oleh: Subalaratano
Thera
|
NAMO TASSA
BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA 'SUKHO PUÑÑASSA
UCCAYO,"Kebahagiaan seseorang timbul akibat dari menumpuk jasa
kebajikan"
Dewasa ini seringkali Umat
Buddha masih banyak yang sangat menggantungkan sikapnya kepada ramalan ahli
nujum. Apalagi kalau umat Buddha yang masih awam dengan Buddha-Dhamma. Mereka
umumnya belum mempunyai pengertian mendalam mengenai apa yang diajarkan oleh
Buddha Gotama.
Ternyata situasi kemajuan materi
juga merupakan pendorong bagi suburnya praktek ramal meramal. Hal ini tidak lain
karena manusia yang sedang mengejar materi biasanya lupa untuk membina batin
atau menghayati ajaran Agama (Dhamma) secara
benar. Masalah yang berkaitan dengan "kebatinan" diserahkan kepada para
peramal.
Tidak mengherankan bila kita
mendengar bahwa beberapa pemimpin negara maju di bidang materi juga masih
terikat dan percaya kepada ramalan ahli nujum.
Pada zaman dahulu raja-raja
disamping memiliki penasihat pemerintahan juga biasanya memiliki penasihat batin
yang tugasnya memberikan pendapat mengenai arti ramalan, mimpi atau
kejadian-kejadian yang terjadi dan dianggap merupakan ramalan di masa yang akan
datang.
Buddha-Dhamma yang telah
diwariskan oleh Buddha Gotama bukan menolak ramal
meramal atau memojokkan para ahli nujum. Dengan membabarkan Hukum Kesunyataan
Kamma, Buddha Gotama berusaha mendidik manusia agar
lebih mandiri ketimbang bergantung kepada ramalan saja. Sebab manusia yang cara
berpikirnya selalu tergantung kepada ramalan, tidak akan menjadi "manusia
dewasa" meskipun umurnya sudah setengah abad sekalipun.
Diperlukan suatu usaha bagi umat
Buddha yang mau menjadi "manusia dewasa" bisa menempatkan soal ramal meramal ini
pada tempat yang tepat bukan sebagai tujuan hidup.
Dalam riwayat Buddha Gotama dapat kita baca bagaimana para peramal yang
ahli dari Raja Sudhodana memberikan arti ramalan
setelah melihat putra mahkota Kapilavasthu, yang kemudian menjadi Buddha Gotama. Mereka yang tergolong ahli masih tidak bisa
memberikan ramalan yang tepat, tapi masih ada dua kemungkinan, yaitu bila
pangeran menjadi raja akan menjadi Raja dunia, tapi bila pangeran menempuh hidup
bertapa ia akan menjadi Orang Suci.
Begitu pula ketika permaisuri
Raja Bimbisara mengandung diramalkan oleh ahli
ramalnya bahwa putra yang akan lahir nantinya akan menjadi musuh dari Raja Bimbisara. Agar tidak terjadi maka dibuat "kias" putra
yang akan lahir diberi nama Ajatasathu artinya musuh
tidak lahir. Kemudian hari ternyata "kias"nya kurang manjur, Ajatasathu benar-benar membunuh ayahnya secara tidak
langsung. Tapi setelah Buddha Gotama memberikan
ajaran Dhamma, barulah Ajatasathu menjadi raja yang
baik.
Dalam cerita mengenai Y.A. Angulimala, dikisahkan bahwa ketika beliau dilahirkan
seluruh senjata di kerajaan Pasenadi Kosala bersinar
gemerlapan. Menurut para ahli nujum anak yang lahir saat itu akan menimbulkan
malapetaka. Maka ayahnya seorang bendaharawan memberi nama: Ahimsaka, artinya yang tidak menimbulkan kekerasan. Apa
yang terjadi kemudian adalah karena fitnahan dari saudara seperguruannya Ahimsaka menjadi pembunuh yang kejam dan diberi nama Angulimala. Baru setelah mendapat wejangan Dhamma dari
Buddha Gotama, beliau insyaf dan menjadi Bhikkhu yang
dikemudian hari mencapai kesucian Arahat.
Jadi jelas bahwa ilmu meramal
itu memang ada, tetapi hendaknya janganlah umat Buddha beranggapan bahwa ramal
meramal itu terlepas dari Hukum Kamma apalagi kalau
mempertentangkannya.
Ramalan itu hanya sebagian kecil
mengungkapkan tentang proses Hukum Kamma. Maka Buddha
Gotama tidak merasa perlu untuk mengajarkan ilmu tersebut, mengingat
keterbatasan daya pikiran manusia yang masih penuh dengan kilesa (noda). Padahal bilamana kekotoran batin ini
telah dilenyapkan maka kemampuan mengetahui yang akan terjadi bisa dimiliki.
Seperti bila awan gelap telah dihembus angin, maka angkasa akan terlihat terang
benderang.
Dalam Sinsapa-sutta, jelas Buddha
Gotama telah mengingatkan kita bahwa apa yang diajarkan oleh Beliau
meskipun sangat sedikit yang sangat banyak tidak diajarkan. Tetapi yang sedikit
ini adalah "jalan langsung" (ekayanamaggo)
untuk merealisir Nibbana. Sedangkan yang sangat banyak termasuk di dalamnya
segala ilmu ramal meramal, bila diajarkan bukan saja merupakan jalan
berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir, malah bisa menyesatkan manusia
masuk ke Apaya bhumi (alam
menderita).
Oleh karena itu umat Buddha
dewasa ini hendaknya berhati-hati agar tidak salah mengerti mengingat dalam
zaman materialistis orang sering "mencatut" nama Buddha untuk cari sesuap nasi. Maka banyak ilmu-ilmu ramal
meramal dikait-kaitkan kepada nama Sang Buddha demi
income yang berlimpah ruah.
Dalam satu uraian cerita
Perjalanan ke Barat (Seeyu kie), Siluman
Monyet (Sun Go Kong) ketika belajar ilmu kepada Potecousu seorang Arahat ditanyakan mau belajar ilmu apa.
Karena ada 36000 ilmu jalan samping dan hanya ada 1 ilmu jalan tengah. Siluman
monyet bertanya mana ilmu yang menuju kepada keabadian (tidak mati), Arahat itu
menjawab kalau mau abadi harus belajar ilmu jalan tengah, bukan ilmu-ilmu jalan
samping yang jumlahnya sangat banyak. Ternyata Siluman Monyet itu memilih ilmu
jalan tengah. Maka bilamana seekor monyet saja mau mencari jalan lurus mengapa
manusia sukanya jalan serong saja, kan sayang sekali (ini kata pengarangnya
lho).
Mengingat bahwa ramal meramal
dewasa ini sering membingungkan umat Buddha maka marilah kita letakkan di tempat
yang tepat. Seperti seorang yang belum mengerti tentang listrik, karena setiap
kali menghidupkan lampu selalu menekan saklar di tembok. Ia berpikir bahwa
sumber listrik ada dalam saklar itu. Sumbernya arus listrik bukan pada saklar,
tapi dibangkitkan oleh generator di tempat lain dan masih banyak lagi
faktor-faktornya tidak begitu sederhana yang dibayangkan oleh yang tidak
mengerti.
Buddha-Dhamma tidak menolak
seluruh ramalan, tapi menempatkannya sebagai suatu peta hidup, yang masih bisa
berubah dan bergantung kepada orangnya, bagaimana setelah diramalkan. Kalau
orang diramalkan akan mendapat bahaya, ia pasip tidak mau berusaha berbuat
kebajikan, maka bahaya itu dengan bebas akan menimpa dirinya. Seperti sudah tahu
akan kehujanan, tidak mau cari payung pasti akan basah kuyup, tapi kalau punya
payung meskipun kehujanan tidak sampai basah kuyup. Sebaliknya kalau dapat
ramalan akan dapat rejeki besar, lalu pasip malahan malas bekerja pasti
rejekinya juga tidak datang, kalau datang ya, tidak besar. Sebaliknya kalau
berusaha giat dan tekun, maka rejeki pasti bisa berlimpah ruah.
Maka jelaslah bahwa ramalan
hanya mengungkapkan sebagian kecil proses Hukum Kamma dan Punnabbhava tidak bertentangan. Bila umat Buddha
sudah memiliki keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan ini yang disebut Kamma-niyama tidak perlu lagi ragu akan
keabsahannya. Apalagi masih mau cari ramalan yang sebenarnya telah tercakup
dalam uraian Y.A. Buddhagosa.
Dilihat dari kekuatannya,
Kamma (perbuatan) dibagi:
1. | Garuka-kamma, yang memiliki kekuatan yang dasyat dan tahan lama. |
2. | Acinna-kamma atau Bahula-kamma, yang dilakukan berdasarkan kebiasaan yang rutin. |
3. | Asanna-kamma, yang dibuat menjelang sebelum kematian seseorang. |
4. | Katatta-kamma, yang bersifat mekanik dan memiliki dorongan kehendak yang lemah. |
Dipandang dari fungsinya,
kamma (perbuatan) dibagi:
1. | Janaka-kamma, berfungsi menentukan kelahiran. |
2. | Upathambhaka-kamma, berfungsi menambah atau mendorong hasil yang seharusnya diterima. |
3. | Upapilaka-kamma, berfungsi mcngurangi atau merendam hasil yang seharusnya diterima. |
4. | Upaghataka-kamma, berfungsi memotong atau melenyapkan hasil yang seharusnya diterima. |
Berdasarkan waktu
masaknya, kamma (perbuatan)
dibagi:
1. | Ditthadhammavedaniya-kamma, yang dapat masak dalam kehidupan sekarang ini juga. |
2. | Uppajjavedaniya-kamma, yang masaknya dalam satu kehidupan yang akan datang. |
3. | Aparaparavedaniya-kamma, yang masaknya dua atau beberapa kehidupan yang akan datang. |
4. | Ahosi-kamma, telah habis masa kekuatannya sehingga tidak menghasilkan apa-apa lagi atau karena telah habis masa buahnya. |
Dengan demikian Buddha-Dhamma
telah membabarkan prinsip dan Hukum Kamma sebagai suatu paramatha (kesunyataan mutlak) yang mengatur alam
semerta ini termasuk isinya.
Apakah manusia menerima atau
tidak bukan masalah bagi Hukum kesunyataan itu. Seperti juga pada hukum fisika
lainnya, kita melihat apakah manusia menerima atau tidak, hukum itu jalan terus
tanpa menghentikan prosesnya.
Semoga dalam saat kita kembali
mengagungkanTri Suci Wesak 2534, kita semua akan tambah dalam menghayati
Dhamma-Vinaya sehingga keyakinan makin kuat.
Sabbe
satta bhavantu sukhitatta, semoga semua hidup
sejahtera.***
Sumber:
|
BUDDHA CAKKHU No.17/XI/90; Yayasan
Dhammadipa Arama.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar