Kalau kita mau mencoba merenungkan lebih
dalam, sesungguhnya semua manusia mempunyai persoalan kehidupan yang sama.
Tidak peduli apakah ia beragama Buddha atau beragama lain, ia bangsa ini atau
bangsa itu. Persoalan ketidakpuasan, kegagalan, kesedihan, putus asa,
kejengkelan, kemarahan, kebencian, bukan hanya persoalan umat Buddha saja.
Persoalan ini adalah persolan setiap orang, semua manusia. Demikian juga
kerukunan, kesejukan hati, kebahagiaan, keberhasilan adalah harapan setiap
orang.
Bukan saja mereka
yang mempunyai cita-cita bisa hidup bahagia adalah keluarga yang harmonis,
saling mengerti, bisa mengatasi kesulitan: tapi ini adalah harapan semua orang,
harapan setiap orang, tidak peduli dia beragama apapun juga.
Karena itu sangat benar bila Sang Buddha dalam
khotbahNya yang pertama dalam Kesunyataan yang pertama mengatakan bahwa: Kehidupan
ini adalah dukkha. Kehidupan kita sekarang ini adalah kehidupan dimana kita
harus berjuang dan berjuang untuk mencapai keadaan yang lebih baik lagi. Setiap
orang mengakuinya walaupun tidak seterus-terang seperti Sang Buddha.
Setiap orang, setiap agama meskipun
secara tidak terus terang mengakui bahwa kehidupan ini bukanlah kenikmatan yang
tertinggi. Kehidupan ini bukanlah suatu puncak, bukan suatu keadaan yang sesuai
dengan harapan kita. Memang banyak orang yang sulit mengerti akan pernyataan
Sang Buddha yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa: ‘ Kehidupan
ini adalah dukkha, kehidupan ini adalah penderitaan’. Bagi mereka yang
baru pertama kali belajar agama Buddha, sulit menerima pernyataan itu, bahkan
orang menilai bahwa agama Buddha ini agama yang ‘pesimistis’, suatu agama yang
memandang bahwa hidup ini adalah penderitaan. Tapi mau mengakui atau tidak mau
mengakui, kenyataan adalah kenyataan.
Apa yang kita perjuangkan, kita
usahakan; Saudara memeluk suatu agama, berjuang dengan sungguh-sungguh,
memperjuangkan agar kehidupan lebih baik, lebih teratur. Sesungguhnya mau tidak
mau mengakui, kehidupan ini adalah tidak memuaskan. Kalau Saudara konsekwen,
bahwa hidup ini adalah suatu puncak kebahagiaan, tentunya Saudara tidak perlu
beragama lagi, tidak perlu berjuang dengan sengit, tidak perlu meningkatkan
kehidupan saudara lagi, karena beranggapan kehidupan Saudara sudah baik.
Secara
langsung atau tdak langsung, setiap orang tanpa kecuali mengatakan bahwa kehidupan ini bukan suatu tujuan,
tetapi masih merupakan proses yang habis-habisan untuk mencapai suatu keadaan
yang lebih baik, sehingga akhirnya mencapai suatu kebahagiaan sejati.
Lalu mengapa kita harus menjalani
kehidupan seperti ini, tunggang-langgang, pontang-panting, dengan segala macam
suka-duka, kegagalan, keberhasilan, kekecewaan, kepuasan, dan sebagainya?
Persoalan kehidupan yang kita jalani,
kita tanggung ini sebabnya adalah karena kita ini dilahirkan. Ini adalah
jawaban yang paling jitu yang diberikan oleh Sang Buddha.
Apa sebab kita ini dilahirkan?
Tidak mungkin sesuatu muncul dengan begitu saja, kalau segala sesuatu muncul
dengan begitu saja tidak perlu kita bertanggung jawab.
Kita dilahirkan karena kita terlalu
cinta, kita melekat pada kehidupan kita ini. Mengapa kita bisa sampai melekat
pada kehidupan kita ini?
Karena kita semua mempuyai nafsu
keinginan. Nafsu keinginan itu yang menyebabkan kita melekat, ketagihan. Kita
melekat pada suasana yang kita sukai, pada orang-orang yang kita cintai, pada
jasmani kita, kebahagiaan kita; kita melekat pada kehidupan ini, walaupun kita
mengatakan bahwa kehidupan kita ini sungguh membuat kehidupan kita sengsara;
tapi sebenarnya kita cinta pada kehidupan ini.
Nafsu keinginan yang membuat kita
melekat, melekat pada kehidupan ini sehingga pada saat kematian; kelahiran
kembali akan terjadi kemudian.
Mengapa kita sampai mempunyai nafsu
keinginan, bisa timbul nafsu keinginan? Dari mana datangnya nafsu keinginan?
Karena kita mempunyai perasaan, rasa itulah yang menimbulkan hawa nafsu. Timbul
perasaan senang… Saudara ingin memiliki selamanya, kalau timbul perasaan tidak
senang… Saudara akan menyingkirkannya habis-habisan. Hawa nafsu itulah yang
membuat kita melekat pada apapun yang kita cintai, dan kemelekatan inilah yang
memperpanjang proses kehidupan kita, sehingga sesudah kematian kita dilahirkan
kembali.
Apa sebab kita merasakan sesuatu?
Mengapa kita merasakan ini nikmat, ini menyenangkan, itu tidak menyenangkan?
Karena kita bisa kontak, kalau kita tidak bisa kontak tidak mungkin kita bisa
menikmati sesuatu.
Apa yang dimaksud dengan kontak
ini, mengapa kita bisa kontak dan dari
mana datangnya kontak? Kita isa kontak karena kita memiliki enam indria. Kita
punya mata, bisa melihat yang indah-indah, yang jorok, yang gemuk, yang kurus.
Mata kontak dengan apa yang dilihat kemudian timbul rasa senang, rasa suka, dan
kesenangan ini ingin terus dinikmati… dinikmati… dinikmati lagi… terus. Itulah
nafsu keinginan dan inilah yang menyebabkan kita melekat pada kesenangan itu,
pada kehidupan, sehingga menyebabkan kehidupan kita terus tersambung kembali
sesudah kematian, terlahir kembali.
Kita punya telinga bisa menikmati
suara yang merdu, suara si dia, pujian, sanjungan atau celaan. Talinga kita
kontak dengan bunyi kemudian timbul kesenangan, kenukmatan, dan ingin terus
menikmatinya berulang-ulang, berulang-ulang, inilah nafsu keinginan dan ini
menyebabkan kemelekatan yang muncul; karena mendengar, dan itulah yang menyebabkan
kita dilahirkan kembali.
Demikian juga hidung, kontak dengan
apa yang bisa kita cium, ‘ini bau tengik, ini bau enak’. Mulut/lidah bisa
kontak dengan apa yang kita rasakan, ‘ ini enak, ini tidak enak’; demikian pula
dengan tubuh/kulit kita. Mata, telinga, hidung, mulut, tubuh dan keenam adalah
pikiran kita.
Pikiran akan kontak dengan apa saja
yang bisa kita pikirkan yang menimbulkan kesenangan, kenikmatan yang terus
ingin dinikmati, dinikmati lagi, ingin dilunasi, dicicipi, itu menjadikan
timbulnya nafsu keinginan dan muncul kemelekatan yang akan menyambung kehidupan
yang serba menyakitkan ini. Kemelekatan ini membelenggu kita, kemelekatan yang
menyebakan kita tidak bebas. Saudara mungkin masih bisa bebas selama Saudara
masih bisa memenuhi kemelekatan, ketagihan Saudara, tapi pada saat Saudara
tidak bisa lagi mempunyai kesempatan untuk memenuhi tuntutan kemelekatan itu,
saat itu Saudara akan merasakan kesengsaraan yang luar biasa. Betapa
bahagaianya orang yang tidak melekat!
Lalu apa yang menjadi persoalan utama?
Berhati-hatilah, waspadalah Saudara pada saat keenam indria Saudara kontak
dengan sasarannya. Kalau mata, telinga, hidung, mulut, tubuh, pikiran Saudara
kontak cobalah berusaha berusaha kontak dengan wajar, melihat sebagaimana
adanya dan bila pada saat kontak itu muncul, muncul kesadaran, maka Saudara
akan menjadi orang yang bahagia. Kontak ini tidak akan membuahkan suatu ikatan
yang baru. Inilah sesungguhnya yang seharusnya kita latih, bukan hanya setiap
hari tapi setiap saat, setiap keenam indria kita kontak, karena itulah saat
yang paling bahaya.
Dalam suatu Dhammapada
dikatakan, kalau ada orang yang bisa mengalahkan seribu musuh setiap hari, ia
belum dapat disebut sebagai pahlawan besar, tapi bila seseorang bisa
mengalahkan dirinya sendiri, barulah ia bisa disebut sebagai pahlawan yang
besar.
Mengapa kita mempunyai enam indria
yang membuat kita bisa kontak dengan dunia luar sehingga kita mempunyai nafsu
keinginan yang ingin terus kita puaskan sampai timbullah kemelekatan, dan
kemelekatan inilah yang memperpanjang proses kehidupan kita setelah kematian?
Ini disebabkan karena ada jasmani dan
batin, sehingga keenam indria kita bisa kontak dengan sasarannya masing-masing;
seandainya hanya ada jasmani tidak ada batin, tidak mungkin bisa terjadi kontak.
Dan mengapa sampai ada jasmani dan
batin? Jasmani dan batin ini muncul karena karma-karma kita yang lampau. Apa
sebab kita memuat karma-karma yang tidak karuan, apa sebab kita melekat? Kalau
kita telusuri lebih jauh? Akhirnya Sang Buddha menemukan jawabnya yaitu: kebodohan.
Maka kewaspadaan akan menghantarkan
kita pada kebebasan, alangkah bahagianya orang yang tidak terikat, mereka yang
sudah merdeka, bebas, seperti layaknya orang yang sudah bangun diantara mereka
yang masih bermimpi.
Sering kali uraian seperti di atas ini
diterjemahkan secara salah, ada yang mengatakan bahwa, apabila sudah belajar
agama orang akan menjadi malas, segan mencari mata pencaharian, segan bersaing.
Kalau Saudara setelah membaca uraian ini bersikap seperti itu, Saudara telah
salah menterjemahkan uraian tersebut.
Jangan terikat, jangan melekat, tidak sama
dengan jangan bekerja> Jangan terikat, jangan melekat, tidak sama dengan
harap Saudara menganggur sajas. Mari kita bekerja dengan giat, apakah kita
sebagai kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, karyawan, wiraswastawan,
selesaikan tugas kita dengan sebaik-baiknya. Mari kita membuat rumah tangga
kita jauh lebih baik, lebih makmur, mari kita buat negara ini lebih maju.
Carilah sebanyak-banyaknya, carilah
dengan mata pencaharian yang baik dan benar, berusaha bagaimana produksi ini
lebih banyak lagi. Tapi yang menjadi persoalan jangan terikat pada semua itu.
Kalau Saudara terikat, pada saat mengalami perubahan, Saudara akan menjadi
orang paling sengsara. Kerjakanlah semua itu dengan penuh kebijaksanaan.
Kita siap maju, kita siap menjadi
makmur, Saudara tidak dilarang untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dengan
cara yang baik dan benar, tapi jangan terikat, jangan melekat pada apa yang
Saudara dapatkan. Kalau misalnya suatu saat family, kenalan Saudara sakit,
membutuhkan… Saudara harus rela melepaskan itu… bantulah mereka sedapat
mungkin.
Kita siap menjadi pemimpin, pengurus,
ketua, direktur, manager, tapi jangan berkeinginan untuk terus selamanya
memegangnya; suatu saat Saudara harus siap melepaskannya.
Mari
kita berjuang, selama kita masih kuat, masih sehat, sesuai dengan bidang kita
masing-masing. Berjuang mati-matian, hidup hemat, tidak berfoya-foya, belajar Dhamma,
membuat kehidupan ini lebih tinggi, dan jangan lupa siap melepas setiap saat.
Sebagai umat Buddha kita harus
menonjol, bukan menonjol dalam kekayaan tapi menonjol dalam hal melepaskan.
Karena pada hakekatnya segala sesuatu termasuk badan jasmani ini sesungguhnya
bukan milik kita, suatu saat kita harus melepaskannya untuk selama-lamanya.
Inilah rahasia kehidupan kita.
Tidak ada alasan untuk memperbesar
keserakahan. Kita bekerja mati-matian, mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan
cara yang benar, bukan berarti kita serakah selama apa yang kita dapatkan itu
rela kita lepaskan untuk kepentingan orang banyak. Dan itulah salah satu cara
untuk menaklukan diri sendiri, kalau Saudara dapat menaklukan diri sendiri,
maka Saudara adalah seorang pahlawan yang besar. Pandanglah kehidupan ini
sebagai mana adanya, sewajarnya, dalam proporsi yang sebenarnya.
Sumber
asli:
Khotah Dhamma di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, 2 April 1989;
di sadur oleh: Nani Linda, SH.