Check out the Latest Articles:

Selasa, 28 Februari 2012

Salah Pengertian Tentang Sangha




oleh: P. Sabar
Hingga saat ini masih juga terdapat kesalahpengertian di antara umat Buddha mengenai siapakah yang disebut Sangha itu dan siapakah para bhikkhu itu sebenarnya. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini rasanya perlu dijelaskan agar kesalahpengertian itu tidak berlarut-larut, karena bisa menimbulkan dampak yang negatif bagi para bhikkhu sebagai anggota Sangha.
Sangha adalah perhimpunan para bhikkhu. Kata Sangha bukan berarti semata-mata sebagai kelompok para bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu tugas kegiatan tertentu.
Untuk melakukan suatu kegiatan tertentu maka Sangha baru sah jika minimal dihadiri oleh empat orang bhikkhu yang disebut catuvagga. Jadi kalau hanya ada tiga orang bhikkhu, maka itu bukan Sangha. Khusus untuk pentahbisan seorang bhikkhu (upasampada), maka Sangha minimal harus dihadiri oleh lima orang bhikkhu (pancavagga). Sedang untuk sidang pengadilan bagi seorang bhikkhu yang melakukan pelanggaran tertentu, maka Sangha baru sah jika dihadiri oleh minimal duapuluh orang bhikkhu (visativagga). Inilah yang sebenarnya disebut Sangha. Jadi kalau ada beberapa orang bhikkhu tinggal divihara, tetapi tidak melakukan sesuatu tugas, maka ini tak dapat disebut Sangha.
Sangha dalam hal ini ada dua macam, yaitu Sammuti Sangha dan Ariya Sangha. Sammuti Sangha yaitu perhimpunan para bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. Sedangkan Ariya Sangha adalah perhimpunan orang-orang dan para bhikkhu yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapatti, Sakadagami, Anagami dan Arahat). Jadi sekalipun dia bukan seorang bhikkhu tetapi telah mencapai tingkat kesucian, maka dia adalah tergolong dalam Ariya Sangha. Ariya Sangha inilah yang termasuk dalam Tiga Perlindungan (Tisarana) dimana umat Buddha berlindung, termasuk para bhikkhu.
Panggilan Kepada Seorang Bhikkhu
Kesalahan yang sering teljadi adalah panggilan kepada para bhikkhu dengan kata 'Yang Ariya', padahal belum tentu bhikkhu yang dipanggil 'Yang Ariya' itu telah menjadi seorang Ariya (telah mencapai tingkat kesucian). Hal ini bisa menimbulkan dampak yang negatif bagi bhikkhu itu sendiri, sebab bhikkhu yang bersangkutan itu bisa menjadi sombong, kurang hati-hati sehingga banyak yang tergelincir alias lepas jubah. Panggilan 'Yang Ariya' ini nampaknya diambil dari bahasa asing 'Venerable', yang terjemahan ke dalam bahasa Indonesia mestinya cukup dengan kata 'Yang patut untuk dimuliakan'.

Begitu pula sebutan terhadap seorang samanera, sering kita dengar dengan kata-kata, 'Yang Luhur' yang nampaknya diterjemahkan dari bahasa asing 'Reverend', yang mestinya cukup diterjemahkan dengan kata, 'Yang terhormat'.
Panggilan kepada para bhikkhu dan samanera kiranya tak perlu secara berlebih-lebihan, tetapi sebaliknya secara wajar saja. Bagaimanakah sebaiknya panggilan kepada para bhikkhu atau samanera itu? Panggilan dengan menggunakan kata 'Bhante' kepada seorang bhikkhu, yang berarti guru, rasanya sudah cukup hormat. Sebaliknya memanggil seorang bhikkhu dengan menggunakan kata 'bhikkhu' rasanya kurang tepat, atau kurang akrab, sebab kata 'bhikkhu' bisa diartikan 'pengemis', padahal bhikkhu itu tidak mengemis, sekalipun seorang bhikkhu itu adalah seorang yang miskin harta.
Di lain pihak, panggilan kepada seorang bhikkhu yang jelas-jelas diketahui banyak melakukan pelanggaran vinaya dan tidak mau lepas jubah, wajar kalau dia dipanggil 'bhikkhu', yang berarti si pengemis. Sebab bhikkhu yang demikian adalah berarti melakukan penipuan terhadap masyarakat dan juga menipu diri sendiri.
Selanjutnya kita sering mendengar para samanera sering juga dipanggil dengan sebutan 'bhante'. Panggilan demikian adalah kurang tepat, karena samanera adalah murid/siswa yang belum mendapat upasampada, sedang 'bhante' berarti 'guru' yaitu sebutan bagi mereka yang telah mendapat upasampada. Kata samanera berasal dari kata 'samana' (pertapa) dan 'nera' (putera/kecil). Seorang samanera harus mengikuti bimbingan yang diberikan oleh guru/bhikkhu pembimbing (upajjhaya). Karena itu panggilan terhadap samanera cukup dengan kata 'samanera' yang berarti 'siswa'.***

Sumber:
Jalan Tengah No. 5/Tahun Ke I/9 Februari 1989; Yayasan Dhamma Dipa Arama; Jakarta.

Jumat, 24 Februari 2012

Inginkah Hidup Lebih Baik?


Kalau kita mau mencoba merenungkan lebih dalam, sesungguhnya semua manusia mempunyai persoalan kehidupan yang sama. Tidak peduli apakah ia beragama Buddha atau beragama lain, ia bangsa ini atau bangsa itu. Persoalan ketidakpuasan, kegagalan, kesedihan, putus asa, kejengkelan, kemarahan, kebencian, bukan hanya persoalan umat Buddha saja. Persoalan ini adalah persolan setiap orang, semua manusia. Demikian juga kerukunan, kesejukan hati, kebahagiaan, keberhasilan adalah harapan setiap orang.
Bukan saja mereka yang mempunyai cita-cita bisa hidup bahagia adalah keluarga yang harmonis, saling mengerti, bisa mengatasi kesulitan: tapi ini adalah harapan semua orang, harapan setiap orang, tidak peduli dia beragama apapun juga.
          Karena itu  sangat benar bila Sang Buddha dalam khotbahNya yang pertama dalam Kesunyataan yang pertama mengatakan bahwa: Kehidupan ini adalah dukkha. Kehidupan kita sekarang ini adalah kehidupan dimana kita harus berjuang dan berjuang untuk mencapai keadaan yang lebih baik lagi. Setiap orang mengakuinya walaupun tidak seterus-terang seperti Sang Buddha.
          Setiap orang, setiap agama meskipun secara tidak terus terang mengakui bahwa kehidupan ini bukanlah kenikmatan yang tertinggi. Kehidupan ini bukanlah suatu puncak, bukan suatu keadaan yang sesuai dengan harapan kita. Memang banyak orang yang sulit mengerti akan pernyataan Sang Buddha yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa: ‘ Kehidupan ini adalah dukkha, kehidupan ini adalah penderitaan’. Bagi mereka yang baru pertama kali belajar agama Buddha, sulit menerima pernyataan itu, bahkan orang menilai bahwa agama Buddha ini agama yang ‘pesimistis’, suatu agama yang memandang bahwa hidup ini adalah penderitaan. Tapi mau mengakui atau tidak mau mengakui, kenyataan adalah kenyataan.
          Apa yang kita perjuangkan, kita usahakan; Saudara memeluk suatu agama, berjuang dengan sungguh-sungguh, memperjuangkan agar kehidupan lebih baik, lebih teratur. Sesungguhnya mau tidak mau mengakui, kehidupan ini adalah tidak memuaskan. Kalau Saudara konsekwen, bahwa hidup ini adalah suatu puncak kebahagiaan, tentunya Saudara tidak perlu beragama lagi, tidak perlu berjuang dengan sengit, tidak perlu meningkatkan kehidupan saudara lagi, karena beranggapan kehidupan Saudara sudah baik.
          Secara langsung atau tdak langsung, setiap orang tanpa kecuali mengatakan  bahwa kehidupan ini bukan suatu tujuan, tetapi masih merupakan proses yang habis-habisan untuk mencapai suatu keadaan yang lebih baik, sehingga akhirnya mencapai suatu kebahagiaan sejati.
          Lalu mengapa kita harus menjalani kehidupan seperti ini, tunggang-langgang, pontang-panting, dengan segala macam suka-duka, kegagalan, keberhasilan, kekecewaan, kepuasan, dan sebagainya?
          Persoalan kehidupan yang kita jalani, kita tanggung ini sebabnya adalah karena kita ini dilahirkan. Ini adalah jawaban yang paling jitu yang diberikan oleh Sang Buddha.
          Apa sebab kita ini dilahirkan? Tidak mungkin sesuatu muncul dengan begitu saja, kalau segala sesuatu muncul dengan begitu saja tidak perlu kita bertanggung jawab.
          Kita dilahirkan karena kita terlalu cinta, kita melekat pada kehidupan kita ini. Mengapa kita bisa sampai melekat pada kehidupan kita ini?
          Karena kita semua mempuyai nafsu keinginan. Nafsu keinginan itu yang menyebabkan kita melekat, ketagihan. Kita melekat pada suasana yang kita sukai, pada orang-orang yang kita cintai, pada jasmani kita, kebahagiaan kita; kita melekat pada kehidupan ini, walaupun kita mengatakan bahwa kehidupan kita ini sungguh membuat kehidupan kita sengsara; tapi sebenarnya kita cinta pada kehidupan ini.
          Nafsu keinginan yang membuat kita melekat, melekat pada kehidupan ini sehingga pada saat kematian; kelahiran kembali akan terjadi kemudian.
          Mengapa kita sampai mempunyai nafsu keinginan, bisa timbul nafsu keinginan? Dari mana datangnya nafsu keinginan? Karena kita mempunyai perasaan, rasa itulah yang menimbulkan hawa nafsu. Timbul perasaan senang… Saudara ingin memiliki selamanya, kalau timbul perasaan tidak senang… Saudara akan menyingkirkannya habis-habisan. Hawa nafsu itulah yang membuat kita melekat pada apapun yang kita cintai, dan kemelekatan inilah yang memperpanjang proses kehidupan kita, sehingga sesudah kematian kita dilahirkan kembali.
          Apa sebab kita merasakan sesuatu? Mengapa kita merasakan ini nikmat, ini menyenangkan, itu tidak menyenangkan? Karena kita bisa kontak, kalau kita tidak bisa kontak tidak mungkin kita bisa menikmati sesuatu.
          Apa yang dimaksud dengan kontak ini,  mengapa kita bisa kontak dan dari mana datangnya kontak? Kita isa kontak karena kita memiliki enam indria. Kita punya mata, bisa melihat yang indah-indah, yang jorok, yang gemuk, yang kurus. Mata kontak dengan apa yang dilihat kemudian timbul rasa senang, rasa suka, dan kesenangan ini ingin terus dinikmati… dinikmati… dinikmati lagi… terus. Itulah nafsu keinginan dan inilah yang menyebabkan kita melekat pada kesenangan itu, pada kehidupan, sehingga menyebabkan kehidupan kita terus tersambung kembali sesudah kematian, terlahir kembali.
          Kita punya telinga bisa menikmati suara yang merdu, suara si dia, pujian, sanjungan atau celaan. Talinga kita kontak dengan bunyi kemudian timbul kesenangan, kenukmatan, dan ingin terus menikmatinya berulang-ulang, berulang-ulang, inilah nafsu keinginan dan ini menyebabkan kemelekatan yang muncul; karena mendengar, dan itulah yang menyebabkan kita dilahirkan kembali.
          Demikian juga hidung, kontak dengan apa yang bisa kita cium, ‘ini bau tengik, ini bau enak’. Mulut/lidah bisa kontak dengan apa yang kita rasakan, ‘ ini enak, ini tidak enak’; demikian pula dengan tubuh/kulit kita. Mata, telinga, hidung, mulut, tubuh dan keenam adalah pikiran kita.
          Pikiran akan kontak dengan apa saja yang bisa kita pikirkan yang menimbulkan kesenangan, kenikmatan yang terus ingin dinikmati, dinikmati lagi, ingin dilunasi, dicicipi, itu menjadikan timbulnya nafsu keinginan dan muncul kemelekatan yang akan menyambung kehidupan yang serba menyakitkan ini. Kemelekatan ini membelenggu kita, kemelekatan yang menyebakan kita tidak bebas. Saudara mungkin masih bisa bebas selama Saudara masih bisa memenuhi kemelekatan, ketagihan Saudara, tapi pada saat Saudara tidak bisa lagi mempunyai kesempatan untuk memenuhi tuntutan kemelekatan itu, saat itu Saudara akan merasakan kesengsaraan yang luar biasa. Betapa bahagaianya orang yang tidak melekat!
          Lalu apa yang menjadi persoalan utama? Berhati-hatilah, waspadalah Saudara pada saat keenam indria Saudara kontak dengan sasarannya. Kalau mata, telinga, hidung, mulut, tubuh, pikiran Saudara kontak cobalah berusaha berusaha kontak dengan wajar, melihat sebagaimana adanya dan bila pada saat kontak itu muncul, muncul kesadaran, maka Saudara akan menjadi orang yang bahagia. Kontak ini tidak akan membuahkan suatu ikatan yang baru. Inilah sesungguhnya yang seharusnya kita latih, bukan hanya setiap hari tapi setiap saat, setiap keenam indria kita kontak, karena itulah saat yang paling bahaya.
          Dalam suatu Dhammapada dikatakan, kalau ada orang yang bisa mengalahkan seribu musuh setiap hari, ia belum dapat disebut sebagai pahlawan besar, tapi bila seseorang bisa mengalahkan dirinya sendiri, barulah ia bisa disebut sebagai pahlawan yang besar.
          Mengapa kita mempunyai enam indria yang membuat kita bisa kontak dengan dunia luar sehingga kita mempunyai nafsu keinginan yang ingin terus kita puaskan sampai timbullah kemelekatan, dan kemelekatan inilah yang memperpanjang proses kehidupan kita setelah kematian?
          Ini disebabkan karena ada jasmani dan batin, sehingga keenam indria kita bisa kontak dengan sasarannya masing-masing; seandainya hanya ada jasmani tidak ada batin, tidak mungkin bisa terjadi kontak.
          Dan mengapa sampai ada jasmani dan batin? Jasmani dan batin ini muncul karena karma-karma kita yang lampau. Apa sebab kita memuat karma-karma yang tidak karuan, apa sebab kita melekat? Kalau kita telusuri lebih jauh? Akhirnya Sang Buddha menemukan jawabnya yaitu: kebodohan.
          Maka kewaspadaan akan menghantarkan kita pada kebebasan, alangkah bahagianya orang yang tidak terikat, mereka yang sudah merdeka, bebas, seperti layaknya orang yang sudah bangun diantara mereka yang masih bermimpi.
          Sering kali uraian seperti di atas ini diterjemahkan secara salah, ada yang mengatakan bahwa, apabila sudah belajar agama orang akan menjadi malas, segan mencari mata pencaharian, segan bersaing. Kalau Saudara setelah membaca uraian ini bersikap seperti itu, Saudara telah salah menterjemahkan uraian tersebut.
           Jangan terikat, jangan melekat, tidak sama dengan jangan bekerja> Jangan terikat, jangan melekat, tidak sama dengan harap Saudara menganggur sajas. Mari kita bekerja dengan giat, apakah kita sebagai kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, karyawan, wiraswastawan, selesaikan tugas kita dengan sebaik-baiknya. Mari kita membuat rumah tangga kita jauh lebih baik, lebih makmur, mari kita buat negara ini lebih maju.
          Carilah sebanyak-banyaknya, carilah dengan mata pencaharian yang baik dan benar, berusaha bagaimana produksi ini lebih banyak lagi. Tapi yang menjadi persoalan jangan terikat pada semua itu. Kalau Saudara terikat, pada saat mengalami perubahan, Saudara akan menjadi orang paling sengsara. Kerjakanlah semua itu dengan penuh kebijaksanaan.
          Kita siap maju, kita siap menjadi makmur, Saudara tidak dilarang untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dengan cara yang baik dan benar, tapi jangan terikat, jangan melekat pada apa yang Saudara dapatkan. Kalau misalnya suatu saat family, kenalan Saudara sakit, membutuhkan… Saudara harus rela melepaskan itu… bantulah mereka sedapat mungkin.
          Kita siap menjadi pemimpin, pengurus, ketua, direktur, manager, tapi jangan berkeinginan untuk terus selamanya memegangnya; suatu saat Saudara harus siap melepaskannya.
          Mari kita berjuang, selama kita masih kuat, masih sehat, sesuai dengan bidang kita masing-masing. Berjuang mati-matian, hidup hemat, tidak berfoya-foya, belajar Dhamma, membuat kehidupan ini lebih tinggi, dan jangan lupa siap melepas setiap saat.
          Sebagai umat Buddha kita harus menonjol, bukan menonjol dalam kekayaan tapi menonjol dalam hal melepaskan. Karena pada hakekatnya segala sesuatu termasuk badan jasmani ini sesungguhnya bukan milik kita, suatu saat kita harus melepaskannya untuk selama-lamanya. Inilah rahasia kehidupan kita.
          Tidak ada alasan untuk memperbesar keserakahan. Kita bekerja mati-matian, mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan cara yang benar, bukan berarti kita serakah selama apa yang kita dapatkan itu rela kita lepaskan untuk kepentingan orang banyak. Dan itulah salah satu cara untuk menaklukan diri sendiri, kalau Saudara dapat menaklukan diri sendiri, maka Saudara adalah seorang pahlawan yang besar. Pandanglah kehidupan ini sebagai mana adanya, sewajarnya, dalam proporsi yang sebenarnya.

                                                     Sumber asli:
                                                                                        Khotah Dhamma di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, 2 April 1989;
                                                                                        di sadur oleh: Nani Linda, SH.

Identitas Umat Buddha Di Abad XXI

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvhuOLUMwwLvzZSaB54q2tdLj_pgS7OATtrQ1zRNHmM3gtxB3pVOXqHP-GTxEx6aoHQc32fi2lvjGyxnNMVBa17IXJvL1AT8UETAxYc7QpsQsl3a_UNhgLSzuDjDTnLA9m4iIGilvy6DuY/s1600/YM+Bhikkhu+Sri+Panyavaro+Maha+Thera.jpg

oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
        Sudah menjadi kesepakatan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sekutu untuk mencapai kesejahteraan. Kemajuan dan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi, Red.) menjadi tumpuan hampir semua orang untuk memerangi kemiskinan materi. Tetapi sebagai bangsa Timur yang cenderung melihat kemiskinan dalam dua dimensi, yaitu kemiskinan materi dan rohani; maka nilai-nilai keagamaan akan tetap mewarnai kehidupannya. Nilai-nilai keagamaan ini akan menghadapi kemiskinan rohani, dan pada saat yang sama memberikan nilai-nilai kemanusiaan kepada iptek. lptek memang sekutu, bukan seteru; dan juga bukan seteru agama.
        Nilai-nilai keagamaan akan menjadi penjaga agar iptek tidak menjelma menjadi kekuatan penghancur yang akan menghancurkan manusia itu sendiri, tetapi iptek mengabdi demi kesejahteraan.

Bahasa Ilmu Pengetahuan
        Kebutuhan akan ilmu pengetahuan adalah tuntutan nurani semua orang. Perkembangan dan penggunaannya merupakan fenomena yang tidak mungkin dihentikan atau dipungkiri. Ilmu pengetahuan dan juga teknologi tidak membedakan —atau mungkin tidak mempedulikan— bangsa, budaya, dan agama. Ia dikembangkan dan digunakan oleh semuanya. Ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasa yang sama bagi semua orang, yaitu: penalaran sehat, penelitian, kebenaran, dan kebebasan. Ia berbicara dengan menumbuhkan pengertian, bukan keharusan dan juga bukan dengan ancaman.
        Yang menjadi ganjalan, dunia ilmu pengetahuan masih sulit menerima norma-norma agama yang tidak mudah dicerna oleh bahasa mereka. Sama sekali tidak bijaksana bila hal ini diatasi hanya dengan pernyataan bahwa iman memang bukan ilmu. Atau, keyakinan itu memang tidak masuk akal.
        Dalam dasawarsa terakhir abad XX ini para pemuka agama seharusnya tidak terlambat meletakkan jembatan emas antara iman dan ilmu. Kita memang sedikit pun tidak akan mengubah nilai-nilai iman sebagai kebenaran hakiki yang telah diberikan oleh agama, tetapi era ini mulai menuntut kita untuk menanamkan iman itu dengan bahasa ilmu. Manusia Timur di abad XXI nanti adalah manusia modern yang sepenuhnya harus mengembangkan dan menggunakan iptek, dan sepenuhnya beriman sesuai dengan ajaran agama.
        Buddha Gotama sebagai salah satu pendiri agama —penemu Dharma— telah meletakkan jembatan antara iman dan akal itu. Dharma ditemukan dengan pencapaian Penerangan Sempurna (Bodhi), bukan dengan akal. Tetapi, iman terhadap Dharma harus dibangkitkan dengan pengertian yang menggunakan penalaran sehat. Dengan demikian tidak ada alasan bagi dunia ilmu pengetahuan untuk menyatakan bahwa agama adalah penghambat ilmu-ilmu sekuler.

Nilai-nilai Universal
        Para rohaniwan harus berusaha mengetengahkan nilai-nilai keagamaan dengan bahasa ilmu bagi semuanya. Manusia modern akan melihat bahwa kemanusiaan, kebaikan dan kebenaran bisa didapat dari semuanya dan menjadi milik bersama. Sebagaimana ilmu pengetahuan yang tidak dikembangkan hanya oleh manusia tertentu, dan untuk manusia tertentu pula; maka agama yang mempunyai nilai-nilai universal itu harus mampu bertemu dengan ilmu pengetahuan dalam keuniversalannya.
        Dharma tidak menuntut umat Buddha harus menunjukkan identitasnya dengan upacara atau tatacara agamis. Tetapi identitas yang dipunyai adalah identitas menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupannya sebari-hari dan —sudah tentu— dalam pandangan hidupnya.
        Nilai-nilai keagamaan yang ditunjukkan Dharma itu adalah nilai-nilai universal. Seorang umat Buddha akan melihat bahwa nilai-nilai itu terdapat juga di semua agama. Hal ini bukan karena toleransi atau pencampur-adukkan, atau sinkretisme; tetapi memang merupakan salah satu keyakinan bahwa agama-agama mempunyai nilai-nilai universal. Nilai-nilai itu tidak mungkin ditinggalkan oleh manusia modern. Karena dengan meninggalkan nilai-nilai itu mereka akan kehilangan nilai-nilai yang sangat berharga bagi kehidupannya.
        Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi para pemuka agama untuk mampu mengetengahkan dengan penuh penalaran dan juga penuh kebebasan akan nilai-nilai: cinta-kasih, ketulusan, pengorbanan, kebersamaan, kejujuran, keuletan, kesabaran, ketabahan, kebaikan, keharmonian, kedamaian, serta kebahagiaan.

Menjadi Umat Dharma
        Bagi umat Buddha bukannya menjadi kebanggaan —apalagi tujuan— mengenalkan diri atau disebut sebagai seorang umat Buddha. Ia tidak sekadar mengenalkan diri atau diketahui sebagai seorang umat Buddha, tetapi ia harus selalu menerapkan identitas Dharma dalam kehidupannya.
        Umat Buddha modern mungkin tidak banyak membutuhkan upacara lagi, karena memang hal-hal itu tidak diharuskan oleh Dharma. Tetapi ia mengerti Dharma dengan baik. Ia beriman kepada Tuhan dengan pengertian benar (samma ditthi). Ia mempunyai waktu untuk bermeditasi. Ia hidup dengan nilai-nilai Dharma sebagai seorang warga negara di tengah-tengah masyarakat. Kehadirannya diterima dengan hangat oleh semua umat beragama. Manusia modern ini —mungkin— hanya akan dikenal sebagai umat Dharma atau umat Tuhan.***

Sumber:
BUDDHA CAKKHU No.24/XIII/92; Yayasan Dhammadipa Arama.

Cinta Sejati



oleh: YM Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
        Kalau kita mau meneliti kehidupan kita. Meneliti dengan jujur. Kita akan sadar apa yang kita butuhkan. Apa yang kita butuhkan Saudara? Kita butuh: makanan, pakaian, tempat tinggal, obat-obatan, kepandaian, uang, dan masih banyak lagi. Kita butuhkan semua itu, tidak lain karena kita butuh bahagia. dengan cukup sandang, cukup pangan, punya kepandaian dan tersedia uang; kita akan merasa bahagia.
        Tetapi, ada satu hal yang selalu kita butuhkan. Bahkan, yang selalu dibutuhkan setiap insan. Kita semua butuh yang satu ini, tetapi justru kita sendiri tidak menyadarinya. Memang kita semua butuh makan, butuh pakaian, butuh sarana kehidupan lain. Memang uang, sesuatu yang perlu, pendidikan sesuatu yang lebih perlu lagi. Memang, sementara orang ingin menjadi kaya, ingin kedudukan; karena kalau kekayaan dan kedudukan itu digunakan sesuai dengan Dharma, sesuai dengan ajaran agama; tentu, membahagiakan banyak orang. Tetapi, lebih dari semua kebutuhan itu, diatas uang, makanan, pakaian, pendidikan, kekayaan, dan kekuasaan; kita semua masih butuh yang satu ini. Apakah itu? Yang satu itu tidak lain adalah: bahwa di atas segala-galanya, kita semua butuh: Cinta kasih.
        Tentang cinta kasih ini, dalam agama Buddha sendiri banyak teori. Apakah yang disebut dengan cinta sejati? Apakah yang disebut dengan cinta yang agung, cinta yang tanpa pamrih keserakahan? Sang Buddha menggambarkan cinta kasih ini sebagai cinta sejati dengan suatu contoh yang mudah kita mengerti. Cinta sejati adalah cinta seorang ibu kepada putranya yang tunggal.
        Cinta ibu adalah cinta sejati. Sejarah kehidupan dan semua agama mengakui cinta ibu ini. Ibu sejati selalu memberi. Pada awal kehidupan kita yang sekarang ini, ibu kita masing-masing telah memberikan pengorbanan yang sangat besar kepada kita. Ibu mempertaruhkan kehidupannya sendiri pada saat melahirkan kita. Tidak ada orang lain yang pernah memberikan pergorbanan seperti itu selain ibu kita sendiri. Setelah kelahiran, ibu membesarkan kita dengan memeberikan susu darahnya sendiri. Memang, ada juga kadang-kadang ibu yang kejam. Tetapi yang digunakan oleh Sang Buddha untuk menggambarkan cinta kasih ini adalah cinta ibu sejati. Cinta ibu sejati itulah contoh nyata cinta sejati yang bisa dilakukan oleh setiap manusia.
        Cinta ibu adalah cinta sejati yang ideal tetapi bisa kita jumpai dalam kehidupan ini. Cinta sejati itu bukan cinta dari dunia dongeng. Cinta sejati, cinta ynag tanpa pamrih keserakahan.
Bukan hanya anak membutuhkan cinta ibu, cinta orangtuanya. Tetapi, setiap insan, sadar atau tidak sadar, membutuhkan cinta. Anak-anak ingin dicintai oleh orangtua mereka. Mau mengakui atau tidak mau mengakui, anak-anak ingin diperlakukan dengan cinta ayah ibu  mereka. Tetapi, harus diingat juga, ayah ibu ingin mndapatkan cinta dari anak-anaknya. Cinta sejati anak terhadap orangtua mereka, akan membuat ayah ibu mereka bahagia. 

        Kalau ayah ibu gagal memberikan cinta kepada putra-putrinya, kalau ayah ibu alpa mencurahkan cinta sejati kepada anak-anak mereka;  anak-anak mereka susah mendapatkan cinta sejati itu dari orang lain. Apa kemudian jadinya? Tidak jarang, mereka yang tanpa cinta orangtua itu, pergi mencari cinta murahan.
        Tidak jarang pula, mereka yang tidak mendapatkan kehangatan cinta dari orangtuanya, sedangkan pada saat-saat remaja —justru mereka masih membutuhkan cinta— mereka kemudian menjadi nakal. Kepuasan mereka dapat dengan melakukan apa saja yang mereka mau, supaya banyak orang memperhatikannya. Dan, mereka cukup bahagia dengan diperhatikan oleh banyak orang. Perhatian yang dibutuhkan terhadap perbuatan-perbuatan ugal-ugalan itu, adalah cinta yang murahan juga. Tidak hanya remaja yang selalu dibicarakan, tetapi juga kita semua, termasuk generasi yang tua-tua; kalau Saudara gagal mendapatkan cinta yang agung, Saudara akan membuat sesuatu yang aneh-aneh, yang bukan-bukan. Oleh karena, dengan membuat sesuatu yang aneh-aneh itu, Saudara akan diperhatikan oleh banyak orang. Perhatian banyak orang terhadap keanehan-keanehan Saudara adalah cinta murahan yang sedang Saudara cari.
        Kita semua ingin  hidup bahagia. Tetapi, kebahagian tidak mungkin datang dengan begitu saja. Setiap hari kita dihadapkan berbagai macam persoalan. Supaya persoalan-persoalan itu tidak menghancurkan kita, supaya di tengah-tengah persoalan itu bisa tumbuh kebahagiaan, kita perlu kesabaran dan cinta kasih. Sabar dan cinta kasih membuat kita bisa bertindak hati-hati. Sabar dan cinta kasih membuat emosi terkendali. Sabar dan Cinta kasih menumbuhkan kebijaksanaan. Sabar dan cinta kasih memimpin kita semua menuju bahagia. Sebaliknya, kalau kita menghadapi sesuatu dengan dengki dan marah, sesungguhnya kita sudah menjadi setengah gila!
        Kebahagain memang sesuatu yang cukup mahal. Harus dibeli dengan sabar dan cinta kasih. Tetapi, sabar dan cinta kasih itu bukan sesuatu yang mustahil. Kita harus memulai sekarang; dan kita, bisa memulai itu, sekarang.
        Saya yakin, sabar dan cinta kasih ini bukan hanya tuntutan bagi umat Buddha saja. Tuntutan sabar dan kebutuhan cinta kasih adalah masalah kita semua, tuntutan bagi semua umat beragama. Lawan dari sabar dan cinta kasih adalah dengki dan marah. Dengan dengki dan marah, keharmonian dan kedamaian, baik damai dalam keluarga maupun damai di dunia, tidak bisa tercapai. Justru dengki dan marah menjadi sumber penghancur dan pembuat onar di setiap tempat.
        Dengan uraian di depan, saya ingin mengajak Saudara untuk bersama-sama menyadari bahwa cinta kasih adalah kebutuhan setiap insan. Kebutuhan di atas segala kebutuhan materi. Cinta sejati dibutuhkan oleh semuanya. Tidak membeda-bedakan agama, bangsa, tradisi dan segala macam. Cinta sejati kita butuhkan untuk bisa hadir pada setiap kita menghadapi persoalan. Orang tua perlu cinta-cinta dari putra-putrinya. Anak-anak butuh cinta dari orangtua mereka. Sebagai anggota masyarakat, hidup dengan saling mencintai membuat masyarakat damai dan harmoni.
        Sebagai umat beragama marilah kirta bersama-sama memikul tanggung jawab terhadap masyarakat, tehadap bangsa dan negara tercinta ini, bahkan tehadap kemanusiaan, dengan mempunyai dan memberikan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari.
        Kenakalan-kenakalan anak-anak kita, anak-anak kita sendiri; perbuatan-perbuatan aneh, kadang-kadang, para ayah ibu; persoalan dalam keluarga, dan problem-problem masyarakat; harus diselesaikan dengan rasa cinta sejati. Cinta sejati tidak menuntut pamrih ini atau itu. Cinta ini adalah cinta demi kebahagian bersama.
        Perkenankan saya mengajak Saudara, meskipun Saudara sangat sibuk, amat penting kedudukan Saudara; jangan lupa berikanlah cinta pada anak-anak. Bahkan kewajiban ini adalah kewajiban orangtua terhadap anak-anak, terhadap anak-anaknya sendiri. Mereka nakal, mereka berkelahi, tidak perduli lagi pada moral, mereka masuk dalam kenikmatan narkotika, ganja, dan segala macam; jangan datang dengan menyalahkan mereka; tetapi, setiap ayah dan ibu hendaknya datang dengan cinta sejati. Bukannya tidak mungkin, mereka mencari orangtua sudah lama pergi darinya.
        Kepada setiap remaja ingin saya minta. Jangan tuntut cinta dari orangtua kepadamu. Remaja yang baik adalah remaja yang tidak menuntut, tetapi remaja yang bisa memberikan cinta dari perlakuan sayang kepada orangtuanya. Ingatlah, orangtua pun perlu cintanya darimu. Orangtua yang tidak mendapatkan kehangatan cinta dari anak-anaknya, mereka pun akan mencari cinta murahan juga. Berbuat semaunya sendiri. Tidak perduli lagi pada tanggung jawab terhadap anak-anaknya.
        Para remaja yang baik, berikanlah cintamu pada ayah ibumu. Mereka perlu cinta darimu. Dengan perhatian dan cintamu, mereka akan mencintaimu, mereka akan sadar dan teguh dalam kewajibannya terhadap putra-putrinya.
        Marilah kita bersama mengisi kehidupan ini dengan dasar tanggung jawab besama. Marilah kita menjaga dan mengisi masyarakat Pancasila ini dengan mengembangkan rasa cinta sejati. Cinta sejati, cinta yang selalu memberi kekuatan pada kita. Kekuatan untuk mengendalikan diri.
        Hanya cinta kasih, cinta sejati, yang bisa menyelamatkan keluarga, masyarakat dan dunia ini dari kehancuran.***

Sumber:
KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 1; Sri Paññavaro Thera; 1988

Berkah Kehidupan



oleh: YM Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
       


 Kalau suatu keluarga sudah lama belum mempunyai putra, kemudian lahir seorang putra, maka keluarga ini merasa mendapat berkah. Tetapi, ada suatu keluarga yang lain, yang merasa sial, karena anak pertamanya adalah wanita. Mereka berpendapat anak wanita hanya ikut-ikutan saja. Kalau nanti suami masuk sorga, sang istri ikut; kalau masuk neraka tersangkut. wanita harganya hanya separo laki-laki. Adapula suatu keluarga, yang meskipun anak pertamanya wanita, tetapi karena anaknya lahir pada hari dan bulan yang baik, maka mereka merasa anak tersebut adalah berkah bagi hidupnya. Menurut keluarga ini, anak yang lahir pada hari dan bulan baik, meskipun wanita, kelak pasti mampu mengangkat derajat orang tuanya.
Berlainan dengan hal tersbut di atas, berkah akan menjadi lain bila terjadi di dunia keuntungan. Suatu hari pedagang sayur merasa mendapatkan keuntungan. Suatu hari pedagang sayur merasa mendapatkan berkah, karena hari itu keuntungan Rp. 5.000,- sudah masuk kedalam kantong. Keuntungan ini dua kali lipat bila dibandingkan pada hari-hari biasa. Tetapi, si pedagang roti hari itu merasa sial. Baginya keuntungan bersih Rp. 5.000,- sehari hampir tidak pernah dialami. Paling kecil Rp. 25.000,- sehari. Sebenarnya, keduanya mendapatkan keuntungan dengan jumlah yang sama, tetapi yang pertama merasa mendapatkan berkah, sedangkan yang kedua merasa sial.
Demikian juga umat Buddha. Bila umat Buddha mengikuti upacara, puja bakti, atau peringatan-peringatan hari suci lainnya, akan merasa menerima berkah kalau mendapat percikan air paritta. Apakah benar air paritta adalah berkah, dan mereka yang tidak hadir atau tidak mendapatkan air paritat adalah tidak mendapatkan berkah? Sesungguhnya persoalan berkah ini sudah ada sejak zaman sang Buddha. Pernah masyarakat pada waktu itu memberikan tentang berkah. Kelompok yang satu mempunyai pandangan lain dengan kelompok yang lain. Orang yang satu mempunyai pengertian berbeda dengan yang lainnya. Dikisahkan bahwa persolan berkah yang sesungguhnya itu menjadi ramai dibicarakan sampai 12 tahun lamanya. Tidak ada kesepakatan yang dicapai. Sampai-sampai di dalam kitab suci dicatat, persoalan berkah masuk juga ke alam dewa. Mereka memperdebatkan juga dengan sengit, apakah berkah itu?
Akhirnya, persoalan berkah ini sampai kepada Sang Buddha. Kepada Beliau yang sempurna pengetahuannya, yang telah menemukan dan mencapai jalan Ketuhanan. Yang telah menunjukkan kepada kita tentang adanya Yang Mutlak, Yang Esa, sehingga tumbuh harapan dan  keyakinan bagi kita untuk bisa bebas dari lingkaran penderiataan ini. Sang Buddha memberi jawaban tentang persoalan berkah ini dengan sangat unik. Suatu jawaban yang tidak pernah kita duiga-duga sebelumnya. Sang Buddha sama sekali tidak pernah memberi jawaban demikian:
  “O, air yang sudah disembahyangkan, dan kemudian dipercikan kepadamu, itulah berkah!”
 Atau:
 “Mempunyai anak yang lahir pada hari ini atau itu, dalam bulan ini atau itu; itulah yang Ku-nyatakan berkah!”
Tetapi Sang Buddha memberikan jawaban tentang berkah, bahkan utama, pada bagian pertama sekali dalam kotbah Beliau tentang berkah adalah demikian:

 “Tidak bergaul dengan orang bodoh
 Bergaul dengan mereka yang bijaksana
 Menghormati mereka yang patut dihormati
 Itulah Berkah Utama”
 
 Manggala Sutta atau kotbah tentang Berkah yang diberikan Sang Buddha tersebut berisi uraian berkah dari yang paling rendah sampai ke berkah yang paling tinggi. Pertama sekali Sang Buddha menunjukkan bahwa, tidak bergaul dengan orang-orang bodoh adalah berkah.  Siapakah sesungguhnya orang-orang bodoh itu?Yang dimaksud dengan orang bodoh adalah; yang menganggap bahwa membunuh, mencuri, berzina bukan perbuatan jahat.  Mereka-mereka menganggap bahwa perbuatan baik dan jahat sama sekali tidak berakibat. Mereka-mereka inilah orang-orang bodoh yang harus kita hindari. manusia tidak lepas dari pengaruh sekelilingnya,. Kita pun belum mencapai kesucian

Kalau kita selalu bergaul dengan orang-orang yang tidak memperdulikan moral, maka kita bisa ikut menjadi tidak bermoral. memang sudah seharusnya kita sayang kepada mereka. Kita perlu menuntun kehidupan mereka ke arah yang benar. Tetapi kita harus ingat  juga;bahwa   bukannya tidak mungkin kita terpengaruh oleh cara -cara hidup mereka. oleh karena itu, kita harus menjaga diri dengan baik pada saat berhubungan dengan mereka yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Janganlah kita menganggap bahwa kita adalah orang yang sama sekali tidak bisa terpengaruh.
Selanjutnya dinyatakan dalam Manggala Sutta bahwa, mempunyai kesempatan bergaul dengan orang-orang yang bijaksana adalah berkah. Orang bijaksana selalu memberi semangat kepada kita pada waktu kita lupa. Bergaul dengan orang yang bijaksana akan memberi manfaat besar bagi kehidupan kita. Kemudian kalimat selanjutnya: Bisa memberi penghormatan kepada mereka yang sudah selayaknya dihormati adalah berkah.

Dalam bagian selanjutnya, Sang Buddah menyatakan demikin :
 “ Hidup di negara yang tepat
 Mempunyai kebajikan dalam hidup yang lampau
 Menuntun diri ke arah yang benar
 Itulah Berkah Utama”
 
 Hidup di negara yang tepat adalah suatu berkah. Apakah yang dimaksud dengan negara yang tepat, yang merupakan berkah itu? Negara yang merupakan berkah, adalah bila di negara itu hidup ajaran Dharma, hidup ajaran agama. Sebaliknya, bila seseorang hidup di suatu negara yang tidak memperhatikan dan bahkan melarang kehidupan beragama. Negara yang rakyatnya harus menganggap bahwa kehidupan ini tidak ada akibat atau pertanggungan jawab lagi atas perbuatan-perbuatan kita. Di negara yang tidak bisa menghayati ajaran agama, ajaran Dharma, untuk mencapai kebahagiaan lahir dan keluhuran batin. Maka berarti hidup di negara yang tidak memungkinkan seseorang menempuh jalan untuk mengakhiri penderitaan.

Berbahagialah kita yang lahir di tanah air ini, di negara Indonesia, dimana Pancasila menjadi landasan berdirinya kemerdekaan. Di negara Pancasila, Ketuhanan Yng Maha Esa diletakkan di tempat utama, bukan disisihkan. Disini kehidupan beragama, ajaran agama, ajaran Dharma, tumbuh dengan, baik , bahkan pemerintah memberikan perhatian sangat besar. Kehidupan keagamaan adalah kehidupan yang membentuk manusia berketuhanan.  Di negara yang berketuhanan kita mendapatkan kesempatan menghayati Dharma. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa memperkuat harapan bagi umat Buddha, memperkuat, keyakinan umat Buddha untuk mencapai kebebasan mutlak. Sebaliknya di suatu negara yang Ketuhananya disisihkan, bahkan dimusuhi, maka harapan umat Buddha dibuat suram dan keyakinan mereka untuk bebas dari penderitaan dihancurkan.  Itulah sebabnya Sang Buddha menunjukkan kepada kita, bahwa hidup di negara yang tepat ( Patirupadesavaso), di negara di mana ajaran agama, ajaran Dharma hidup dengan baik adalah merupakan berkah.  Bagi umat Buddha negara merdeka, negara Pancasila kita ini, adalah negara yang membawa berkah utama. Dan sesungguhnya atas Pancasila itulah yang membuat negara ini memenuhi definisi Dharma untuk tepat  disebut sebagai: Negara Berkah Utama.
Selanjutnya marilah kita ikuti jawaban Sang Buddha tentang apakah berkah utama yang lain. hal tersebut dapat dilihat pada penjelasan di bawah:
 “Memiliki pengetahuan dan kertrampilan
 Terlatih baik dalam tata susila
 Ramah tamah dalam ucapan
 Itulah Berkah Utama

  Membantu ibu dan ayah
  Mendukung anak dan istri
  Bekerja tanpa cela
  Itulah Berkah Utama

 Berdana dan hidup sesuai Dharma
 Menolong sanak saudara
 Bekerja tanpa cela
 Itulah Berkah Utama

  Menjahui, tak melakukan kejahatan
  Menghindari minuman keras
  Tekun melaksanakan Dharma
  Itulah Berkah Utama

 Selalu hormat dan rendah hati
 Merasa puas dan terima kasih
 Mendengarkan Dharma pada saat yang sesuai
 Itulah Berkah Utama

  Sabar, rendah hati bila diperingatkan
  Mengunjungi para Samana
  Membahas Dharma pada saat yang sesuai
  Itulah Berkah Utama

 Bersemangat, menjalani hidup suci
 Menembus Empat Kebenaran Ariya
 Serta mencapai kebebasan sejati
 Itulah Berkah Utama

  Meskipun tergoda hal-hal duniawi
  Namun batin tak tergoyahkan
  Tiada susaah, tanpa noda, penuh damai
  Itulah Berkah Utama.”

 Dari jawaban Sang Buddha di atas, akan terlihat bahwa memiliki pengetahuan luas dan ketrampilan adalah termasuk memiliki pengetahuan sempit, yang malas menuntut ilmu, yang tidak mempunyai ketrampilan, adalah orang-orang yang tidak memiliki berkah Utama. Sang Buddha sendiri menunjukkan bahwa pengetahuan dan ketrampilan adalah berkah utama. Dan memang pengetahuan dan ketrampilan adalah salah satu syarat untuk berhasilnya pembangunan lahir-batin kita.  Sejak dahulu Sang Buddha mengingatkan kepada kita untuk mempunyai berkah dalam kehidupan ini, salah satunya adalah dengan menuntut ilmu seluas mungkin dan mempunyai ketrampilan.
 Jadi tidak benar, kalau ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa agama Buddha mengajarkan hal-hal yang serba supra-natural, acuh tak acuh dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, bahwkan menyuruh umatnya untuk menjadi petapa di hutan -hutan . Hal ini sama sekali tidak benar.

Selanjutnya Sang Buddha pun menyatakan: Orang, yang bisa memberikan bantuan kepada ibu dan ayah yang bisa memberikan bantuan kepada ibu dan ayah, selalu memenuhi kewajiban kepada anak dan istri, atau suami, bekerja bebas dari pertentangan : adalah juga berkah Utama.
 Lebih tinggi lagi, Sang Buddha menunjukkan: kalau kita mempunyai kerendahan hati, kalau bisa mempunyai kerendahan hati, kalau bisa mempunyai rasa puas dan tahu berterima kasih; inilah berkah utama. Jadi sebaliknya, orang yang tinggi hati, sombong adalah orang yang tidak memiliki berkah. Orang yang keserakahannya besar, yang tidak mengenal puas, artinya:selalu menuntut hasil jauh lebih besar dari usaha yang dilakukan ;orang itu tidak memiliki berkah.

Sang Buddha menunjukkan: orang yang sabar adalah orang memiliki berkah utama. Orang yang bersemangat adalah orang memiliki berkah utama. Hidup dalam kerukunan dan persatuan adalah kebahagian, tetapi orang yang mengusahakan persatuan dan kerukunan serta orang yang mempunyai tapo, artinya: semangat untuk membangun kerukunan dan persatuan adalah orang yang memiliki berkah utama.
Akhirnya Sang Buddha menyatakan: mencapai kebebasan dari lingkaran penderitaan, tiada susah, tanpa noda dan penuh damai, inilah berkah utama tertinggi. Kalau diperinci, terdapat 38 berkah utama dan, pada penutup Kotbah tentang Berkah yang terkenal itu, Sang Buddha mengatakan:
Karena dengan mengusahakan hal-hal itu
Manusia tak terkalahkandi mnanapun juga
Serta berjalan aman ke man saja
Itulah Berkah Utama mereka.

Dengan berkah kehidupan ini, marilah kita bangun kehidupan kita masing-masing lahir dan batin. Karena dengan mulai membangun keluarga dan masyarakat di mana kita hidup secara bersama-sama. Sungguh bahagia, dapat membangun lahir dan batin dalam Berkah Utama ini.***

Sumber:
Kumpulan Dhammadesana Sri Paññavaro Thera Jilid 1

Kamis, 23 Februari 2012

Ramalan vs Kamma


oleh: Subalaratano Thera
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA 'SUKHO PUÑÑASSA UCCAYO,"Kebahagiaan seseorang timbul akibat dari menumpuk jasa kebajikan"
        Dewasa ini seringkali Umat Buddha masih banyak yang sangat menggantungkan sikapnya kepada ramalan ahli nujum. Apalagi kalau umat Buddha yang masih awam dengan Buddha-Dhamma. Mereka umumnya belum mempunyai pengertian mendalam mengenai apa yang diajarkan oleh Buddha Gotama.
        Ternyata situasi kemajuan materi juga merupakan pendorong bagi suburnya praktek ramal meramal. Hal ini tidak lain karena manusia yang sedang mengejar materi biasanya lupa untuk membina batin atau menghayati ajaran Agama (Dhamma) secara benar. Masalah yang berkaitan dengan "kebatinan" diserahkan kepada para peramal.
        Tidak mengherankan bila kita mendengar bahwa beberapa pemimpin negara maju di bidang materi juga masih terikat dan percaya kepada ramalan ahli nujum.
        Pada zaman dahulu raja-raja disamping memiliki penasihat pemerintahan juga biasanya memiliki penasihat batin yang tugasnya memberikan pendapat mengenai arti ramalan, mimpi atau kejadian-kejadian yang terjadi dan dianggap merupakan ramalan di masa yang akan datang.
        Buddha-Dhamma yang telah diwariskan oleh Buddha Gotama bukan menolak ramal meramal atau memojokkan para ahli nujum. Dengan membabarkan Hukum Kesunyataan Kamma, Buddha Gotama berusaha mendidik manusia agar lebih mandiri ketimbang bergantung kepada ramalan saja. Sebab manusia yang cara berpikirnya selalu tergantung kepada ramalan, tidak akan menjadi "manusia dewasa" meskipun umurnya sudah setengah abad sekalipun.
        Diperlukan suatu usaha bagi umat Buddha yang mau menjadi "manusia dewasa" bisa menempatkan soal ramal meramal ini pada tempat yang tepat bukan sebagai tujuan hidup.
        Dalam riwayat Buddha Gotama dapat kita baca bagaimana para peramal yang ahli dari Raja Sudhodana memberikan arti ramalan setelah melihat putra mahkota Kapilavasthu, yang kemudian menjadi Buddha Gotama. Mereka yang tergolong ahli masih tidak bisa memberikan ramalan yang tepat, tapi masih ada dua kemungkinan, yaitu bila pangeran menjadi raja akan menjadi Raja dunia, tapi bila pangeran menempuh hidup bertapa ia akan menjadi Orang Suci.
        Begitu pula ketika permaisuri Raja Bimbisara mengandung diramalkan oleh ahli ramalnya bahwa putra yang akan lahir nantinya akan menjadi musuh dari Raja Bimbisara. Agar tidak terjadi maka dibuat "kias" putra yang akan lahir diberi nama Ajatasathu artinya musuh tidak lahir. Kemudian hari ternyata "kias"nya kurang manjur, Ajatasathu benar-benar membunuh ayahnya secara tidak langsung. Tapi setelah Buddha Gotama memberikan ajaran Dhamma, barulah Ajatasathu menjadi raja yang baik.
        Dalam cerita mengenai Y.A. Angulimala, dikisahkan bahwa ketika beliau dilahirkan seluruh senjata di kerajaan Pasenadi Kosala bersinar gemerlapan. Menurut para ahli nujum anak yang lahir saat itu akan menimbulkan malapetaka. Maka ayahnya seorang bendaharawan memberi nama: Ahimsaka, artinya yang tidak menimbulkan kekerasan. Apa yang terjadi kemudian adalah karena fitnahan dari saudara seperguruannya Ahimsaka menjadi pembunuh yang kejam dan diberi nama Angulimala. Baru setelah mendapat wejangan Dhamma dari Buddha Gotama, beliau insyaf dan menjadi Bhikkhu yang dikemudian hari mencapai kesucian Arahat.
        Jadi jelas bahwa ilmu meramal itu memang ada, tetapi hendaknya janganlah umat Buddha beranggapan bahwa ramal meramal itu terlepas dari Hukum Kamma apalagi kalau mempertentangkannya.
        Ramalan itu hanya sebagian kecil mengungkapkan tentang proses Hukum Kamma. Maka Buddha Gotama tidak merasa perlu untuk mengajarkan ilmu tersebut, mengingat keterbatasan daya pikiran manusia yang masih penuh dengan kilesa (noda). Padahal bilamana kekotoran batin ini telah dilenyapkan maka kemampuan mengetahui yang akan terjadi bisa dimiliki. Seperti bila awan gelap telah dihembus angin, maka angkasa akan terlihat terang benderang.
        Dalam Sinsapa-sutta, jelas Buddha Gotama telah mengingatkan kita bahwa apa yang diajarkan oleh Beliau meskipun sangat sedikit yang sangat banyak tidak diajarkan. Tetapi yang sedikit ini adalah "jalan langsung" (ekayanamaggo) untuk merealisir Nibbana. Sedangkan yang sangat banyak termasuk di dalamnya segala ilmu ramal meramal, bila diajarkan bukan saja merupakan jalan berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir, malah bisa menyesatkan manusia masuk ke Apaya bhumi (alam menderita).
        Oleh karena itu umat Buddha dewasa ini hendaknya berhati-hati agar tidak salah mengerti mengingat dalam zaman materialistis orang sering "mencatut" nama Buddha untuk cari sesuap nasi. Maka banyak ilmu-ilmu ramal meramal dikait-kaitkan kepada nama Sang Buddha demi income yang berlimpah ruah.
        Dalam satu uraian cerita Perjalanan ke Barat (Seeyu kie), Siluman Monyet (Sun Go Kong) ketika belajar ilmu kepada Potecousu seorang Arahat ditanyakan mau belajar ilmu apa. Karena ada 36000 ilmu jalan samping dan hanya ada 1 ilmu jalan tengah. Siluman monyet bertanya mana ilmu yang menuju kepada keabadian (tidak mati), Arahat itu menjawab kalau mau abadi harus belajar ilmu jalan tengah, bukan ilmu-ilmu jalan samping yang jumlahnya sangat banyak. Ternyata Siluman Monyet itu memilih ilmu jalan tengah. Maka bilamana seekor monyet saja mau mencari jalan lurus mengapa manusia sukanya jalan serong saja, kan sayang sekali (ini kata pengarangnya lho).
        Mengingat bahwa ramal meramal dewasa ini sering membingungkan umat Buddha maka marilah kita letakkan di tempat yang tepat. Seperti seorang yang belum mengerti tentang listrik, karena setiap kali menghidupkan lampu selalu menekan saklar di tembok. Ia berpikir bahwa sumber listrik ada dalam saklar itu. Sumbernya arus listrik bukan pada saklar, tapi dibangkitkan oleh generator di tempat lain dan masih banyak lagi faktor-faktornya tidak begitu sederhana yang dibayangkan oleh yang tidak mengerti.
        Buddha-Dhamma tidak menolak seluruh ramalan, tapi menempatkannya sebagai suatu peta hidup, yang masih bisa berubah dan  bergantung kepada orangnya, bagaimana setelah diramalkan. Kalau orang diramalkan akan mendapat bahaya, ia pasip tidak mau berusaha berbuat kebajikan, maka bahaya itu dengan bebas akan menimpa dirinya. Seperti sudah tahu akan kehujanan, tidak mau cari payung pasti akan basah kuyup, tapi kalau punya payung meskipun kehujanan tidak sampai basah kuyup. Sebaliknya kalau dapat ramalan akan dapat rejeki besar, lalu pasip malahan malas bekerja pasti rejekinya juga tidak datang, kalau datang ya, tidak besar. Sebaliknya kalau berusaha giat dan tekun, maka rejeki pasti bisa berlimpah ruah.
        Maka jelaslah bahwa ramalan hanya mengungkapkan sebagian kecil proses Hukum Kamma dan Punnabbhava tidak bertentangan. Bila umat Buddha sudah memiliki keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan ini yang disebut Kamma-niyama tidak perlu lagi ragu akan keabsahannya. Apalagi masih mau cari ramalan yang sebenarnya telah tercakup dalam uraian Y.A. Buddhagosa.
        Dilihat dari kekuatannya, Kamma (perbuatan) dibagi:
1. Garuka-kamma, yang memiliki kekuatan yang dasyat dan tahan lama.
2. Acinna-kamma atau Bahula-kamma, yang dilakukan berdasarkan kebiasaan yang rutin.
3. Asanna-kamma, yang dibuat menjelang sebelum kematian seseorang.
4. Katatta-kamma, yang bersifat mekanik dan memiliki dorongan kehendak yang lemah.
        Dipandang dari fungsinya, kamma (perbuatan) dibagi:
1. Janaka-kamma, berfungsi menentukan kelahiran.
2. Upathambhaka-kamma, berfungsi menambah atau mendorong hasil yang seharusnya diterima.
3. Upapilaka-kamma, berfungsi mcngurangi atau merendam hasil yang seharusnya diterima.
4. Upaghataka-kamma, berfungsi memotong atau melenyapkan hasil yang seharusnya diterima.
        Berdasarkan waktu masaknya, kamma (perbuatan) dibagi:
1. Ditthadhammavedaniya-kamma, yang dapat masak dalam kehidupan sekarang ini juga.
2. Uppajjavedaniya-kamma, yang masaknya dalam satu kehidupan yang akan datang.
3. Aparaparavedaniya-kamma, yang masaknya dua atau beberapa kehidupan yang akan datang.
4. Ahosi-kamma, telah habis masa kekuatannya sehingga tidak menghasilkan apa-apa lagi atau karena telah habis masa buahnya.
        Dengan demikian Buddha-Dhamma telah membabarkan prinsip dan Hukum Kamma sebagai suatu paramatha (kesunyataan mutlak) yang mengatur alam semerta ini termasuk isinya.
        Apakah manusia menerima atau tidak bukan masalah bagi Hukum kesunyataan itu. Seperti juga pada hukum fisika lainnya, kita melihat apakah manusia menerima atau tidak, hukum itu jalan terus tanpa menghentikan prosesnya.
        Semoga dalam saat kita kembali mengagungkanTri Suci Wesak 2534, kita semua akan tambah dalam menghayati Dhamma-Vinaya sehingga keyakinan makin kuat.
        Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua hidup sejahtera.***

Sumber:
BUDDHA CAKKHU No.17/XI/90; Yayasan Dhammadipa Arama.

Memberi Dalam Dhamma Berarti Menambah


oleh: Bhikkhu Subalaratano


        Banyak orang terutama yang berwatak kikir akan tertawa mendengar kata-kata di atas. Karena baginya, orang yang telah memberikan sesuatu pasti akan mengurangi apa yang dimilikinya. Mana mungkin miliknya akan bertambah. Hal itu karena ia hanya melihat dengan menggunakan kaca mata duniawi, batinnya masih sangat terikat atau melekat kepada apa yang dimilikinya sekarang. Ia belum sadar bahwa apa yang dimiliki itu adalah merupakan buah dari kedermawanannya dahulu.
        Di jaman Sang Buddha, seorang yang sangat kikir bernama Toddeya, karena kedunguannya ia terikat kepada hartanya demikian hebat, setelah mati ia tumumbal lahir menjadi seekor anjing yang menjaga tempat dimana ia menyembunyikan hartanya itu. Barulah setelah Sang Buddha membuka tabir yang tak terlihat oleh mata manusia biasa kepada anak Toddeya, persoalan itu menjadi jelas. Anak tersebut kemudian sadar bahwa harta yang dimiliki oleh si dungu bukan memberikan kebahagiaan, tapi sebaliknya akan membawa orang itu ke alam penderitaan.
        Oleh karena itu bila kita menginginkan kebahagiaan yang benar, berbuatlah kebaikan dengan mengembangkan kedermawanan terhadap sesamanya. Sesuai dengan ajaran Sang Buddha, para umat dianjurkan untuk mengembangkan kedermawanannya. Memberikan dana kepada para bhikkhu, Samanera, fakir miskin dan usaha sosial bagi kesejahteraan masyarakat.
        Adalah menjadi kewajiban atas dasar cinta kasih bagi para bhikkhu menerima dana makanan yang dipersembahkan oleh umat (pindapata). Karena hal itu memberikan kesempatan kepada para umat mendapatkan ladang subur untuk menanam bibit kebajikan sesuai dengan kemampuannya. Kebajikan yang ditanam di tempat yang subur pasti akan menghasilkan buah kebahagiaan dikemudian hari.
        Sang Buddha sangat memuji sikap Y.A. Maha Kassapa yang dalam melakukan pindapata, selalu berjalan di tempat mereka yang kurang mampu. Maksudnya agar mereka mendapat kesempatan lebih dahulu untuk menanam kebajikan, sehingga keadaan mereka bisa segera berubah menjadi lebih baik. Bagi mereka yang dapat memberikan dana kepada orang suci memang sangat beruntung, karena kebajikan tersebut mempunyai kekuatan yang luar biasa. Dalam salah satu sutta yang diceritakan bahwa dana yang diberikan kepada seorang Arahat biasanya dalam 7 hari dapat memberikan buahnya.
        Maka demi kebaikan para Umat, Sang Buddha meletakkan peraturan bagi para bhikkhu (Patimokhasila). Jika para Bhikkhu-Sangha selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya, maka mereka adalah merupakan ladang subur bagi para umat. Oleh karena itu para umat juga berkewajiban menyokong agar para Bhikkhu-Sangha kokoh dalam sila-silanya.
        Dengan demikian para umat tidak kehilangan ladang subur untuk menanam bibit kebajikannya. Menurut hukum Kamma dan Punnabbhava, keadaan kita sekarang adalah merupakan buah dari perbuatan yang mendahuluinya. Jadi kalau sekarang kita miskin, adalah disebabkan perbuatan kita yang lampau, yaitu tidak dermawan.
        Cara yang tepat untuk mereka yang menginginkan cita-citanya tercapai, usahanya maju atau memperbaiki hidupnya ialah dengan jalan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Tidaklah benar bahwa kekayaan dapat diminta di tempat keramat. Karena kekayaan seperti itu tidak akan memberikan kebahagiaan sejati. Hal ini hanya dikerjakan oleh mereka yang ingin cepat dan mudah memperoleh kekayaan semu tanpa memikirkan akibat yang pahit dikemudian hari.
        Kita memang tidak dapat menentukan kapan kebajikan itu akan diterima. Tetapi pemberian seorang bijaksana memiliki 8 sifat mulia yang dapat mempercepat masaknya buah kebajikan itu:
1. Sucim-deti: dana barang yang bersih (suci).
Barang yang diberikan benar-benar diperoleh dengan cara yang benar sesuai dengan Dhamma. Jadi bukan barang yang diperoleh dengan cara salah.
2. Panitam-deti: dana barang yang terbaik.
Barang yang diberikan adalah merupakan yang terbaik atau terpilih dari yang dimiliki. Jadi mungkin saja bagi seorang miskin, sekepal nasi merupakan yang terbaik dari yang dimilikinya.
3. Kalena-deti: dana diberikan tepat pada waktunya.
Seperti menanam bibit, subur tidaknya juga tergantung pada musim yang tepat. Demikian juga pemberian barang atau dana makanan harus tepat pada waktu dimana barang itu dibutuhkan. Pemberian makanan kepada bhikkhu atau samanera tepat diberikan pada waktu pindapata, atau sebelum lewat tengah hari.
4. Kappiyam-deti: dana barang yang layak diberikan.
Barang yang diberikan hendaknya dapat bermanfaat bagi yang menerima dan bukan yang membahayakan. Jadi pemberian yang mencelakakan penerimanya tidak disebut sebagai dana. Misalnya pemberian candu, alkohol dan sebagainya yang menyebabkan penerimanya menjadi mabuk.
5. Viccheya-deti: berdana secara bijaksana.
Dalam memberikan dana hendaknya dipilih orang yang tepat menerima atau penyalurnya. Seperti menanam bibit kita membutuhkan ladang yang subur. Pemberian dana kepada orang yang silanya kokoh pasti akan berbuah lebih baik daripada orang yang silanya kurang kokoh atau tidak memiliki sila (kemoralan).
6. Abhinam-deti: melaksanakan dana harus tetap (kontinyu).
Orang tidak semua dapat berdana dengan jumlah yang besar sekali saja. Maka hendaknya tanpa jemu laksanakanlah dana terus menerus dimana ada kesempatan sesuai dengan kemampuan. Sang Buddha bersabda: "Kebajikan yang dilakukan terus-menerus laksana menitiknya air, lama-lama dapat memenuhi sebuah tempayan".
7. Dadam cittam pasadeti: berdana harus dilaksanakan dengan pikiran tenang dan rela.
Ketenangan dan kerelaan merupakan sifat mulia yang menambah harumnya kebajikan.
8. Datva attamano hoti: setelah berdana batin merasa senang.
Kesenangan dan kebahagiaan ini dapat kita limpahkan dengan merenungkan kepada para leluhur kita. Hal ini bisa dicapai bilamana dalam berdana batin tidak melekat. Kebahagiaan ini masih terasa bila ingatan itu timbul kembali dalam pikiran.
        Dengan memiliki 8 sifat mulia ini, orang bijaksana tidak akan ragu bahwa kebajikan yang dilaksanakan pasti akan cepat berbuah, menghasilkan keberuntungan dan kebahagiaan di dalam hidupnya. Jadi benarlah kata-kata: "memberi dalam dhamma berarti menambah".***

Sumber:
Bunga Rampai Dhammadesana, Bhikkhu Subalaratano (penyusun)