Check out the Latest Articles:

Sabtu, 01 Oktober 2011

Kamma Atau Hukum Sebab Akibat

Kamma Atau Hukum Sebab Akibat

oleh: Ven. Nârada Mahâthera

Sumber Asli: Karya Tulis Ven.Nârada Mahâthera berjudul BUDDHISM IN A NUTSHELL

Dunia telah membuktikan kenyataan yang telah kita lihat ketidak-seimbangan itu. Kita menyaksikan perbedaan-perbedaan berbagai macam jalan kehidupan serta tingkah Iaku makhluk-makhluk yang hidup di alam semesta. Kita dapat melihat seseorang dilahirkan dalam keadaan berlebihan, dikaruniai dengan pikiran, kepribadian dan tubuh yang sempurna; sedangkan orang lain dilahirkan dalam keadaan sengsara dan menyedihkan. Bisa terjadi orang yang bajik dan saleh selalu bernasib buruk. la tetap miskin dan sengsara meskipun ia selalu berlaku jujur dan bajik. Sebaliknya, ada orang lain yang berwatak jahat, kejam dan korup, tetapi selalu mujur, dikaruniai dengan segala bentuk kesenangan.

Timbul berbagai pertanyaan dalam diri kita, mengapa seseorang mempunyai kedudukan rendah, sedang orang lain mempunyai kedudukan mulia? Mengapa seseorang harus direnggut dari tangan ibu yang penuh kasih sayang sewaktu ia masih kanak-kanak, sedangkan orang lain meninggal dalam usia remaja atau pada usia delapan puluh atau seratus tahun? Mengapa seseorang memiliki fisik lemah dan berpenyakitan, sedang orang lain memiliki tubuh yang kuat dan sehat? Mengapa seseorang berwajah tampan, dan orang lain berwajah buruk, menakutkan, sehingga orang lain ngeri dan takut melihatnya? Mengapa seseorang dibesarkan dalam kemewahan, sedang orang lain dibesarkan dalam kemiskinan dan kesengsaraan? Mengapa seseorang terlahir sebagai jutawan, sedang orang lain terlahir sebagai pengemis? Mengapa seseorang memiliki kecerdasan luar biasa, sedang orang lain begitu tolol? Mengapa seseorang terlahir dengan sifat saleh, sedangkan orang lain terlahir dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal? Mengapa ada orang yang berbakat sebagai ahli bahasa, artis, ahli matematika atau ahli musik sejak lahir? Mengapa ada orang yang buta, tuli dan cacat sejak lahirnya, Mengapa? Inilah beberapa pertanyaan yang membingungkan orang-orang. Bagaimana kita harus menerangkai "ketidak-adilan" dunia, perbedaan-perbedaan di antara umat manusia ini? Apakah semua fenomena îtu tefjadi secara kebetulan?

Dalam dunia ini tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Menyatakan bahwa sesuatu terjadi secara kebetulan adalah sama salahnya dengan menyatakan buku ini ada dengan sendirinya tanpa ada faktor-faktor lain sebelumnya. Sesungguhnya, tak ada sesuatu yang terjadi pada manusia tanpa alasan dan yang tidak dikehendaki.

Apakah hal-hal ini disebabkan oleh sesuatu makhluk yang tak bertanggung jawab?

Huxley menulis: "Apakah kita berpendapat bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengatur keadaan alam semesta yang menakjubkan ini, maka dalam pengertianku ia tidak dapat disebut murah hati dan adil, melainkan kejam dan tidak adil".

Menurut Einstein: "Bila makhluk adikodrati ini maha kuasa, maka setiap kejadian, termasuk setiap perbuatan, pikiran, perasaan dan aspirasi manusia juga merupakan karyanya; lalu bagaimana manusia harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan dan pemikiran-pemikiran mereka di hadapan makhluk maha kuasa seperti itu? Sewaktu memberi hukuman dan anugrah, ia sedikit banyak juga harus mengadili dirinya sendiri. Lalu bagaimana hal ini dapat dikaitkan dengan kebajikan dan keadilan yang dianggap berasal dari dirinya?"

"Menurut asas-asas theologie, manusia diciptakan bukan atas dasar keinginannya sendiri, dan untuk selamanya ia mulia atau celaka. Dengan begitu, sejak awal dalam proses penciptaan fisiknya sampai saat kematiannya, manusia itu dapat baik atau jahat, beruntung atau celaka, mulia atau hina, tanpa menghiraukan akan keinginan-keinginan, harapan-harapan, cita-cita, usaha-usaha ataupun doa sujudnya. Inilah fatalisme theologi". (Spencer Lewis)

Sebagaimana Charles Bradlaugh mengatakan: "Adanya keburukan merupakan suatu penghalang yang menakutkan bagi ajaran theis. Penderitaan, kesengsaraan, kejahatan, kemiskinan bertolak belakang dengan penganjur kebaikan abadi dan berlawanan dengan pernyataannya akan kemampuan dirinya sebagai dewa serba baik, serba bijaksana, dan serba kuasa".

Menurut Schopenbauer: "Barangsiapa menganggap dirinya berasal dari ketiadaan, maka ia juga harus berpikir bahwa ia akan kembali ke ketiadaan itu lagi; Suatu kekekalan telah lewat sebelum ia ada dan kekekalan kedua telah dimulai, yang melaluinya ia tidak akan pernah berakhir adalah suatu pemikiran yang menakutkan".

"Bila kelahiran adalah permulaan yang mutlak, maka kematian seharusnya akhir yang mutlak pula. Anggapan bahwa manusia berasal dari ketiadaan pasti akan membawa pada anggapan bahwa kematian adalah akhir yang mutlak".

Memberikan komentar terhadap penderitaan manusia dan dewa pencipta, Prof.J.B.S. Haldane menulis: "Kalau bukan penderitaan yang diperlukan untuk menyempurnakan sifat manusia, tentu dewa pencipta itu tidak maha kuasa. Teori yang pertama tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, sebagian orang yang hanya sedikit sekali menderita namun beruntung dalam keturunan dan pendidikan terbukti mempunyai sifat yang baik. Keberatan terhadap teori yang kedua adalah bahwa hal itu hanya berkenaan dengan alam semesta secara keseluruhan dan bahwasanya terdapat suatu kekosongan intelektual yang harus diisi dengan mendalilkan seorang dewa. Dan barangkali seorang pencipta dapat menciptakan apa saja yang dia inginkan".

Lord Russell menyatakan: "Sebagaimapa diceritakan kepada kita, dunia diciptakan oleh seorang dewa yang baik dan maha kuasa. Sebelum dia menciptakan dunia, ia telah melihat seluruh penderitaan dan kesengsaraan yang akan terjadi di dalamnya. Karenanya, ia bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Adalah suatu hal yang sia-sia memperdebatkan bahwa penderitaan dalam dunia disebabkan oleh dosa. Bila dewa pencipta itu telah mengetahui sebelumnya akan dosa yang bakal dilakukan umat manusia, maka jelas ia bertanggung jawab akan akibat-akibat dosa itu.

Mungkinkah segala perbedaan yang ada pada manusia ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan? Kita harus mengakui bahwa semua fenomena fisik-kimiawi yang diungkapkan oleh para ilmuwan, sebagian adalah sebagai faktor pembantu, tetapi tidak seluruhnya mutlak bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan besar yang terdapat di antara individu-individu. Lalu mengapa ada anak kembar yang memiliki tubuh serupa, mewarisi gen yang sejenis, menikmati kesempatan asuhan yang sama, seringkali memiliki watak, moral dan kecerdasan yang sangat berbeda?

Keturunan saja tidak dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan yang besar ini. Sesungguhnya, faktor keturunan lebih masuk akal atas persamaan-persamaan mereka daripada atas perbedaan-perbedaan. Benih fisik-kimiawi dengan panjangnya kira-kira sepertiga-puluh inci yang diwarisi dari orang tua, hanya menerangkan satu bagian dari manusia, yaitu dasar fisiknya. Mengenai perbedaan-perbedaan batin, intelektual dan moral yang jauh lebih kompleks dan halus itu diperlukan penerangan batin yang lebih dalam. Teori keturunan tidak dapat memberikan suatu jawaban yang memuaskan tentang lahirnya seorang kriminal dalam sebuah keluarga yang mempunyai leluhur terhormat atau kelahiran seorang suci atau mulia dalam sebuah keluarga yang memiliki reputasi jelek dan tentang lahirnya seorang tolol, manusia genius dan guru-guru besar. Menurut agama Buddha, perbedaan-perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh kamma kita sendiri, atau dengan kata lain, disebabkan oleh akibat dari perbuatan lampau kita dan perbuatan-perbuatan kita sekarang. Kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kita. Kita membangun penjara kita sendiri. Kita adalah arsitek dari nasib kita sendiri. Singkatnya, diri kita merupakan akibat dari kamma kita sendiri.

Bagaimana kita bisa mempercayai semua ini, dengan perbedaan berdasarkan hukum sebab akibat atau sebagai hasil dari bibit Kammanya sendiri. Di sinilah Sang Buddha tidak memaksa supaya kita percaya. Hhal ini malah kita diminta untuk datang dan buktikan terlebih dahulu. Semua hal ini bagaikan Beliau menerangkan masalah Bakteri, Virus dan sebagainya. Kita bisa membuktikan adanya mereka dengan melihat dan menyaksikan sendiri dengan menggunakan mikrokop elektron. Kalau kita ingin melihat dengan mata daging ini sudah pasti Hukum Kamma yang begitu rumit dan susah dilihat akibatnya. Tetapi semua ini telah dibuktikan kebenarannya itu oleh para Suciwan. Dengan kekuatan batin yang tenang didalam Jhana IV. Jadi secara tegas siapapun yang mampu mencapai Jhana IV. Mereka pasti bisa membuktikan kebenaran itu.

Pada suatu ketika, seorang pemuda bernama Subha datang menemui Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau, "Mengapa dan apa sebabnya di antara umat manusia ada yang memiliki keadaan rendah dan ada yang memiliki keadaan mulia? Mengapa ada manusia yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang, ada yang sehat dan ada yang berpenyakitan, ada yang berwajah tampan dan ada yang berwajah buruk, ada yang berkuasa dan yang tertindas, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang hina dan ada yang mulia, ada yang bodoh dan ada yang bijaksana?"

Sang Buddha menjawab: "Semua makhluk memiliki kammanya sendiri, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, terlindung oleh kammanya sendiri. Kammalah yang membuat semua makhluk menjadi berbeda, hina atau mulia".

Selanjutnya Sang Buddha menerangkan sebab perbedaan-perbedaan tersebut sesuai dengan hukum Sebab Akibat.

Dari sudut pandangan agama Buddha, perbedaan-perbedaan batin, intelektual, moral dan watak kita sekarang, pada prinsipnya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kita sendiri yang dilakukan di waktu lampau dan di waktu sekarang.

Secara harfiah kamma berarti perbuatan, tetapi, dalam pengertian mutlaknya kamma berarti kehendak. Kamma ada yang baik (Kusala Cetana) dan yang buruk (Akusala Cetana). Perbuatan baik akan membuahkan kebaikan. Perbuatan jahat akan membuahkan kesedihan. Inilah hukum kamma.

Kita memetik apa yang kita tanam. Kita adalah akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau; kita akan menjadi akibat dari apa yang kita lakukan sekarang, tetapi kita tidak mutlak hanya merupakan akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau; kita tidak mutlak hanya menjadi akibat dari apa kita lakukan sekarang. Misalnya seorang kriminal mungkin saja dapat menjadi orang suci di kemudian hari dan sebaliknya.

Agama Buddha mengkaitkan perbedaan ini dengan kamma, tetapi tidak menyatakan bahwa segala sesuatu disebabkan oleh kamma saja. Apabila segala sesuatu disebabkan oleh kamma, maka seorang penjahat akan selamanya menjadi jahat, karena kammanya yang menjadikan dirinya jahat. Orang tidak perlu memeriksakan dirinya ke dokter untuk disembuhkan penyakitnya, karena bila kammanya memang harus demikian ia akan sembuh dengan sendirinya.

Menurut agama Buddha, terdapat lima hukuman atau proses (niyama) yang berlaku dalam alam mental dan fisik, yaitu:

1. Kamma niyâma atau hukum sebab dan akibat: perbuatan baik dan buruk menghasilkan akibat-akibat yang sesuai.
2. Bija niyâma atau hukum benih (hukum fisik organik); beras dîhasilkan dari padi, gula dihasilkan dari tebu atau madu, dan lain-lain. Teori ilmiah tentang sel-sel dan gen-gen (plasma pembawa sifat) dan kemiripan fisik anak kembar dapat dianggap berasal dari hukum ini.
3. Utu niyâma atau hukum fisik (inorganik), yaitu fenomena angin dan hujan menurut musim.
4. Citta niyâma atau hukum pikiran (hukum psikis), yaitu proses-proses kesadaran (citta vitthi), kekuatan pikiran dan lain-lain.
5. Dhamma niyâma atau hukum alam, yaitu: fenomena alam yang terjadi pada saat kedatangan Bodhisatta pada kelahiran terakhir, gaya tarik bumi, dan lain-lain.

Setiap fenomena mental dan fisik dapat diterangkan dengan lima hukum serba-lengkap ini, atau proses yang merupakan hukum itu sendiri.

Karena itu, kamma hanyalah merupakan salah satu dari lima hukum yang berlaku dalam alam semesta. Kamma adalah hukum itu sendiri, tetapi dengan demikian tidak berarti harus ada seseorang pemberi hukum. Kamma bekerja dalam bidangnya sendiri tanpa campur tangan atau pengaruh dari apapun.

Misalnya, tak ada orang yang memutuskan bahwa api itu harus membakar. Tak ada orang yang memerintahkan bahwa air harus mencari permukaan yang rendah. Tak ada ilmuwan yang memerintahkan bahwa air harus terdiri dari H20 dan sifat dingin harus menjadi salah satu sifatnya. Kamma bukanlah nasib atau takdir yang ditimpakan pada kita oleh kekuatan misterius yang tak dikenal, kepada siapa kita harus menyerahkan diri kita tanpa daya. Perbuatan seseorang sendirilah yang memberi akibat pada dirinya, sehingga dengan demikian ia mempunyai suatu kemungkinan untuk membelokkan jalannya kamma sampai taraf tertentu. Berapa jauh ia dapat membelokkannya tergantung pada
usaha dirinya sendiri.

Perlu diingatkan di sini, bahwa fraseologi seperti anugrah dan hukuman jangan dimasukkan dalam pembicaraan mengenai kamma. Kamma dalam agama Buddha tidak mengakui dewa Maha Kuasa yang memerintah warganya dan memberikan anugrah atau hukuman. Umat Buddha percaya bahwa kesedihan dan kebahagiaan yang dialami seseorang merupakan akibat wajar dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya sendiri. Di sini perlu dinyatakan bahwa kamma memiliki dua prinsip, kelangsungan dan balas jasa.

Sifat yang terdapat dalam hukum kamma adalah kemampuan yang menghasilkan akibat sebagaimana mestinya. Sebab menghasilkan akibat; akibat menerangkan sebab. Benih menghasilkan buah; buah menghasilkan benih, karena keduanya saling berhubungan. Begitu juga, kamma dan akibatnya saling berhubungan; "akibat berkembang di dalam sebab".

Seorang umat Buddha yang benar-benar yakin akan kamma tak akan berdoa pada makhluk lain untuk diselamatkan, tetapi dengan penuh keyakinan ia bergantung pada dirinya sendiri untuk mencapai kesuciannya, karena hukum kamma mengajarkan tanggung jawab pribadi.

Ajaran kamma inilah yang memberi hiburan, harapan, kepercayaan pada diri sendiri dan keberanian moral. Keyakinan dalam hukum kamma inilah "yang mengabsahkan usaha, mengobarkan semangat, untuk selalu berbuat bajik, toleran dan berbati-hati". Keyakinan yang teguh dalam ajaran hukum kamma ini juga mendorong untuk berbuat baik dan menjadi orang baik tanpa merasa takut akan hukuman atau tergoda oleh anugerah apapun. Ajaran kamma inilah yang dapat menerangkan persoalan-persoalan mengenai penderitaan, misteri yang dinamakan nasib atau takdir dalam ajaran-ajaran lain dan terpenting adalah menerangkan "ketidak-samaan di antara umat manusia".

Kamma dan tumimbal lahir diterima sebagai dalil.***


Sumber:

INTISARI AGAMA BUDDHA; Nârada Mahâthera; Sangha Theravada Indonesia.

Pandangan Kaum Buddhis Tentang Keadaan Pada Jaman Sekarang

Pandangan Kaum Buddhis Tentang Keadaan Pada Jaman Sekarang

oleh: Narada Mahathera

Sumber Asli: BUDDHIST VIEW ABOUT CONTEMPORARY CONDITIONS; Dharmasantosa V. (alih-bahasa)

Dunia yang telah jemu dengan perang serta selalu bergolak ini tampaknya sudah hampir berantakan, walaupun tidak dapat diragukan lagi, telah hampir mencapai titik puncak dari kemajuan materiil. Ketidak-aslian dari orang-orang modern telah menciptakan keajaiban-keajaiban dalam segala suasana kehidupan, kecuali barangkali saja, di dalam lingkup moral. Jarang sekali, apabila memang pernah, kita mendengar tentang orang-orang suci dari agama apapun pada jaman sekarang ini.

Sebaliknya, para ilmuwan, telah mengalami kemajuan yang sangat menakjubkan dalam masing-masing bidangnya dan bahwasanya beberapa dari mereka telah mencapai kemajuan sedemikian pesatnya sehingga menyebabkan keruigian-kerugian yang tidak dapat diperbaiki kepada berjuta-juta kaum lelaki, wanita dan kanak-kanak. Bom-bom biasa yang berjatuhan dari langit menjadi barang kuno. Dampak sesudah dijatuhkannya bom atom hingga saat ini masih saja menghantui pikiran kita yang penuh kasih sayang. Bom-bom hidrogen serta bom-bom perang sudah siap untuk digunakan pada saat yang tepat. Sangat diragukan apakah kita akan selamat dari akibat penghancuran tersebut, terutama dari bom-bom baru yang masih akan dihasilkan atau ditemukan itu.

Para pemimpin militer yang berpikiran materialistis, sebaliknya mungkin disebabkan oleh keserakahan mereka untuk mendapatkan kekuasaan serta kebanggaan kedudukan, telah mengorbankan hal yang paling berharga di dunia —kehidupan— altar bagi kekuatan kejam demi untuk mencapai wibawa pribadi atau untuk hal-hal kecil yang sepele.

Sebagai akibat dari situasi menyedihkan di dunia ini, anak-anak kaum miskin dan yang tak berdayalah yang paling menderita; anak-anak yang hebat akan musnah pada waktu-waktu masih "muda", sedangkan "malaikat maut" akan memperoleh keuntungan dari kemenangan, kematian dan kehidupan.

Sementara konperensi-konperensi perdamaian, kongres dunia tentang kepercayaan dan lain sebagainya telah diselenggarakan, yaitu yang didorong oleh prinsip-prinsip tinggi, negara-negara besar maupun kecil mempersenjatai diri sendiri kuat-kuat, saling curiga dan saling menyegani satu sama lainnya.

Para sponsor serta pemimpin tanpa pamrih dari konperensi-konperensi perdamaian sudah barang tentu mendapatkan salam hangat terhadap usaha-usaha keras mereka untuk membangun dunia damai, dan bahagia bagi umat manusia. Tetapi manusia torgoda untuk bertanya apakah konperensi-konperensi perdamaian ini, amanat-amanat yang penuh inspirasi, serta naskah-naskah menggiurkan akan meninggalkan kesan pada pemerintah dari berbagai bangsa serta pada orang-orang yang menguasai atau mengontrol kehidupan dari orang-orang lain, atau apakah mereka itu akan dapat menyajikan suatu tujuan praktis. Apakah protes-protes yang dibuat oleh sejumiah kecil orang yang bermaksud baik di dalam ruangan terpencil akan mendatangkan hasil yang dapat diterima dengan senang hati atas kekuatan-kekuatan agresif yang militant —baik secara politis maupun religius— yang menghayati peraturan dunia ini bukan dengan cinta kasih dan kebenaran, tetapi dengan kekuatan dan kedigjayaan?

Siapakah yang harus disalahkan dengan keadaan yang patut disayangkan ini, di dalam dunia penuh kebohongan ini?

Tak seorangpun kecuali diri orang itu sendiri. Manusia membuat sorganya sendiri; manusia membentuk nerakanya sendiri. Diri sendirilah sang pencipta; diri sendirilah sang penghancur.

Di dalam diri manusia yang terbentuk dari beraneka ragam mesin-mesin itu, terdapat suatu kekuatan tak tampak yang disebut pikiran, yang bagaikan listrik, dapat bertindak sebagai musuh paling kejam atau teman yang paling akrab. Yang tersembunyi di dalam pikiran ialah tumpukan atau gundukan kotoran kejahatan serta merupakan gudang dari jasa-jasa kebajikan pula. Di dalam gundukan kekotoran ini terdapat tiga buah kekotoran yang mengotori serta menghancurkan dirinya. Pertama adalah lobha —yakni nafsu serakah atau kemelekatan, yang mempunyai kecenderungan untuk membuat. Kedua adalah dosa —yakni amarah, kebencian, keinginan jahat atau rasa tidak senang luar biasa yang cenderung menghancurkan. Ketiga adalah moha —yakni kebodohan atau keacuhan, yang cenderung pada kedua sifat di atas, yaitu membentuk dan menghancurkan.

Sang Buddha menguraikan bahwasanya nafsu itu bagaikari api yang tidak sejajar, kebencian sebagai suatu kejahatan tidak sejajar dan kebodohan sebagai jaring tidak sejajar.

Ketiga akar kejahatan ini, tersembunyi di dalam diri kita, dalam tingkatan yang beraneka ragam terutama bertanggung jawab bagi semua kesengsaraan hidup yang ada di dunia ini.

Kecuali ketiga akar-akar kejahatan umum ini dilenyapkan atau diperlemah dan sifat-sifat mulia sebagai lawannya —sifat kedermawanan, cinta kasih dan kebijaksanaan— sepenuhnya dikembangkan, maka tidak akan ada perdamaian serta kebahagiaan sejati yang terjamin.

Untuk merubah situasi atau keadaan dunia pada jaman sekarang menjadi lebih baik, maka sangat diperlukan perubahan-perubahan radikal dalam kondisi lingkungan secara fisik, ekonomis, politis, sosial, psikologis serta religius/agama. Harus diakui bahwasanya manusia itu bereaksi terhadap alam lingkungan mereka sebesar atau sebanyak alam lingkungan itu bereaksi pada mereka.

Pemerintahlah yang menentukan untuk memahami sebab musabab dan mengobati kekurangan itu; menghadirkan sedikit banyak pengembangan moril intern. Pemerintah-pemerintah dan badan-badan spirituil harus menyediakan alam lingkungan yang cocok serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu sementara agama-agama harus menyediakan pengembangan moral untuk menjadikan orang penduduk ideal.

Dengan rasa terima kasih kita mencatat bahwa masing-masing pemerintah atau masyarakat sosial mencoba untuk melenyapkan kemiskinan, penyakit dan kebodohan yang menghantui di antara masa yang menimpa sebagian besar umat manusia. Ketiga kondisi ini lebih banyak terdapat di Asia dan di Afrika daripada di Eropa dan di Amerika yang memiliki kemajuan matariil lebih pesat.

Sehubungan dengan pendidikan yang cenderung untuk melenyapkan kebodohan, yaitu penyebab dari sebagian besar penderitaan dunia, sebuah kata-kata haruslah dicanangkan. Di dalam keremajaan mereka yang mengagumkan itu, anak-anak harus lebih diajarkan tentang bagaimana harus berpikir daripada apa yang dipikirkan. Kebebasan berpikir sangat penting di dalam pendidikan modern, dan harus mempunyai dasar atau landasan agama sehingga remaja yang dididik itu dapat dilatih dengan baik dalam moral maupun intelektual.

Semua orang di dunia bukan hanya berharap untuk memiliki kebebasan pikiran serta hak berbicara, tetapi juga kebebasan dari semua bentuk penjajahan atau penindasan yang masih terdapat di dunia yang beradab ini. Apabila naluri binatang dari orang mendorong bangsa yang kuat untuk melakukan "penyombongan, penindasan, penipuan" serta menindas bangsa-bangsa yang lebih lemah.

Sang Buddha mengatakan bahwa dunia ini telah dibentuk sedemikian rupa sehingga mayoritas umat manusia itu memiliki kedisiplinan yang amat buruk. Karena manusia hidup di dalam dunia semacam itu, pada waktu-waktu tertentu mereka terpaksa harus mengambil jalan tengah sesuai dengan keadaan.

Buku-buku kuno kami memberikan gambaran cerita yang bagus. Seekor ular didekati oleh seorang pertapa dan diajarkan untuk melatih cinta kasih kepada sesamanya. Pada suatu hari ketika ular itu sedang merebahkan dir di dalam hutan, seorang wanita, yang menyangka ular tersebut sebagai seutas tali mengambilnya serta mengikatkannya pada setumpuk kayu yang telah dikumpulkan oleh wanita itu. Ketika wanita itu tiba di rumah, ia melepaskan tumpukkan kayu tersebut dari ikatannya. Ketika ular itu kembali lagi ke tempat asalnya di hutan, sang pertapa menanyakan tentang keterlambatan ular tersebut.

"Guru nan baik, ketika saya sedang melatih meditasi cinta kasih di dalam hutan, seorang wanita yang datang mengumpulkan kayu, menyangka saya sebagai seutas tali, mengambil saya dan dipakai untuk mengikat kayu-kayu tersebut. Saya baru saja dilepas. Maafkanlah saya atas keterlambatan saya ini".

"Yah, ular yang baik, kau telah melakukan perbuatan baik dalam memancarkan cinta kasihmu sedemikian rupa. Sekadar menunjukkan bahwa kamu seekor ular, seharusnya kamu paling sedikit mengangkat kepalamu dan berdesis sedikit", kata si pertapa.

Dengan cara yang sama karena kita hidup bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam perangai, pada waktu menggunakan diskriminasi kita yang bijaksana, kita mungkin harus berdesis sedikit?

Di dalam dunia yang penuh kekacauan ini, inilah saat yang paling menguntungkan untuk melihat ke dalam (introspeksi) dan menghasilkan jasa-jasa yang terpendam yang sebagian besar memberikan sumbangsih bagi perdamaian alami kita serta kebahagiaan yang tidak akan diperoleh, dan tak dapat dicapai hanya dengan kesenangan-kesenangan duniawi yang palsu itu.

Di dalam diri kita terdapat satu jasa baik, yang apabila dikembangkan, akan memberikan kita serta yang lain-lain suatu kebahagian luar biasa. Jasa baik tersebut adalah Metta Buddhis atau Maitri yang dapat dicapai dengan adanya kemauan atau niat baik tanpa kekerasan, cinta kasih, persahabatan; yang didefinisikan sebagai keinginan kuat untuk mencapai kesuksesan, kebahagian serta kesejahteraan bagi semua makhluk, semua bangsa, semua suku bangsa tanpa terkecuali. Serta tidak terbatas pada "tetangga-tetangga kita" atau kepada manusia saja. Jasa-jasa itu harus disalurkan pula kepada binatang-binatang yang tidak berdaya.

"Bagaikan seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya", kata Sang Buddha. "Sekalipun membahayakan dirinya sandiri, demikian juga hendaknya kamu melebarkan cinta kasihmu tanpa batas kepada semua makhluk".

Mengomentari kekuatan yang tersembunyi dari jasa-jasa baik ini. Sang Buddha mengemukakan: "Sambil berkelana di antara celah-celah gunung saya berusaha agar semua singa-singa dan macan-macan mendekat oleh kekuatan cinta kasih-Ku. Dikelilingi oleh singa dan macan, macan tutul dan kerbau, oleh kijang, rusa jantan dan beruang, Aku berkelana di dalam hutan. Tiada makhluk yang takut kepada-Ku, Akupun tidak takut pada makhluk apapun. Kekuatan dari cinta-kasih-Ku adalah bantuan-Ku, dengan demikian, Aku berkelana di tepi-tepi gunung.

Situasi sekarang dari dunia yang bergolak ini sangat membutuhkan cinta kasih tanpa batas yang tidak mengenal hambalan-hambatan apapun juga. Apabila semua bangsa dan suku bangsa melatih Metta ini, tidak akan ada lagi musuh-musuh dan orang-orang asing karena cinta kasih universil yang disadari melalui pengertian, membentuk persaudaraan dari semua makhluk hidup.

Bersatu dengan cinta kasih adalah merupakan jasa berkah lain yang dapat menaikkan kita kepada keadaan seperti manusia luar biasa, Dewa atau Brahma. Karuna atau kasih sayanglah yang membuat hati yang lemah dan para muliawan menjadi tersentuh atas penderitaan orang-orang lain. Cinta kasih dari orang besar terdiri dan kesadaran akan kualitas diri sendiri dengan orang-orang lain dan juga substitusi orang-orang lain bagi diri sendiri. Apabila ia menyadari kenyataan ini, maka sifat ke-aku-annya akan memudar dan ia tidak membeda-bedakan dirinya sendiri dengan orang lain. Ia membalas kejahatan dengan kebaikan dan tidak akan gagal bagaikan bumi yang menderita dalam kesunyian tahadap semua yang dapat dilakukan baginya.

Apa yang dapat diperbuat dunia timur dan barat sekarang ini adalah menggabungkan kebijaksanaan spirituil Timur dengan pengetahuan ilmiah Barat untuk membangun zaman emas di mana semua orang, tak perduli dari kasta, suku, atau warna apapun, dapat hidup dalam keharmonisan yang sempurna bagaikan penduduk yang ideal dari satu dunia.***


Sumber:

BUDDHA CAKKHU No.20/XII/91; Yayasan Dhammadipa Arama.

Pandangan Kaum Buddhis Tentang Keadaan Pada Jaman Sekarang

Pandangan Kaum Buddhis Tentang Keadaan Pada Jaman Sekarang

oleh: Narada Mahathera

Sumber Asli: BUDDHIST VIEW ABOUT CONTEMPORARY CONDITIONS; Dharmasantosa V. (alih-bahasa)

Dunia yang telah jemu dengan perang serta selalu bergolak ini tampaknya sudah hampir berantakan, walaupun tidak dapat diragukan lagi, telah hampir mencapai titik puncak dari kemajuan materiil. Ketidak-aslian dari orang-orang modern telah menciptakan keajaiban-keajaiban dalam segala suasana kehidupan, kecuali barangkali saja, di dalam lingkup moral. Jarang sekali, apabila memang pernah, kita mendengar tentang orang-orang suci dari agama apapun pada jaman sekarang ini.

Sebaliknya, para ilmuwan, telah mengalami kemajuan yang sangat menakjubkan dalam masing-masing bidangnya dan bahwasanya beberapa dari mereka telah mencapai kemajuan sedemikian pesatnya sehingga menyebabkan keruigian-kerugian yang tidak dapat diperbaiki kepada berjuta-juta kaum lelaki, wanita dan kanak-kanak. Bom-bom biasa yang berjatuhan dari langit menjadi barang kuno. Dampak sesudah dijatuhkannya bom atom hingga saat ini masih saja menghantui pikiran kita yang penuh kasih sayang. Bom-bom hidrogen serta bom-bom perang sudah siap untuk digunakan pada saat yang tepat. Sangat diragukan apakah kita akan selamat dari akibat penghancuran tersebut, terutama dari bom-bom baru yang masih akan dihasilkan atau ditemukan itu.

Para pemimpin militer yang berpikiran materialistis, sebaliknya mungkin disebabkan oleh keserakahan mereka untuk mendapatkan kekuasaan serta kebanggaan kedudukan, telah mengorbankan hal yang paling berharga di dunia —kehidupan— altar bagi kekuatan kejam demi untuk mencapai wibawa pribadi atau untuk hal-hal kecil yang sepele.

Sebagai akibat dari situasi menyedihkan di dunia ini, anak-anak kaum miskin dan yang tak berdayalah yang paling menderita; anak-anak yang hebat akan musnah pada waktu-waktu masih "muda", sedangkan "malaikat maut" akan memperoleh keuntungan dari kemenangan, kematian dan kehidupan.

Sementara konperensi-konperensi perdamaian, kongres dunia tentang kepercayaan dan lain sebagainya telah diselenggarakan, yaitu yang didorong oleh prinsip-prinsip tinggi, negara-negara besar maupun kecil mempersenjatai diri sendiri kuat-kuat, saling curiga dan saling menyegani satu sama lainnya.

Para sponsor serta pemimpin tanpa pamrih dari konperensi-konperensi perdamaian sudah barang tentu mendapatkan salam hangat terhadap usaha-usaha keras mereka untuk membangun dunia damai, dan bahagia bagi umat manusia. Tetapi manusia torgoda untuk bertanya apakah konperensi-konperensi perdamaian ini, amanat-amanat yang penuh inspirasi, serta naskah-naskah menggiurkan akan meninggalkan kesan pada pemerintah dari berbagai bangsa serta pada orang-orang yang menguasai atau mengontrol kehidupan dari orang-orang lain, atau apakah mereka itu akan dapat menyajikan suatu tujuan praktis. Apakah protes-protes yang dibuat oleh sejumiah kecil orang yang bermaksud baik di dalam ruangan terpencil akan mendatangkan hasil yang dapat diterima dengan senang hati atas kekuatan-kekuatan agresif yang militant —baik secara politis maupun religius— yang menghayati peraturan dunia ini bukan dengan cinta kasih dan kebenaran, tetapi dengan kekuatan dan kedigjayaan?

Siapakah yang harus disalahkan dengan keadaan yang patut disayangkan ini, di dalam dunia penuh kebohongan ini?

Tak seorangpun kecuali diri orang itu sendiri. Manusia membuat sorganya sendiri; manusia membentuk nerakanya sendiri. Diri sendirilah sang pencipta; diri sendirilah sang penghancur.

Di dalam diri manusia yang terbentuk dari beraneka ragam mesin-mesin itu, terdapat suatu kekuatan tak tampak yang disebut pikiran, yang bagaikan listrik, dapat bertindak sebagai musuh paling kejam atau teman yang paling akrab. Yang tersembunyi di dalam pikiran ialah tumpukan atau gundukan kotoran kejahatan serta merupakan gudang dari jasa-jasa kebajikan pula. Di dalam gundukan kekotoran ini terdapat tiga buah kekotoran yang mengotori serta menghancurkan dirinya. Pertama adalah lobha —yakni nafsu serakah atau kemelekatan, yang mempunyai kecenderungan untuk membuat. Kedua adalah dosa —yakni amarah, kebencian, keinginan jahat atau rasa tidak senang luar biasa yang cenderung menghancurkan. Ketiga adalah moha —yakni kebodohan atau keacuhan, yang cenderung pada kedua sifat di atas, yaitu membentuk dan menghancurkan.

Sang Buddha menguraikan bahwasanya nafsu itu bagaikari api yang tidak sejajar, kebencian sebagai suatu kejahatan tidak sejajar dan kebodohan sebagai jaring tidak sejajar.

Ketiga akar kejahatan ini, tersembunyi di dalam diri kita, dalam tingkatan yang beraneka ragam terutama bertanggung jawab bagi semua kesengsaraan hidup yang ada di dunia ini.

Kecuali ketiga akar-akar kejahatan umum ini dilenyapkan atau diperlemah dan sifat-sifat mulia sebagai lawannya —sifat kedermawanan, cinta kasih dan kebijaksanaan— sepenuhnya dikembangkan, maka tidak akan ada perdamaian serta kebahagiaan sejati yang terjamin.

Untuk merubah situasi atau keadaan dunia pada jaman sekarang menjadi lebih baik, maka sangat diperlukan perubahan-perubahan radikal dalam kondisi lingkungan secara fisik, ekonomis, politis, sosial, psikologis serta religius/agama. Harus diakui bahwasanya manusia itu bereaksi terhadap alam lingkungan mereka sebesar atau sebanyak alam lingkungan itu bereaksi pada mereka.

Pemerintahlah yang menentukan untuk memahami sebab musabab dan mengobati kekurangan itu; menghadirkan sedikit banyak pengembangan moril intern. Pemerintah-pemerintah dan badan-badan spirituil harus menyediakan alam lingkungan yang cocok serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu sementara agama-agama harus menyediakan pengembangan moral untuk menjadikan orang penduduk ideal.

Dengan rasa terima kasih kita mencatat bahwa masing-masing pemerintah atau masyarakat sosial mencoba untuk melenyapkan kemiskinan, penyakit dan kebodohan yang menghantui di antara masa yang menimpa sebagian besar umat manusia. Ketiga kondisi ini lebih banyak terdapat di Asia dan di Afrika daripada di Eropa dan di Amerika yang memiliki kemajuan matariil lebih pesat.

Sehubungan dengan pendidikan yang cenderung untuk melenyapkan kebodohan, yaitu penyebab dari sebagian besar penderitaan dunia, sebuah kata-kata haruslah dicanangkan. Di dalam keremajaan mereka yang mengagumkan itu, anak-anak harus lebih diajarkan tentang bagaimana harus berpikir daripada apa yang dipikirkan. Kebebasan berpikir sangat penting di dalam pendidikan modern, dan harus mempunyai dasar atau landasan agama sehingga remaja yang dididik itu dapat dilatih dengan baik dalam moral maupun intelektual.

Semua orang di dunia bukan hanya berharap untuk memiliki kebebasan pikiran serta hak berbicara, tetapi juga kebebasan dari semua bentuk penjajahan atau penindasan yang masih terdapat di dunia yang beradab ini. Apabila naluri binatang dari orang mendorong bangsa yang kuat untuk melakukan "penyombongan, penindasan, penipuan" serta menindas bangsa-bangsa yang lebih lemah.

Sang Buddha mengatakan bahwa dunia ini telah dibentuk sedemikian rupa sehingga mayoritas umat manusia itu memiliki kedisiplinan yang amat buruk. Karena manusia hidup di dalam dunia semacam itu, pada waktu-waktu tertentu mereka terpaksa harus mengambil jalan tengah sesuai dengan keadaan.

Buku-buku kuno kami memberikan gambaran cerita yang bagus. Seekor ular didekati oleh seorang pertapa dan diajarkan untuk melatih cinta kasih kepada sesamanya. Pada suatu hari ketika ular itu sedang merebahkan dir di dalam hutan, seorang wanita, yang menyangka ular tersebut sebagai seutas tali mengambilnya serta mengikatkannya pada setumpuk kayu yang telah dikumpulkan oleh wanita itu. Ketika wanita itu tiba di rumah, ia melepaskan tumpukkan kayu tersebut dari ikatannya. Ketika ular itu kembali lagi ke tempat asalnya di hutan, sang pertapa menanyakan tentang keterlambatan ular tersebut.

"Guru nan baik, ketika saya sedang melatih meditasi cinta kasih di dalam hutan, seorang wanita yang datang mengumpulkan kayu, menyangka saya sebagai seutas tali, mengambil saya dan dipakai untuk mengikat kayu-kayu tersebut. Saya baru saja dilepas. Maafkanlah saya atas keterlambatan saya ini".

"Yah, ular yang baik, kau telah melakukan perbuatan baik dalam memancarkan cinta kasihmu sedemikian rupa. Sekadar menunjukkan bahwa kamu seekor ular, seharusnya kamu paling sedikit mengangkat kepalamu dan berdesis sedikit", kata si pertapa.

Dengan cara yang sama karena kita hidup bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam perangai, pada waktu menggunakan diskriminasi kita yang bijaksana, kita mungkin harus berdesis sedikit?

Di dalam dunia yang penuh kekacauan ini, inilah saat yang paling menguntungkan untuk melihat ke dalam (introspeksi) dan menghasilkan jasa-jasa yang terpendam yang sebagian besar memberikan sumbangsih bagi perdamaian alami kita serta kebahagiaan yang tidak akan diperoleh, dan tak dapat dicapai hanya dengan kesenangan-kesenangan duniawi yang palsu itu.

Di dalam diri kita terdapat satu jasa baik, yang apabila dikembangkan, akan memberikan kita serta yang lain-lain suatu kebahagian luar biasa. Jasa baik tersebut adalah Metta Buddhis atau Maitri yang dapat dicapai dengan adanya kemauan atau niat baik tanpa kekerasan, cinta kasih, persahabatan; yang didefinisikan sebagai keinginan kuat untuk mencapai kesuksesan, kebahagian serta kesejahteraan bagi semua makhluk, semua bangsa, semua suku bangsa tanpa terkecuali. Serta tidak terbatas pada "tetangga-tetangga kita" atau kepada manusia saja. Jasa-jasa itu harus disalurkan pula kepada binatang-binatang yang tidak berdaya.

"Bagaikan seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya", kata Sang Buddha. "Sekalipun membahayakan dirinya sandiri, demikian juga hendaknya kamu melebarkan cinta kasihmu tanpa batas kepada semua makhluk".

Mengomentari kekuatan yang tersembunyi dari jasa-jasa baik ini. Sang Buddha mengemukakan: "Sambil berkelana di antara celah-celah gunung saya berusaha agar semua singa-singa dan macan-macan mendekat oleh kekuatan cinta kasih-Ku. Dikelilingi oleh singa dan macan, macan tutul dan kerbau, oleh kijang, rusa jantan dan beruang, Aku berkelana di dalam hutan. Tiada makhluk yang takut kepada-Ku, Akupun tidak takut pada makhluk apapun. Kekuatan dari cinta-kasih-Ku adalah bantuan-Ku, dengan demikian, Aku berkelana di tepi-tepi gunung.

Situasi sekarang dari dunia yang bergolak ini sangat membutuhkan cinta kasih tanpa batas yang tidak mengenal hambalan-hambatan apapun juga. Apabila semua bangsa dan suku bangsa melatih Metta ini, tidak akan ada lagi musuh-musuh dan orang-orang asing karena cinta kasih universil yang disadari melalui pengertian, membentuk persaudaraan dari semua makhluk hidup.

Bersatu dengan cinta kasih adalah merupakan jasa berkah lain yang dapat menaikkan kita kepada keadaan seperti manusia luar biasa, Dewa atau Brahma. Karuna atau kasih sayanglah yang membuat hati yang lemah dan para muliawan menjadi tersentuh atas penderitaan orang-orang lain. Cinta kasih dari orang besar terdiri dan kesadaran akan kualitas diri sendiri dengan orang-orang lain dan juga substitusi orang-orang lain bagi diri sendiri. Apabila ia menyadari kenyataan ini, maka sifat ke-aku-annya akan memudar dan ia tidak membeda-bedakan dirinya sendiri dengan orang lain. Ia membalas kejahatan dengan kebaikan dan tidak akan gagal bagaikan bumi yang menderita dalam kesunyian tahadap semua yang dapat dilakukan baginya.

Apa yang dapat diperbuat dunia timur dan barat sekarang ini adalah menggabungkan kebijaksanaan spirituil Timur dengan pengetahuan ilmiah Barat untuk membangun zaman emas di mana semua orang, tak perduli dari kasta, suku, atau warna apapun, dapat hidup dalam keharmonisan yang sempurna bagaikan penduduk yang ideal dari satu dunia.***


Sumber:

BUDDHA CAKKHU No.20/XII/91; Yayasan Dhammadipa Arama.

Kekuatan Metta Yang Mempesona

Kekuatan Metta Yang Mempesona

oleh: Nârada Mahâthera

Pada suatu hari Sang Buddha dan para bhikkhu mengunjungi kota Kusinara. Kabar gembira tentang kedatangan Beliau tersebar luas di antara suku Malla, dan mereka mengeluarkan maklumat yang disetujui bersama bahwa barang siapa di antara mereka tidak pergi memberi selamat datang kepada Sang Buddha akan didenda 500 mata uang.

Roja, seorang bangsawan suku Malla yang pernah menjadi sahabat dari Bhikkhu Ananda, menyambut Sang Buddha, kemudian mendekati Bhikkhu Ananda, memberi salam dan duduk di sebelahnya.

"Sungguh baik engkau, O Roja. Dengan bersusah payah engkau datang memberi selamat datang kepada Sang Bhagava", kata Bhikkhu Ananda.

"Bukan demikian, Bhikkhu Ananda. Bukanlah karena hormat kepada Sang Buddha, Dhamma dan Sangha yang membuat aku datang menyambut Sang Bhagava. Kami sudah mewajibkan di antara kami bahwa, barang siapa yang tidak datang menyambut Sang Buddha akan didenda 500 mata uang. Karena takut didenda itulah aku datang kemari".

Bhikkhu Ananda tidak gembira mendengar ucapan yang tak terduga itu; menghadap Sang Buddha, dan mohon kepada Sang Tathagata untuk menjelaskan Dhamma Beliau kepada Roja dari suku Malla supaya dia mengerti akan Dhamma.

"Adalah tidak sukar Ananda, bagi Sang Tathagata untuk menerangkan Dhamma kepada Roja, dan menariknya ke dalam Sasana", jawab Sang Buddha.

Segera Beliau pancarkan pikiran-plkiran penuh metta kepada Roja dari suku Malla itu, lalu Beliau masuk ke kamar-Nya. Seluruh tubuh Roja dari suku Malla itu ditembusi oleh cahaya cinta kasih yang dipancarkan oleh Sang Buddha. Badan jasmaninya dipenuhi dengan pikiran-pikiran metta yang amat besar, sehingga ia tidak mampu menguasai dirinya lagi. Roja merasakan dirinya tertarik oleh kekuatan yang tak nampak dan sukar untuk ditolaknya. Bagalkan anak sapi yang lari membayangi ibunya. Roja tergesa-gesa berlarian dari satu kamar ke kamar yang lain dan bertanya, "Para Bhante, di manakah Sang Bhagava, Arahat, Samma Sambuddha kini berada? Aku ingin menemui Beliau".

"O Roja yang balk, di sanalah kamar Sang Buddha yang pintunya tertutup, berjalanlah pelan-pelan, jangan berisik, dan ketuklah pintunya. Sang Buddha akan membukakan pintu untukmu".

Roja dari suku Malla berbuat sesuai dengan yang ditunjukkan kepadanya. Sang Buddha membuka pintu, Roja masuk, memberi hormat dan duduk di sampingNya.

Dengan penuh kasih sayang Sang Tathagata membabarkan Dhamma kepadanya, setahap demi setahap. Pertama-tama Sang Bhagava mengajarkan tentang dana, sila, dan pengendalian pikiran, kemudian tentang hal-hal buruk dari kesenangan duniawi dan berkah-berkah dari pengorbanan dan pelepasan. Ketika Sang Buddha melihat bahwa batin Roja sudah cukup masak untuk mengerti Dhamma yang lebih dalam. Beliau mulai menerangkan Empat Kesunyataan Mulia.

Seketika itu Mata-Kebenaran (Dhamma-Cakkhu) timbul dalam dirinya, dan Roja menjadi salah seorang yang mencapai tingkat kesucian.

Metta atau cinta kasih mempunyai kekuatan gaib. Hati yang suci bersih, yang terkonsentrasi penuh akan memancarkan sinarnya, dapat merubah sifat liar dan buas menjadi jinak, merubah seorang pembunuh menjadi seorang rahib yang luhur.

Kekuatan gaib dari metta dapat menjangkau semua makhluk. Hanya ketekunan dan tekad yang diperlukan untuk mendapatkannya.

Praktekkan metta dan pergi tidur. Anda pasti akan tertidur lelap, dan keesokan harinya akan bangun dengan wajah berseri-seri.

Bangunlah tiap hari dengan bahagia dan pancarkan metta. Semua orang akan mencintaimu seperti engkau mencintai mereka. Tiada kekuatan jahat yang akan mengusikmu sebab engkau sudah dilindungi oleh kekuatan metta. Pikiran menjadi tenang dan engkau hidup dalam sorga ciptaanmu sendiri. Orang-orang yang bergaul denganmu akan merasakan kedamaian dan kegembiraan yang mempesona.

Berpikir dan hiduplah dalam metta, berbuatlah lebih banyak lagi dalam ucapan dan perbuatanmu setiap hari. Dengan demikian engkau tidak akan menutup diri dalam suatu ruangan yang sumpek. Diskriminasi dan segala perbedaan lambat laun akan lenyap. Sang 'Aku' menyerap kesemuanya dan tidak akan ada 'Aku' lagi. Pada akhirnya engkau akan menjadi satu dengan 'semua' (sabbatta). Inilah titik tertinggi dari metta —cinta kasih.***


Sumber:

Buku PERESMIAN PEMBUKAAN PERPUSTAKAAN NARADA; Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya; 21 Oktober 1989.

Kamma Atau Hukum Sebab Akibat

Kamma Atau Hukum Sebab Akibat

oleh: Ven. Nârada Mahâthera

Sumber Asli: Karya Tulis Ven.Nârada Mahâthera berjudul BUDDHISM IN A NUTSHELL

Dunia telah membuktikan kenyataan yang telah kita lihat ketidak-seimbangan itu. Kita menyaksikan perbedaan-perbedaan berbagai macam jalan kehidupan serta tingkah Iaku makhluk-makhluk yang hidup di alam semesta. Kita dapat melihat seseorang dilahirkan dalam keadaan berlebihan, dikaruniai dengan pikiran, kepribadian dan tubuh yang sempurna; sedangkan orang lain dilahirkan dalam keadaan sengsara dan menyedihkan. Bisa terjadi orang yang bajik dan saleh selalu bernasib buruk. la tetap miskin dan sengsara meskipun ia selalu berlaku jujur dan bajik. Sebaliknya, ada orang lain yang berwatak jahat, kejam dan korup, tetapi selalu mujur, dikaruniai dengan segala bentuk kesenangan.

Timbul berbagai pertanyaan dalam diri kita, mengapa seseorang mempunyai kedudukan rendah, sedang orang lain mempunyai kedudukan mulia? Mengapa seseorang harus direnggut dari tangan ibu yang penuh kasih sayang sewaktu ia masih kanak-kanak, sedangkan orang lain meninggal dalam usia remaja atau pada usia delapan puluh atau seratus tahun? Mengapa seseorang memiliki fisik lemah dan berpenyakitan, sedang orang lain memiliki tubuh yang kuat dan sehat? Mengapa seseorang berwajah tampan, dan orang lain berwajah buruk, menakutkan, sehingga orang lain ngeri dan takut melihatnya? Mengapa seseorang dibesarkan dalam kemewahan, sedang orang lain dibesarkan dalam kemiskinan dan kesengsaraan? Mengapa seseorang terlahir sebagai jutawan, sedang orang lain terlahir sebagai pengemis? Mengapa seseorang memiliki kecerdasan luar biasa, sedang orang lain begitu tolol? Mengapa seseorang terlahir dengan sifat saleh, sedangkan orang lain terlahir dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal? Mengapa ada orang yang berbakat sebagai ahli bahasa, artis, ahli matematika atau ahli musik sejak lahir? Mengapa ada orang yang buta, tuli dan cacat sejak lahirnya, Mengapa? Inilah beberapa pertanyaan yang membingungkan orang-orang. Bagaimana kita harus menerangkai "ketidak-adilan" dunia, perbedaan-perbedaan di antara umat manusia ini? Apakah semua fenomena îtu tefjadi secara kebetulan?

Dalam dunia ini tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Menyatakan bahwa sesuatu terjadi secara kebetulan adalah sama salahnya dengan menyatakan buku ini ada dengan sendirinya tanpa ada faktor-faktor lain sebelumnya. Sesungguhnya, tak ada sesuatu yang terjadi pada manusia tanpa alasan dan yang tidak dikehendaki.

Apakah hal-hal ini disebabkan oleh sesuatu makhluk yang tak bertanggung jawab?

Huxley menulis: "Apakah kita berpendapat bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengatur keadaan alam semesta yang menakjubkan ini, maka dalam pengertianku ia tidak dapat disebut murah hati dan adil, melainkan kejam dan tidak adil".

Menurut Einstein: "Bila makhluk adikodrati ini maha kuasa, maka setiap kejadian, termasuk setiap perbuatan, pikiran, perasaan dan aspirasi manusia juga merupakan karyanya; lalu bagaimana manusia harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan dan pemikiran-pemikiran mereka di hadapan makhluk maha kuasa seperti itu? Sewaktu memberi hukuman dan anugrah, ia sedikit banyak juga harus mengadili dirinya sendiri. Lalu bagaimana hal ini dapat dikaitkan dengan kebajikan dan keadilan yang dianggap berasal dari dirinya?"

"Menurut asas-asas theologie, manusia diciptakan bukan atas dasar keinginannya sendiri, dan untuk selamanya ia mulia atau celaka. Dengan begitu, sejak awal dalam proses penciptaan fisiknya sampai saat kematiannya, manusia itu dapat baik atau jahat, beruntung atau celaka, mulia atau hina, tanpa menghiraukan akan keinginan-keinginan, harapan-harapan, cita-cita, usaha-usaha ataupun doa sujudnya. Inilah fatalisme theologi". (Spencer Lewis)

Sebagaimana Charles Bradlaugh mengatakan: "Adanya keburukan merupakan suatu penghalang yang menakutkan bagi ajaran theis. Penderitaan, kesengsaraan, kejahatan, kemiskinan bertolak belakang dengan penganjur kebaikan abadi dan berlawanan dengan pernyataannya akan kemampuan dirinya sebagai dewa serba baik, serba bijaksana, dan serba kuasa".

Menurut Schopenbauer: "Barangsiapa menganggap dirinya berasal dari ketiadaan, maka ia juga harus berpikir bahwa ia akan kembali ke ketiadaan itu lagi; Suatu kekekalan telah lewat sebelum ia ada dan kekekalan kedua telah dimulai, yang melaluinya ia tidak akan pernah berakhir adalah suatu pemikiran yang menakutkan".

"Bila kelahiran adalah permulaan yang mutlak, maka kematian seharusnya akhir yang mutlak pula. Anggapan bahwa manusia berasal dari ketiadaan pasti akan membawa pada anggapan bahwa kematian adalah akhir yang mutlak".

Memberikan komentar terhadap penderitaan manusia dan dewa pencipta, Prof.J.B.S. Haldane menulis: "Kalau bukan penderitaan yang diperlukan untuk menyempurnakan sifat manusia, tentu dewa pencipta itu tidak maha kuasa. Teori yang pertama tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, sebagian orang yang hanya sedikit sekali menderita namun beruntung dalam keturunan dan pendidikan terbukti mempunyai sifat yang baik. Keberatan terhadap teori yang kedua adalah bahwa hal itu hanya berkenaan dengan alam semesta secara keseluruhan dan bahwasanya terdapat suatu kekosongan intelektual yang harus diisi dengan mendalilkan seorang dewa. Dan barangkali seorang pencipta dapat menciptakan apa saja yang dia inginkan".

Lord Russell menyatakan: "Sebagaimapa diceritakan kepada kita, dunia diciptakan oleh seorang dewa yang baik dan maha kuasa. Sebelum dia menciptakan dunia, ia telah melihat seluruh penderitaan dan kesengsaraan yang akan terjadi di dalamnya. Karenanya, ia bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Adalah suatu hal yang sia-sia memperdebatkan bahwa penderitaan dalam dunia disebabkan oleh dosa. Bila dewa pencipta itu telah mengetahui sebelumnya akan dosa yang bakal dilakukan umat manusia, maka jelas ia bertanggung jawab akan akibat-akibat dosa itu.

Mungkinkah segala perbedaan yang ada pada manusia ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan? Kita harus mengakui bahwa semua fenomena fisik-kimiawi yang diungkapkan oleh para ilmuwan, sebagian adalah sebagai faktor pembantu, tetapi tidak seluruhnya mutlak bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan besar yang terdapat di antara individu-individu. Lalu mengapa ada anak kembar yang memiliki tubuh serupa, mewarisi gen yang sejenis, menikmati kesempatan asuhan yang sama, seringkali memiliki watak, moral dan kecerdasan yang sangat berbeda?

Keturunan saja tidak dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan yang besar ini. Sesungguhnya, faktor keturunan lebih masuk akal atas persamaan-persamaan mereka daripada atas perbedaan-perbedaan. Benih fisik-kimiawi dengan panjangnya kira-kira sepertiga-puluh inci yang diwarisi dari orang tua, hanya menerangkan satu bagian dari manusia, yaitu dasar fisiknya. Mengenai perbedaan-perbedaan batin, intelektual dan moral yang jauh lebih kompleks dan halus itu diperlukan penerangan batin yang lebih dalam. Teori keturunan tidak dapat memberikan suatu jawaban yang memuaskan tentang lahirnya seorang kriminal dalam sebuah keluarga yang mempunyai leluhur terhormat atau kelahiran seorang suci atau mulia dalam sebuah keluarga yang memiliki reputasi jelek dan tentang lahirnya seorang tolol, manusia genius dan guru-guru besar. Menurut agama Buddha, perbedaan-perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh kamma kita sendiri, atau dengan kata lain, disebabkan oleh akibat dari perbuatan lampau kita dan perbuatan-perbuatan kita sekarang. Kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kita. Kita membangun penjara kita sendiri. Kita adalah arsitek dari nasib kita sendiri. Singkatnya, diri kita merupakan akibat dari kamma kita sendiri.

Bagaimana kita bisa mempercayai semua ini, dengan perbedaan berdasarkan hukum sebab akibat atau sebagai hasil dari bibit Kammanya sendiri. Di sinilah Sang Buddha tidak memaksa supaya kita percaya. Hhal ini malah kita diminta untuk datang dan buktikan terlebih dahulu. Semua hal ini bagaikan Beliau menerangkan masalah Bakteri, Virus dan sebagainya. Kita bisa membuktikan adanya mereka dengan melihat dan menyaksikan sendiri dengan menggunakan mikrokop elektron. Kalau kita ingin melihat dengan mata daging ini sudah pasti Hukum Kamma yang begitu rumit dan susah dilihat akibatnya. Tetapi semua ini telah dibuktikan kebenarannya itu oleh para Suciwan. Dengan kekuatan batin yang tenang didalam Jhana IV. Jadi secara tegas siapapun yang mampu mencapai Jhana IV. Mereka pasti bisa membuktikan kebenaran itu.

Pada suatu ketika, seorang pemuda bernama Subha datang menemui Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau, "Mengapa dan apa sebabnya di antara umat manusia ada yang memiliki keadaan rendah dan ada yang memiliki keadaan mulia? Mengapa ada manusia yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang, ada yang sehat dan ada yang berpenyakitan, ada yang berwajah tampan dan ada yang berwajah buruk, ada yang berkuasa dan yang tertindas, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang hina dan ada yang mulia, ada yang bodoh dan ada yang bijaksana?"

Sang Buddha menjawab: "Semua makhluk memiliki kammanya sendiri, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, terlindung oleh kammanya sendiri. Kammalah yang membuat semua makhluk menjadi berbeda, hina atau mulia".

Selanjutnya Sang Buddha menerangkan sebab perbedaan-perbedaan tersebut sesuai dengan hukum Sebab Akibat.

Dari sudut pandangan agama Buddha, perbedaan-perbedaan batin, intelektual, moral dan watak kita sekarang, pada prinsipnya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kita sendiri yang dilakukan di waktu lampau dan di waktu sekarang.

Secara harfiah kamma berarti perbuatan, tetapi, dalam pengertian mutlaknya kamma berarti kehendak. Kamma ada yang baik (Kusala Cetana) dan yang buruk (Akusala Cetana). Perbuatan baik akan membuahkan kebaikan. Perbuatan jahat akan membuahkan kesedihan. Inilah hukum kamma.

Kita memetik apa yang kita tanam. Kita adalah akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau; kita akan menjadi akibat dari apa yang kita lakukan sekarang, tetapi kita tidak mutlak hanya merupakan akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau; kita tidak mutlak hanya menjadi akibat dari apa kita lakukan sekarang. Misalnya seorang kriminal mungkin saja dapat menjadi orang suci di kemudian hari dan sebaliknya.

Agama Buddha mengkaitkan perbedaan ini dengan kamma, tetapi tidak menyatakan bahwa segala sesuatu disebabkan oleh kamma saja. Apabila segala sesuatu disebabkan oleh kamma, maka seorang penjahat akan selamanya menjadi jahat, karena kammanya yang menjadikan dirinya jahat. Orang tidak perlu memeriksakan dirinya ke dokter untuk disembuhkan penyakitnya, karena bila kammanya memang harus demikian ia akan sembuh dengan sendirinya.

Menurut agama Buddha, terdapat lima hukuman atau proses (niyama) yang berlaku dalam alam mental dan fisik, yaitu:

1. Kamma niyâma atau hukum sebab dan akibat: perbuatan baik dan buruk menghasilkan akibat-akibat yang sesuai.
2. Bija niyâma atau hukum benih (hukum fisik organik); beras dîhasilkan dari padi, gula dihasilkan dari tebu atau madu, dan lain-lain. Teori ilmiah tentang sel-sel dan gen-gen (plasma pembawa sifat) dan kemiripan fisik anak kembar dapat dianggap berasal dari hukum ini.
3. Utu niyâma atau hukum fisik (inorganik), yaitu fenomena angin dan hujan menurut musim.
4. Citta niyâma atau hukum pikiran (hukum psikis), yaitu proses-proses kesadaran (citta vitthi), kekuatan pikiran dan lain-lain.
5. Dhamma niyâma atau hukum alam, yaitu: fenomena alam yang terjadi pada saat kedatangan Bodhisatta pada kelahiran terakhir, gaya tarik bumi, dan lain-lain.

Setiap fenomena mental dan fisik dapat diterangkan dengan lima hukum serba-lengkap ini, atau proses yang merupakan hukum itu sendiri.

Karena itu, kamma hanyalah merupakan salah satu dari lima hukum yang berlaku dalam alam semesta. Kamma adalah hukum itu sendiri, tetapi dengan demikian tidak berarti harus ada seseorang pemberi hukum. Kamma bekerja dalam bidangnya sendiri tanpa campur tangan atau pengaruh dari apapun.

Misalnya, tak ada orang yang memutuskan bahwa api itu harus membakar. Tak ada orang yang memerintahkan bahwa air harus mencari permukaan yang rendah. Tak ada ilmuwan yang memerintahkan bahwa air harus terdiri dari H20 dan sifat dingin harus menjadi salah satu sifatnya. Kamma bukanlah nasib atau takdir yang ditimpakan pada kita oleh kekuatan misterius yang tak dikenal, kepada siapa kita harus menyerahkan diri kita tanpa daya. Perbuatan seseorang sendirilah yang memberi akibat pada dirinya, sehingga dengan demikian ia mempunyai suatu kemungkinan untuk membelokkan jalannya kamma sampai taraf tertentu. Berapa jauh ia dapat membelokkannya tergantung pada
usaha dirinya sendiri.

Perlu diingatkan di sini, bahwa fraseologi seperti anugrah dan hukuman jangan dimasukkan dalam pembicaraan mengenai kamma. Kamma dalam agama Buddha tidak mengakui dewa Maha Kuasa yang memerintah warganya dan memberikan anugrah atau hukuman. Umat Buddha percaya bahwa kesedihan dan kebahagiaan yang dialami seseorang merupakan akibat wajar dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya sendiri. Di sini perlu dinyatakan bahwa kamma memiliki dua prinsip, kelangsungan dan balas jasa.

Sifat yang terdapat dalam hukum kamma adalah kemampuan yang menghasilkan akibat sebagaimana mestinya. Sebab menghasilkan akibat; akibat menerangkan sebab. Benih menghasilkan buah; buah menghasilkan benih, karena keduanya saling berhubungan. Begitu juga, kamma dan akibatnya saling berhubungan; "akibat berkembang di dalam sebab".

Seorang umat Buddha yang benar-benar yakin akan kamma tak akan berdoa pada makhluk lain untuk diselamatkan, tetapi dengan penuh keyakinan ia bergantung pada dirinya sendiri untuk mencapai kesuciannya, karena hukum kamma mengajarkan tanggung jawab pribadi.

Ajaran kamma inilah yang memberi hiburan, harapan, kepercayaan pada diri sendiri dan keberanian moral. Keyakinan dalam hukum kamma inilah "yang mengabsahkan usaha, mengobarkan semangat, untuk selalu berbuat bajik, toleran dan berbati-hati". Keyakinan yang teguh dalam ajaran hukum kamma ini juga mendorong untuk berbuat baik dan menjadi orang baik tanpa merasa takut akan hukuman atau tergoda oleh anugerah apapun. Ajaran kamma inilah yang dapat menerangkan persoalan-persoalan mengenai penderitaan, misteri yang dinamakan nasib atau takdir dalam ajaran-ajaran lain dan terpenting adalah menerangkan "ketidak-samaan di antara umat manusia".

Kamma dan tumimbal lahir diterima sebagai dalil.***


Sumber:

INTISARI AGAMA BUDDHA; Nârada Mahâthera; Sangha Theravada Indonesia.

Fakta Kehidupan

Fakta Kehidupan

oleh: Ven. Nârada Mahâthera

Sumber Asli: FACTS OF LIFE; Narada Mahathera; Bhikkhu Aggabalo (alih bahasa)

Kita hidup dalam dunia yang serba pincang. Ia tidak mutlak diliputi mawar, juga tidak seluruhnya berduri. Mawar adalah lembut, indah dan harum, tetapi tangkai tempat mawar mekar penuh dengan duri. Karena adanya bunga mawar maka kita tidak takut pada duri. Bagaimanapun, orang tidak akan mengecilkan arti mawar karena durinya.

Bagi seorang optimis dunia ini benar-benar penuh mawar, sedangkan bagi seorang pesimistis, dunia ini benar-benar penuh duri. Tetapi bagi seorang realis dunia ini tidak mutlak penuh duri. Dunia ini diliputi oleh mawar-mawar indah dan duri-duri tajam.

Seorang yang mengerti tak akan tergila-gila kepada keindahan mawar, tetapi akan memandangnya sebagaimana adanya. Dengan mengetahui betul-betul sifat daripada duri, ia akan memandangnya sebagaimana adanya dan akan berhati-hati supaya tidak terluka.

Seperti bandulan yang berputar terus-menerus ke kiri atau ke kanan, empat kondisi yang diinginkan dan empat kondisi yang tak diinginkan berlalu dalam dunia ini. Setiap orang tak terkecuali akan menemukan kondisi-kondisi ini selama masa hidupnya. Kondisi-kondisi ini adalah untung (labha) dan rugi (alabha), kemasyhuran (yasa) dan nama buruk (ayasa), pujian (pasamsa) dan celaan (ninda), suka (sukha) dan duka (dukkha).

UNTUNG DAN RUGI

Lazimnya para usahawan memperoleh untung dan menderita rugi. Adalah wajar menjadi puas bila mendapat untung. Pada hakekatnya dalam hal itu tak ada salahnya. Keuntungan secara halal atau tidak halal, mengakibatkan kesenangan tertentu yang dicari-cari orang. Tanpa saat-saat yang menyenangkan ini, betapapun singkatnya, kehidupan menjadi sia-sia belaka. Dalam dunia yang penuh persaingan dan kacau ini, adalah wajar bagi orang-orang untuk menikmati suatu kebahagiaan yang demikian menggembirakan hati mereka. Walaupun bersifat material, kehidupan demikian dapat mendatangkan kesehatan dan umur panjang.

Persoalan muncul jika terjadi kerugian. Keuntungan diterima dengan tersenyum, tetapi bukan demikian halnya bila sial. Kerugian sering menyebabkan penderitaan batin dan kadang-kadang kecenderungan untuk membunuh diri muncul bila kerugian yang diderita terlalu parah. Dalam keadaan demikian inilah seseorang harus menunjukkan keberanian moral yang tinggi dan memelihara keseimbangan batin yang wajar. Kita semua telah jatuh bangun dalam menghadapi tantangan hidup. Kita harus siap sedia menerima apa yang baik maupun buruk. Dengan demikian, kita akan mengalami kekecewaan sedikit saja bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Bila ada sesuatu yang hilang, seseorang biasanya merasa sedih. Tetapi dengan bersedih ini orang tidak dapat memperoleh kembali barang yang hilang. Kehilangan tersebut harus dipandang secara filosofis. Seseorang harus bersikap sebagai seorang dermawan dan berpikir bahwa kebutuhan-kebutuhan orang lain adalah lebih banyak dari padanya. Biarkan diri kita sehat dan bahagia.

Pada masa Sang Buddha, seorang wanita mulia memberikan dana makanan kepada Bhikkhu Sariputta dan beberapa bhikkhu lainnya. Sementara ia melayani mereka, ia menerima berita bahwa keluarganya mendapat malapetaka. Tanpa menunjukkan kegelisahan, dengan tenang ia menyimpan surat tersebut di kantongnya dan terus melayani para bhikkhu, bagaikan tak terjadi apa-apa. Seorang pembantu wanitanya yang membawa kendi berisi 'sari susu' (ghee) untuk para bhikkhu, tanpa hati-hati ia terpeleset sehingga kendi berisi 'sari susu' tersebut pecah. Karena terbuangnya sari susu itu, maka Bhikkhu Sariputta menghiburnya dengan berkata: "Sudah wajar bahwa semua barang pecah belah akan hancur". Nyonya bijaksana ini menjawab: "Bhante, apakah artinya kehilangan barang kecil ini? Baru saja saya menerima berita bahwa keluargaku mendapat malapetaka. Saya menerima berita tersebut dengan tenang. Saya tetap melayani para bhante sekalian walaupun ada berita buruk".

Keberanian nyonya perkasa ini sungguh patut dipuji.

Pada suatu hari Sang Buddha pergi melakukan pindapatta (pergi mengambil makanan dengan patta —mangkok makanan) ke dalam desa. Karena campur tangan 'Mara' —si Jahat, Sang Buddha tidak mendapat makanan. Ketika 'Mara' bertanya kepada Sang Buddha apakah Beliau menderita karena lapar atau tidak. Sang Buddha dengan tenang menerangkan keadaan batin mereka telah terbebas dari kekotoran-kekotoran batin, dan menjawab, "O, betapa bahagianya hidup kami, kami yang tak mempunyai kekotoran batin lagi. Dengan diliputi oleh kegembiraan, kami bagaikan para dewata dari alam Sukhakinha Brahma (Brahma Yang Bercahaya)".

Pada kesempatan lain, Sang Buddha beserta para murid bervassa di sebuah desa atas undangan seorang brahmana, tetapi brahmana ini melupakan kewajibannya untuk memberikan kebutuhan hidup kepada Sang Buddha dan Sangha. Walaupun Bhikkhu Moggallana bersedia menggunakan 'iddhi'-nya (kekuatan batin) untuk mendapat makanan (selama tiga bulan), dalam keadaan demikian Sang Buddha tanpa mengeluh sedikitpun juga merasa puas dengan makanan kuda yang diberikan oleh seorang peternak.

Orang harus berusaha menanggung kerugian dengan riang dan penuh ketabahan. Kadang-kadang keadaan ini muncul tanpa terduga sebelumnya, dan sering terjadi bukan hanya sekali saja tetapi sekaligus berturut-turut. Kita harus menghadapinya dengan keseimbangan bain (upekkha) dan menerimanya sebagai suatu kesempatan untuk melakukan kebajikan.

KEMASYHURAN DAN NAMA BURUK

Kemasyhuran dan nama buruk juga merupakan kondisi duniawi yang pasti kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Kemasyhuran kita sambut dengan senang, nama buruk tak kita inginkan. Kemasyhuran menggembirakan hati kita; sedangkan nama buruk menyakitkan kita. Kita ingin menjadi terkenal. Kita ingin foto diri kita muncul dalam surat kabar. Kita gembira sekali bila aktivitas kita, betapapun tidak berarti, diberitakan. Suatu waktu kita mencari pula publisitas.

Banyak orang dengan cara apapun ingin melihat foto diri mereka muncul dalam majalah. Untuk mendapat kehormatan, banyak orang yang bersedia memberikan imbalan atau jasa-jasa tertentu bagi mereka yang berkuasa. Demi publisitas, banyak orang yang menunjukkan kedermawanannya, dengan memberikan dana kepada seratus bhikkhu atau lebih; tetapi mereka sama sekali tak acuh kepada penderitaan orang-orang miskin dan mereka yang membutuhkan bantuan, di sekitarnya. Kita mungkin mengganjar atau menghukum seorang yang kelaparan yang untuk meredakan rasa laparnya mencuri sebutir kelapa di kebun, tetapi kita tanpa ragu-ragu memberikan seribu buah kelapa untuk mendapatkan nama baik.

Inilah kelemahan-kelemahan manusia. Kebanyakan orang berbuat atas dasar pamrih. Orang tanpa pamrih yang berbuat tanpa mementingkan diri sendiri langka di dunia ini. Kebanyakan perbuatan duniawi mempunyai tujuan yang tersembunyi. Nah, siapakah yang benar-benar baik? Berapa banyak yang sungguh-sungguh mementingkan orang lain?

Kita tak perlu mengejar-ngejar kemasyhuran. Bila kita memang akan termasyhur, itu akan datang dengan sendirinya tanpa dicari-cari. Lebah akan tertarik pada bunga yang mengandung madu. Bunga tak mengundang lebah.

Sesungguhnya kita terlalu senang atau bahagia sekali bila kemasyhuran kita tersebar luas dan jauh. Tetapi kita mesti menyadari bahwa kemasyhuran, kehormatan dan keagungan itu hanya berlangsung sebentar saja. Keadaan ini akan segera lenyap.

Bagaimanakah dengan nama buruk? Hal ini tak enak didengar dan dipikirkan. Kita pasti gusar bila kita mendengar kata-kata kasar tentang keburukan kita. Pikiran akan lebih tertekan bilamana berita-berita tersebut adalah tak adil dan salah sama sekali.

Biasanya diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mendirikan sebuah gedung yang amat bagus. Tetapi hanya dalam satu atau dua menit gedung itu dengan mudah dapat dihancurkan dengan bom perusak modern. Kadang-kadang diperlukan waktu bertahun-tahun atau seumur hidup untuk membuat reputasi atau nama baik, akan tetapi hanya dalam beberapa saat saja nama baik kita yang diperoleh dengan kerja keras itu dapat hancur. Tak seorang pun terbebas dari kata-kata merusak yang dimulai dengan kata 'tetapi' yang tidak baik. Ya, ia amat baik, ia melakukan ini dan itu, tetapi semua perbuatan baiknya dirusakkan oleh kata yang disebut 'tetapi'. Anda dapat menempuh kehidupan seperti seorang Buddha, tetapi anda takkan terbebas dari kritik, serangan dan hinaan.

Sang Buddha sangat terkenal, namun merupakan Guru yang paling sering difitnah pada zaman-Nya. Manusia-manusia besar sering terkenal; walaupun terkenal, merekapun dikenal secara keliru.

Beberapa penentang Sang Buddha menyebarkan desas-desus bahwa seorang wanita sering bermalam di vihara. Setelah gagal dalam usaha tercela, mereka menyebarkan berita palsu kepada khalayak ramai bahwa Sang Buddha bersama siswa-siswa-Nya telah membunuh wanita tersebut dan menyembunyikan mayatnya dalam timbunan sampah-sampah bunga layu di vihara. Akhirnya komplotan yang melakukan fitnahan tersebut mengaku bahwa merekalah pelaku-pelakunya.

Ketika misi penyebaran Dhamma-Nya berhasil dan banyak orang menjadi bhikkhu, lawan-lawan-Nya memfitnah-Nya dengan mengatakan bahwa Beliau mencuri anak-anak dari ibu mereka, menceraikan para suami dari istri mereka dan merusak kemajuan bangsa.

Gagal dalam semua usaha untuk menghancurkan sifat-sifat mulia-Nya, saudara sepupu-Nya bernama Devadatta, siswa Beliau yang iri hati, mencoba membunuh-Nya dengan menggulingkan batu dari atas, tetapi gagal.

Bila Sang Buddha Yang Maha Sempurna dan tak bersalah itu telah sedemikian jadinya, apakah yang akan terjadi dengan orang biasa seperti kita ini yang belum sempurna?

Lebih tinggi anda mendaki bukit, anda lebih menarik perhatian dan terlihat oleh banyak orang. Masa lampau anda diungkap tetapi masa depan anda tersembunyi. Dunia yang penuh kecaman ini memamerkan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan anda, tetapi mengabaikan kebajikan-kebajikan anda yang gemilang. Kipas penampi menerbangkan sekam beras tertinggal; sebaliknya tapisan menahan sisa-sisa ampas dan mengeluarkan saripati-saripatinya. Orang biajksana mengambil yang halus atau baik dan membuang yang kasar atau buruk; yang bodoh mengambil yang buruk atau kasar dan membuang yang halus atau baik.

Bila anda dipersalahkan dengan sengaja atau cara lain, ingatlah nasehat Epictetus, berpikir dan berkata, "O, karena kurang kenal dan hanya sedikit saja yang ia ketahui tentang diriku, maka aku tak terlalu dikritiknya. Tetapi bila aku dikenalnya dengan baik, maka lebih serius dan hebat tuduhan-tuduhan terhadap diriku".

Tidak perlu membuang-buang waktu untuk memperbaiki laporan-laporan salah kecuali bila keadaan memaksa anda membutuhkan penjelasan. Musuh senang sekali bila ia mengetahui bahwa anda menderita. Itulah sesungguhnya yang ia inginkan. Bila anda tenang-tenang saja, maka olok-olokan darinya itu bagaikan diterima oleh orang tuli saja.

Bila melihat kesalahan-kesalahan orang lain, kita harus bersikap seperti orang buta.

Bila mendengar kritik-kritik tak adil dari orang lain, kita harus bersikap tuli.

Bila ada yang menceritakan keburukan orang lain, kita harus bersikap seperti orang bisu.

Adalah tak mungkin menghentikan tuduhan, laporan-laporan dan desas-desus palsu!

Dunia dipenuhi oleh onak dan duri. Tak mungkin untuk melenyapkannya. Tetapi bilamana kita harus berjalan meskipun ada gangguan-gangguan tersebut, daripada berusaha melenyapkan gangguan-gangguan itu, yang tak mungkin, lebih baik kita menggunakan alas kaki dan berjalan dengan aman.

Dhamma mengajarkan:

"Jadilah seperti harimau yang tak gentar akan suara. Jadilah seperti angin yang takkan melekat pada jala. Jadilah seperti teratai yang tak ternoda oleh lumpur tempat ia tumbuh. Mengembaralah sendiri bagaikan badak".

Sebagai raja diraja dalam hutan, singa-singa tak merasa takut. Karena sifatnya mereka tak takut pada suara binatang-binatang lainnya. Dalam dunia ini, kita dapat mendengar berita-berita yang merugikan, tuduhan-tuduhan palsu dan penghinaan dari mulut-mulut lancang. Bagaikan singa, kita tak perlu mendengar mereka. Bagaikan bumerang, ucapan-ucapan itu akan kembali kepada tuannya sendiri. Anjing menyalak tetapi kafilah berlalu dengan tenang.

Kita hidup dalam dunia yang kotor dengan lumpur. Banyak sekali teratai yang tumbuh di situ tanpa ternoda oleh lumpur, tetapi menghiasi dunia ini. Kita bagaikan teratai tanpa noda, hidup sempurna tanpa memperdulikan lumpur yang mungkin dilemparkan kepada kita.

Kita harus menganggap lumpur yang dilemparkan kepada kita itu bagaikan mawar. Dengan demikian, tidak timbul kekecewaan.

Walaupun sukar kita harus berusaha mencoba supaya tidak melekat. Kita datang sendiri dan kita pergi sendiri pula. Ketidak-terikatan adalah kebahagiaan dalam dunia ini.

Tanpa memperdulikan anak panah beracun dari mulut-mulut lancang, sendirian kita berkelana menolong orang dengan segala kemampuan kita.

Adalah agak aneh bila orang besar difitnah, dicemarkan, diracuni, disalibkan atau ditembak. Socrates diracuni, Mahatma Gandhi yang baik ditembak.

Rupa-rupanya berbahaya bila menjadi terlalu baik?

Ya, selama hidup mereka dikecam, dimusuhi dan akhirnya dibunuh. Setalah mati, mereka diagung-agungkan dan dihormati.

Orang-orang besar bersikap acuh tak acuh pada kemasyhuran dan nama buruk. Mereka tidak kecewa bila mereka dikecam atau difitnah, karena mereka bekerja bukan untuk kemasyhuran atau mencari nama. Mereka tak memperdulikan apakah orang-orang mengakui jasa mereka atau tidak. Mereka mau bekerja saja bukan untuk mendapatkan buahnya.

PUJIAN DAN CELAAN

Pujian dan celaan adalah dua kondisi dunia lainnya yang dialami manusia. Adalah wajar menjadi gembira bila dipuji, dan menjadi kecewa bila dicela. Sang Buddha berkata, 'Orang bijaksana tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa bila dipuji atau dicela'. Bagaikan batu karang yang teguh mereka tak tergoncangkan oleh badai.

Pujian jika wajar, adalah menyenangkan didengar, tetapi bila pujian itu hanya dibuat-buat saja maka pujian tersebut, walaupun manis kedengaran, hanya merupakan penipuan belaka. Akan tetapi semua pujian tersebut tidak akan mengakibatkan apa-apa jika pujian tersebut tak sampai di telinga kita.

Dari sudut duniawi, sepatah kata pujian diterima dengan baik. Dengan hanya memuji sedikit, kemurahan hati mudah didapat. Sepatah kata pujian yang tepat cukup untuk menarik perhatian para pendengar sebelum kita memberikan ceramah. Bilamana penceramah pada permulaan memuji para pendengar, maka ia akan didengar dengan baik oleh hadirin. Tetapi bila ia memulai ceramahnya dengan celaan terhadap pendengar maka tanggapan yang diterimanya tidak memuaskan.

Orang-orang bijaksana takkan menggunakan kata-kata sanjungan pemanis mulut saja, dan mereka tak mau pula disanjung-sanjung oleh orang lain. Mereka memuji yang patut dipuji tanpa iri. Yang patut dicela mereka kritik tanpa menghina tetapi karena kasih sayang supaya yang bersalah itu mau memperbaiki dirinya.

Banyak orang yang mengenal Sang Buddha dengan baik, memuji kebajikan-kebajikan-Nya dengan cara mereka sendiri. Seorang upasaka jutawan bernama Upali, memuji Sang Buddha dengan menyebutkan satu persatu seratus kebajikan tanpa persiapan. Sembilan kebajikan sejati (Guna) Sang Buddha (Buddhanussati) yang diagungkan pada masa Beliau, tetap diagungkan oleh para pengikutnya dengan mengucapkannya di depan Buddha-rupang. Buddha Guna ini merupakan objek meditasi bagi mereka yang beriman. Kebajikan dari Buddha Guna ini tetap merupakan suatu inspirasi agung bagi umat Buddha.

Bagaimanakah dengan celaan?

Sang Buddha bersabda: "Mereka yang bicara banyak dicela. Mereka yang bicara sedikit dicela. Mereka yang diam pun dicela. Tak seorangpun di dunia ini yang tidak dicela".

Celaan nampaknya merupakan hal yang umum terjadi pada umat manusia.

Sebagian besar orang di dunia ini, kata Sang Buddha, tidak berdisiplin. Bagaikan seekor gajah dalam medan perang menahan semua panah yang mengenai dirinya, demikian pula Sang Buddha mengalami hinaan.

Orang bodoh dan jahat cenderung hanya melihat keburukan orang lain, tetapi tak menghiraukan kebaikan dan kesalehannya.

Tak ada seorangpun kecuali Sang Buddha yang sempurna. Tidak ada seorangpun yang sama sekali jahat. Sebaik-baiknya kita, masih ada juga sifat buruk dalam diri kita. Seburuk-buruknya kita, masih ada sifat-sifat baik pula dalam diri kita.

Sang Buddha menyatakan: "Ia yang mendiamkan dirinya bagaikan gong yang rusak, bila diganggu, dihina dan dicela; dialah yang saya katakan berada di hadapan Nibbana, walaupun ia belum mencapai Nibbana".

Orang dapat berbuat dengan tujuan sebaik-baiknya. Tetapi orang lain sangat sering salah menafsirkannya dan akan menuduhnya mempunyai tujuan tertentu, yang bahkan tak pernah ia impikan.

Orang boleh melayani dan membantu orang lain dengan sekuat tenaga, kadang-kadang dengan jalan berhutang atau menjual barang atau hartanya untuk menolong, menyelamatkan kawan yang dalam kesusahan, tetapi akhirnya dunia ini, yang dipenuhi oleh orang-orang bodoh, demikian berkuasa maka kawan yang ditolong tersebut akan mencari-cari kesalahannya, memfitnahnya, mencela sifat-sifat baiknya dan bergembira bila si penolong jatuh atau menderita.

Dalam ceritera-ceritera Jataka, diterangkan bahwa musikus Guttila mengajarkan segala sesuatu yang ia ketahui tentang musik kepada muridnya, tetapi muridnya adalah orang yang tak tahu diuntung, tak tahu balas budi, malahan ia berusaha menandingi dan menghancurkan gurunya.

Pada suatu ketika Sang Buddha diundang oleh seorang brahmana untuk makan di rumahnya. Karena undangan tersebut, Sang Buddha mengunjungi rumahnya. Tetapi bukannya ia melayani Beliau, malah ia mencela Beliau dengan kata-kata kotor dan kasar.

Dengan tenang Sang Buddha bertanya: "Apakah ada tamu-tamu yang datang bertamu kemari, brahmana?"

"Ya", jawabnya.

"Apakah yang anda lakukan bila mereka datang?"

"O, saya menyiapkan jamuan mewah".

"Bila mereka tidak jadi datang?"

"Tentu saja dengan gembira kami memakan sendiri sajian itu".

"Baiklah, brahmana, anda telah mengundang saya datang kemari untuk makan dan anda telah melayaniku dengan celaan-celaan. Saya tak menerima apa-apa. Silahkan ambil itu kembali".

Sang Buddha tidak mau membalas, "Jangan membalas dendam", nasehat Sang Buddha. "Kebencian takkan lenyap dengan kebencian, tetapi itu akan lenyap hanya dengan cinta kasih", ini adalah kata-kata agung Sang Buddha.

Tidak ada Guru agama yang demikian terpuji dan juga demikian dikritik, dihina dan dicela seperti Sang Buddha. Beginilah pengalaman manusia-manusia besar.

Sang Buddha dituduh membunuh seorang wanita dengan bantuan murid-murid-Nya. Karena kritik-kritik yang hebat terhadap Sang Buddha dan murid-murid-Nya oleh non-Buddhis, maka Bhikkhu Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk pergi ke desa lain.

"Ananda, bagaimanakah jika penduduk desa tersebut menghina kita pula?"

"Bhante bila demikian maka di seluruh dunia ini tak akan ada tempat bagi kita. Bersabarlah. Cercaan ini akan lenyap dengan sendirinya".

Seorang wanita haram raja, bernama Magandiya, sangat dendam terhadap Sang Buddha, karena Beliau tak menghiraukan kecantikannya dan keindahan tubuhnya (ketika ayahnya ingin mengawinkannya dengan Sang Buddha). Kemudian ia menyewa para pemabuk untuk menghina Sang Buddha di muka umum. Dengan ketenangan sempurna Sang Buddha menerima hinaan tersebut.

Hinaan adalah biasa bagi manusia pada umumnya. Lebih giat anda bekerja, lebih maju anda jadinya; maka lebih banyak pula anda dihina dan dicerca.

Socrates dihina oleh istrinya sendiri, bilamana ia pergi untuk menolong orang lain. Istrinya sakit, maka ia (istrinya) tak dapat mengerjakan pekerjaannya sehari-hari. Pada hari itu Socrates meninggalkan rumahnya dengan wajah sedih. Kawan-kawannya bertanya mengapa ia sedih. Ia menjawab bahwa istrinya tidak mencercanya, sebab ia hari ini sedang sakit.

"Sesungguhnya, anda mesti berbahagia karena tidak mendapat cercaan yang tak sedap itu", jawab temannya.

"O, tidak! Bilamana ia mencercaku, saya mendapat kesempatan untuk mempraktekkan kesabaran. Hari ini saya tak mendapat kesempatan itu. Inilah sebabnya mengapa saya sedih", jawab Socrates sang filosof.

Ini adalah pelajaran-pelajaran yang patut kita camkan selalu.

Bilamana kita dicela atau dicerca, kita harus berpikir bahwa kita diberikan kesempatan untuk mempraktekkan kesabaran. Daripada kita merasa dimusuhi, sebaiknya kita berterima kasih kepada lawan kita tersebut.

SUKA DAN DUKA

Suka dan duka adalah pasangan yang terakhir. Kedua faktor ini amat mempengaruhi manusia.

Apa yang dapat muncul atau terpenuhi dengan mudah adalah 'sukha' (kebahagiaan), sedangkan apa yang sukar sekali dipikul atau ditahan adalah 'dukkha' (penderitaan).

Kebahagiaan biasa adalah pemuasan keinginan manusia. Segera setelah hal yang diinginkan tercapai, maka kita menginginkan kebahagiaan lain lagi. Jadi keinginan kita tak pernah berhenti.

Kenikmatan indria adalah yang paling tinggi dan merupakan satu-satunya kebahagiaan bagi kebanyakan orang. Tak diragukan lagi bahwa kebahagiaan sekejap pada kesenangan materi inilah yang diharapkan, diidam-idamkan dan dibayang-bayangkan selalu. Jenis kebahagiaan ini disanjung-sanjung oleh para sensualis (orang yang bernafsu kuat), namun itu menyesatkan dan hanya berlangsung untuk sementara saja.

Dapatkah harta kekayaan memberikan kebahagiaan mutlak? Bila demikian maka jutawan tak seharusnya merasa tertekan dengan kehidupan ini. Di suatu negara tertentu yang telah mencapai puncak kemajuan, cukup banyak orang yang menderita gangguan batin. Mengapa harus demikian bila harta kekayaan pun tidak dapat memberikan kebahagiaan?

Dapatkah kekuasaan di dunia ini memberikan kebahagiaan sejati? Alexander Agung dengan penuh kemenangan mencapai India dengan menaklukkan semua negara yang dilaluinya, mengeluh karena tak ada negara yang akan ditaklukkan lagi.

Sangat sering kehidupan para negarawan yang berkuasa berada dalam bahaya. Kasus yang mengharukan tentang Mahatma Gandhi dan John Kennedy adalah contoh-contoh yang jelas.

Kebahagiaan sejati ditemukan di dalam diri dan bukan ditentukan menurut pandangan harta, kekuasaan, kehormatan atau penaklukan.

Bilamana harta duniawi itu didapat secara paksa atau tidak halal, atau disalah-gunakan, atau dimiliki dengan penuh kemelekatan, maka (harta tersebut) akan menjadi sumber kesakitan dan penderitaan bagi pemiliknya.

Apa yang merupakan kebahagiaan bagi seseorang, mungkin bukan kebahagiaan bagi orang lain. Daging dan minuman bagi seseorang, mungkin racun bagi orang lain.

Sang Buddha menguraikan empat macam kebahagiaan bagi umat biasa, yaitu: Kebahagiaan karena memiliki (athi sukha) kesehatan, kekayaan, umur panjang, kecantikan, kegembiraan, kekuatan, harta, anak dan sebagainya.

Sumber kebahagiaan kedua berasal dari kenikmatan karena menggunakan miliknya tersebut di atas (bhoga sukha).

Pria dan wanita umumnya mau senang. Sang Buddha tidak menyarankan agar supaya meninggalkan semua kenikmatan duniawi dan menjadi samana atau bhikkhu.

Kenikmatan akan kekayaan bukan hanya timbul pada waktu menggunakannya untuk diri sendiri tetapi juga pada waktu kita memberikannya demi kesejahteraan orang lain. Apa yang kita makan atau nikmati itu hanya sementara. Apa yang kita miliki kita akan tinggalkan dan pergi. Apa yang kita berikan akan kita bawa bersama-sama. Kita akan dikenang selama-lamanya karena perbuatan baik yang telah kita buat dengan barang duniawi yang kita miliki.

Tidak mempunyai hutang adalah kebahagiaan (anana sukha) pula. Bilamana kita puas dengan apa yang kita miliki dan kita hidup hemat, maka kita tak perlu berhutang kepada orang lain. Orang yang mempunyai hutang hidup dengan pikiran tertekan dan mempunyai kewajiban terhadap kreditur. Walaupun miskin, tetapi tanpa hutang, maka kita merasa bebas dan perasaan kita tenang.

Hidup jauh dari hinaan (anavajja sukha) adalah salah satu sumber kebahagiaan paling baik bagi orang awam. Orang yang hidup tanpa dihina adalah berkah bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain. Ia dikagumi banyak orang dan merasa lebih bahagia, dengan dipengaruhi getaran kedamaian orang lain. Hendaknya dicamkan bahwa adalah sulit sekali untuk mendapat nama baik dari banyak orang. Orang yang berakal budi agung hanya mau hidup tanpa tercela dan tak memperdulikannya keadaan dari luar.

Dalam dunia ini sebagian besar orang-orang menyenangkan dirinya dengan memuaskan nafsu-nafsu indrianya, sedangkan yang lainnya mencari kesenangan dengan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria. Tak terikat atau melampaui kesenangan duniawi adalah kebahagiaan batin. Kebahagiaan Nibbana, yaitu kebahagiaan yang terbebas dari penderitaan, adalah bentuk kebahagiaan tertinggi, teragung.

Biasanya kebahagiaan kita sambut, tetapi bukan sebaliknya —penderitaan agak sulit untuk diterima atau dipikul.

Kesedihan atau penderitaan datang dalam bentuk yang berbeda-beda.

Kita menderita karena kita menjadi tua, pada hal ini adalah wajar. Dengan ketenangan hati, kita menahan penderitaan karena usia tua.

Lebih pedih daripada penderitaan karena umur tua adalah penderitaan karena sakit. Bahkan hanya sakit gigi atau kepala sedikit saja kadang-kadang tak tertahan lagi.

Bilamana kita harus sakit, tanpa kuatir, kita harus sanggup berupaya untuk mengatasinya. Kita harus menghibur diri kita dengan berpikir bahwa kita tak menderita sakit yang jauh lebih parah.

Sering kita terpisah dari orang yang amat kita cintai. Perpisahan ini menyebabkan penderitaan pada batin kita. Kita harus menyadari bahwa semua pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Inilah saat baik sekali bagi kita untuk melatih ketenangan atau keseimbangan batin kita.

Sering pula kita terpaksa untuk bersama-sama dengan orang yang kita tidak sukai. Kita harus sanggup memikul keadaan ini pula. Mungkin kita sedang menerima 'kamma vipaka' —akibat kamma kita sendiri, yang berasal dari kamma lampau atau kamma sekarang ini. Kita seharusnya mencoba menyesuaikan diri kita dengan lingkungan yang baru atau berusaha mengatasi gangguan-gangguan tersebut dengan cara-cara lain.

Sedangkan makhluk sempurna seperti Sang Buddha, yang telah menghancurkan semua kekotoran batin, harus menahan derita jasmaniah yang disebabkan oleh penyakit dan eksiden.

Sang Buddha sering mengalami sakit kepala, kesakitan terakhir menyebabkan kesakitan jasmaniah pada-Nya. Akibat Devadatta menggulingkan batu untuk membunuh Beliau, kaki Beliau terluka oleh pecahan batu. Kadang-kadang Beliau dipaksa untuk menahan lapar. Karena ketidak-patuhan murid-Nya (yang bukan ariya punggala), Beliau terpaksa masuk hutan selama tiga bulan. Dalam hutan dengan beralaskan daun-daunan, dan menghadapi hembusan angin dingin Beliau tetap mempertahankan keseimbangan batin yang sempurna.

Di antara kesakitan maupun kebahagiaan, Beliau tetap hidup dengan batin yang seimbang.

Kematian adalah penderitaan terbesar yang kita harus hadapi di dalam lingkaran kehidupan kita ini (samsara-bhavacakka). Kadang-kadang kematian bukan hanya mengenai seorang keluarga kita saja, tetapi bisa terjadi pada beberapa orang sekaligus yang mungkin sulit dan berat untuk dipikul.

Patacara kehilangan keluarga dan orang yang dicintainya —orang tua, suami, kakak dan kedua anaknya, dan hal itu mengakibatkan ia menjadi gila. Sang Buddha menghiburnya.

Kisa Gotami kehilangan bayi satu-satunya dan ia pergi berusaha untuk mencari obat penyembuh bagi anaknya yang telah meninggal. Ia membawa-bawa mayat anaknya; ia mendatangi Sang Buddha dan meminta supaya anaknya dihidupkan lagi.

"Baik, saudari, dapatkah kamu membawa beberapa biji lada?"

"Tentu, Bhante!"

"Saudari, tetapi itu mesti berasal dari rumah yang belum pernah ada seorangpun meninggal di situ".

Biji lada ia dapati, tetapi tidak ada sebuah rumahpun di mana keluarga yang tinggal di situ belum pernah mengalami salah satu keluarganya meninggal dunia. Ia akhirnya mengerti sifat kehidupan.

Ketika seorang ibu ditanya mengapa ia tak menangisi kematian anak satu-satunya, ia menjawab, "Tanpa diundang ia datang, tanpa memberitahu ia pergi. Mengapa saya harus menangis? Apa gunanya menangis?"

Seperti buah yang jatuh dari pohon —mentah, matang atau tua, demikian pula kita mati sewaktu masih bayi, dewasa dan umur tua.

Matahari terbit di sebelah Timur hanya untuk terbenam di sebelah Barat.

Bunga mekar di waktu pagi dan layu di sore hari.

Kematian yang tak dapat dielakkan yang datang kepada kita semua tanpa kecuali harus kita hadapi dengan penuh keseimbangan.

"Bagaikan bumi, walaupun apa yang dilemparkan padanya, apakah itu manis atau pahit, adalah sama baginya, tanpa menunjukkan kemarahan maupun rasa persahabatan. Demikian pula dengan kita, apakah itu baik ataupun buruk, kita harus menerimanya dengan penuh ketenangan".

Sang Buddha bersabda: "Bila disentuh oleh kondisi-kondisi dunia tersebut, batin seorang arahat takkan pernah tergoncangkan".

Antara untung dan rugi, kemasyhuran dan nama buruk, pujian dan celaan, suka dan duka, marilah kita berusaha memelihara batin yang seimbang.***


Sumber:

Lembaran Khusus Agama Buddha "INFORMASI"; Seri ke 001; Multisign Offset, Jakarta.