oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
|
Sudah menjadi kesepakatan bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sekutu untuk mencapai kesejahteraan.
Kemajuan dan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi, Red.) menjadi
tumpuan hampir semua orang untuk memerangi kemiskinan materi. Tetapi sebagai
bangsa Timur yang cenderung melihat kemiskinan dalam dua dimensi, yaitu
kemiskinan materi dan rohani; maka nilai-nilai keagamaan akan tetap mewarnai
kehidupannya. Nilai-nilai keagamaan ini akan menghadapi kemiskinan rohani, dan
pada saat yang sama memberikan nilai-nilai kemanusiaan kepada iptek. lptek
memang sekutu, bukan seteru; dan juga bukan seteru agama.
Nilai-nilai keagamaan akan
menjadi penjaga agar iptek tidak menjelma menjadi kekuatan penghancur yang akan
menghancurkan manusia itu sendiri, tetapi iptek mengabdi demi
kesejahteraan.
Bahasa Ilmu
Pengetahuan
Kebutuhan akan ilmu pengetahuan
adalah tuntutan nurani semua orang. Perkembangan dan penggunaannya merupakan
fenomena yang tidak mungkin dihentikan atau dipungkiri. Ilmu pengetahuan dan
juga teknologi tidak membedakan —atau mungkin tidak mempedulikan— bangsa,
budaya, dan agama. Ia dikembangkan dan digunakan oleh semuanya. Ilmu pengetahuan
berbicara dengan bahasa yang sama bagi semua orang, yaitu: penalaran sehat,
penelitian, kebenaran, dan kebebasan. Ia berbicara dengan menumbuhkan
pengertian, bukan keharusan dan juga bukan dengan ancaman.
Yang menjadi ganjalan, dunia
ilmu pengetahuan masih sulit menerima norma-norma agama yang tidak mudah dicerna
oleh bahasa mereka. Sama sekali tidak bijaksana bila hal ini diatasi hanya
dengan pernyataan bahwa iman memang bukan ilmu. Atau,
keyakinan itu memang tidak masuk akal.
Dalam dasawarsa terakhir abad XX
ini para pemuka agama seharusnya tidak terlambat meletakkan jembatan emas antara
iman dan ilmu. Kita memang sedikit pun tidak akan mengubah
nilai-nilai iman sebagai kebenaran hakiki yang telah diberikan oleh agama,
tetapi era ini mulai menuntut kita untuk menanamkan iman itu dengan bahasa ilmu.
Manusia Timur di abad XXI nanti adalah manusia modern yang sepenuhnya harus
mengembangkan dan menggunakan iptek, dan sepenuhnya beriman sesuai dengan ajaran
agama.
Buddha
Gotama sebagai salah satu pendiri agama —penemu Dharma— telah meletakkan
jembatan antara iman dan akal itu. Dharma ditemukan dengan pencapaian Penerangan
Sempurna (Bodhi), bukan dengan akal. Tetapi,
iman terhadap Dharma harus dibangkitkan dengan pengertian yang menggunakan
penalaran sehat. Dengan demikian tidak ada alasan bagi dunia ilmu pengetahuan
untuk menyatakan bahwa agama adalah penghambat ilmu-ilmu sekuler.
Nilai-nilai Universal
Para rohaniwan harus berusaha
mengetengahkan nilai-nilai keagamaan dengan bahasa ilmu bagi semuanya. Manusia
modern akan melihat bahwa kemanusiaan, kebaikan dan kebenaran bisa didapat dari
semuanya dan menjadi milik bersama. Sebagaimana ilmu pengetahuan yang tidak
dikembangkan hanya oleh manusia tertentu, dan untuk manusia tertentu pula; maka
agama yang mempunyai nilai-nilai universal itu harus mampu bertemu dengan ilmu
pengetahuan dalam keuniversalannya.
Dharma tidak menuntut umat
Buddha harus menunjukkan identitasnya dengan upacara atau tatacara agamis.
Tetapi identitas yang dipunyai adalah identitas menerapkan nilai-nilai keagamaan
dalam kehidupannya sebari-hari dan —sudah tentu— dalam pandangan
hidupnya.
Nilai-nilai keagamaan yang
ditunjukkan Dharma itu adalah nilai-nilai universal. Seorang umat Buddha akan
melihat bahwa nilai-nilai itu terdapat juga di semua agama. Hal ini bukan karena
toleransi atau pencampur-adukkan, atau sinkretisme; tetapi memang merupakan
salah satu keyakinan bahwa agama-agama mempunyai nilai-nilai universal.
Nilai-nilai itu tidak mungkin ditinggalkan oleh manusia modern. Karena dengan
meninggalkan nilai-nilai itu mereka akan kehilangan nilai-nilai yang sangat
berharga bagi kehidupannya.
Oleh karena itu, menjadi
tantangan bagi para pemuka agama untuk mampu mengetengahkan dengan penuh
penalaran dan juga penuh kebebasan akan nilai-nilai: cinta-kasih, ketulusan,
pengorbanan, kebersamaan, kejujuran, keuletan, kesabaran, ketabahan, kebaikan,
keharmonian, kedamaian, serta kebahagiaan.
Menjadi Umat Dharma
Bagi umat Buddha bukannya
menjadi kebanggaan —apalagi tujuan— mengenalkan diri atau disebut sebagai
seorang umat Buddha. Ia tidak sekadar mengenalkan diri atau diketahui sebagai
seorang umat Buddha, tetapi ia harus selalu menerapkan identitas Dharma dalam
kehidupannya.
Umat Buddha modern mungkin tidak
banyak membutuhkan upacara lagi, karena memang hal-hal itu tidak diharuskan oleh
Dharma. Tetapi ia mengerti Dharma dengan baik. Ia beriman kepada Tuhan dengan
pengertian benar (samma ditthi). Ia mempunyai
waktu untuk bermeditasi. Ia hidup dengan nilai-nilai Dharma sebagai seorang
warga negara di tengah-tengah masyarakat. Kehadirannya diterima dengan hangat
oleh semua umat beragama. Manusia modern ini —mungkin— hanya akan dikenal
sebagai umat Dharma atau umat Tuhan.***
Sumber:
|
BUDDHA CAKKHU No.24/XIII/92;
Yayasan Dhammadipa Arama.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar