oleh: Ven. K. Sri Dhammananda |
Sumber Asli: HOW TO LIVE WITHOUT FEAR & WORRY; Tim BC (penterjemah) |
Egois adalah penyebab iri, sementara iri memelihara egois
Suatu ketika ekor dan kepala seekor ular bertengkar tentang 'siapa' yang harus menjadi pemimpin. Ekor berkata kepada kepala, "Kamu selalu yang memimpin, ini tidak adil. Kamu harus membiarkan saya yang memimpin kapan-kapan". Kepala menjawab: "Itu tidak mungkin, karena sudah merupakan hukum alam bahwa saya yang harus menjadi kepala. Saya tak dapat bertukar tempat denganmu".
Pertengkaran berlangsung selama beberapa hari sampai suatu hari, karena marah, ekor mengikatkan diri pada sebuah pohon. Kepala tak dapat maju dan memutuskan untuk menuruti keinginan ekor. Sayang sekali, ekor tak dapat melihat arah perjalanan, dan jatuh ke dalam kobaran api, tewas.
Ada orang-orang yang tidak pernah puas dengan milik mereka dan iri kepada orang-orang lain yang memiliki lebih daripada mereka. Rasa iri yang dipendam dalam pikiran mereka menghalangi mereka dalam menikmati milik mereka. Bahkan walaupun mereka sudah sangat berhasil dalam pandangan orang lain, mereka tetap tidak puas dan tersiksa oleh kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil daripada mereka. Mereka seharusnya mengubah pikiran mereka dan menghitung berkah mereka daripada menanam rasa iri.
Penyebab Rasa Iri
Penyebab dasar rasa iri adalah ego seseorang. Jika seseorang berwatak aneh dan berego besar, ia hidup hanya untuk dirinya dan menganggap orang lain sebagai rival kuatnya. Ia iri kepada keberhasilan mereka. Ia menginginkan milik mereka. Ia tak tahan terhadap kebahagiaan mereka dan iri pada prestasi mereka. Pada analisa akhir para ahli, yang menimbulkan masalah adalah bahwa ia menjadi ketus dan berbahaya. Masalah ini dapat timbul karena berbagai sebab.
Masalah lebih banyak timbul dari sesama kita
Seekor anjing melakukan perjalanan keliling. Beberapa hari kemudian ia kembali, dan temannya bertanya apakah ia menemui kesulitan dalam perjalanan. Ia menjawab bahwa ia bertemu dengan banyak orang dan hewan sepanjang jalan. Mereka tidak mengganggunya sama sekali.
"Satu-satunya persoalan yang saya temui adalah dari sesama kita", katanya. "Mereka mengganggu saya dengan menggonggong, mengejar, dan menggigit saya".
Hal yang sering terjadi ketika seseorang berhasil, orang-orang yang tidak mengenalnya tidak memperdulikannya. Sebaliknya, ia harus tahan terhadap teman-teman dan familinya yang mungkin merasa iri terhadap keberhasilannya. Mereka menyebarkan isue, dan bahkan merintanginya. Dalam keadaan demikian ia harus melatih kesabarannya. Mungkin lebih mudah baginya untuk mengingat bahwa sejumlah orang lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang asing daripada dengan masyarakat mereka sendiri.
Keegoisan timbul karena pandangan yang salah dan sikap yang tidak dapat menerima kenyataan hidup. Keegoisan adalah suatu perasaan sangat merusak yang berdasarkan impian dan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang tak terlukiskan. Kewaspadaan diri dan penyembuhan harus dilakukan untuk mengendalikan emosi negatif tersebut.
Pikiran adalah kekuatan dimana kebaikan menghasilkan kebaikan. Buah yang kita petik berasal dari bibit yang telah kita tanam. Penderitaan dan kebahagiaan kita adalah akibat dari pikiran buruk dan baik kita yang berdasarkan hukum sebab/akibat, yang berlaku di dunia pada setiap rencana/perbuatan. Jika seseorang bernasib sial seperti mempunyai musuh, hal terburuk yang dapat dilakukan terhadap dirinya sendiri, dan bukan terhadap musuhnya adalah membiarkan dendam tersebut menetap dan membiarkan kebencian berkembang.
Kita semua adalah teman di dalam penderitaan dan tunduk kepada kenyataan umum. Pilihan untuk mengembangkan kebajikan atau melakukan kejahatan, tergantung pada kita. Karena itu, jika kita tak dapat menahan diri ketika melihat atau mendengar prestasi/keberhasilan orang lain, kita perlu mengevaluasi kembali pandangan kita.
Kewaspadaan Pikiran
Dengan meninjau dan memeriksa pikiran buruknya, seseorang harus menyadari bahwa tidak ada yang memiliki kekuatan ataupun cara untuk merusak kedamaian batin dan keseimbangan pikirannya selain dia sendiri. Saat ia membandingkan dirinya dengan orang lain, ia menderita sendiri dengan berpikir bahwa ia memiliki lebih sedikit atau bahwa orang lain lebih berhasil daripadanya. Tak ada manfaatnya untuk memendam rasa iri, yang sering menyebabkan perpecahan di dunia.
Kita harus menyadari bahwa emosi negatif seperti iri, kemarahan, dan sakit hati melumpuhkan perkembangan pikiran. Kita harus berusaha untuk membebaskan diri kita dari pengaruh-pengaruh buruk tersebut sekuat tenaga. Iri tidak akan memenuhi keinginan kita, malahan menjerumuskan kita pada jalan buntu dari penderitaan fisik dan mental yang mengandung kebencian, tidak tenteram, dan tidak pantas.
Kita harus selalu waspada terhadap pikiran yang tak sehat. Bilamana suatu pikiran buruk muncul dalam pikiran, kita harus mencoba untuk menghilangkannya atau menggantikannya dengan pikiran yang positif. Semua ini mengharuskan kita untuk waspada terhadap sesuatu yang masuk dan keluar dari pikiran kita. Melalui proses bertahap dari kewaspadaan diri, kita akan mampu memeriksa dan membuang pikiran negatif sebelum kita diperbudaknya.
Menghadapi Rasa Iri
Setelah kita mengetahui bahaya memendam rasa iri, kita kemudian dapat mencurahkan waktu dan tenaga kita untuk perkembangan yang menguntungkan dari pikiran kita yang bermanfaat tentang keramahan dan simpati. Kita harus memikirkan bahwa tidak ada yang bilang jika orang lain dapat maju dan sukses. Kita harus mengembangkan kesederhanaan, menghapuskan impian bagi diri sendiri, dan mengembangkan rasa simpati jika orang lain bahagia. Adalah suatu berkah bagi seseorang yang dikaruniai dengan pikiran baik tersebut, dan bagi dunia secara keseluruhan. Pelaksanaan rasa simpati terhadap penderitaan orang lain harus ditingkatkan sementara pada saat yang bersamaan menghapuskan pikiran egois. Suatu kehidupan yang bahagia dan memuaskan hanya dapat dicapai jika seseorang dapat mengatasi keegoisan dan mengembangkan jasa baik, pengertian, dan kebajikan.
Sang Buddha mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan rasa simpati atau menghargai jika orang lain bahagia, yang merupakan obat efektif bagi rasa iri. Mereka mengambil suatu sikap yang berdasarkan ucapan selamat yang penuh kegembiraan ketika orang lain makmur dan sukses. Ini mungkin mudah dilaksanakan jika pihak yang makmur dan sukses tersebut adalah yang kita cintai, tetapi agak sulit menghargai musuh kita. Cobalah pikirkan: "Apakah kita tidak menginginkan kemakmuran dan kesuksesan? Apakah kita tidak ingin diberkahi dengan kebahagiaan? Seperti juga apa yang kita inginkan untuk diri kita, bukankah yang lain juga ingin diberkahi dengan kemakmuran, keberhasilan, dan kebahagiaan?" Menjaga sikap mental tersebut dapat membebaskan seseorang dari penderitaan seperti terjerumus kepada kegagalan, terutama jika dendam dan perbuatan jahat berkembang dari pikiran iri. Hal ini juga mencegah seseorang dari menghalangi orang lain maju.
Sebaliknya kita harus sabar kepada orang lain yang merasa iri terhadap keberhasilan kita. Reaksi mereka kadang-kadang dapat timbul karena kita tidak bersikap rendah hati. Kita harus memperhatikan prestasi kita di hadapan orang lain yang kurang berhasil. Selama kita sukses, kita harus mengingat kegagalan masa lalu kita sehingga kita dapat lebih mengerti perasaan orang lain yang kurang berhasil.
Sementara yang lain menentang kita karena iri, kita harus melindungi diri kita terhadap kebencian. Kita harus mengingatkan diri kita bahwa kita, seperti yang lainnya, adalah pemilik kamma kita. Kita harus beipikir: "Untuk apa saya marah kepadanya? Kemarahan tidak akan menyelesaikan persoalan, tetapi hanya memperburuk keadaan. Kemarahan hanya membuat kamma yang menyebabkan penderitaan dan kehancuran bagi diri kita sendiri. Membalasnya dengan kebencian, hanya akan melukai diri sendiri, seperti seseorang yang mengambil bara dengan tangannya untuk memukul orang lain". Ada cerita yang menggambarkan dengan jelas bagaimana seorang pandita menundukkan seorang lawan yang iri tanpa mengambil jalan kemarahan.
Dapatkah Kau Menundukkan Aku?
Suatu ketika ada seorang pandita yang ceramahnya dihadiri oleh orang-orang dari seluruh kalangan. Ia tidak pernah menggunakan penjelasan yang bersifat mengajari, melainkan berbicara secara langsung dari hati kepada pendengar-pendengarnya.
Suatu sore, seorang guru dari sekte agama lain menghadiri ceramahnya. Guru itu marah karena pandita tersebut mampu menarik pendengar dalam jumlah banyak, termasuk para pengikutnya. Guru dengan ego yang besar tersebut memutuskan untuk berdebat dengan pandita tersebut.
"Hai, pandita!", serunya. "Tunggu sebentar. Orang lain mungkin mendengarkan dan menuruti kata-kata kau, tetapi aku tidak akan menghormati kau. Apakah kau dapat menundukkan aku?"
"Mari ke sampingku dan akan aku tunjukkan", kata sang pandita.
Guru itu menerobos kerumunan orang dan berdiri dengan pongah di samping sang pandita.
Sang pandita tersenyum, "Mari ke samping kiriku." Sang guru menurut.
"Tidak, aku pikir lebih baik di samping kananku", kata sang pandita. Dengan demikian kita dapat berbicara lebih enak". Sang guru dengan sombong berjalan ke samping kanan.
"Kau lihat", kata sang pandita. "Anda telah menuruti aku. Aku rasa kau adalah seorang yang sangat ramah. Silahkan duduk dan ikut mendengarkan ceramahku".***
Sumber: |
BUDDHA CAKKHU No.20/XII/1991; Yayasan Dhammadipa Arama. |
Apa Makna Iri Hati dalam Agama Buddha?
BalasHapusIri hati ga ada makna nya , malah iri hati hanya membuang-buang waktu anda saja .Kenapa membuang-buang waktu?karna banyak hal yang lebih penting dari pada anda iri Hati (: #SetauSaya:)
BalasHapus#menurut saya*
HapusTerima kasih postingannya sangat bermanfaat
BalasHapus