persembahan akan membunuh orang yang berwatak jahat.”

Dendam Devadatta Terhadap Buddha
Kemudian suatu hari, ketika Buddha duduk di tengah-tengah kerumunan besar, membabarkan khotbah kepada raja dan para penduduk, Devadatta bangkit dari duduknya dan menutupi bahu kirinya dengan jubah atasnya (sebagai tanda penghormatan), ia merangkapkan tangannya memberi hormat kepada Buddha dan berkata:
“Buddha Yang Agung, sekarang Engkau telah tua, telah lanjut usia dan berada dalam tahap terakhir dari kehidupan. Yang Mulia! Mohon Buddha Yang Mulia sekarang hidup dengan damai tanpa memikirkan hal apa pun. Mohon serahkan Saÿgha kepadaku. Aku akan memimpin dan menjaga Saÿgha.”
Buddha berkata, “Devadatta! Hal itu tidak tepat. Jangan berharap untuk menjaga dan memimpin Saÿgha.” Untuk kedua kalinya Devadatta mengajukan permohonan yang sama dan Buddha menolaknya. Ketika Devadatta mengajukan permohonan untuk ketiga kalinya, Guru berkata, “Devadatta! Aku bahkan tidak akan menyerahkan Saÿgha kepada Sàriputta dan Moggallàna. Mengapa Aku harus menyerahkannya kepadamu, engkau jahat, penjilat ludah?”
Kata-kata Buddha melukai hati Devadatta. “Buddha memarahi aku 1789 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
di hadapan raja dan para penduduk dengan kata-kata “penjilat ludah (kheëàsaka)”, seorang yang mengkonsumsi empat barang-barang kebutuhan yang tidak murni, penjilat barang-barang kebutuhan yang seperti ludah! Ia hanya menghormati Sàriputta dan Moggallàna.”
Dengan pikiran demikian, ia marah dan merasa tidak senang, dan setelah memberi hormat kepada Buddha, ia pergi.

Pakàsaniya-kamma Terhadap Devadatta
Kemudian Buddha menginstruksikan para bhikkhu untuk memberikan hukuman kepada Devadatta di Kota Ràjagaha. Tindakan itu disebut Pakàsaniya-kamma yang juga disebut ¤atti-dutiya yang dilakukan oleh para bhikkhu setelah melakukan kammavàca di mana usul atas hukuman diajukan dan diikuti dengan pernyataan dari keputusan Saÿgha. Kemudian Yang Mulia Sàriputta terpilih menjadi orang yang akan mengumumkan pernyataan itu di Ràjagaha. Sesuai dengan perintah Buddha, Saÿgha menunjuk Yang Mulia Sàriputta, dan Yang Mulia Thera tersebut mengumumkan pernyataan itu di seluruh kota.
Mendengar keputusan itu, mereka yang tidak berkeyakinan dan tidak memiliki kebijaksanaan menyalahkan para bhikkhu dengan mengatakan, “Para bhikkhu ini, putra pangeran Sakya, Buddha, iri hati. Mereka iri terhadap persembahan yang diperoleh oleh Devadatta!” Tetapi mereka yang berkeyakinan dan memiliki kebijaksanaan berkata, “Bukanlah kesalahan Guru, mengungkapkan kenyataan tentang Devadatta secara umum di Ràjagaha.”
(Di sini, pakàsaniya-kamma adalah hukum yang dilakukan oleh Saÿgha sesuai peraturan Vinaya. Disebutkan secara jelas bahwa tindakan dan kata-kata para bhikkhu yang dikenai hukuman oleh Saÿgha tidak ada hubungannya dengan Buddha, Dhamma, dan Saÿgha dan bahwa tindakan dan kata-katanya adalah dari dirinya sendiri.)
(Pernyataan terhadap Devadatta adalah kira-kira sebagai berikut, 1790 Riwayat Agung Para Buddha
“Dahulu tindakan Devadatta masih dapat diterima, tetapi sekarang tindakannya sangat berbeda. Apa yang ia lakukan atau ia katakan dari mulutnya tidak ada hubungannya dengan Buddha atau Dhamma atau Saÿgha. Hanya boleh dihubungkan dengan Devadatta sendiri.” Pernyataan yang berisikan kata-kata ini diputuskan oleh Saÿgha setelah melakukan pemungutan suara. Kemudian sesuai dengan instruksi Buddha, Saÿgha secara resmi menunjuk Thera Sàriputta (juga melalui pemungutan suara) sebagai orang yang akan mengumumkan bahwa Devadatta dinyatakan persona non grata (orang yang tidak diharapkan) di Rajagaha. Maka dengan disertai oleh para bhikkhu, Yang Mulia Sàriputta pergi ke kota dan mengumumkan pemisahan Buddha, Dhamma, dan Saÿgha dari Devadatta dengan mengumumkan, “Dahulu tindakan Devadatta masih dapat diterima, tetapi sekarang tindakannya sangat berbeda. Apa yang ia lakukan atau ia katakan dari mulutnya tidak ada hubungannya dengan Buddha atau Dhamma atau Saÿgha. Hanya boleh dihubungkan dengan Devadatta sendiri.” Demikianlah secara singkat mengenai pakàsaniya-kamma.)

Pangeran Ajàtasattu
Setelah dinyatakan sebagai bhikkhu yang tindakan dan kata-katanya tidak berhubungan dengan Saÿgha. Devadatta berpikir, “Sekarang Bhikkhu Gotama tidak mengakuiku. Aku akan melakukan apa yang dapat mencelakai-Nya.” Maka ia mendatangi Pangeran Ajàtasattu dan berkata:
“Pangeran, orang-orang pada masa lampau berumur sangat panjang tetapi sekarang orang-orang berumur pendek. Ada kemungkinan engkau akan mati bahkan selagi masih menjadi seorang pangeran. Oleh karena itu, bunuhlah ayahmu dan jadilah raja. Aku akan membunuh Buddha dan menjadi seorang Buddha.”
Pangeran Ajàtasattu berpikir, “Yang Mulia Devadatta adalah seorang yang sakti. Ia berkata begitu mungkin karena ia mempunyai alasan untuk berkata demikian.” Maka ia mengikat sebilah pisau belati di pahanya; dengan ketakutan, ia berlari ke dalam istana pada siang hari. Para menteri yang sedang menjaga raja menangkap dan 1791 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
menggeledahnya. Ketika mereka menemukan pisau belati terikat di pahanya, mereka bertanya kepadanya apa yang hendak ia lakukan. Pangeran berkata bahwa ia hendak membunuh ayahnya. Para menteri bertanya lagi atas anjuran siapakah ia hendak membunuh raja. Pangeran mengakui bahwa Devadatta yang membujuknya.
Kemudian beberapa menteri beranggapan bahwa pangeran dan Devadatta beserta semua bhikkhu harus dibunuh. Beberapa berpendapat bahwa para bhikkhu tidak perlu dibunuh karena mereka tidak melakukan kesalahan dan hanya pangeran dan Devadatta yang harus dibunuh. Sisanya berpendapat bahwa pangeran dan Devadatta tidak perlu dibunuh, para bhikkhu juga tidak perlu dibunuh, bahwa persoalan itu harus dilaporkan kepada raja dan tindakan yang diambil harus sesuai instruksi raja.
Kemudian para menteri membawa pangeran dan memberitahu raja mengenai pangeran yang mencoba untuk membunuhnya. Raja menanyakan pendapat mereka dan para menteri menyampaikan tiga pendapat mereka yang berbeda; raja berkata,
“Bagaimana mungkin Buddha atau Dhamma atau Saÿgha bersalah atas kejadian ini? Mereka tentu saja tidak bersalah. Bukankah Buddha telah menyatakan bahwa tindakan Devadatta sekarang sangat berbeda dengan tindakannya dulu dan bukankah Guru telah mengingkari tindakan dan kata-kata Devadatta?”
Kemudian raja memberhentikan para menteri kelompok pertama (yang menganut pendapat pertama) dari jabatan mereka, menurunkan jabatan mereka yang berada dalam kelompok kedua dan menaikkan jabatan mereka yang berada dalam kelompok ketiga.
Kemudian raja bertanya kepada putranya tentang mengapa ia ingin membunuhnya. Pangeran menjawab bahwa ia ingin menjadi raja. Raja Bimbisàra kemudian berkata, “Pangeran, jika engkau ingin menjadi seorang raja, maka kerajaan ini adalah milikmu,” dan ia menyerahkan kerajaannya secara penuh kepada Pangeran Ajàtasattu.1792 Riwayat Agung Para Buddha

Nasihat Jahat Devadatta
Karena keinginannya telah terpenuhi, Pangeran Ajàtasattu merasa gembira dan memberitahu Devadatta mengenai hal itu. Tetapi untuk membangkitkan rasa permusuhan dalam diri pangeran, Devadatta berkata, “Bagaikan seorang yang menutupi genderangnya yang berisi seekor rubah, engkau berpikir bahwa engkau telah mencapai tujuanmu. Setelah dua atau tiga hari, ayahmu akan berubah pikiran mengenai kelancanganmu dan akan kembali menjadi raja.”
Sang pangeran bertanya kepada gurunya apa yang harus ia lakukan. Devadatta dengan jahat memberikan nasihat agar ia membunuh ayahnya. Pangeran berkata bahwa ia tidak ingin membunuh ayahnya dengan senjata apa pun karena ia berdarah bangsawan. Kemudian Devadatta sekali lagi memberikan nasihat jahat bahwa pangeran dapat membiarkan ayahnya mati kelaparan.

Tindakan Ajàtasattu Membunuh Ayahnya
Raja Ajàtasattu memerintahkan agar ayahnya, Raja Bimbisàra ditahan di dalam sebuah sel besi yang sangat panas. Ia tidak mengizinkan siapa pun untuk mengunjunginya kecuali ibunya.
(1) Ratu Vedehã membawa makanan di dalam mangkuk emas ke dalam sel besi. Raja memakan makanan itu untuk bertahan hidup. Raja Ajàtasattu bertanya bagaimana ayahnya dapat bertahan hidup dan ketika mendengar apa yang dilakukan oleh ibunya, ia memerintahkan para menteri agar jangan mengizinkan ibunya membawa makanan.
(2) Kemudian ratu menyembunyikan makanan di dalam gulungan rambutnya dan memasuki sel. Raja memakan makanan itu dan bertahan hidup. Ketika Raja Ajàtasattu mendengar tentang hal ini, ia melarang ratu memasuki sel dengan rambut tergelung.
(3) Kemudian ratu membawa makanan di dalam sepatu emas yang ia pakai. Raja bertahan hidup dengan memakan makanan yang dibawa oleh ratu di dalam sepatunya itu. Ketika Ajàtasattu mengetahui bagaimana ayahnya bertahan hidup, ia melarang ibunya mengunjungi raja dengan mengenakan sepatu.1793 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
(4) Sejak saat itu Ratu Vedehã mandi dengan air harum, melumuri badannya dengan makanan (yang terdiri dari minyak, madu, dan mentega) dan mengenakan jubah luarnya, kemudian ia memasuki sel. Raja bertahan hidup dengan menjilati badannya. Ketika si jahat Ajàtasattu mengetahui hal ini, ia dengan angkuh memerintahkan agar para menterinya jangan mengizinkan ibunya memasuki sel.
Dilarang memasuki sel, ratu berdiri di dekat pintu sel dan mengeluh, “O raja besar! Engkau sendiri yang tidak mengizinkan putra jahat Ajàtasattu dibunuh ketika ia masih muda. Engkau sendiri yang membesarkan musuhmu. Sekarang adalah terakhir kalinya aku melihatmu. Mulai saat ini aku tidak lagi berkesempatan melihatmu. Maafkan aku jika aku pernah berbuat salah terhadapmu.” Demikianlah ia mengeluh dan menangis, kemudian ia pulang ke tempat tinggalnya.

Kematian Raja Bimbisàra
Sejak saat itu, raja tidak makan apa-apa. Berjalan mondar-mandir, ia bertahan hidup hanya dengan menikmati kebahagiaan Buah Sotàpatti yang telah ia capai. Pikirannya selalu tenggelam di dalam Buah itu, tubuh raja menjadi sangat anggun.
Si jahat Ajàtasattu bertanya kepada orang-orangnya bagaimana ayahnya dapat bertahan hidup. Orang-orangnya berkata bahwa raja bertahan hidup dengan cara berjalan mondar-mandir dan bahwa ia menjadi lebih anggun daripada sebelumnya dalam hal penampilan fisik. Kemudian Raja Ajàtasattu memutuskan untuk mengakhiri olahraga berjalan ayahnya. Ia memerintahkan para tukang cukur untuk melukai telapak kaki ayahnya, melumuri lukanya dengan minyak dan garam dan membakarnya di atas bara api yang menyala.
Ketika ia melihat para tukang cukur, Raja Bimbisàra berpikir bahwa seseorang telah menyadarkan putranya dan bahwa tukang cukur itu datang untuk mencukur janggutnya.1794 Riwayat Agung Para Buddha
Para tukang cukur itu mendekati raja dan berdiri memberi hormat kepadanya. Raja menanyakan tujuan dari kedatangan mereka, dan diberitahukan mengenai tujuan kedatangan mereka. Kemudian raja memberitahu mereka agar melakukan tugas mereka sesuai instruksi majikan mereka. Para tukang cukur meminta agar raja duduk dan setelah memberi hormat, mereka berkata, “O raja besar! Kami terpaksa melakukan perintah Raja Ajàtasattu. Jangan marah kepada kami. Apa yang harus kami lakukan sangat tidak tepat untuk seorang raja yang baik sepertimu.” Kemudian dengan memegang telapak kaki dengan tangan kiri dan pisau cukur yang tajam di tangan kanan, mereka melukai telapak kaki, melumurinya dengan minyak dan garam dan kemudian membakarnya di atas bara api yang menyala.
(Dalam kehidupan lampau, raja berjalan di atas atap pagoda dengan memakai alas kaki dan menginjak alas duduk dengan kakinya yang kotor. Penderitaan yang ia alami sekarang adalah akibat dari perbuatan jahatnya pada masa lampau, menurut Komentar.)
Raja Bimbisàra harus menahan siksaan luar biasa itu. Tanpa merasa marah dan benci, ia merenungkan kemuliaan Buddha, Dhamma, dan Saÿgha. Kemudian ia menjadi lemah bagaikan sekuntum bunga yang dibuang di atap pagoda. Ia wafat dan terlahir sebagai seorang pelayan dari Raja Dewa Vessavana di Alam Dewa Catumahàràjika, dan menjadi jenderal tertinggi dari para dewa bernama Janavasabha.
(Di sini ia dinamai Janavasabha karena ketika sebagai Raja Bimbisàra, ia adalah seorang Sotàpanna Ariya dan pemimpin dari seratus sepuluh ribu brahmana pedagang. Jana, ‘dari 110.000 brahmana pedagang’, vesabha, ‘pemimpin’.
(Mengapa ia terlahir di alam dewa yang rendah Catumahàràjika walaupun ia adalah seorang Sotàpanna Ariya? Jawabannya diberikan oleh Dewa-yakkha Janavasabha sendiri.)
(Menurut jawabannya, ia menjalani tujuh kehidupan sebagai raja di alam manusia dan setelah kematiannya di Alam Dewa 1795 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
Catumahàràjika dan tujuh kehidupan di Alam Catumahàràjika setelah kematiannya di Alam Manusia. Sekarang setelah menjadi seorang Sotàpanna Ariya dan karena kebajikannya sehubungan dengan Buddha, Dhamma, dan Saÿgha, ia dapat mencapai alam dewa yang lebih tinggi. Tetapi karena ia telah menjalani tujuh kehidupan berturut-turut di Alam Catumahàràjika, kemelekatannya terhadap kehidupan (bhava-nikanti) di alam dewa tersebut sangat kuat dan karena kuatnya kemelekatannya itu, ia terlahir kembali di Alam Dewa Catumahàràjika. Ini adalah pengakuan dewa yakkha Janavasabha sendiri di dalam Janavasabha Sutta dari Dãgha Nikàya. Pengakuannya dalam syair adalah sebagai berikut:
Ito satta taro satta, saÿsaràni catuddasa
Nivàsam abhijànàmi, yattha me vusitaÿ pure.

Penyesalan yang Terlambat
Pada hari kematian Raja Bimbisàra, istri si dungu Raja Ajàtasattu melahirkan seorang putra, yang diberi nama Udayabhadda. Dua berita itu, satu melaporkan kelahiran putra dan yang lain melaporkan kematian Raja Bimbisàra sampai di istana pada waktu yang bersamaan.
Para menteri mempertimbangkan bahwa sebaiknya melaporkan kelahiran putranya terlebih dahulu. Segera setelah membaca pesan pertama tersebut, muncul dalam dirinya rasa cinta yang mendalam terhadap putranya yang membangkitkan gairah di seluruh tubuhnya hingga ke tulang sumsum. Pada waktu yang sama, ia menyadari rasa terima kasih terhadap ayahnya, ia berpikir bahwa pada saat kelahirannya, ayahnya pasti juga mengalami rasa cinta yang mendalam terhadap putranya.
Raja Ajàtasattu kemudian memerintahkan para menterinya untuk membebaskan ayahnya segera. Tetapi para menterinya mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin dilaksanakan dan mereka menyampaikan berita kematian Raja Bimbisàra. Mendengar berita itu, Raja Ajàtasattu menangis sedih, mendatangi ibunya, dan bertanya kepadanya apakah ayahnya merasakan cinta yang 1796 Riwayat Agung Para Buddha
mendalam pada saat kelahirannya.
Ratu Vedehã menjawab, “Engkau putra bodoh! Apa yang engkau katakan? Sewaktu engkau masih kanak-kanak, ada bisul di jarimu. Perawat istana tidak mampu membujukmu dan membuatmu berhenti menangis. Akhirnya mereka membawa engkau kepada ayahmu yang sedang duduk di tengah-tengah sidang. Ayahmu mengulum jarimu yang berbisul dan karena kehangatan mulutnya, bisul itu pecah. Karena cintanya kepadamu, ayahmu tidak meludahkan darah kotor bercampur nanah karena dapat membangunkan engkau, maka ia menelannya. Ayahmu sangat mencintaimu.”
Sang ratu memberitahukan secara panjang lebar tentang bagaimana ayahnya begitu melekat kepadanya. Raja Ajàtasattu menangis sedih dan melakukan upacara pemakaman ayahnya.

Pembunuh yang Dikirim Oleh Devadatta
Kemudian Devadatta mendatangi Raja Ajàtasattu dan memintanya mengirimkan beberapa orang untuk membunuh Buddha. Raja mengirimkan beberapa orang pembunuh kepada Devadatta dengan pesan agar mematuhi instruksi gurunya.
Devadatta memerintahkan orang pertama, “Orangku, pergilah ke tempat kediaman Bhikkhu Gotama. Bunuhlah Gotama dan kembalilah melalui jalan ini.”
Kemudian ia memerintahkan dua orang lainnya untuk membunuh orang pertama dan kembali melalui jalan lain.
Kemudian ia memerintahkan kelompok empat orang lainnya untuk membunuh dua orang (dari kelompok kedua) dan kembali melalui jalan lain.
Kemudian ia memerintahkan kelompok delapan orang lainnya untuk membunuh empat orang (dari kelompok ketiga) dan kembali melalui jalan lain.1797 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
Kemudian ia memerintahkan kelompok enam belas orang lainnya (kelompok kelima) untuk membunuh delapan orang (dari kelompok keempat) dan kembali melalui jalan lain.

Para Pembunuh Mencapai Kesucian Sotàpatti
Bersenjatakan pedang dan perisai, busur dan sarung anak panah, orang pertama mendatangi Buddha dan berdiri dengan tubuh kaku di dekat Beliau, gemetar ketakutan.
Melihatnya, Buddha berkata, “Sahabat, datanglah. Jangan takut.” Kemudian orang itu menyingkirkan perasaan takutnya, menyimpan pedang dan perisai serta busur dan anak panahnya. Kemudian ia mendekati Buddha, membungkukkan kepalanya menyentuh kaki Buddha, ia mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada Buddha. Buddha memaafkannya dan memberikan serangkaian khotbah tentang kedermawanan, moralitas, dan perbuatan baik lainnya yang mengarahkannya menuju pencapaian Jalan dan Buahnya. Akibatnya, orang itu menjadi seorang Sotàpanna Ariya dan pada saat yang sama ia berlindung secara spiritual di dalam Tiga Permata.
Kemudian Buddha mempersilakan orang itu pergi dengan memberitahunya agar tidak melalui jalan yang diperintahkan oleh Devadatta tetapi melalui jalan lainnya.
Dua orang (dari kelompok kedua) menunggu orang pertama yang tak kunjung tiba. Kemudian mereka pergi ke arah yang berlawanan dan melihat Buddha duduk di bawah sebatang pohon. Mereka mendekati Buddha, memberi hormat dan duduk di tempat yang semestinya. Buddha membabarkan serangkaian khotbah Dhamma dan, menjelaskan Empat Kebenaran hingga mereka berhasil mencapai Buah Sotàpatti. Seperti halnya orang pertama, mereka juga menjadi Sotàpanna Ariya dan berlindung secara spiritual di dalam Tiga Permata.
Kemudian, Buddha mempersilakan mereka pergi, dan memberitahu mereka agar melalui jalan lain.1798 Riwayat Agung Para Buddha
Kemudian empat orang (dari kelompok ketiga)…
Kemudian delapan orang (dari kelompok keempat)…
Enam belas orang (dari kelompok kelima) menunggu delapan orang dari kelompok sebelumnya yang tak kunjung tiba. Kemudian mereka pergi ke arah yang berlawanan dan melihat Guru seperti halnya orang sebelum mereka. Mereka memberi hormat kepada Buddha dan duduk di tempat yang semestinya. Buddha membabarkan serangkaian khotbah Dhamma yang menjelaskan Empat Kebenaran hingga mereka berhasil mencapai Buah Sotàpatti. Setelah mereka berlindung secara spiritual di dalam Tiga Permata, Buddha mempersilakan mereka pergi, dan memberitahu mereka agar melalui jalan lain.
Kemudian orang pertama mendatangi Devadatta dan berkata, “Tuan, aku tidak dapat membunuh Buddha Yang Agung, Beliau sangat sakti.” Devadatta berkata, “Cukup! Jangan membunuh Bhikkhu Gotama. Aku sendiri yang akan membunuh-Nya.”

Buddha Berdarah Karena Perbuatan Devadatta
Setelah membantu para pembunuh mencapai Buah Sotàpatti, suatu hari Buddha sedang berjalan mondar-mandir di bawah keteduhan bayangan Bukit Gijjhakåña. Kemudian Devadatta mendaki bukit dan menjatuhkan sebuah batu besar dengan niat untuk membunuh Buddha. Sewaktu batu itu bergulir turun, dua gundukan tanah muncul dengan sendirinya menahan laju batu itu. Serpihan batu itu melesat dan mengenai kaki Buddha hingga berdarah.
Buddha menatap ke atas dan berkata kepada Devadatta, “Engkau manusia bodoh, engkau tidak mampu meningkatkan kemajuan spiritual! Engkau dengan penuh kebencian membuat-Ku berdarah dan dengan niat membunuh. Engkau telah melakukan kejahatan yang sangat berat.”
Kemudian Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, 1799 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
Devadatta telah melakukan perbuatan sadis yang pertama (anantariya-kamma) karena ia telah menumpahkan darah-Ku, dengan penuh kebencian dan niat untuk membunuh.”
Para bhikkhu membawa Buddha ke vihàra di Taman Maddakucchi. Di sana Buddha mengungkapkan keinginan-Nya untuk pergi ke vihàra di hutan mangga Jãvaka dan meminta para bhikkhu membawa Beliau ke sana. Para bhikkhu membawa Beliau ke sana sesuai instruksi-Nya.
Mendengar berita itu, Jãvaka, si dokter ahli mendatangi Buddha dan memberikan obat yang manjur untuk mengobati luka-Nya. Setelah membalut luka-Nya, ia memberitahu Buddha untuk tidak melepas perbannya hingga ia kembali dari kunjungannya ke pasien lainnya di kota. Setelah mengunjungi pasien lainnya dan melakukan apa yang perlu dilakukan atas pasiennya, dokter tidak sempat kembali sebelum pintu gerbang kota ditutup.
Kemudian Dokter Jãvaka berpikir, “Aku telah memberikan obat yang manjur kepada kaki Buddha dan membalut luka-Nya, memperlakukan-Nya seperti pasien biasa. Aku telah melakukan kesalahan besar. Sekarang waktunya untuk melepas perbannya. Jika perbannya tidak dilepas, Beliau akan menderita kesakitan sepanjang malam.” Dengan pikiran demikian, Jãvaka menjadi sangat cemas. Pada waktu itu Buddha memanggil ânanda dan berkata, “ânanda, Dokter Jãvaka kembali setelah gelap dan tidak sempat sampai di pintu gerbang kota sebelum ditutup. Ia merasa cemas karena sekarang adalah saatnya untuk melepas perban. Engkau lepaskanlah perban ini segera.” Yang Mulia ânanda melepas perban itu dan luka itu telah lenyap bagaikan kulit kayu yang dikelupas dari pohon.
Segera setelah pintu gerbang kota dibuka, Jãvaka bergegas mendatangi Buddha bahkan sebelum fajar menyingsing dan menanyakan apakah Beliau menderita kesakitan. Buddha berkata, “Jãvaka, Aku telah mengatasi semua rasa sakit sejak Aku mencapai Pencerahan Sempurna di bawah pohon Bodhi.” Dan kemudian Beliau mengucapkan syair berikut.1800 Riwayat Agung Para Buddha
Gataddhino visokassa, vippamuttassa sabbadhi
Sabbagantha-pahãnassa, pariëàho na vijjati.
“Jãvaka! Sama sekali tidak ada dukacita, tidak ada penderitaan dalam diri seorang Arahanta yang telah terbebas dari saÿsàra yang telah mencapai pantai seberang dari saÿsàra, yang bebas dari segala kesedihan, yang tidak memiliki kemelekatan terhadap apa pun termasuk badan jasmani, dan lain-lain, yang telah menghancurkan semua belenggu.”
(Pariëàho ‘penderitaan’ terdiri dari dua jenis, yaitu, penderitaan jasmani (kàyika) dan batin (cetasika). Penderitaan jasmani disebabkan oleh dingin, panas, dan lain-lain dapat muncul dalam diri Arahanta dan oleh karena itu ia tidak bebas dari penderitaan jasmani. Yang dimaksudkan oleh Dokter Jãvaka adalah penderitaan ini. Tetapi Raja Dhamma, Buddha ahli luar biasa dalam mengajar. Beliau menjawab bahwa Arahanta yang memiliki ciri-ciri di atas tidak memiliki penderitaan batin. Jãvaka bertanya apakah Buddha mengalami penderitaan batin dan Buddha menjawab bahwa Beliau tidak mengalaminya.
Pada akhir khotbah itu, banyak makhluk-makhluk yang mencapai Buah Sotàpatti dan seterusnya.

Pengamanan Terhadap Buddha Oleh Para Bhikkhu
Banyak bhikkhu yang mendengar berita mengenai Devadatta yang mencoba membunuh Buddha membentuk lingkaran mengelilingi tempat tinggal Buddha. Mereka membacakan kitab dengan suara keras dan berjalan mondar-mandir untuk menjaga, melindungi, dan memastikan keamanan Buddha.
Mendengar suara mereka (yang sedang membacakan kitab dan suara langkah mereka) Buddha bertanya kepada Thera ânanda (meskipun Beliau mengetahui), dan ketika Thera memberitahu Beliau mengenai pengamanan yang dilakukan oleh para bhikkhu, Guru memanggil para bhikkhu dan berkata:1801 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
“Para bhikkhu, adalah mustahil bagi siapa pun untuk dapat membunuh seorang Buddha.”
Kemudian Buddha berkata kepada mereka (seperti yang Beliau katakan kepada Thera Moggallàna dalam suatu kesempatan) bahwa terdapat lima jenis guru di dunia ini, dan hanya guru-guru itu yang memerlukan perlindungan dari para murid mereka, sedangkan bagi Buddha, yang sungguh memiliki moralitas murni, penghidupan murni, ajaran murni, kata-kata murni, dan pandangan intelektual yang murni dan oleh karena itu, Beliau tidak memerlukan perlindungan dari para siswa-Nya. Beliau menambahkan bahwa adalah mustahil bagi seseorang untuk dapat membunuh seorang Buddha dan bahwa para Buddha mencapai Parinibbàna bukan dengan cara dibunuh oleh seseorang.
Akhirnya Buddha berkata kepada para bhikkhu.
“Para bhikkhu, kembalilah ke tempat kalian masing-masing. Para Buddha bukanlah makhluk yang keamanannya tergantung dari perlindungan orang lain.”

Mengirim Gajah Nàëàgiri
(Kisah Gajah Nàëàgiri terdapat dalam Saÿghabhedakakkhandhaka dari Vinaya Cåëà Vagga dan penjelasan Cåëàhaÿsa Jàtaka dari Asãti Nipàta. Berikut adalah yang berdasarkan pada Cåëàhaÿsa Jàtaka.)
Karena pengobatan yang diberikan oleh Dokter Jãvaka, Buddha pulih kembali dan seperti sebelumnya Buddha bepergian dalam keagungan seorang Buddha Mulia dikelilingi oleh para bhikkhu. Melihat Buddha, Devadatta berpikir, “Adalah mustahil bagi siapa pun untuk mendekati dan membunuh Bhikkhu Gotama saat mereka melihat Beliau dalam keagungan fisik-Nya. Tetapi Gajah Nàëàgiri milik Raja Ajàtasattu sangat ganas, liar, dan buas. Ia tidak mengetahui apa pun hal baik mengenai Buddha, Dhamma, dan Saÿgha. Hanya Nàëàgiri buas itu yang dapat membunuh Bhikkhu Gotama.” Maka 1802 Riwayat Agung Para Buddha
ia menghadap raja dan mengutarakan rencananya.
Raja Ajàtasattu menyetujui rencananya. Ia memanggil pengasuh gajah dan memerintahkannya untuk membuat Nàëàgiri, si gajah menjadi mabuk dan mengirimnya keesokan paginya ke jalan yang akan dilalui oleh Buddha. Devadatta menanyakan kepada si pengasuh gajah berapa banyak minuman keras yang diminum gajah itu setiap harinya, dan ketika ia mengetahui bahwa gajah itu meminum delapan kendi minuman keras, ia menginstruksikan agar memberikan enam belas kendi minuman keras kepada gajah itu keesokan paginya dan mengirimnya ke jalan yang akan dilalui Bhikkhu Gotama. Si pengasuh gajah berjanji akan melakukan instruksinya itu.
Raja Ajàtasattu membuat pengumuman diiringi tabuhan genderang di seluruh kota bahwa seluruh penduduk harus melakukan kegiatan mereka keesokan paginya dengan menghindari jalan-jalan, karena Nàëàgiri akan dibuat mabuk dan akan dikirim ke dalam kota.
Devadatta meninggalkan istana, mendatangi kandang gajah dan memberitahu di pengasuh gajah, “Teman, kami adalah guru raja yang dapat menaikkan dan menurunkan jabatan para pelayan raja. Jika engkau ingin jabatanmu dinaikkan, berilah gajah itu enam belas kendi minuman yang sangat keras besok pagi dan saat Bhikkhu Gotama memasuki kota, engkau harus membuat gajah itu marah dengan menusuknya menggunakan tongkat pengendali dan tombak. Biarkan gajah itu menghancurkan kandangnya, berlari ke arah Bhikkhu Gotama dan membunuh-Nya.” Si pengasuh gajah setuju untuk melaksanakan instruksinya.
Berita ini menyebar ke seluruh kota. Para umat yang memuja Tiga Permata mendatangi Buddha dan berkata, “Buddha Yang Mulia, dengan bersekongkol dengan raja, Devadatta akan mengirim gajah liar Nàëàgiri besok ke arah dari mana Engkau akan datang. Oleh karena itu, jangan datang ke kota untuk mengumpulkan dàna makanan, tetaplah tinggal di Vihàra Veëuvana. Kami akan mempersembahkan makanan untuk-Mu dan para bhikkhu di vihàra.”1803 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
Buddha tidak mengatakan bahwa Beliau tidak akan pergi ke kota untuk mengumpulkan dàna makanan. Tetapi Beliau akan mengajar gajah liar itu besok, melakukan keajaiban (Pàñihàriya*) dengan mengajar, menaklukkan para penganut pandangan salah, dan tanpa mengumpulkan dàna makanan di Ràjagaha, kemudian kembali ke Veëuvana dari kota bersama para bhikkhu. Buddha mengetahui bahwa para umat awam di Ràjagaha akan membawa banyak makanan dan bahwa Beliau akan makan di vihàra. Untuk alasan itu, Buddha menerima undangan para umat awam itu.
(*Catatan: Pàñihàriya berarti melenyapkan perbuatan jahat. Ada tiga cara melenyapkan: (1) melenyapkan dengan mengetahui kondisi batin batin pendengar (àdesanà pàñihàriya), (2) melenyapkan dengan mendemonstrasikan kesaktian seperti menciptakan wujud-wujud yang berbeda (iddhi pàñihàriya), (3) melenyapkan dengan membabarkan khotbah (anusàsanã pàñihàriya). Dari ketiga cara ini, yang dimaksudkan di sini adalah yang ketiga. Yang kedua adalah yang dilakukan oleh Thera Moggallàna dan yang pertama dilakukan oleh Thera Sàriputta. Walaupun Buddha menggunakan cara ketiga, namun bisanya selalu diawali dengan dua cara yang pertama sesuai kecenderungan batin pendengar.)
Mengetahui bahwa Buddha menerima undangan mereka, para umat awam itu memutuskan untuk membawa dan mempersembahkan makanan di vihàra, kemudian mereka pulang.
Buddha membabarkan khotbah kepada para bhikkhu selama jaga pertama malam itu dan menjawab pertanyaan para dewa dan brahmà selama jaga kedua. Jaga ketiga dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama, Buddha berbaring di sisi kanan bagaikan seekor raja singa. Periode kedua, Beliau tenggelam dalam Buah Kearahattaan. Dan di periode ketiga, Beliau dipenuhi dengan welas asih tanpa batas dan setelah keluar dari sana, Beliau mengamati makhluk-makhluk, dan melihat Nàëàgiri. Buddha melihat dengan jelas bahwa saat Beliau membabarkan khotbah kepada gajah itu, delapan puluh empat ribu makhluk akan menembus Empat Kebenaran dan mencapai kebebasan. Oleh karena itu, setelah mandi pagi Buddha memanggil 1804 Riwayat Agung Para Buddha
Thera ânanda dan berkata, “ânanda, beritahu semua bhikkhu yang menetap di delapan belas vihàra di sekitar Ràjagaha untuk datang dan memasuki kota bersama-Ku.”
Yang Mulia ânanda melakukan perintah Buddha. Semua bhikkhu berkumpul di Vihàra Veëuvana. Buddha memasuki Ràjagaha dikelilingi oleh banyak bhikkhu.
Kemudian si pengasuh gajah melaksanakan perintah Raja Ajàtasattu dan Devadatta. Banyak orang berkumpul di sana. Dalam kerumunan itu, mereka yang berkeyakinan terhadap Buddha berkata:
“Hari ini akan terjadi pertempuran antara dua ‘gajah’, Buddha dan Nàëàgiri. Kita akan menyaksikan ‘Gajah’ Buddha menjinakkan Gajah Nàëàgiri.”
Sambil berkata demikian, mereka memanjat atap dan menara istana untuk menyaksikan pertempuran itu.
Tetapi, para penganut pandangan salah yang tidak berkeyakinan terhadap Buddha, berkata, “Gajah Nàëàgiri ini sangat ganas, liar, dan buas. Ia tidak mengetahui hal apa pun hal baik mengenai Buddha, Dhamma, dan Saÿgha. Hari ini ia akan menghancurkan tubuh Bhikkhu Gotama yang kuning keemasan dan mengakhiri hidup-Nya. Hari ini kita akan melihat dengan jelas kehancuran lawan kita.”
Sambil berkata demikian, mereka memanjat atap dan menara istana untuk menyaksikan pertempuran itu.
Ketika Gajah Nàëàgiri melihat Buddha mendekat, ia berlari ke arah Buddha bagaikan gunung yang bergerak dengan belalai terangkat, kuping dan ekornya tegak, menakutkan orang-orang, menghancurkan rumah-rumah dan kereta menjadi berkeping-keping.
Ketika para bhikkhu melihat gajah itu berlari mendekat, mereka berkata kepada Buddha, “Buddha Yang Agung, Nàëàgiri yang 1805 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
ganas, liar, dan buas sedang berlari mendekat. Binatang ini tidak mengetahui sedikit pun hal baik mengenai Buddha, Dhamma, dan Saÿgha. Kami mohon Buddha Yang Agung, yang selalu berbicara benar untuk menghindar (menjauh dari jalan yang akan dilalui gajah itu).” Kemudian Buddha berkata, “Para bhikkhu! Jangan takut! Aku dapat menjinakkan Nàëàgiri.”
Kemudian Yang Mulia Sàriputta berkata, “Buddha Yang Agung, adalah kewajiban putra tertua untuk melayani ayahnya dalam hal apa pun juga. Izinkan aku menjinakkan gajah ini.” Tetapi Buddha menolak permohonannya dengan berkata, “Sàriputta, kekuatan seorang Buddha adalah satu hal dan kekuatan para siswa adalah hal lain. Engkau tidak perlu bersusah payah (untuk-Ku).” Banyak di antara delapan puluh Siswa Besar mengajukan permohonan yang sama tetapi Buddha tidak mengizinkan.

Cinta Kasih Thera ânanda Hingga Rela Mengorbankan Diri
Karena cinta kasihnya yang luar biasa terhadap Buddha, Thera ânanda tidak dapat menahan diri. Ia maju dan berdiri di depan Guru, dengan niat untuk mengorbankan dirinya demi Buddha dan membiarkan dirinya diinjak oleh gajah itu sampai mati. Buddha berkata, “Mundurlah, ânanda. Jangan berdiri di depan-Ku.” ânanda menjawab, “Buddha Yang Agung, gajah ini sangat ganas, liar, dan buas. Bagaikan api yang menghancurkan dunia, ia boleh mendatangi-Mu setelah menginjakku sampai mati.” Buddha membujuk Yang Mulia ânanda tiga kali tetapi ânanda tetap berdiri di depan Guru. Akhirnya dengan kekuatan-Nya Buddha menyingkirkan Thera ânanda dan memindahkannya di antara para bhikkhu.

Peristiwa Seorang Ibu dan Anaknya
Pada saat itu seorang ibu melihat gajah itu dan karena takut mati, ia melarikan diri, melepaskan anaknya dari pangkuannya dan meletakkan anaknya di atas tanah di antara Buddha dan gajah itu.
Nàëàgiri mengejar perempuan itu tetapi karena tidak mampu mendapatkannya, ia berbalik dan mendekati si anak. Anak itu 1806 Riwayat Agung Para Buddha
menggapai dan menangis keras-keras. Buddha memusatkan cinta kasih-Nya kepada gajah itu dan dengan suara merdu bagaikan raja brahmà, Beliau berkata:
“O Nàëàgiri, mereka memberikan enam belas kendi minuman keras kepadamu dan membuatmu mabuk bukan untuk menangkap makhluk lain tetapi untuk membunuh-Ku. Oleh karena itu, janganlah engkau mengganggu orang lain. Datanglah langsung kepada-Ku.”
Demikianlah Guru mengundang gajah itu.

Kekuatan Buddha
Mendengar suara merdu Buddha, Nàëàgiri yang liar itu membuka kedua matanya dan melihat tubuh agung Buddha. Ia terkesima dan karena pengaruh kekuatan Buddha, ia menjadi tenang dan menurunkan belalainya dan mengepakkan telinganya, ia mendekati Guru dan menekuk kakinya berlutut.
Kemudian Buddha berkata, “Nàëàgiri, engkau adalah seekor binatang dan Aku adalah seorang Buddha. Mulai saat ini, janganlah ganas, liar, dan buas. Berusahalah mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk.” Buddha merentangkan lengan kanan-Nya, dan menepuk kepala gajah itu, Beliau mengucapkan dua bait syair berikut:
Mà ku¤jara nàgamàsado
dukkhaÿ hi ku¤jara nàgamàsado.
Na hi nàgahatassa ku¤jara
sugati hoti ito paraÿ yato.
Mà ca mado mà ca pamàdo
na hi pamattà sugatiÿ vajanti te.
Tva¤¤’eva tathà karissasi
yena tvaÿ sugatiÿ gamissasi.
O! Gajah Nàëàgiri, jangan datang dengan niat membunuh, dengan 1807 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
keinginan untuk membunuh Buddha yang tidak pernah melakukan kejahatan. Mendekati Buddha dengan niat membunuh adalah kejahatan yang akan membawa menuju penderitaan. Tidak mungkin dapat memperoleh kelahiran yang baik di alam manusia atau dewa setelah meninggal dunia bagi mereka yang berniat melukai atau membunuh Buddha.
O! Gajah Nàëàgiri, jangan sombong. Jangan lengah akan Sepuluh Perbuatan Baik. Mereka yang lengah akan Sepuluh Perbuatan Baik tidak akan dapat memperoleh kelahiran yang baik di alam manusia dan dewa. Engkau harus melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk memastikan kelahiran kembali yang baik. (Dengan kata lain, engkau hanya dapat memperoleh kelahiran kembali yang baik dengan berlandaskan perbuatan-perbuatan baik.)
Gajah Nàëàgiri diliputi oleh kegembiraan. Jika ia bukan seekor gajah, ia pasti sudah mencapai Buah Sotàpatti di tempat itu juga.
Melihat keajaiban itu, orang-orang bersorak. Mereka bertepuk tangan dan dengan gembira melempar-lemparkan berbagai perhiasan mereka ke arah gajah itu sebagai hadiah. Perhiasan-perhiasan itu menutupi hampir seluruh tubuh gajah itu dan sejak saat itu ia dikenal dengan nama Dhanapàla. Pada saat gajah Dhanapàla dijinakkan oleh Buddha, delapan puluh empat ribu makhluk berkesempatan mencicipi Dhamma, sari keabadian.
Buddha membuat gajah itu mematuhi Lima Sãla (Pa¤ca Sãla). Gajah itu dengan lembut mengumpulkan debu di kaki Guru, dan menebarkannya di atas kepalanya kemudian mundur sambil berlutut. Ia melangkah mundur hingga lenyap dari pandangan Buddha dan setelah memberi hormat, ia masuk ke kandangnya. Sejak saat itu, ia menjadi gajah yang jinak dan baik serta tidak pernah menyakiti makhluk lain hingga akhir hidupnya.
Setelah keinginannya terpenuhi, Buddha bertekad agar semua perhiasan yang berserakan itu kembali kepada pemiliknya masing-masing. Guru berpikir, “Hari ini aku telah memperlihatkan keajaiban, maka tidaklah tepat jika Aku pergi ke kota untuk 1808 Riwayat Agung Para Buddha
mengumpulkan makanan.” Setelah menaklukkan para penganut pandangan salah, ia keluar dari Kota Ràjagaha dan kembali ke Vihàra Veëuvana, dikelilingi oleh para bhikkhu bagaikan seorang raja yang menang (pulang dari peperangan). Para penduduk mendatangi vihàra dengan membawa banyak makanan dan persembahan yang berlimpah. Mereka menyanyikan lagu berikut dengan gembira:
Daõóeneke damayanti,
aïkusehi kasàhi ca.
Adaõóena asatthena,
nàgo danto Mahesinà
“Para pelatih binatang melatih gajah-gajah, kuda dan sapi dengan memukul mereka keras-keras dengan menggunakan tongkat, tombak, gancu, dan rotan. Tetapi Buddha, menjinakkan Gajah Nàëàgiri tanpa menggunakan senjata yang menyakitkan dan melenyapkan kebuasannya dengan cinta kasih.”

Menurunnya Perolehan Devadatta
Usaha Devadatta dalam membunuh Buddha menuai kecaman dari banyak orang. Mereka menyalahkan Raja Ajàtasattu, dengan berkata, “Devadatta yang menyebabkan kematian Raja Bimbisàra kita. Devadatta yang mengirim para pembunuh. Dialah yang menjatuhkan batu; dan sekarang ia mengirim Gajah Nàëàgiri untuk membunuh Guru. Namun penjahat begitu diangkat sebagai guru oleh Raja Ajàtasattu yang selalu bepergian bersamanya.”
Ketika Raja Ajàtasattu mendengar kecaman banyak orang itu, ia memerintahkan untuk menarik persembahan rutin lima ratus kendi makanan kepada Devadatta dan ia berhenti mengunjungi mantan gurunya itu. Para penduduk juga, berhenti mempersembahkan makanan kepada Devadatta yang mengunjungi rumah mereka untuk mengumpulkan makanan.

Lima Permohonan Devadatta
Perolehannya semakin berkurang hari demi hari, Devadatta 1809 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
memutuskan untuk melakukan sesuatu yang luar biasa dan dramatis demi penghidupannya. Ia mendatangi Buddha dan berkata:
“Buddha Yang Agung, aku mohon agar Engkau menetapkan peraturan berikut bagi para bhikkhu:
(1) Semua bhikkhu harus menetap di pertapaan di dalam hutan seumur hidup. Seorang bhikkhu yang menetap di vihàra di dekat sebuah desa adalah pelanggaran.
(2) Semua bhikkhu hanya boleh memakan makanan yang diperoleh dari berkeliling mengumpulkan dàna makanan. Seorang bhikkhu yang menerima makanan yang dipersembahkan oleh umat awam setelah diundang adalah pelanggaran.
(3) Semua bhikkhu hanya mengenakan jubah yang terbuat dari kain rombeng. Seorang bhikkhu yang menerima jubah yang dipersembahkan oleh umat awam adalah pelanggaran.
(4) Semua bhikkhu harus berdiam di bawah pohon. Seorang bhikkhu yang berdiam di dalam vihàra yang beratap adalah pelanggaran.
(5) Semua bhikkhu harus menghindari memakan daging dan ikan. Seorang bhikkhu yang memakan daging atau ikan adalah pelanggaran.
Kemudian Buddha berkata, “Devadatta, permohonanmu tidaklah tepat (tidak beralasan), (1) para bhikkhu boleh menetap di pertapaan di dalam hutan atau di vihàra di dekat desa sesuai keinginan mereka. (2) para bhikkhu boleh memakan makanan yang diperoleh dari berkeliling mengumpulkan dàna makanan atau makanan yang dipersembahkan oleh umat awam setelah diundang. Mereka boleh makan dengan kedua cara tersebut yang mana pun yang mereka sukai. (3) para bhikkhu boleh memakai jubah yang terbuat dari kain rombeng atau jubah yang dipersembahkan oleh umat awam sesuai keinginan mereka. (4) Devadatta, Aku mengizinkan para bhikkhu berdiam di bawah pohon selama delapan bulan. (5) Aku mengizinkan para bhikkhu memakan daging atau ikan selama mereka tidak melihat atau mendengar atau mencurigai bahwa makhluk itu dibunuh untuk dijadikan makanan buat mereka.”1810 Riwayat Agung Para Buddha
(Ketika Devadatta mengajukan lima permohonan, Buddha segera mengetahui tujuannya yaitu menciptakan perpecahan di antara Saÿgha. Sebagai kelonggaran atas permohonan yang akan menghalangi kemajuan spiritual itu, Buddha menganggapnya tidak beralasan dan berkata bahwa seorang bhikkhu boleh menetap di pertapaan hutan jika ia menginginkannya, dan seterusnya.)
Sehubungan dengan hal ini, seorang bhikkhu yang baik harus memahami keinginan Buddha dan apa yang baik bagi dirinya sendiri.
(Menurut Buddha, terdapat empat jenis bhikkhu, yaitu, (a) bhikkhu yang menetap di hutan yang akan mencapai Jalan dan Buahnya dengan kekuatan fisik dan intelektualnya; (b) bhikkhu yang tidak dapat menetap di hutan karena kelemahan fisiknya dan yang hanya dapat memperoleh kemajuan spiritual jika ia melatih Dhamma di vihàra desa; (c) bhikkhu yang dapat memperoleh kamajuan spiritual baik di pertapaan hutan maupun di vihàra desa dengan kekuatan fisik dan kesabarannya. (d) bhikkhu (padaparama) yang tidak dapat memperoleh banyak kemajuan spiritual meskipun ia berlatih baik di dalam hutan ataupun di vihàra desa.
(a) Buddha menginginkan bhikkhu jenis pertama menetap di dalam pertapaan hutan. Pertapaan hutan adalah tempat tinggal yang tepat baginya dan dengan mengikuti teladan-Nya, siswa-siswa-Nya akan berkeinginan menetap di dalam hutan.
(b) Buddha menginginkan bhikkhu jenis kedua menetap di vihàra desa.
(c) Menurut Buddha, bhikkhu jenis ketiga seharusnya menetap di pertapaan hutan. Pertapaan hutan adalah tempat tinggal yang tepat baginya dan dengan mengikuti teladan-Nya, siswa-siswa-Nya akan berkeinginan menetap di dalam hutan.
(d) Sedangkan bagi bhikkhu (padaparama) yang tidak dapat memperoleh banyak kemajuan spiritual, Buddha menginginkannya agar menetap di pertapaan hutan. Latihan keras (dhåtaïga) dan meditasi di dalam pertapaan hutan akan membantunya mencapai Jalan dan Buahnya dalam kehidupan berikutnya dan ia akan menjadi teladan bagi para siswa-Nya.1811 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
(Demikianlah ketika Buddha mengatakan (1) para bhikkhu boleh menetap di vihàra di dekat desa sesuai keinginannya, yang Beliau maksudkan adalah (b) bhikkhu yang tidak dapat menetap di dalam hutan karena kelemahan fisiknya dan hanya dapat mencapai tujuan spiritualnya jika berlatih Dhamma di vihàra desa. Kelonggaran ini juga memungkinkan para bhikkhu lainnya untuk menetap di vihàra desa.)
(Jika Buddha menerima permohonan Devadatta, berarti tidak mempertimbangkan kemajuan spiritual dua jenis bhikkhu: (1) bhikkhu (b) yang lemah secara fisik dan (2) bhikkhu yang menetap di hutan pada usia muda tetapi tidak dapat menetap di sana pada saat usia lanjut karena kesehatannya yang menurun sehingga harus menetap di vihàra desa untuk mencapai tujuan spiritualnya. Karena alasan inilah Buddha menolak permohonan Devadatta.)

Devadatta Berusaha Menciptakan Perpecahan
Devadatta gembira ketika Buddha menolak lima permohonannya. Bersama pengikutnya Kokàlika, Kañamodaka Tissaka, putra Ratu Khaõóa, dan Samuddadatta, ia bangkit dan setelah memberi hormat kepada Buddha, mereka pergi. (Bhikkhu Kokàlika, putra Ratu Khaõóa Kañamodaka Tissaka dan Bhikkhu Samuddadatta adalah kepercayaan Devadatta.)
Kemudian Devadatta pergi bersama para pengikutnya ke Ràjagaha menyebarkan ajarannya. Mereka mengatakan kepada para penduduk bahwa Guru telah menolak apa yang menurut mereka adalah permohonan yang sangat beralasan karena Lima Sãla itu mengarah kepada ketidakmelekatan, dan seterusnya, dan mereka sebaliknya akan hidup dengan mematuhi Lima Sãla itu.
Para penduduk yang tidak berkeyakinan dan kurang cerdas memuji Devadatta dan mencela Buddha. Mereka yang berkeyakinan dan cerdas mengkritik Devadatta karena berusaha menciptakan perpecahan di dalam Saÿgha dan melangkahi kekuasaan Guru. Para bhikkhu yang mendengar kata-kata para penduduk itu juga 1812 Riwayat Agung Para Buddha
mengkritik Devadatta dan melaporkan hal itu kepada Buddha.
Kemudian Buddha melakukan sidang Saÿgha sehubungan dengan persoalan yang dilaporkan oleh para bhikkhu itu dan di hadapan para bhikkhu, Beliau bertanya, “Devadatta, benarkah bahwa engkau berusaha menciptakan perpecahan di dalam Saÿgha dan merusak kekuasaan Saÿgha?” Devadatta menjawab, “Benar, Yang Mulia!”
Kemudian Buddha menjawab:
“Devadatta, apa yang engkau lakukan adalah tidak pantas. Jangan mengharapkan perselisihan di dalam Saÿgha. Seseorang yang menciptakan perpecahan di dalam Saÿgha memikul tanggung jawab yang serius. Seseorang yang menyebabkan perpecahan di dalam Saÿgha yang bersatu melakukan kejahatan yang akan berakibat selama satu kappa penuh. Ia akan menderita di neraka selama satu kappa penuh.”
“Devadatta, seseorang yang memulihkan persatuan Saÿgha yang terpecah melakukan perbuatan baik dan menikmati kehidupan di alam dewa selama satu kappa penuh. Devadatta, apa yang engkau lakukan adalah tidak pantas. Jangan mengharapkan perselisihan di dalam Saÿgha. Seseorang yang menciptakan perpecahan di dalam Saÿgha memikul tanggung jawab yang serius.”
Walaupun Buddha memperingatkannya demikian. Devadatta masih tidak menyerah dalam usahanya menciptakan perpecahan. Keesokan harinya ia memutuskan untuk melakukan upacara uposatha dan Tindakan Saÿgha (Saÿgha Kamma) secara terpisah. Pagi harinya ia mendekati Yang Mulia ânanda yang datang ke Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, dan berkata, “ânanda, mulai hari ini, aku akan melakukan upacara uposatha dan Tindakan Saÿgha tanpa Buddha dan para bhikkhu-Nya.”
Ketika Yang Mulia ânanda melaporkan hal ini kepada Buddha, Buddha mengucapkan syair berikut:
Sukaraÿ sàdhunà sàdhu 1813 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
sàdhu pàpena dukkaraÿ.
Pàpaÿ pàpena sukaraÿ
pàpa mariyehi dukkaraÿ
”Adalah mudah bagi orang baik untuk melakukan kebajikan. Adalah sulit bagi orang jahat untuk melakukan kebajikan. Adalah mudah bagi orang jahat untuk melakukan kejahatan. Adalah sulit bagi orang baik untuk melakukan kejahatan.”

Perpecahan yang Diciptakan Oleh Devadatta
Kemudian pada hari uposatha, Devadatta bangkit dari tempat duduknya di antara para bhikkhu dan berkata bahwa Bhikkhu Gotama telah menolak lima permohonannya yang mengarah kepada ketidakmelekatan, dan seterusnya, bahwa mereka akan tetap menjalani Lima Sãla itu dan bahwa mereka yang menyukai sãla itu harus memihak kepada mereka. Pemungutan suara dilakukan dan lima ratus muda dari Negeri Vajjã yang menetap di Vesàlã, yang tidak memahami ajaran Vinaya memilih untuk menjalani sãla itu karena mereka berpikir bahwa sãla itu sesuai dengan Dhamma, Vinaya, dan ajaran Buddha. Devadatta membawa lima ratus bhikkhu itu dan pergi ke Gayàsãsa.

Kontribusi Dua Siswa Utama
Kemudian Yang Mulia Sàriputta dan Moggallàna, dua Siswa Utama mendatangi Buddha, kemudian Thera Sàriputta memberitahu Beliau mengenai perpecahan yang diciptakan oleh Devadatta dan kepergiannya ke Gayàsãsa bersama lima ratus bhikkhu. Buddha memarahi mereka karena tidak berwelas asih terhadap para bhikkhu muda itu dan menyuruh mereka untuk menyelamatkan para bhikkhu itu dari kehancuran spiritual. Kedua Thera itu berjanji untuk melaksanakannya dan setelah memberi hormat kepada Guru, mereka pergi ke Gayàsãsa.

Kekhawatiran Seorang Bhikkhu Muda
Kemudian seorang bhikkhu muda datang dan menangis di dekat 1814 Riwayat Agung Para Buddha
Buddha. Buddha bertanya kepadanya mengapa ia menangis. Bhikkhu itu berkata bahwa kedua Siswa Utama, Thera Sàriputta dan Thera Moggallàna telah pergi ke tempat Devadatta mungkin karena mereka lebih menyukai ajaran Devadatta. Kemudian Buddha berkata, “Bhikkhu, sama sekali tidak mungkin Sàriputta dan Moggàlana menyukai ajaran Devadatta. Sesunggunya, mereka pergi ke sana untuk memberikan Pencerahan kepada lima ratus bhikkhu muda yang menjadi pengikut Devadatta.”
Pada saat itu Devadatta sedang duduk membabarkan khotbah di tengah-tengah banyak pengikutnya. Ketika ia melihat kedua Thera mendekat dari jauh, ia berkata kepada para bhikkhu muda, “Para bhikkhu, lihatlah ke sana! Aku telah mengajarkan ajaranku dengan baik. Bahkan Siswa Utama Bhikkhu Gotama, Sàriputta dan Moggallàna lebih menyukai ajaranku dan mereka sekarang datang untuk bergabung denganku.”
Kemudian Bhikkhu Kokàlika (salah satu pemimpin kelompoknya) menperingatkan Devadatta, “Temanku Devadatta, jangan bergaul dengan Sàriputta dan Moggallàna. Mereka memiliki keinginan jahat dan mereka menuruti keinginan jahat mereka.” Tetapi Devadatta berkata, “Temanku, engkau tidak boleh berkata begitu. Kedatangan mereka adalah baik karena terdorong oleh penghargaan mereka atas ajaranku.”
Ketika kedua Thera itu sampai, Devadatta berkata, “Marilah Sàriputta, duduk di sini,” dan memberikan tempat duduknya kepada Thera itu. Tetapi Thera menolaknya dan duduk di tempat yang layak. Demikian pula dengan Thera Moggallàna.
Setelah membabarkan khotbah kepada para bhikkhu semalam suntuk, Devadatta berkata kepada Thera Sàriputta, “Temanku Sàriputta, para bhikkhu bebas dari kemalasan dan kelambanan. Engkau lanjutkanlah dengan khotbahmu tentang Dhamma. Leherku kaku dan kejang. Izinkan aku meluruskan punggungku.” (Di sini ia meniru Buddha dalam hal menyuruh Thera Sàriputta.) Thera Sàriputta menyetujui dan setelah menghamparkan jubah luarnya yang lebar dan berlapis empat, Devadatta berbaring di sisi kanan. 1815 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
Karena ia kelelahan, tidak waspada dan tidak cerdas, ia segera terlelap.
Kemudian Thera Sàriputta mengajar lima ratus bhikkhu muda itu pertama-tama dengan membuat mereka menyadari keadaan batin mereka sendiri (âdesanàpàñihàriya). Kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan Dhamma yang harus mereka hindari dan Dhamma yang harus mereka latih (Anusàsanã-pàñihàriya). Kemudian Thera Moggallàna mengajarkan pertama dengan memperlihatkan kesaktian (Iddhipàñihàriya) dan kemudian memberitahukan kepada mereka apa yang harus dihindari dan apa yang harus diikuti. Lima ratus bhikkhu muda itu akhirnya berhasil mencapai Buah Sotàpatti di tempat itu juga dan menjadi Sotàpanna Ariya.
Setelah lima ratus bhikkhu muda itu menjadi Ariya dalam Jalan Sotàpatti, Yang Mulia Sàriputta memberitahu mereka agar mereka kembali kepada Buddha dan mereka yang menyukai ajaran Guru boleh kembali bersama kedua Thera itu. Semua bhikkhu mengikuti kedua Thera dan melakukan perjalanan melalui angkasa, mereka sampai di Veëuvana.

Devadatta Muntah Darah
Setelah kedua Siswa Utama itu pergi bersama lima ratus bhikkhu muda, Kokàlika, guru salah satu aliran, membangunkan Devadatta dengan cara menendang dadanya dengan lututnya dan berkata, “Bangunlah Devadatta! Sàriputta dan Moggallàna telah mengambil alih para bhikkhu muda. Bukankah aku telah mengatakan kepadamu untuk tidak bergaul dengan Sàriputta dan Moggallàna, bahwa mereka memiliki keinginan jahat dan bahwa mereka menuruti keinginan jahat mereka?” Devadatta memuntahkan darah panas di tempat itu juga.

Jàtaka Sehubungan Dengan Devadatta
Ketika para bhikkhu di Vihàra Veëuvana melihat Yang Mulia Sàriputta datang melalui angkasa bersama lima ratus bhikkhu, mereka berkata kepada Buddha, “Buddha Yang Agung, ketika Yang Mulia Sàriputta 1816 Riwayat Agung Para Buddha
pergi ke Gayàsãsa, ia hanya disertai oleh Yang Mulia Moggallàna. Sekarang ia kembali dari sana bersama begitu banyak pengikut, sungguh agung.” Guru berkata, “Para bhikkhu, bukan hanya saat ini Sàriputta terlihat agung. Ketika ia kembali kepadaku sebagai seekor binatang pada kehidupan lampau, ia juga terlihat agung.” Dan Guru menceritakan Lakkhaõamiga Jàtaka seperti yang terdapat dalam Sãla Vagga dari Ekaka Nipàta. Kemudian ketika para bhikkhu melaporkan bahwa Devadatta meniru Buddha saat membabarkan khotbah bagaikan Buddha Yang Agung dengan dua Siswa Utama di sisi kanan dan kirinya, Guru berkata, “Para bhikkhu, bukan hanya dalam kehidupan ini; juga pada masa lampau, Devadatta mencoba meniru-Ku namun sia-sia.” Kemudian Buddha menceritakan kepada mereka kisah Viraka Jàtaka dari Nataÿdaëha Vagga, Duka Nipàta.
Juga pada keesokan harinya, Buddha menceritakan kisah Kandagalaka Jàtaka (Nataÿdaëha Vagga, Duka Nipàta), dan lain-lain sehubungan dengan Devadatta.)
Kemudian Sakuõa Jàtaka (1-Kaliïga Vagga, Catukka Nipàta) dikisahkan sehubungan dengan watak Devadatta yang tidak tahu berterima kasih.
Kemudian sehubungan dengan usaha Devadatta dalam membunuh Buddha, Beliau menceritakan Kuruïgamiga Jàtaka (3-Kuruïga Vagga, Ekaka Nipàta) dan lain-lain.
Kemudian suatu hari para bhikkhu sedang membicarakan tentang kejatuhan Devadatta dalam hal persembahan yang ia terima dari umat awam dan sehubungan dengan kehidupan spiritualnya, Buddha berkata, “Para bhikkhu, bukan hanya sekarang Devadatta mengalami kejatuhan. Ia juga mengalaminya pada masa lampau,” dan kemudian Beliau menceritakan kisah Ubhatobhaññha Jàtaka (Asampadàna Vagga, Ekaka Nipàta), dan lain-lain.
(Berikut ini adalah daftar singkat Jàtaka yang diceritakan oleh Buddha sehubungan dengan Devadatta:
(Ekaka Nipàta: Seriva Jàtaka, Lakkhaõa Jàtaka, Kuruïgamiga Jàtaka, 1817 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
Vànarinda Jàtaka, Tayodhamma Jàtaka, Sãlava Jàtaka, Saccaÿkira Jàtaka, Siïgàla Jàtaka, Dummedha Jàtaka, Asampadàna Jàtaka, Ubhatobhaññha Jàtaka, Siïgàla Jàtaka, Virocana Jàtaka, dan Sa¤jãva Jàtaka.)
(Duka Nipàta: Vinãlaka Jàtaka, Dubbhiyamakkaña Jàtaka, Maõicora Jàtaka, Vãraka Jàtaka, Kuruïgamiga Jàtaka, SuÿsuMàra Jàtaka, Kaõóalaka Jàtaka, Dhamma-dhaja Jàkata, Kàsàva Jàtaka, Cåëanandiya Jàtaka, Kumbhila Jàtaka, Upàhana Jàtaka, Mahàpiïgala Jàtaka, Sabbadàñhi Jàtaka, dan Guttila Jàtaka.)
(Tika Nipàta: Romaka Jàtaka dan Jambukhàdaka Jàtaka.)
(Catukka Nipàta: Sakuõa Jàtaka. Kakkàru Jàtaka, Kàëàbàhu Jàtaka, Jambuka Jàtaka, Vànara Jàtaka dan Khantivàdã Jàtaka.)
(Pa¤caka Nipàta: Cuëadhammapàla Jàtaka dan Sàëiya Jàtaka. (Sattaka Nipàta: Kapi Jàtaka dan Parantapa Jàtaka.)
(Aññhaka Nipàta: Cetiya Jàtaka.)
(Navaka Nipàta: Tittira Jàtaka.)
(Dasaka Nipàta: Nigrodha Jàtaka dan Kukkura Jàtaka.)
(Ekadasaka Nipàta: Dhammadevaputta Jàtaka.)
(Dvàdasaka Nipàta: Sammudavàõija Jàtaka.)
(Terasaka Nipàta: Amba Jàtaka dan Ruru Jàtaka.)
(Pakiõõaka Nipàta: Candakinnarã Jàtaka.)
(Vãsati Nipàta: Sattigumba Jàtaka, Somanassa Jàtaka.)1818 Riwayat Agung Para Buddha

Hari-hari Terakhir Devadatta
Demikianlah, ketika menetap di Ràjagaha, Buddha menceritakan banyak kisah Jàtaka sehubungan dengan Devadatta dan kemudian Buddha pergi ke Sàvatthã dan berdiam di Vihàra Jetavana.
Karena menderita sakit selama sembilan bulan, Devadatta berkeinginan menjumpai Buddha di saat-saat terakhir. Ia meminta murid-muridnya membawanya menjumpai Buddha. Tetapi murid-muridnya berkata, “Engkau memusuhi Buddha saat engkau masih sehat. Kami tidak berani membawamu menjumpai-Nya sekarang.” Kemudian Devadatta berkata, “Murid-muridku, jangan menghancurkan aku. Sebenarnya, akulah yang benci dan dendam kepada Buddha. Beliau tidak sedikit pun membenciku.”
Vadhake Devadattamhi,
core Aïgulimàlake.
Dhanapàle Ràhule ca,
sabbattha samamànaso.
Saudara (sepupu)-ku Buddha selalu baik terhadap saudara ipar-Nya Devadatta yang berniat membunuh-Nya, terhadap Aïgulimàla, si perampok yang menghias dirinya dengan seribu jari tangan, terhadap Nàëàgiri, si gajah buas, yang kemudian bernama Dhanapàla, terhadap putranya sendiri Ràhula, dan terhadap semua makhluk.
“Bawalah aku sekarang ke saudaraku, Buddha Yang Mulia.”
Demikianlah Devadatta terus-menerus memohon kepada mereka agar dibawa menjumpai Guru. Kemudian murid-muridnya membaringkannya di atas sebuah dipan dan membawanya ke Sàvatthã tempat Buddha menetap.
Ketika para bhikkhu mendengar berita kedatangan Devadatta, mereka melaporkannya kepada Buddha. Buddha berkata, “Para bhikkhu, Devadatta tidak akan berkesempatan menjumpai-Ku dalam kehidupan ini.”1819 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
(Adalah wajar bahwa Devadatta tidak berkesempatan menjumpai Buddha sejak saat ia mengajukan lima permohonan.)
Di mata para bhikkhu biasa, Devadatta sedang dalam perjalanan menuju Sàvatthã untuk menjumpai Buddha. Buddha berkata, “Devadatta tidak akan dapat menjumpai-Ku dalam kehidupan ini dalam keadaan apa pun walaupun Aku tetap di sini.” Para bhikkhu terheran dan mereka tidak mengetahui apa yang mendasari kata-kata Buddha itu. Oleh karena itu mereka terus-menerus memberitahukan kepada Buddha mengenai kedatangan Devadatta pada setiap tempat. Tetapi Buddha tetap menegaskan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta, “Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat menjumpai-Ku.”
Tetapi dari waktu ke waktu para bhikkhu melaporkan perkembangan perjalanan Devadatta dengan mengatakan bahwa Devadatta sekarang berada satu yojanà jauhnya dari Sàvatthã. Bahwa ia sekarang berada satu gàvuta jauhnya, bahwa ia berada di dekat kolam di dekat Vihàra Jetavana. Akhirnya Buddha berkata, “Devadatta tidak akan dapat menjumpai-Ku bahkan jika ia masuk ke dalam Vihàra Jetavana.”

Devadatta Ditelan Bumi
Murid-murid yang membawa Devadatta meletakkan dipan itu di tepi kolam di dekat Vihàra Jetavana dan masuk ke dalam kolam untuk mandi. Devadatta duduk di atas dipan dan meletakkan kakinya di atas tanah. Kemudian kakinya terbenam tanpa dapat dicegah. Ia terus terbenam, bagian-bagian tubuhnya terbenam satu demi satu, mata kaki, lutut, pinggang, dada, dan leher, dan bumi ini menelannya dengan rakus hingga ke rahangnya saat ia mengucapkan syair berikut:
Imehi aññhãhi tamaggapuggalaÿ
devàtidevaÿ naradammasàrathiÿ.
Samantacakkhuÿ satapu¤¤alakkhaõaÿ
pàõehi Buddhaÿ saraõaÿ upemi.1820 Riwayat Agung Para Buddha
“Aku, Devadatta, di atas dipan kematianku berlindung di dalam Buddha Yang Mulia dengan tulang-belulang dan daya hidup ini yang hampir habis. Dengan kesadaran, batin yang gembira dan mulia yang terdorong oleh tiga kondisi akar mulia (aku berlindung di dalam Buddha Yang Mahatahu, makhluk teragung di dunia, Guru Yang Maha Melihat yang mampu menertibkan makhluk-makhluk dan yang memiliki tiga puluh dua tanda-tanda mulia seorang manusia luar biasa karena kebajikannya yang tidak terhitung.”)
(Karena Buddha meramalkan bahwa Devadatta akan menyesal dan bertobat maka Buddha menahbiskannya. Bahkan jika ia tidak menjadi seorang bhikkhu, ia akan tetap melakukan kejahatan kejam yang sama sebagai seorang orang awam dan kemudian ia tidak akan dapat melakukan kebajikan yang kelak membantunya dalam mencapai kebebasan dari saÿsàra.)
(Buddha mengetahui bahwa setelah ditahbiskan, Devadatta akan melakukan dua kejahatan besar, menyebabkan tumpahnya darah Buddha dan menciptakan perpecahan di dalam Saÿgha dan kemudian ia akan melakukan kebajikan yang akan membebaskannya dari saÿsàra. Maka Buddha menahbiskannya. Sesungguhnya karena kebajikannya ini, Devadatta akan menjadi seorang Pacceka Buddha bernama Aññhissara setelah seratus ribu kappa.)

Penderitaan Devadatta di Neraka Avãci
Setelah mengucapkan syair tersebut Devadatta terbenam ke dalam bumi dan terlahir kembali di Neraka Avãci. Sepertinya ia akan mengalami penderitaan yang tidak tergoyahkan di neraka itu karena ia telah melakukan kesalahan terhadap Buddha yang tidak tergoyahkan. Di Neraka Avãci yang luasnya seratus yojanà, tubuh Devadatta tingginya seratus yojanà. Kepalanya berada di dalam panci besi panas hingga kedua telinganya. Kedua kakinya berada di dalam panci besi panas itu hingga ke mata kakinya. Ia direbus dalam posisi berdiri menghadap ke timur. Sebatang besi pancang seukuran pohon kelapa mencuat dari sebelah barat panci neraka itu dan menusuk tepat di tengah-tengah punggungnya dan menembus hingga tengah-tengah dadanya mengarah ke sebelah timur panci 1821 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
neraka itu. Sebatang besi pancang yang lain muncul dari sebelah selatan panci neraka, menembus dari sisi kanan Devadatta dan keluar dari sisi kirinya mengarah ke sebelah utara panci neraka itu. Sebatang besi pancang lagi muncul dari atas panci neraka, menembus dari kepalanya dan keluar ke lantai besi di bawah panci besi. Demikianlah Devadatta direbus tidak dapat bergerak di dalam Neraka Avãci.
(Mengenai Neraka Avãci ini: di alam ini (1) para penghuni neraka ini berdesak-desakan tanpa adanya ruang kosong di antara mereka; (2) api neraka menyala terus-menerus membakar seluruh alam, tanpa sisa; (3) para penghuni tidak mendapat waktu istirahat atas penderitaan yang mereka alami. Mereka harus mengalami penderitaan sepanjang waktu. Demikianlah, karena tidak adanya ruang kosong di antara para penghuni, atau api neraka yang tidak pernah berhenti membakar dan penderitaan yang tidak ada akhirnya, neraka ini disebut Neraka Besar Avãci.)

Kisah Jàtaka Setelah Kematian Devadatta
Setelah Devadatta ditelan bumi, topik pembicaraan di antara para bhikkhu adalah ketidakmampuan Devadatta melihat Buddha walaupun ia telah bersusah payah melakukan perjalanan sejauh empat puluh lima yojanà untuk tujuan itu. Buddha berkata bahwa Devadatta juga ditelan bumi dalam kehidupan lampaunya, Beliau menceritakan kisah Gajah Sãlava. Ketika Bodhisatta terlahir sebagai seekor Gajah Sãlava, ia mengangkat seseorang yang tersesat ke atas punggungnya dan membawanya ke tempat yang aman. Tetapi orang itu datang kembali tiga kali untuk memotong gadingnya, dan ketika ia kembali untuk ketiga kalinya untuk mengambil bagian terakhir dari gadingnya, ia ditelan bumi segera setelah ia lenyap dari pandangan Bodhisatta. Orang itu, seorang pemburu bernama Mittadubbhi kelak menjadi Devadatta. (2-Sãlava Jàtaka, Varuõa Vagga, Ekaka Nipàta.)
Kemudian Buddha menceritakan kisah Khantivàdã Jàtaka (Pucimanda Vagga, Catukka Nipàta) untuk menjelaskan bagaimana Raja Kalàbu (Devadatta) dimangsa bumi ketika ia berbuat kesalahan terhadap 1822 Riwayat Agung Para Buddha
Bodhisatta Petapa Khantivàdi. Buddha juga menceritakan kisah Cåëàdhammapàla Jàtaka (Maõikuõóala Vagga, Pa¤caka Nipàta) mengenai bagaimana Raja Mahàpatàpa (Devadatta) ditelan bumi setelah berbuat jahat terhadap putranya sendiri Cåëadhammapàla yang adalah Bodhisatta.
Setelah kematian Devadatta, para penduduk bergembira. Mereka memasang segala jenis bendera dan pohon pisang, dan lain-lain, meletakkan kendi-kendi yang penuh air dan merayakan kebebasan mereka dari Devadatta. Ketika berita ini disampaikan oleh para bhikkhu kepada Buddha, Beliau berkata bahwa pada masa lampau juga, kematian Devadatta menggembirakan banyak orang. Untuk menjelaskan, Buddha menceritakan Mahà Piïgala Jàtaka (9-Upàhana Vagga, Duka Nipàta) mengenai bagaimana orang-orang bergembira atas kematian raja jahat Piïgala di Vàràõasã.
Para bhikkhu bertanya kepada Buddha tentang kelahiran berikut Devadatta. Buddha berkata bahwa ia terlahir kembali di Neraka Avãci. Para bhikkhu berkata, “Buddha Yang Agung, Devadatta harus mengalami penderitaan dalam kehidupan ini dan sekarang di akhir hidupnya ia juga harus terlahir kembali di alam sengsara.”
Kemudian Buddha berkata, “Ya, para bhikkhu, itu benar. Semua makhluk, apakah bhikkhu atau kaum awam yang tidak waspada dalam hal kebajikan harus mengalami penderitaan dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang.” Kemudian Buddha mengucapkan syair berikut:
Idha tappati pecca tappati
pàpakàrã ubhayattha tappati.
Pàpaÿ me katanti tappati
bhiyyo tappati duggatiÿ gato.
Para bhikkhu, orang yang melakukan kejahatan harus menderita akibat dari perbuatan jahatnya. Ia harus mengalami penderitaan dalam kehidupan ini dan kehidupan berikutnya. Terketuk oleh kesadarannya, ‘Aku telah melakukan kejahatan’, ia harus mengalami kesedihan dalam kehidupan ini. Ketika terlahir kembali di alam 1823 Tinggi Badan Buddha Diukur Oleh Seorang Brahmana
rendah (setelah kematiannya) ia harus mengalami kesedihan luar biasa akibat perbuatan jahatnya.’
Pada akhir khotbah itu, banyak makhluk itu menjadi Sotàpanna Ariya, dan seterusnya. Khotbah itu bermanfaat bagi banyak makhluk.

Dikutip Dari Buku Riwayat Agung Para Buddha (The Great Chronicle of Buddhas),
Halaman 1783-1823, oleh
Tipitakadhara Mingun Sayadaw
Bagi yang ingin mendapatkan buku ini dan/atau mendanai
proyek Dhammadàna berikutnya, silakan menghubungi:
Ehipassiko Foundation & Giri Maïgala Publications
081519656575, ehipassikofoundation@gmail.com, www.ehipassiko.net