Check out the Latest Articles:

Jumat, 24 Februari 2012

Identitas Umat Buddha Di Abad XXI

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvhuOLUMwwLvzZSaB54q2tdLj_pgS7OATtrQ1zRNHmM3gtxB3pVOXqHP-GTxEx6aoHQc32fi2lvjGyxnNMVBa17IXJvL1AT8UETAxYc7QpsQsl3a_UNhgLSzuDjDTnLA9m4iIGilvy6DuY/s1600/YM+Bhikkhu+Sri+Panyavaro+Maha+Thera.jpg

oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
        Sudah menjadi kesepakatan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sekutu untuk mencapai kesejahteraan. Kemajuan dan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi, Red.) menjadi tumpuan hampir semua orang untuk memerangi kemiskinan materi. Tetapi sebagai bangsa Timur yang cenderung melihat kemiskinan dalam dua dimensi, yaitu kemiskinan materi dan rohani; maka nilai-nilai keagamaan akan tetap mewarnai kehidupannya. Nilai-nilai keagamaan ini akan menghadapi kemiskinan rohani, dan pada saat yang sama memberikan nilai-nilai kemanusiaan kepada iptek. lptek memang sekutu, bukan seteru; dan juga bukan seteru agama.
        Nilai-nilai keagamaan akan menjadi penjaga agar iptek tidak menjelma menjadi kekuatan penghancur yang akan menghancurkan manusia itu sendiri, tetapi iptek mengabdi demi kesejahteraan.

Bahasa Ilmu Pengetahuan
        Kebutuhan akan ilmu pengetahuan adalah tuntutan nurani semua orang. Perkembangan dan penggunaannya merupakan fenomena yang tidak mungkin dihentikan atau dipungkiri. Ilmu pengetahuan dan juga teknologi tidak membedakan —atau mungkin tidak mempedulikan— bangsa, budaya, dan agama. Ia dikembangkan dan digunakan oleh semuanya. Ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasa yang sama bagi semua orang, yaitu: penalaran sehat, penelitian, kebenaran, dan kebebasan. Ia berbicara dengan menumbuhkan pengertian, bukan keharusan dan juga bukan dengan ancaman.
        Yang menjadi ganjalan, dunia ilmu pengetahuan masih sulit menerima norma-norma agama yang tidak mudah dicerna oleh bahasa mereka. Sama sekali tidak bijaksana bila hal ini diatasi hanya dengan pernyataan bahwa iman memang bukan ilmu. Atau, keyakinan itu memang tidak masuk akal.
        Dalam dasawarsa terakhir abad XX ini para pemuka agama seharusnya tidak terlambat meletakkan jembatan emas antara iman dan ilmu. Kita memang sedikit pun tidak akan mengubah nilai-nilai iman sebagai kebenaran hakiki yang telah diberikan oleh agama, tetapi era ini mulai menuntut kita untuk menanamkan iman itu dengan bahasa ilmu. Manusia Timur di abad XXI nanti adalah manusia modern yang sepenuhnya harus mengembangkan dan menggunakan iptek, dan sepenuhnya beriman sesuai dengan ajaran agama.
        Buddha Gotama sebagai salah satu pendiri agama —penemu Dharma— telah meletakkan jembatan antara iman dan akal itu. Dharma ditemukan dengan pencapaian Penerangan Sempurna (Bodhi), bukan dengan akal. Tetapi, iman terhadap Dharma harus dibangkitkan dengan pengertian yang menggunakan penalaran sehat. Dengan demikian tidak ada alasan bagi dunia ilmu pengetahuan untuk menyatakan bahwa agama adalah penghambat ilmu-ilmu sekuler.

Nilai-nilai Universal
        Para rohaniwan harus berusaha mengetengahkan nilai-nilai keagamaan dengan bahasa ilmu bagi semuanya. Manusia modern akan melihat bahwa kemanusiaan, kebaikan dan kebenaran bisa didapat dari semuanya dan menjadi milik bersama. Sebagaimana ilmu pengetahuan yang tidak dikembangkan hanya oleh manusia tertentu, dan untuk manusia tertentu pula; maka agama yang mempunyai nilai-nilai universal itu harus mampu bertemu dengan ilmu pengetahuan dalam keuniversalannya.
        Dharma tidak menuntut umat Buddha harus menunjukkan identitasnya dengan upacara atau tatacara agamis. Tetapi identitas yang dipunyai adalah identitas menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupannya sebari-hari dan —sudah tentu— dalam pandangan hidupnya.
        Nilai-nilai keagamaan yang ditunjukkan Dharma itu adalah nilai-nilai universal. Seorang umat Buddha akan melihat bahwa nilai-nilai itu terdapat juga di semua agama. Hal ini bukan karena toleransi atau pencampur-adukkan, atau sinkretisme; tetapi memang merupakan salah satu keyakinan bahwa agama-agama mempunyai nilai-nilai universal. Nilai-nilai itu tidak mungkin ditinggalkan oleh manusia modern. Karena dengan meninggalkan nilai-nilai itu mereka akan kehilangan nilai-nilai yang sangat berharga bagi kehidupannya.
        Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi para pemuka agama untuk mampu mengetengahkan dengan penuh penalaran dan juga penuh kebebasan akan nilai-nilai: cinta-kasih, ketulusan, pengorbanan, kebersamaan, kejujuran, keuletan, kesabaran, ketabahan, kebaikan, keharmonian, kedamaian, serta kebahagiaan.

Menjadi Umat Dharma
        Bagi umat Buddha bukannya menjadi kebanggaan —apalagi tujuan— mengenalkan diri atau disebut sebagai seorang umat Buddha. Ia tidak sekadar mengenalkan diri atau diketahui sebagai seorang umat Buddha, tetapi ia harus selalu menerapkan identitas Dharma dalam kehidupannya.
        Umat Buddha modern mungkin tidak banyak membutuhkan upacara lagi, karena memang hal-hal itu tidak diharuskan oleh Dharma. Tetapi ia mengerti Dharma dengan baik. Ia beriman kepada Tuhan dengan pengertian benar (samma ditthi). Ia mempunyai waktu untuk bermeditasi. Ia hidup dengan nilai-nilai Dharma sebagai seorang warga negara di tengah-tengah masyarakat. Kehadirannya diterima dengan hangat oleh semua umat beragama. Manusia modern ini —mungkin— hanya akan dikenal sebagai umat Dharma atau umat Tuhan.***

Sumber:
BUDDHA CAKKHU No.24/XIII/92; Yayasan Dhammadipa Arama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar