oleh: P.
Sabar
|
Sangha adalah perhimpunan para bhikkhu. Kata Sangha bukan berarti semata-mata sebagai kelompok para bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu tugas kegiatan tertentu.
Untuk melakukan suatu kegiatan tertentu maka Sangha baru sah jika minimal dihadiri oleh empat orang bhikkhu yang disebut catuvagga. Jadi kalau hanya ada tiga orang bhikkhu, maka itu bukan Sangha. Khusus untuk pentahbisan seorang bhikkhu (upasampada), maka Sangha minimal harus dihadiri oleh lima orang bhikkhu (pancavagga). Sedang untuk sidang pengadilan bagi seorang bhikkhu yang melakukan pelanggaran tertentu, maka Sangha baru sah jika dihadiri oleh minimal duapuluh orang bhikkhu (visativagga). Inilah yang sebenarnya disebut Sangha. Jadi kalau ada beberapa orang bhikkhu tinggal divihara, tetapi tidak melakukan sesuatu tugas, maka ini tak dapat disebut Sangha.
Sangha dalam hal ini ada dua macam, yaitu Sammuti Sangha dan Ariya Sangha. Sammuti Sangha yaitu perhimpunan para bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. Sedangkan Ariya Sangha adalah perhimpunan orang-orang dan para bhikkhu yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapatti, Sakadagami, Anagami dan Arahat). Jadi sekalipun dia bukan seorang bhikkhu tetapi telah mencapai tingkat kesucian, maka dia adalah tergolong dalam Ariya Sangha. Ariya Sangha inilah yang termasuk dalam Tiga Perlindungan (Tisarana) dimana umat Buddha berlindung, termasuk para bhikkhu.
Panggilan Kepada Seorang Bhikkhu
Kesalahan yang sering teljadi adalah panggilan kepada para bhikkhu dengan kata 'Yang Ariya', padahal belum tentu bhikkhu yang dipanggil 'Yang Ariya' itu telah menjadi seorang Ariya (telah mencapai tingkat kesucian). Hal ini bisa menimbulkan dampak yang negatif bagi bhikkhu itu sendiri, sebab bhikkhu yang bersangkutan itu bisa menjadi sombong, kurang hati-hati sehingga banyak yang tergelincir alias lepas jubah. Panggilan 'Yang Ariya' ini nampaknya diambil dari bahasa asing 'Venerable', yang terjemahan ke dalam bahasa Indonesia mestinya cukup dengan kata 'Yang patut untuk dimuliakan'.
Begitu pula sebutan terhadap seorang samanera, sering kita dengar dengan kata-kata, 'Yang Luhur' yang nampaknya diterjemahkan dari bahasa asing 'Reverend', yang mestinya cukup diterjemahkan dengan kata, 'Yang terhormat'.
Panggilan kepada para bhikkhu dan samanera kiranya tak perlu secara berlebih-lebihan, tetapi sebaliknya secara wajar saja. Bagaimanakah sebaiknya panggilan kepada para bhikkhu atau samanera itu? Panggilan dengan menggunakan kata 'Bhante' kepada seorang bhikkhu, yang berarti guru, rasanya sudah cukup hormat. Sebaliknya memanggil seorang bhikkhu dengan menggunakan kata 'bhikkhu' rasanya kurang tepat, atau kurang akrab, sebab kata 'bhikkhu' bisa diartikan 'pengemis', padahal bhikkhu itu tidak mengemis, sekalipun seorang bhikkhu itu adalah seorang yang miskin harta.
Di lain pihak, panggilan kepada seorang bhikkhu yang jelas-jelas diketahui banyak melakukan pelanggaran vinaya dan tidak mau lepas jubah, wajar kalau dia dipanggil 'bhikkhu', yang berarti si pengemis. Sebab bhikkhu yang demikian adalah berarti melakukan penipuan terhadap masyarakat dan juga menipu diri sendiri.
Selanjutnya kita sering mendengar para samanera sering juga dipanggil dengan sebutan 'bhante'. Panggilan demikian adalah kurang tepat, karena samanera adalah murid/siswa yang belum mendapat upasampada, sedang 'bhante' berarti 'guru' yaitu sebutan bagi mereka yang telah mendapat upasampada. Kata samanera berasal dari kata 'samana' (pertapa) dan 'nera' (putera/kecil). Seorang samanera harus mengikuti bimbingan yang diberikan oleh guru/bhikkhu pembimbing (upajjhaya). Karena itu panggilan terhadap samanera cukup dengan kata 'samanera' yang berarti 'siswa'.***
Sumber:
|
Jalan Tengah No. 5/Tahun Ke I/9
Februari 1989; Yayasan Dhamma Dipa Arama;
Jakarta.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar