Check out the Latest Articles:

Jumat, 22 April 2011

Mittamitta-Jataka

"Bila orang bijaksana,..." dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana mengenai pelayan istana Raja Kosala yang jujur.

Orang-orang mengatakan bahwa pelayan tersebut sangat berguna bagi raja dan raja menganugerahkan penghargaan yang luar biasa kepadanya. Para pelayan istana yang lain tidak bisa menerima keberadaan pelayan yang jujur itu. Mereka menyalahkannya dihadapa raja dengan tuduhan telah melakukan hal-hal yang menyakiti raja. Raja bertanya kepadanya, dan ia tidak menemukan kesalahan dalam diri pelayan yang jujur itu. Raja berpikir, "Saya tidak menemukan kesalahan dalam diri orang ini, tetapi bagaimana saya bisa mengetahui apakah ia adalah sahabat atau musuh saya?" Kemudian ia berpikir, "Tidak ada seorangpun yang dapat memutuskan jawaban dari pertanyaan ini kalau bukan Sang Tathagata, saya akan pergi dan bertanya kepada Beliau."

Kemudian setelah santap siang, raha pergi mengunjungi Sang Guru dan berkata, "Bhante bagaimana seseorang bisa membedakan orang lain, apakah dia sahabat atau musuh?" Kemudian Sang Guru menjawab, "Orang-orang bijaksana di masa lampau, Oh raja, telah memikirkan masalah ini, dan telah mennayakan kepada orang-orang bijaksana tentang masalah ini, dengan mengikuti nasehatnya, mereka telah menemukan Dhamma (kebenaran), dan setelah meninggalkan musuh-musuhnya, mereka memberikan perhatian terhadap sahabat-sahabatnya." Dalam hal ini, atas permintaan raja, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Pada suatu saat, ketika Bhramadatta menjadi raja di Benares, Bodhisattva adalah seorang pelayan istana yang memberikan nasehat kepada raja mengenai ha;-hal keagamaan dan hal-hal keduniawian. Pada saat itu, para pelayan yang lain menfitnah seorang pelayan istana yang jujur. Raja tidak menemukan kesalahan dalam diri pelayan itu, bertanya kepada Makhluk Agung, "Bagaimana seseorang bisa mengenal sahabat atau musuh?". Dengan mengulangi ayat (gatha) yang pertama:

"Bagimana orang bijaksana, yang selalu hati-hati, harus berusaha keras, sehingga bisa menangkap dan mengerti dengan jelas perbuatan-perbuatan apa (yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga) yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan orang tersebut sebagai musuh?"

Kemudian Makhluk Agung itu mengulangi lima ayat dibawah ini untuk menjelaskan tanda-tanda orang bisa disebut sebagai musuh:

“Ia tidak tersenyum ketika anda menjumpainya, tidak ada sambutan yang akan ia tunjukkan, Ia tidak akan menoleh dengan berbuat begitu, dan menyahut anda.

Ia menghormati musuh-musuh anda, ia tidak memperhatikan sahabat-sahabat anda, Ia akan diam dengan mereka yang memuji kemuliaan anda, namun justru dia akan memuji mereka yang menfitnah anda.

Ia tidak akan menceritakan rahasiannya kepada anda, namun ia akan membuka rahasia anda, Ia tidak pernah berkata baik tentang apa yang anda lakukan, kebijaksanaan anda tidak akan dipuji.

Ia tidak bergembira atas kesejahteraan anda, tetapi bergembira atas kemalangan anda. Kalau ia menerima sesuatu yang khusus, ia tidak ingat dengan anda, Ia tidak merasa kasihan kepada anda, dan juta tidak berseru, “Semoga sahabat saya mendapatkan sesuatu yang sama.

Inilah enam belas tanda dari mana anda bisa tahu seseorang itu adalah musuh. Demikianlah jika seorang yang bijaksana melihat dan mendengar, ia bisa tahu siapa musuh-musuhnya."

"Bagaimana orang bijakasna, yang selalu hati-hati, harus berusaha keras, sehingga akan mengembangkan dengan tulus, perbuatan-perbuatan apa (yang dilihat leh mata dan didengar oleh telinga) yang dilakukan oleh orang, menyebabkan orang itu disebut sebagai sahabat?"

Tentang hal-hal yang lain demikianlah ditanyakan pada baris-baris tersebut, kemudian diulangilah bait-bait yang tersisa:

"Ia ingat jika anda tidak hadir, ia bergembira jika anda telah kembali; kemudian dalam puncak kegembiraanya, ia mengucapkan selamat kepada anda dengan suara ucapannya,

Ia tidak pernah memberikan penghormatan kepada musuh-musuh anda, ia suka melayani sahabat-sahabat anda, Ia akan diam dengan mereka yang menfitnah anda, namun akan memuji mereka yang menghargai anda.

Ia memberitahukan rahasiannya kepada anda, rahasia anda tidak pernah dibukanya, ia selalu mengatakan dengan baik atas apa yang anda lakukan, Ia suka kalau kebijaksanaan anda suka dipuji.

Ia gembira mendengar keadaan anda sejahtera, tetapi sedih dengan berita atas kemalangan anda, Kalau ia menerima sesuatu yang khusus, ia langsung ingat pada anda, Ia merasa kasihan kepada anda, dan juga berseru “Semoga sahabat saya mendapatkan sesuatu yang sama!

Inilah enam belas tanda dari sahabat-sahabat yang telah dinyatakan dengan jelas, yang mana kalau seorang yang bijaksana melihat dan mendengar, ia bisa tahu siapa sahabat yang sebenarnya."

Raja bergembira dengan uraian dari Makhluk Agung itu, memberikan penghormatan tertinggi kepadanya.

Setelah mengakhiri khotbah ini, Sang Guru berkata, "Raja yang agung, demikianlah pertanyaan yang muncul pada masa yang lampau sama seperti pada saat sekarang ini, dan para bijaksana mengungkapkan kata-katanya; dengan tiga puluh dua tanda ini seseorang yang menjadi musuh atau sahabat dapat diketahui."Dengan kata-kata tersebut Beliau mengenal Kelahiran itu: "Pada saat ini, Ananda adalah raja, dan saya sendiri adalah pelayan yang bijaksana."

(Dikutip dari Majalah Dhammacakka

Kaka Jataka

"Dalam ketakutan yang tiada henti..." - Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang penasehat yang bijaksana. Peristiwa-peristiwa ini sambungan dari Bhaddasala-jataka.

Pada suatu masa ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatva terlahir kembali sebagai seekor burung gagak.
Pada suatu hari, pendeta raja pergi ke luar kota dan menuju sungai. Ia mandi disana. Dan setelah mengharumkan dan mewangikan dirinya, ia mengenakan pakaiannya dan kembali ke kota. Pada terowongan jalan yang terletak di pintu gerbang kota terdapat dua ekor burung gagak dan diantaranya mereka berkata kepada rekannya. "Saya bermaksud mengotori kepala brahmana ini"."Oh, jangan lakukan hal demikian, sesungguhnya brahmana ini adalah orang yang agung, dan perbuatan yang jahat itu akan menimbulkan kebencian yang sangat besar. Seandainya anda marah kepadanya, ia dapat menghancurkan seluruh bangsa kita", kata burung gagak yang lainnya . "Saya harus melakukannya", kata burung gagak yang pertama.

"Baiklah, anda harus berjaga-jaga", dan burung gagak yang lainnya pergi terbang dengan segera. Pada saat ketika brahmana itu berada dibawah benteng pertahanan, burung gagak itu menjatuhkan kotoran. Dalam kemarahan besar, brahmana itu dengan segera menaruh kebencian terhadap seluruh burung gagak.

Pada saat itu pula, seorang pembantu wanita bertugas menyebarkan beras di depan pintu lumbung beras pada saat matahari terik dan ia duduk di sana untuk mengawasi, kemudian ia jatuh tertidur. Kemudian muncul seekor kambing berbulu kasar dan mulai memakan beras itu sampai wanita itu terbangun dan mengusirnya. Segera setelah wanita itu jatuh tertidur, dua atau tiga kali kambing itu datang kembali dan memakan beras. Maka ketika wanita itu telah mengusir kambing untuk ketiga kali, maka ia berpikir bahwa kedatangan kambing yang terus menerus itu akan memakan sebagian dari persediaan berasnya dan langkah-langkah tertentu harus dijalankan untuk menakuti dan mengusir binatang, demi kebaikannya dan dapat menyelamatkannya dari kerugian yang besar. Maka ia mengambil obor yang menyala, duduk, dan pura-pura jatuh tertidur seperti biasanya.

Dan ketika kambing itu mulai makan, wanita itu secara tiba-tiba muncul dan menyerang punggung kambing berbulu kasar itu dengan obornya. Dengan seketika bulu-bulu kasar pada kambing itu menyala, dan untuk meredam penderitaannya, ia berlari menuju lumbung rumput yang berada dekat kandang gajah dan berguling-guling di rumput. Maka lumbung itu terperangkap oleh api dan nyala api menyebar menuju kandang-kandang. Selagi kandang-kandang terperangkap api, gajah-gajah mulai menderita, dan banyak diantara mereka yang terbakar secara menyedihkan, sehingga dokter-dokter binatang tidak sanggup untuk menyembuhkannya.

Ketika kejadian ini dilaporkan ke raja, ia bertanya kepada pendetanya apakah tahu obat yang dapat menyembuhkan gajah-gajah. "Saya sudah pasti tahu, baginda" jawab pendeta, dan menjelaskan bahwa obatnya adalah lemak dari burung-burung gagak.
Kemudian raja memerintahkan untuk membunuh burung-burung gagak dan diambil lemaknya. Dan dengan segera terjadi pembunuhan burung-burung gagak secara besar-besaran. tetapi tidak terdapat lemak yang didapatkan dalam tubuh mereka, jadi mereka terus membunuh sampai burung-burung gagak yang telah mati berada dalam banyak gundukan dimana-mana. Dan ketakutan yang hebat mencekam seluruh burung-burung gagak.

Pada saat itu Bodhisatva berdiam di dalam suatu biara yang besar, dan ia adalah pemimpin dari delapan puluh ribu burung gagak. Satu diantara mereka membawa berita kepadanya mengenai ketakutan yang hebat mencekam seluruh burung-burung gagak. Dan karena merasakan bahwa tidak ada satupun diantara kaumnya yang dapat mencoba tugas itu, maka Bodhisatva memutuskan untuk melepaskan kaumnya dari ketakutan yang hebat. Setelah mempertimbangkan Dasa Paramita (Sepuluh Kesempurnaan), dan memilih Metta (Cinta Kasih) sebagai pembimbingnya, ia terbang dengan pasti dan tanpa henti menuju istana raja , dan masuk melalui jendela yang terbuka, kemudian hinggap di singgasana raja.

Saat itu juga para pelayan berusaha untuk menangkap burung, tetapi raja memasuki ruangan dan melarang untuk menangkapnya. Melihat dirinya memperoleh kesempatan, seraya mengingat akan Metta, Mahluk Agung maju mendekat dari arah bawah singgasana raja dan berkata kepada raja demikian, "Baginda, seorang raja seharusnya mengingat peribahasa yang mengatakan bahwa para raja diharuskan untuk tidak bertindak menuruti nafsu dan keinginan-keinginan jahat lainnya dalam memerintah kerajaan mereka. Sebelum melakukan suatu tindakan, yang pantas untuk pertama kali dilakukan adalah memeriksa dan mengerti keseluruhan permasalahan, dan kemudian hanya melakukan perbuatan yang bermanfaat atas permasalahan tersebut. Seandainya para raja melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat, maka mereka akan membuat ketakutan yang hebat dan juga ketakutan akan kematian terhadap ribuan makhluk hidup. Dan dalam penulisan resep obat yang berdasarkan lemak dari burung-burung gagak, pendeta anda telah terdorong untuk membalas dendam dengan jalan berbohong. Sesungguhnya burung-burung gagak tidak mempunyai lemak."

Karena perkataan ini maka hati raja terpikat,dan ia meminta kepada Bodhisatva untuk duduk di atas singgasana emas dan memerciki dengan minyak-minyak pilihan pada bagian bawah sayap dan melayani dengan bejana keemasan dengan daging-daging dan minuman raja sendiri. kemudian ketika Makhluk Agung telah makan dan tenang. Raja berkata, "Guru, anda berkata bahwa burung-burung gagak tidak mempunyai lemak. Bagaimana mereka tidak bisa mempunyai lemak ?"

"Begini kejadiannya", jawab Bodhisatva dengan suara yang memenuhi istana, dan ia menyatakan Dhamma dalam syair ini:

Dalam ketakutan yang tiada henti, dengan seluruh kaum manusia yang menjadi musuh musuhnya, Kehidupan mereka berakhir dan karena itu burung-burung gagak tidak mempunya lemak.

Setelah penjelasan diberikan, Makhluk Agung mengajarkan kepada raja, dengan berkata, "Baginda, raja-raja seharusnya melakukan sesuatu dengan memeriksa dan mengetahui seluruh permasalahan terlebih dahulu." Dengan hati yang gembira, raja menempatkan mahkotanya pada kaki Bodhisatva, tetapi Bodhisatva mengembalikan kepada raja, memohon kepada raja untuk melindungi seluruh makhluk hidup dari kejahatan. Dan raja tergerak dengan perkataan ini, kemudian memberikan banyak kebebasan yang berlimpah-limpah kepada burung-burung gagak. Setiap hari raja menyiapkan enam gantang beras yang telah dimasak dan makanan-makanan yang lembut untuk burung-burung gagak.
Tetapi Makhluk Agung telah diberikan makanan yang serupa dengan makanan raja sendiri.

Pelajaran Beliau berakhir disini, Sang Guru mengenali kelahiran kembali dengan berkata, "Ananda adalah raja dari Benares pada masa itu, dan saya sendiri adalah raja dari burung-burung gagak"

(Dikutip dari Majalah Dhamamcakka)

KETUHANAN YANG MAHAESA DALAM AGAMA BUDDHA

Oleh : Corneles Wowor, M.A.

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII :
3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa
dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang
Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak".
Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat
dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang
Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai
kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan
dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain.
Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang
mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut
agama-agama lain. Sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam
agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Hal inilah yang menjadi
dasar penulisan ini.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka
bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak
konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep
dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang : Alam Semesta, Kejadian Bumi dan Manusia,
Kehidupan Manusia di Alam Semesta, Kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
ALAM SEMESTA
Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata
surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas
pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :
Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? .......
Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
2
dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu
matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu
Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika
lokadhatu). *
Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu".
Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi
Lokadhatu".
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar
di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000
= 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 =
1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi
masih melampauinya lagi.
Catatan
Buku Peringatan WAISAK 2528/1984 Yayasan Maha Bodhi Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 53. Dikutip
dari Anguttara Nikaya, Ananda Vagga.
Jambudipa adalah belahan bumi bagian selatan.
Aparayojana adalah belahan bumi bagian barat.
Uttarakuru adalah belahan bumi bagian utara.
Pubbavideha adalah belahan bumi bagian timur.
KEJADIAN BUMI DAN MANUSIA
Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya
tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi
banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha
Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang
akan diterangkan.
Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini
hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam
cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang
bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa
yang lama sekali.
Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan
yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun
malam belum ada, ..... laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai
mahluk-mahluk saja.
Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah
dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan
nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
3
dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu
tawon murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang
memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya.
Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya.
Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari .....
mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut
dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap.
Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasikonstelasi
nampak ..... siang dan malam ..... terjadi.
Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan
berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu,
maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk
memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena
keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang
memiliki bentuk tubuh yang buruk ..... maka sari tanah itupun lenyap ..... ketika sari tanah lenyap .....
muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan ..... Mereka
menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal
ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali ..... (seperti di atas). Sementara mereka bangga
akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul
dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ..... warnanya seperti dadi
susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni .....
Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ..... maka tubuh
mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak
indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh
indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk ..... Sementara mereka bangga
akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu
pun lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap ..... muncullah tumbuhan padi (sali) yang
masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari
mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah
tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk
makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus
menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan
makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa
yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka
tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas
kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian
wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan
keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak,
maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya
tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
4
Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin .........
Catatan
Sutta Pitaka, Digha Nikaya. Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu
dan Buddha. Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, 1983, hal. 19 - 22. Kata-kata yang bergaris bawah
adalah dari saya. Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut agama Buddha.
Untuk ini lihat TABEL Alam-alam kehidupan di bagian akhir dari penulisan ini. Kehidupan di alam
Abhassara dapat dicapai oleh mereka yang melaksanakan meditasi ketenangan batin (samatha) hingga
mencapai tingkat samadhi yang disebut Jhãna II. Bila orang yang telah mencapai tingkat Jhãna II ini
meninggal dunia pada waktu ia berada dalam keadaan samadhi pada tingkat Jhãna II, maka ia otomatis
akan terlahir kembali sebagai dewa brahma di alam Abhassara.
KEHIDUPAN MANUSIA DI ALAM SEMESTA
Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran dari agama-agama lain, banyak
orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali
dengan agama Buddha, karena dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan
tentang kehidupan manusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan pada
kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa :
..... ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan
kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat
mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000,
beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau ..... 1, 2, 3, 4, 5, 10, kali masa bumi berevolusi
(bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali ..... dst.). ..... 20, 30, sampai
40 kali masa bumi berevolusi ..... (tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang
lebih jauh daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut .....
Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis, kehidupan atau kelahiran manusia bukan
baru sekali saja tetapi telah berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga hidup di bumi-bumi yang lain.
Manusia atau mahluk hidup berpindah-pindah dari sebuah bumi ke bumi yang lain. Perpindahan
kehidupan manusia dari sebuah bumi ke bumi yang lain disebabkan karena bumi yang dihuninya telah
hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam
cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan
batin (samatha bhãvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi
alam kehidupan Buddhis. Tentang 31 alam ini lihatlah TABEL ALAM-ALAM KEHIDUPAN. Bila
seseorang bermeditasi samatha bhãvana hingga mencapai tingkat Jhãna II, dan kalau orang tersebut
meninggal dunia dalam kondisi meditasi pada Jhãna II tersebut maka ia akan terlahir sebagai Brahma di
alam Abhassara dan hidup dengan masa usia yang lama sekali.
Dari ke 31 alam, kecuali lima alam Suddhavasa yaitu alam Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan
Akanittha, adalah alam lokuttara (transenden) tempat kelahiran para Anagami*. Anagami adalah manusia
atau mahluk yang telah melenyapkan 5 belenggu (samyojana)** dari 10 belenggu yang mengikat manusia.
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
5
Anagami adalah manusia atau mahluk suci (ariya pugala) dari empat macam manusia suci menurut agama
Buddha, yaitu : Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat. Anagami akan mencapi tingkat kesucian
tertinggi (arahat) di salah satu alam Suddhavasa ini, dan ia parinibbana sebagai arahat di alam ini pula.
Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk keluar hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran
manusia di salah sebuah alam tergantung pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.
Catatan
*) Manusia suci menurut pandangan Buddhis ada empat yaitu :
1. Sotapanna, orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.
2. Sakadagami, orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.
3. Anagami, orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali
di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa.
Dari salah sebuah alam Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi
sebagai Arahat dan akhirnya ia mencapai parinibbana.
4. Arahat, orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua belenggu
yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam mana pun. Ia akan
parinibbana.
**) Ada sepuluh macam belenggu (samyojana) yaitu :
1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi).
2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau
dan kehidupan yang akan datang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicchã).
3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan
upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parãmãsa).
4. Nafsu indriya (kãma-rãga).
5. Dendam atau dengki (vyãpãda).
6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rüpa-rãga). Alam bentuk (rüpa-rãga)
dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai
Jhãna I, Jhãna II, Jhãna III atau Jhãna IV (lihat TABEL).
7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arüpa-rãga). Alam tanpa bentuk
(arüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah
mencapai Arüpa Jhãna I, Arüpa Jhãna II, Arüpa Jhãna III atau Arüpa Jhãna IV (lihat TABEL).
8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mãna).
9. Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum
mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).
10. Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijjã).
Sotãpanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana),
yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa.
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
6
Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana)
yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa dan telah melemahkan belenggu (4)
kãma-rãga dan (5) vyãpãda.
Anãgami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana)
yaitu (1) sampai dengan (5).
Lima samyojana (1 - 5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhãgiya-samyojana.
Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 - 10).
Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 - 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau
Uddhambhãgiya-samyojana.
Orambhãgiya-samyojana dan Uddhambhãgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.
KIAMAT
Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi kita ini
atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di
halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula,
bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam
tata surya - tata surya yang tersebar di alam semesta ini.
Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh
terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang
panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari
ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari
ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap
bertebaran di alam semesta.
Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi
dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap
tata surya terdapat matahari pula.
Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut garis orbitnya
masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada
suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah
masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya
tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi
kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para
bhikkhu :
Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu
tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon
penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan
mati .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua
muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan
tiada .....
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
7
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga
muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna,
Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari
keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya
sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta,
dan Mandakini surut, kering dan tiada .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima
muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu surut 200
yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra
tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam
sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima,
empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi
lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar,
mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa
dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari
keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja
gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan
tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah
yang terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi atau
tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri
kamu dari semua hal.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari
ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja
gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya
nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan
gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala
ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang
berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa.
Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu
tidak tersisa sama sekali.
Catatan
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
8
*) Yojana adalah semacam ukuran yang ada di masa Sang Buddha yang jauhnya kira-kira 7 mil.
KESELAMATAN ATAU KEBEBASAN
Konsep ini pun sangat penting diperhatikan karena salah sebuah ajaran yang terpenting dari agama
adalah tentang keselamatan atau kebebasan. Keselamatan atau kebebasan merupakan tujuan dari semua
agama. Ada agama yang menjanjikan keselamatan bagi pengikutnya yang akan didapatnya setelah berbuat
kebaikan selama hidupnya dan bila pengikut itu meninggal dunia maka di akhirat ia akan mendapat
pahalanya hidup di alam surga untuk selama-lamanya dan menikmati kebahagiaan yang tiada taranya.
Tetapi bila orang melakukan perbuatan-perbuatan yang salah, buruk dan tidak terpuji, maka sesudah ia
meninggal dunia maka orang tersebut akan mendapat ganjaran yang menyedihkan di dalam neraka.
Demikianlah ajaran yang umum diketahui oleh masyarakat termasuk umat Buddha.
Menurut pandangan agama Buddha pandangan yang menyatakan keselamatan yang dapat dinikmati
setelah kematian adalah suatu pandangan yang spekulatif. Keselamatan menurut pandangan agama
Buddha harus didasarkan pada akal dan pengalaman, seperti apa yang dikatakan oleh G.P. Malalasekera
bahwa :
"Agama Buddha adalah ajaran empiris dan antimetafisika, dan tidak dapat menerima sesuatu yang tak
dapat dialami oleh akal atau pancaindera".
Keselamatan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia, dan kebebasan
ini pun diketahui oleh orang bersangkutan pula, seperti apa yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam
Parinibbana Sutta :
Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama
hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan
melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri.
Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan, Sang Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat
dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan yang telah ditunjukkan ini kita dapat mencapai
kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti apa yang diuraikan Beliau dalam Satipatthana Sutta,
Digha Nikaya dan Majjhima Nikaya sebagai berikut :
Para bhikkhu, ini adalah satu-satunya jalan untuk mensucikan mahluk-mahluk, untuk mengatasi
penderitaan duka nestapa, untuk menghancurkan kesusahan dan kesedihan, untuk mencapai jalan
kebenaran, untuk mencapai Nibbana (nirvana), jalan itu adalah Empat Perkembangan Perhatian .....
..... Para bhikkhu, bilamana seseorang melaksanakan dengan sungguh-sungguh Empat Perkembangan
Perhatian seperti ini selama tujuh tahun, maka salah sebuah dari dua hasil yang dapat dicapainya
Pengetahuan (Kesuciannya) pada kehidupan sekarang ini, atau jika masih ada bentuk ikatan tertentu
ia mencapai tingkat kesucian Anagami.
Empat Perkembangan Perhatian tidak dapat diuraikan secara terperinci di sini, bila ada yang mau
mempelajari dan melaksanakannya dapat melihat langsung pada Satipatthana Sutta atau dalam Visuddhi
Magga (The Path of Purification). Empat Perkembangan Perhatian ini merupakan dasar dari meditasi
Vipassana didasarkan pada segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak kekal (anicca), segala sesuatu yang
bersyarat adalah tidak menyenangkan (dukkha), dan segala sesuatu yang bersyarat maupun tidak bersyarat
adalah tanpa aku atau jiwa yang kekal (anatta).
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
9
Demikianlah beberapa pokok pembicaraan tentang konsep-konsep agama Buddha yang berbeda dengan
konsep-konsep dari agama lain. Tetapi sesungguhnya masih banyak hal lagi yang perlu dibicarakan
tentang perbedaan pandangan agama Buddha dengan agama-agama lain maupun persamaan-persamaan
agama Buddha dengan agama lain, tapi hal ini nanti dibahas pada kesempatan yang akan datang.
Selanjutnya ada sebuah pokok uraian dalam ajaran agama Buddha yang telah menyesatkan banyak
penulis *, sehingga agama Buddha dianggap oleh mereka sebagai agama non-theis. Pandangan yang salah
ini didasarkan pada pernyataan Sang Buddha sendiri dalam Brahmajala Sutta, di mana Sang Buddha
menolak Maha Brahma sebagai Tuhan, Pencipta, Maha Kuasa dan seterusnya. Bilamana kita mengkaji
secara cermat apa yang dinyatakan oleh Sang Buddha itu, maka kita akan mengerti apa yang dimaksudkan
oleh Beliau, sebab Maha Brahma yang dimaksud dalam Brahmajala Sutta adalah dewa brahma yang salah
mengerti tentang dirinya sendiri. Pernyataan Sang Buddha tersebut adalah sebagai berikut :
Para bhikkhu, pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali,
'bumi ini belum ada'. Ketika itu umumnya mahluk-mahluk hidup di alam dewa Abhassara, di situ
mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan
melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang
lama sekali.
Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi
ini mulai ber-evolusi dalam pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih
kosong. Ada mahluk dari alam dewa Abhassara yang 'masa hidupnya' atau 'pahala kamma baiknya'
untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam
Brahma. Di sini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh
yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup
demikian dalam masa yang lama sekali.
Karena terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga
muncul suatu keinginan, 'O semoga ada mahluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini!'.
Pada saat itu ada mahluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala kamma baiknya telah
habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai
pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.
Para bhikkhu, berdasarkan itu, maka mahluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat :
"Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua,
Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari
ynag telah ada dan yang akan ada. Semua mahluk ini adalah ciptaanku". Mengapa demikian? Baru
saja terpikir, semoga mereka datang', dan berdasarkan pada keinginanku itu maka mahluk-mahluk ini
muncul. Mahluk-mahluk itu pun berpikir,'dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa,
Maha Tahu, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi
semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah
ciptaannya. mengapa? Sebab, kita muncul sesudahnya.
Para bhikkhu, dalam hal ini mahluk pertama yang berada di situ memiliki usia yang lebih panjang,
lebih mulia, lebih berkuasa daripada mahluk-mahluk yang datang sesudahnya.
Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa mahluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali
di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah-tangga dan menjadi pertapa.
Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan
bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
10
kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka berkata : "Dia Brahma,
Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha
Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang ada dan yang akan
ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal
selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah dan
memiliki usia yang terbatas." **
Dengan mengikuti uraian tentang Maha Brahma dengan segala sifat yang dimilikinya, kita mengerti
bahwa wajar dan tepatlah tindakan Sang Buddha menolak paham Maha Brahma ini sebagai Tuhan
Pencipta. Paham Maha Brahma sebagai pencipta ini dengan segala sifatnya diklasifikasikan sebagai salah
sebuah pandangan sesat dari 62 pandangan sesat yang diuraikan dalam Brahmajala Sutta.
Setelah mengikuti uraian tentang konsep-konsep ajaran agama Buddha yang berbeda dengan konsepkonsep
dari agama lain, maka nampak bahwa dasar-dasar pemikiran Buddhis adalah unik dan spesifik
Buddhis. Berdasarkan pada dasar-dasar pemikiran itulah maka konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam
Agama Buddha pun berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dari agama-agama lain.
Catatan
*) Mereka antara lain :
1. Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion, lihat Bab II.
2. Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism.
Kedua penulis ini menitikberatkan pengertian atau konsep Ketuhanan seperti konsep Ketuhanan yang
ada pada agama lain di luar agama Buddha. Mereka menanggapi dengan serius tentang Maha Brahma
sebagai pencipta yang ditolak oleh Sang Buddha. Bila Maha Brahma dilegitimasikan sebagai atau
sama dengan Ketuhanan dalam agama tersebut, ini berarti bahwa Ketuhanan dalam agama tersebut
pun turun derajatnya menjadi dewa atau manusia! Jelas pandangan seperti ini adalah keliru.
Menurut pandangan Buddhis, Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta adalah mahluk
yang belum mencapi tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baik Maha Brahma
tersebut untuk hidup di alam Maha Brahma itu telah habis, maka Maha Brahma itu akan terlahir di
alam yang lebih rendah yaitu di alam para dewa (devaloka) atau terlahir sebagai manusia.
Banyak penulis yang berpandangan seperti di atas, tapi karena terbatasnya waktu maka cukup dua
penulis itu yang disinggung di sini.
**) Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24
Kecuali alam Suddhavasa (Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akahittha) dari 31 alam ini yaitu 26
alam pernah menjadi tempat kelahiran dari mahluk yang telah menjadi manusia sekarang. Dengan kata
lain kita dapat terlahir di 26 alam tersebut, tapi selama kita belum mencapai kesucian atau kebebasan
mutlak maka alam kehidupan kita berubah terus. Terlahir kembali menurut pandangan Buddhis yaitu
kelahiran seseorang di antara 31 alam kehidupan tersebut. Dalam ungkapan "Bila seorang meninggal
dunia maka ia akan langsung terlahir kembali" ini berarti orang tersebut langsung terlahir kembali di salah
satu alam dari 31 alam, dan kelahiran ini tergantung dari amal perbuatan selama hidup juga sampai di
mana kematangan batinnya. Lima alam Suddhavasa adalah khusus tempat kelahiran para anagami dan
dari alam-akam Suddhavasa ini mereka akan parinibbana yang berarti tidak akan terlahir lagi sebagai
Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
11
mahluk di alam mana pun. Nibbana (nirvana) bukan alam tetapi sesuatu keadaan batin yang bebas dari
belenggu.
Satu hari di alam Catummaharajika sama dengan 25 tahun di alam manusia.
Kappa atau kalpa sama dengan satu mil kubik berisi biji sesawi dikali 100 tahun untuk setiap biji
sesawi tersebut.
Karena hidup di alam surga (dewa) maupun di alam rüpa lama sekali maka banyak mahluk di alamalam
itu salah mengerti dan berpendapat bahwa mereka itu kekal. padahal kehidupan di alam-alam itu
tidak kekal.
TABEL ALAM-ALAM KEHIDUPAN
ALAM - ALAM KEHIDUPAN Batas Umur
(4)
ARUPA LOKA
Alam
Tanpa Bentuk
4. N'eva Saññã N'ãsaññãyatana
3. Akiñcaññãyatana
2. Viññãnañcãyatana
1. Ãkãsãnañcãyatana
84.000 M.K.
60.000 M.K.
40.000 M.K.
20.000 M.K.
Catuttha Jhãna Bhümi
Alam Jhãna IV Suddhavassa
Akanittha
Sudassi
Sudassa
Atappa
Aviha
Asaññasatta
Vehapphala
16.000 M.K.
8.000 M.K.
4.000 M.K.
2.000 M.K.
1.000 M.K.
500 M.K.
500 M.K.
Tatiya Jhãna Bhümi
Alam Jhãna III
Subhakinha
Appamãnasubha
Parittasubha
64 M.K.
32 M.K.
16 M.K.
Dutiya Jhãna Bhümi
Alam Jhãna II
Abhassara
Appamãnabha
Parittabha
8 M.K.
4 M.K.
2 M.K.
(16)
RUPALOKA
Alam Bentuk
Pathama Jhãna Bhümi
Alam Jhãna I
Maha Brahma
Brahma Purohita
Brahma Parisajja
1 A.K.
1/2 A.K.
1/3 A.K.
(6)
Devaloka
Alam Surga
Paranimmitavasavatti
Nimmãnarati
Tusita
Yãma
Tãvatimsa
Cãtummahãrãjika
16.000 T.S.
8.000 T.S.
4.000 T.S.
2.000 T.S.
1.000 T.S.
500 T.S.
(7)
Sugati
Alam Bahagia
Manussa - Alam Manusia Tak Terbatas
(11)
KÃMALOKA
Alam Nafsu
(4)
Dugati
Alam Menderita
Asurayoni
Petayoni
Tiracchãnayoni
Niraya
Tak Terbatas
Tak Terbatas
Tak Terbatas
Tak Terbatas


Ketuhanan dalam Agama Buddha hal.
Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

DASAR-DASAR MEDITASI VIPASSANĀ

Yang Mulia Mahāsi Sayādaw
Judul Asli: Fundamentals of Insight Meditation
Pengarang: Mahasi Sayadaw

Terjemahan Bahasa Inggris oleh Maung Tha Noe
Penyunting: Bhikkhu Pesala
Cetakan Pertama: Myanmar 1981
Edisi Baru: February 2002
Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Tamiran Irwan
Penyunting: Andi Kusnadi
Desember 2008
Vihara Padumuttara
http://aimwell.org/Books/Mahasi/Fundamentals/fundamentals.html
(hal. 2)

Daftar isi
Prakata dari Penyunting 3
Prakata dari Penterjemah 5
Meditasi Samatha dan Vipassanā 9
Lima Kelompok Pencengkeraman 11
Pengetahuan dan Kebebasan 15
Metode yang Benar 20
Pikiran 27
Apa Tujuan Meditasi? 29
Fenomena Saat Ini 33
Bagaimana Pencengkeraman Muncul 37
Bermeditasilah Sekarang Juga 39
Perjuangan Tanpa Henti 43
Segalanya Mengalami Kehancuran 45
Ketidakkekalan 49
Penemuan Kembali 54
Berhentinya Pencengkeraman 57
Kemajuan Pandangan Terang 59
Jalan Mulia 64
Putri Tukang Tenun 66
Pentingnya Metode yang Benar 69
Anda Dapat Terlahir Kembali di Mana Pun Anda Inginkan 71
Dewi Uposathā 73
(hal. 3)

Prakata dari Penyunting
Ceramah-ceramah Yang Mulia Sayādaw ditujukan kepada para yogi yang
sedang berlatih secara intensif di Mahāsī Sāsana Yeikthā, Yangon. Karena
Sayādaw sangat terpelajar dan para pendengarnya tidak asing lagi dengan
topiknya, sebagian dari ceramahnya tidak mudah diikuti. Namun pada kesempatan
ini, bertepatan dengan Tahun Baru Myanmar, banyak dari para pendengar yang
tidak mengenali latihan meditasi pandangan terang (vipassanā). Beginilah cara
Sayādaw membuka ceramahnya yang pernah diterbitkan:
“Saat ini, meditasi vipassanā tidak membutuhkan perkenalan khusus lagi.
Semua orang mengatakannya bagus. Tidaklah demikian halnya dua puluh tahun
yang lalu. Orang-orang berpikir bahwa meditasi vipassanā hanya ditujukan untuk
para bhikkhu dan pertapa, bukan untuk orang awam seperti mereka. Ketika saya
mulai mengajarkan meditasi pandangan terang, saya menemui berbagai kesulitan.
Sekarang keadaannya telah berubah, dan orang-orang selalu meminta saya
memberikan ceramah tentang vipassanā. Namun ketika saya mulai
memberitahukan mereka tentang prinsip-prinsip dasar latihan vipassanā, mereka
tampaknya tidak mampu menghargainya. Beberapa pendengar bahkan berdiri dan
meninggalkan ceramah. Kita tidak boleh menyalahkan mereka. Mereka tidak
memiliki landasan dalam meditasi untuk memahaminya. Sebagian berpikir bahwa
meditasi ketenangan (samatha) sama dengan meditasi pandangan terang
(vipassanā). Latihan vipassanā yang diajarkan oleh beberapa guru kedengarannya
mengesankan, tetapi terbukti tidak bermanfaat, sehingga para pendengar mereka
tetap bingung. Demi kebaikan orang-orang seperti ini, saya akan berbicara tentang
dasar-dasar meditasi vipassanā.”
Penterjemah bahasa Inggris memanfaatkan buku-buku dari Pali Text Society
untuk kutipan-kutipan dari kitab-kitab sutta, tetapi saya menggunakan
Visuddhimagga (Jalan Pemurnian) karangan Bhikkhu Ñānamoli, Majjhimanikāya
terjemahan Bhikkhu Bodhi, dan Dīghanikāya terjemahan Maurice Walshe.
Diberikan juga referensi teks Pāli dari PTS (Pali Text Society), yang konsisten
dengan terjemahan mana pun yang anda pakai.
(hal. 4)

Sebagaimana biasanya, saya akan sangat berterima kasih bila para pembaca
dapat menunjukkan kesalahan supaya saya dapat menperbaikinya pada edisi yang
akan datang.
Bhikkhu Pesala
Februari 2002
(hal. 5)


Prakata dari Penterjemah

“Dasar-dasar Meditasi Vipassanā” adalah serangkaian ceramah yang
dibawakan oleh Yang Mulia Mahāsī Sayādaw sewaktu Tahun Baru Myanmar pada
tahun 1959. Ceramah-ceramah ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Myanmar
pada tahun 1961, dan menjadi begitu populer sehingga diterbitkan sampai beberapa
edisi. Ini adalah terjemahan bahasa Inggris yang pertama.
Sebagaimana yang akan pembaca lihat, ceramah-ceramah ini ditujukan
kepada umat awam, yang masih sangat asing terhadap latihan vipassanā yang
mendalam. Sayādaw telah berusaha sebaik-baiknya untuk membuat bahasanya
sederhana, mudah dan singkat. Beliau menuntun pendengarnya secara perlahanlahan
dari hal-hal yang sangat dasar, misalnya perbedaan antara meditasi
ketenangan (samatha) dan pandangan terang (vipassanā), hingga aspek-aspek
Dhamma yang lebih mendalam, misalnya tentang konsep dan kenyataan (realitas),
proses kesadaran, kemajuan pandangan terang, dan pencapaian nibbāna. Para
pendengar, atau pembaca dalam kasus kita, memulai dengan pelajaran yang
pertama, apa yang dimaksud dengan vipassanā, dan bagaimana caranya vipassanā
ini dikembangkan. Pendengar kemudian diinstruksikan untuk memulai
perenungan, bagaimana caranya memperoleh kemajuan, bagaimana caranya
berjaga-jaga terhadap jebakan-jebakan dalam meditasi, dan yang paling penting,
bagaimana caranya mengenali pandangan terang. Pendengar menjadi gembira,
bersemangat, dan dibuat seolah mereka telah berada pada jalan menuju
kebahagiaan.
Agama Buddha adalah agama yang sangat berguna, kepercayaan yang
dijadikan panutan hidup, bukanlah hanya suatu filsafat metafisik seperti yang
mungkin dibayangkan sebagian besar orang. Agama Buddha meneliti penderitaan
dari kehidupan pemilik kesadaran, menemukan penyebabnya, memberikan resep
untuk melenyapkan penyebabnya, dan menunjukkan jalan untuk terlepas dari
semua penderitaan. Setiap orang yang mencari kebebasan dapat menempuh jalan
tersebut, tetapi ia harus melakukan usaha. Tidak ada orang yang bisa mendapatkan
tumpangan gratis menuju kedamaian abadi.
(hal. 6)

“Kalian sendirilah yang harus melakukan usaha,
Semua Tathāgata hanya menunjukkan jalannya.
Para yogi yang menempuh jalannya
Diselamatkan dari belenggu Māra.” (Dhp. V 276)
Tetapi apakah yang disebut jalan menuju kebebasan? Sang Buddha
memberitahukan kita dalam Satipatthāna Sutta bahwa hanya ada satu jalan – yaitu
jalan perhatian penuh (sati). Membangun perhatian penuh merupakan inti dari
latihan meditasi pandangan terang, dibabarkan dan dipopulerkan oleh Yang Mulia
Mahāsī Sayādaw selama lebih kurang lima puluh tahun.
Seseorang tidak boleh lupa bahwa mengajarkan meditasi vipassanā tidak
sama dengan mengajarkan aspek Dhamma yang lain, seperti metafisik atau
moralitas, yang dapat dilakukan setiap orang yang fasih dengan kitab suci. Hanya
mereka yang memiliki pandangan terang sejati dapat meyakinkan orang lain
tentang latihan meditasi vipassanā. Sang bodhisatta mencari metode yang benar,
berlatih sendiri, lalu hanya setelah itu baru mengajarkan kepada orang lain.
“Begitulah, bhikkhu-bhikkhu, telah saya temukan suatu jalan kuno yang
telah ditempuh oleh para Tathāgata dari masa lalu. Setelah menempuh jalan
tersebut, Aku mengajari para bhikkhu, bhikkhuni, dan umat awam.” (S.ii.105-6)
Yang Mulia Mahāsī Sayādaw, melaksanakan latihan yang diajarkan oleh
Sang Buddha, merealisasikan Dhamma, dan kemudian mengajarkan muridmuridnya
berdasarkan pengalaman pribadinya. Para muridnya juga telah
merealisasikan Dhamma, seperti yang telah diutarakan Sayādaw dalam ceramahceramahnya.
“Di sini di antara para pendengar, ada banyak yogi yang telah
mencapai tingkat pengetahuan ini. Saya tidak sedang berbicara hanya berdasarkan
pengalaman saya sendiri. Tidak, bahkan tidak hanya dari pengalaman empat puluh
atau lima puluh murid saya – mereka berjumlah ratusan.”
Satu sifat dari Dhamma Sang Buddha adalah Dhamma mengundang
pembuktian (ehipassiko). Berjuta-juta orang pernah datang dan melihatnya lebih
dari 2500 tahun yang lalu. Jaman sekarang ini, ada ribuan orang yang telah datang
dan melihatnya, dan beribu-ribu lagi akan mengikuti mereka, seperti yang dapat
kita lihat di banyak pusat meditasi di seluruh dunia. Yang harus dilakukan oleh
(hal. 7)

seorang calon yogi hanya perlu bangkit dan ikut serta dengan khalayak luas di
dalam usaha pencarian mereka. Buku ini memberikan peta jalan yang terhampar di
hadapan anda. Seperti yang dikatakan pembuat prakata edisi bahasa Myanmar
yang terpelajar, ini bukan jenis buku yang dibaca orang hanya supaya ada yang
dibaca. Ini adalah penuntun seseorang sepanjang usahanya dari satu tahap
pandangan terang ke tahap berikutnya.
(hal. 8


Penggunaan Istilah untuk Terjemahan

*Upādāna/grasping/clinging = mencengkeram/pencengkeraman/cengkeraman.
Tapi ada keadaan di mana kata ini tidak dapat digunakan dengan baik.
Hal ini mungkin dikarenakan pembaca belum terbiasa mempergunakannya,
sudah tertanam kata melekat/kemelekatan sebelumnya di pikiran pembaca.
Oleh karena itu di beberapa kalimat tetap menggunakan kata upādāna
*Lima kelompok ’kemelekatan’ = lima kelompok ’pencengkeraman’ karena
berasal dari kata (pañcupādānakkhandha).
*Tanha/craving/attachment = hasrat/pendambaan/kemelekatan
Contoh tanha & upādāna
* Kita bekerja karena ingin (ada hasrat, tanha) mendapatkan uang;
Setelah mendapatkan uang, terobsesi dengan uangnya karena dipikir
uang itu adalah segalanya. Maka dia menyimpannya di brankas atau
dipegangnya uang itu erat-erat (upādāna).
* Melihat bunga mawar yang cantik ingin (ada hasrat, tanha) mendapatkan
nya; karena pandangan salah walaupun duri mawar itu bisa melukai
tangannya dia tetap memegangnya (masih tanha). Karena takut diambil
orang lain maka dia genggam erat-erat (cengkeram, upādāna) tangkai
mawar itu dengan kuat. Walaupun tangannya jadi berdarah tertusuk
duri, dia tetap mempertahankannya.
*Lobha/greed = keserakahan
*Chanda/desire (to do or to attain)/wish/intention = keinginan
*Cetasika/mental factors = faktor-faktor mental
*Sankhāra/formation/mental formation (4th aggregate)/kammic formation/
prompting = bentukan/ bentuk-bentuk mental/bentuk-bentuk karma/tanpa
ajakan
Rujukan di atas diambil dari buku
“A Comprehensive Manual of Abhidhamma” by Bhikkhu Bodhi
“Buddha Abhidhamma, Ultimate Science” by Dr. Mehn Tin Mon dan
“Vipassanā Meditation” by Chanmyay Sayadaw.
Andi Kusnadi, Desember 2008.
(hal. 9)


Meditasi Samatha dan Vipassanā

Apa yang kita renungkan/meditasikan? Bagaimana caranya kita mengembangkan
pandangan terang? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting.
Ada dua jenis meditasi yaitu meditasi ketenangan (samathā) dan pandangan
terang (vipassanā). Bermeditasi pada sepuluh alat bantu (kasina) hanya
menimbulkan ketenangan, bukan pandangan terang. Bermeditasi pada sepuluh hal
yang menjijikkan (misalnya, mayat yang membengkak) hanya menimbulkan
ketenangan, bukan pandangan terang. Sepuluh perenungan, seperti perenungan
terhadap Sang Buddha atau Dhamma, juga hanya menimbulkan ketenangan, bukan
pandangan terang. Bermeditasi pada tiga puluh dua bagian tubuh seperti rambut,
kuku, gigi, dan kulit, juga tidak dapat menimbulkan pandangan terang. Hal ini
hanya dapat mengembangkan konsentrasi.
Perhatian penuh terhadap pernafasan (ānāpānassati) juga digunakan untuk
pengembangan konsentrasi, tetapi seseorang juga dapat mengembangkan
pandangan terang dengan cara ini. Namun kitab visuddhimagga memasukkannya
dalam kelompok obyek untuk meditasi samatha, jadi kita juga akan
mengelompokkannya seperti demikian.
Lalu terdapat empat kediaman luhur (appamaññā): cinta kasih (mettā), belas
kasihan (karunā), simpati terhadap kebahagian/kesuksesan orang lain (muditā),
dan keseimbangan mental (upekkhā), empat meditasi tanpa bentuk yang dapat
menuntun ke jhāna tanpa bentuk (arūpa jhāna), dan perenungan pada kejijikan
dari makanan. Semua ini adalah obyek-obyek untuk meditasi samatha.
Ketika anda bermeditasi terhadap empat unsur (dhātu) di dalam tubuh anda,
hal ini dinamakan analisa terhadap empat unsur. Walaupun hal ini mengembangkan
konsentrasi, ini juga membantu mengembangkan pandangan terang.
Keseluruhan empat puluh obyek meditasi ini digunakan untuk mengembangkan
konsentrasi. Hanya pernafasan (ānāpānassati) dan analisa terhadap empat
unsur (dhātu) yang digunakan untuk mengembangkan pandangan terang. Obyekobyek
yang lain tidak akan menimbulkan pandangan terang – untuk mendapatkan
pandangan terang, anda harus berusaha lebih jauh.
(hal. 10)

Kembali ke pertanyaan anda yang pertama, “Bagaimana caranya kita
mengembangkan pandangan terang?” Jawabannnya adalah,” Kita mengembangkan
pandangan terang dengan bermeditasi terhadap lima kelompok kemelekatan.
Fenomena mental dan jasmani di dalam makhluk hidup adalah kelompok
kemelekatan. Mereka bisa dicengkeram oleh hasrat dan disertai kesenangan, yang
disebut ‘kemelekatan indera’, atau mereka bisa dicengkeram oleh pandangan salah,
yang disebut ‘kemelekatan terhadap pandangan’. Anda harus bermeditasi dan
melihat mereka sebagaimana adanya. Jika tidak, anda akan mencengkeramnya
dengan hasrat dan pandangan salah. Sekali anda melihat mereka sebagaimana
adanya, anda tidak akan mencengkeram mereka lagi. Inilah caranya
mengembangkan pandangan terang. Kita akan membahas lima kelompok
kemelekatan secara terperinci.
(hal. 11)


Lima Kelompok Pencengkeraman

Yang disebut dengan lima kelompok pencengkeraman adalah: bentuk materi
(rūpa), perasaan (vedanā), pencerapan (saññā), bentuk-bentuk pikiran (sankhāra),
dan kesadaran (viññāna). Apakah mereka itu? Mereka adalah hal-hal yang anda
alami sepanjang waktu. Anda tidak perlu pergi ke mana pun untuk mencari
mereka. Mereka berada di dalam diri anda. Ketika anda melihat, mereka ada di
dalam proses melihat. Ketika anda mendengar, mereka ada di dalam proses
mendengar. Ketika anda mencium, mengecap, menyentuh, atau berpikir, mereka
ada di dalam proses mencium, mengecap, menyentuh, atau berpikir. Ketika anda
menekuk, menjulurkan atau menggerakkan anggota tubuh anda, kelompok
pencengkeraman berada di sana dalam proses menekuk, meluruskan atau bergerak.
Hanya saja anda tidak mengenal mereka sebagai kelompok pencengkeraman
karena anda belum pernah bermeditasi tentang mereka, dan tidak mengetahui
mereka sebagaimana adanya. Karena tidak mengetahui mereka sebagaimana
adanya, anda mencengkeram mereka dengan hasrat/pendambaan dan pandangan
salah.
Apa yang terjadi ketika anda menekuk lengan anda? Ini bermula dari
keinginan untuk menekuknya. Kemudian proses materi dari gerakan menekuk
muncul setelah itu. Pada keinginan untuk menekuk lengan terdapat empat
kelompok mental. Pikiran yang ingin menekuk adalah kesadaran. Ketika anda
berpikir tentang menekuk lengan, anda mungkin merasa senang, tidak senang, atau
netral dalam melakukannya. Jika anda melakukannya dengan kegembiraan, ada
perasaan senang. Jika anda melakukannya dengan kurang gembira, ada perasaan
tidak senang. Selain itu, maka perasaannya netral. Sehingga ketika anda berniat
menekuk lengan, kelompok perasaan berada di sana. Kelompok pencerapan
mengenali atau mencerap proses menekuk. Bentuk-bentuk pikiran mendorong anda
untuk menekuk lengan, seolah-olah berkata, “Tekuk! Tekuk!” Jadi dalam tindakan
menekuk lengan, semua empat kelompok mental terlibat, yaitu: perasaan,
pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Gerakannya sendiri adalah
kelompok materi, sehingga semuanya menjadi lima kelompok.
Dalam satu gerakan menekuk lengan, lima kelompok ini muncul. Setiap kali
anda bergerak, lima kelompok ini muncul secara berulang-ulang. Setiap gerakan
(hal. 12)

menimbulkan lima kelompok tersebut. Jika anda belum bermeditasi tentang
mereka dengan benar, dan belum mengetahui mereka sebagaimana adanya, kami
tidak perlu memberitahukan anda apa yang terjadi. Anda harus mengetahuinya
sendiri. Apa yang anda pikirkan adalah “Aku ingin menekuk lengan, lalu aku
menekuknya.” Bukankah begitu? Semua orang berpikir seperti itu. Tanyakan saja
pada anak-anak, dan mereka akan memberikan jawaban yang sama. Tanyakan
orang dewasa yang tidak mampu membaca atau menulis, dan dia akan memberikan
jawaban yang sama. Tanyakan orang seorang yang mampu membaca, dan dia akan
memberikan jawaban yang sama. Jika ia telah banyak membaca, ia mungkin
memberikan jawaban dengan bahasa kitab suci, menyebutkan mental (nāma) dan
jasmani (rūpa), tetapi hal ini bukanlah apa yang dia ketahui sendiri, hanyalah apa
yang telah ia baca. Apa yang sebenarnya ia pikirkan adalah, “Aku berniat menekuk
lengan, lalu aku tekuk. Aku berniat bergerak, lalu aku bergerak.” Ia juga
berpikir,”Aku pernah melakukannya dulu, lakukan itu sekarang, dan aku akan
melakukannya lagi.” Cara berpikir seperti ini adalah pemikiran tentang kekekalan.
Tidak ada orang yang berpikir, “Keinginan untuk menekuk hanya ada sekarang.”
Orang biasa selalu berpikir,” Pikiran ini telah ada sebelumnya. ‘Aku’ yang sama
yang telah ada sebelumnya, sekarang berpikir mau menekuk lengan.” Mereka juga
berpikir, “’Aku’ yang berpikir ini ada sekarang, dan akan terus ada.”
Ketika anda menekuk atau menggerakkan tangan dan kaki anda, anda
berpikir, “Tangan dan kaki yang sama yang telah ada sebelumnya sedang bergerak
sekarang. ‘Aku’ yang sama yang telah ada sebelumnya sedang menggerakkan
tangan dan kaki sekarang.” Setelah menggerakkan tangan dan kaki, anda berpikir
lagi, “Tangan dan kaki ini, dan ‘Aku’ ini selalu ada.” Tidak pernah terpikir oleh
anda bahwa mereka semua lenyap. Ini juga adalah pemikiran tentang kekekalan.
Ini artinya melekat pada apa yang tidak kekal dianggap kekal; melekat pada apa
yang bukan orang atau diri, dianggap sebagai orang atau diri.
Setelah anda menekuk atau meluruskan lengan sesuai dengan keinginan
anda, anda berpikir itu bagus. Contohnya, karena anda merasa lengan anda kaku,
anda menggerakkannya dan rasa kaku hilang. Lalu anda merasa nyaman kembali.
Anda berpikir itu bagus, dan merupakan sumber kebahagiaan. Penari menekuk dan
meluruskan sambil menari, dan mereka bergembira dalam melakukan ini. Mereka
menikmatinya dan merasa senang dengan diri mereka sendiri. Ketika anda
berbincang-bincang, anda sering menggerakkan tangan, kaki dan kepala, lalu
(hal. 13)

merasa senang, dan berpikir itulah kebahagiaan. Ketika sesuatu yang anda lakukan
menemui keberhasilan, anda berpikir itu bagus, dan merupakan sumber
kebahagiaan. Inilah caranya anda bergembira dalam hasrat dan mencengkeram
terhadap berbagai hal. Apa yang tidak kekal anda anggap kekal, lalu anda
bergembira di dalamnya. Apa yang bukan kebahagiaan, bukan juga kepribadian,
tetapi hanya merupakan kelompok mental dan jasmani, anda anggap sebagai
kebahagiaan atau kepribadian, dan bergembira di dalamnya. Anda bergembira dan
melekat pada kelompok-kelompok ini, dan mengira mereka itu adalah diri atau ego
anda sendiri.
Ketika anda menekuk, meluruskan, atau menggerakkan anggota tubuh,
berpikir bahwa ”Aku akan menekuk” adalah kelompok pencengkeraman. Menekuk
adalah kelompok pencengkeraman. Meluruskan adalah kelompok
pencengkeraman. Berpikir, ”Aku akan bergerak” adalah kelompok
pencengkeraman. Bergerak adalah kelompok pencengkeraman. Ketika kita
berbicara tentang kelompok pencengkeraman, yang seharusnya
direnungkan/dimeditasikan, yang kami maksud hanyalah hal-hal di atas.
Hal yang sama terjadi dalam proses melihat, mendengar, dan seterusnya.
Ketika anda melihat, landasan penglihatan – yaitu mata dan juga obyek yang
dilihat, adalah manifestasi. Keduanya adalah kelompok materi. Mereka tidak dapat
mengetahui. Jika seseorang tidak dapat bermeditasi sewaktu melihat, ia akan
mencengkeram mereka. Ia berpikir bahwa seluruh tubuh dengan mata tersebut
adalah kekal, bahagia, dan memiliki diri – jadi ia mencengkeramnya. Ia berpikir
bahwa seluruh dunia materi dengan obyek yang terlihat tersebut adalah kekal,
indah, bagus, bahagia, dan memiliki diri – jadi ia mencengkeramnya. Sehingga
bentuk, mata, dan obyek yang terlihat disebut kelompok pencengkeraman.
Ketika anda melihat, “melihat” muncul. Hal ini mencakup empat kelompok
mental. Menyadari ketika melihat adalah kelompok kesadaran (viññāna). Rasa
senang atau tidak senang ketika melihat adalah kelompok perasaan (vedanā).
Yang mencerap obyek adalah kelompok pencerapan (saññā). Yang membuat
perhatian untuk melihat adalah kelompok bentuk-bentuk mental (sankhāra). Jika
seseorang tidak bermeditasi sewaktu melihat, ia cenderung berpikir bahwa proses
melihat tersebut sudah terjadi sebelumnya, dan sedang terjadi lagi sekarang. Atau
saat seseorang melihat benda-benda yang indah, ia mungkin berpikir bahwa
(hal. 14)

melihat adalah bagus. Dengan berpikir demikian, seseorang selalu mencari bendabenda
yang indah dan menarik untuk menikmati proses melihat. Seseorang pergi
melihat perayaan dan menonton film, walaupun menghabiskan uang, menyita
waktu, dan membahayakan kesehatan, karena ia berpikir hal tersebut
menyenangkan. Kalau tidak, ia tidak akan menghabiskan waktu dan usahanya.
Berpikir bahwa apa yang dilihat adalah “Aku” atau berpikir “Aku menikmatinya”
itulah pencengkeraman pada proses melihat yang disertai dengan hasrat dan
pandangan salah. Karena proses-proses di atas mencengkeram obyek, mental dan
jasmani yang muncul pada saat melihat disebut dengan kelompok
pencengkeraman.
Anda mencengkeram dengan cara yang sama ketika mendengar, mencium,
mengecap, menyentuh, atau berpikir. Anda mencengkeram khususnya pada mental
yang berpikir, mengkhayal, dan merenung – pada ego. Jadi lima kelompok
pencengkeraman adalah hanya hal-hal mental dan jasmani yang muncul pada enam
pintu indera bilamana seseorang melihat, mendengar, merasa, atau mencerap. Kita
harus berusaha melihat kelompok-kelompok ini sebagaimana adanya. Bermeditasi
dan melihat mereka sebagaimana adanya, itulah yang dimaksud pengetahuan
pandangan terang.
(hal. 15)


Pengetahuan dan Kebebasan

Sang Buddha mengajarkan bahwa bermeditasi tentang lima kelompok
pencengkeraman adalah meditasi pandangan terang. Ajaran-ajaran Sang Buddha
disebut “sutta”, yang berarti “benang”. Ketika seorang tukang kayu ingin menyerut
atau menggergaji sepotong balok, dia menarik suatu garis lurus dengan
menggunakan benang. Dalam menjalani kehidupan suci, kita menggunakan sutta
sebagai benang untuk menarik garis panduan untuk tindakan-tindakan kita. Dalam
sutta, Sang Buddha telah memberikan kita garis panduan tentang bagaimana
caranya berlatih moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Anda sebaiknya tidak
melangkah keluar dari garis tersebut, dan berbicara atau bertindak semau anda. Di
bawah ini adalah beberapa kutipan dari sutta-sutta yang berkaitan dengan meditasi
tentang lima kelompok pencengkeraman:
“Bentuk materi, bhikkhu-bhikkhu, adalah tidak kekal. Apapun yang tidak
kekal, hal itu tidak memuaskan. Apapun yang tidak memuaskan, itu adalah bukan
diri. Apapun yang bukan diri harus dianggap, ‘Ini bukan milikku, aku bukan ini, ini
bukan diriku sendiri.’ Seseorang harus memahaminya sebagaimana adanya melalui
kebijaksanaan yang sempurna,” (S.iii.21)
Anda harus bermeditasi agar anda dapat mengerti bahwa bentuk materi yang
tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan tidak memiliki diri (anatta)
ini sesungguhnya tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa diri atau ego. Anda
harus bermeditasi dengan cara yang sama terhadap perasaan, pencerapan, bentukbentuk
pikiran, dan kesadaran.
Apa keuntungannya menganggap kelompok-kelompok ini sebagai tidak
kekal, tidak memuaskan dan bukan diri? Sang Buddha memberitahukan kita:
“Sehubungan dengan segala hal, murid para Tathāgata yang telah diajari
tidak lagi memperhatikan bentuk materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk
pikiran, dan kesadaran. Dengan tidak memperhatikan mereka, ia menjadi tidak
tertarik terhadap mereka. Melalui sikap ini, ia terbebas.” (S.iii.68)
Jika seseorang mengerti bahwa ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan bukan
diri adalah sifat alamiah dari lima kelompok pencengkeraman, ia menjadi bosan
(hal. 16)

dengan mereka. Itulah yang dikatakan bahwa seseorang mencapai Jalan Mulia.
Sekali seseorang mencapai Jalan Mulia (Magga), ia juga memperoleh Buah
(Phala), yang berarti bebas dari kekotoran mental (kilesa). “Dalam keadaan bebas,
ia mengetahui ‘Aku telah bebas’.” Ketika anda bebas, anda akan mengetahui
dengan sendirinya bahwa anda telah bebas. Dengan kata lain, ketika anda telah
menjadi Arahat yang telah memadamkan semua kekotoran mental di dalam diri,
anda akan mengetahui bahwa anda telah menjadi seorang Arahat.
Semua kutipan tersebut diambil dari Yadaniccasutta (S.iii.21). Seluruh
Khandhavaggasamyutta adalah suatu bagian darinya. Dua sutta secara khusus
patut diperhatikan: Sīlavanta Sutta (S.iii.167), and Sutavanta Sutta (S.iii.169).
Dalam kedua sutta, YM Mahākotthika mengajukan beberapa pertanyaan kepada
YM Sāriputta, yang memberikan jawaban yang sangat singkat, tetapi sangat luar
biasa. YM Mahākotthika bertanya:”Apa saja hal-hal, temanku Sāriputta, yang
harus diperhatikan secara seksama oleh seorang bhikkhu yang memiliki kebiasaan
moral?” Perhatikan ungkapan ‘kebiasaan moral’ dalam pertanyaan ini. Jika anda
hendak berlatih meditasi pandangan terang dengan tujuan mencapai Jalan Mulia
(Magga), Buah Mulia (Phala), dan nibbāna, anda akan membutuhkan persyaratan
dasar berupa kebiasaan moral. Jika anda bahkan tidak memiliki kebiasaan moral,
anda tidak dapat mengharapkan tingkat-tingkat konsentrasi dan pandangan terang
yang lebih tinggi.
YM Sāriputta menjawab: ”Lima kelompok pencengkeraman, temanku
Kotthika, harus diperhatikan dengan seksama oleh seorang bhikkhu yang memiliki
kebiasaan moral, sebagai tidak kekal, tidak memuaskan, sebagai penyakit, sebagai
bisul, sebagai duri, sebagai rasa sakit, sebagai keadaan sakit, sebagai benda asing,
sebagai pembusukan, sebagai kekosongan, sebagai bukan diri.”
Apa manfaatnya bermeditasi seperti itu? YM Sāriputta meneruskan:
“Memang, temanku, adalah mungkin untuk seorang bhikkhu yang memiliki
kebiasaan moral yang dengan seksama memperhatikan lima kelompok
pencengkeraman untuk mencapai Buah Mulia dari pemenang arus.”
Jadi jika anda ingin menjadi pemenang arus (Sotāpanna), dan tidak pernah
lagi terlahir kembali di empat alam rendah (apāya), anda harus bermeditasi pada
lima kelompok pencengkeraman (pañcupādānakkhandha) untuk mengerti sifat
(hal. 17)

mereka yang tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri. Namun tidak hanya
sampai di situ. Anda juga dapat menjadi Arahat. YM Kotthika selanjutnya
bertanya: “Hal-hal apakah, temanku Sāriputta, yang harus diperhatikan secara
seksama oleh seorang bhikkhu yang merupakan pemenang arus?”
YM Sariputta menjawab bahwa lima kelompok pencengkeraman yang sama
harus secara seksama diperhatikan oleh seorang pemenang arus sebagai tidak
kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri. Hasilnya adalah kemajuan menuju tahap
‘kembali satu kali’ (Sakadāgāmi). Sakadāgami bermeditasi tentang mereka lagi
untuk mencapai tahap ‘tidak kembali’ (Anāgāmi), dan Anāgami melanjutkan
meditasi dengan cara yang sama untuk mencapai tingkat Arahat. Bahkan seorang
Arahat juga bermeditasi tentang lima kelompok yang sama.
Apa manfaat yang dapat diperoleh seorang Arahat dengan terus bermeditasi?
Dia tidak akan dapat menjadi Buddha Diam (Paccekkhā Buddha) atau Buddha
Maha Tahu (Sammāsambuddha) dengan melakukan hal itu. Seorang Arahat akan
menghentikan lingkaran tumimbal lahir sebagai arahat dengan mencapai
parinibbāna pada saat kematiannya. Sang Arahat tidak memiliki sisa kekotoran
mental yang harus dihilangkan dan tidak perlu lagi mengembangkan moralitas
(sīla), konsentrasi (samādhi), atau kebijaksanaan (paññā) karena semuanya telah
sempurna. Satu manfaat yang diperoleh sang Arahat dengan bermeditasi tentang
lima kelompok adalah berdiam dengan nyaman di sini dan sekarang. Walaupun dia
telah menjadi Arahat, jika ia tidak bermeditasi, kekacauan dan kegelisahan akan
muncul pada enam pintu indera. Di sini, kekacauan bukan berarti penderitaan
mental. Seiring dengan obyek indera yang terus-menerus muncul, kedamaian
mentalnya terganggu – cuma itu saja. Jangankan para Arahat, bahkan para yogi
jaman sekarang juga merasa kurang nyaman bila mereka harus menemui obyek
indera sebab mereka sungguh-sungguh ingin mencapai pandangan terang. Ketika
mereka pulang ke rumah dari pusat meditasi, mereka melihat pemandangan,
mendengar bunyi dan suara, terlibat dalam urusan duniawi, dan tidak lagi
menemukan kedamaian sama sekali, sehingga sebagian dari mereka tidak lama
kemudian segera kembali lagi ke pusat meditasi. Namun bagi yang lainnya,
kekacauan terasa tidak terlalu lama. Hanya lima atau sepuluh hari. Dengan sangat
cepat, pemikiran-pemikiran duniawi menyelimuti mereka lagi, dan mereka
tenggelam lagi dalam kegiatan rutin sebagai perumah tangga.
(hal. 18)

Seorang Arahat tidak pernah kembali lagi kepada kebiasaan lama mereka.
Bila seorang Arahat menemui berbagai obyek indera selama tidak bermeditasi,
akan muncul kekacauan. Hanya ketika berada dalam meditasi vipassanā baru
seorang Arahat menemukan kedamaian pikiran. Dengan demikian bermeditasi
tentang lima kelompok pencengkeraman memberikan ketenangan pikiran bagi
seorang Arahat. Sekali lagi, selama seseorang selalu bermeditasi dengan sungguhsungguh,
secara terus-menerus muncul perhatian penuh dan pemahaman tentang
ketidakkekalan, sifat tidak memuaskan, dan bukan diri. Ini adalah manfaat yang
lain. Sang Arahat yang terus-menerus memiliki perhatian penuh dan pemahaman,
mampu menikmati pencapaian Buah Mulia setiap waktu dan sepanjang waktu
yang dia inginankan. Ini adalah dua manfaat bagi seorang Arahat yang bermeditasi
tentang lima kelompok pencengkeraman.
Jawaban-jawaban di atas diberikan oleh YM Sāriputta dalam kitab Sīlavanta
Sutta, juga ditemukan di kitab Sutavanta Sutta. Perbedaan satu-satunya di antara
kedua sutta adalah dalam istilah “sīlavanta” – yaitu “kebiasaan moral”, dan
“sutavanta” – yaitu “terpelajar”. Semua kata-kata yang lainnya adalah sama.
Berdasarkan kedua sutta ini, dan yang lainnya tentang kelompok-kelompok
pencengkeraman`, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: ”Pengetahuan
pandangan terang datang dari bermeditasi tentang lima kelompok
pencengkeraman.”
Sekarang saya akan kembali kepada cengkraman yang muncul melalui enam
pintu indera. Ketika orang melihat, mereka berpikir tentang mereka sendiri atau
orang lain sebagai kekal, telah hidup sebelumnya, sedang hidup sekarang, akan
hidup di masa yang akan datang, sebagai sesuatu yang selalu hidup. Mereka
menganggap diri mereka bahagia, bagus, atau indah. Mereka berpikir tentang diri
mereka sebagai makhluk hidup. Mereka berpikir dengan cara yang sama ketika
mereka mendengar, mencium, mengecap, atau menyentuh. Indera sentuhan
tersebar di seluruh tubuh, di mana ada darah dan daging. Bilamana sentuhan
muncul, pencengkeraman muncul. Menekuk, meluruskan, dan menggerakkan
anggota tubuh yang disebut sebelumnya semuanya adalah contoh-contoh sentuhan.
Begitu juga dengan tegangan dan regangan pada gerakan kembang dan kempisnya
dinding perut. Kita akan membahas hal ini secara rinci di bagian berikutnya.
(hal. 19)

Ketika seseorang berpikir atau berimajinasi, ia menganggap, “Diri yang
hidup sebelumnya sedang berpikir sekarang.” Sehingga ia menganggap dirinya
orang atau makhluk yang kekal. Ia juga menganggap bahwa berpikir itu enak,
menyenangkan. Ia menganggapnya sebagai kebahagiaan. Jika diberitahu bahwa
pemikiran itu akan hilang, ia tidak dapat menerimanya, ia menjadi kurang senang.
Ini disebabkan karena ia mencengkeram kepada hal itu. Sehingga ia
mencengkeram kepada apa pun yang masuk melalui enam pintu indera sebagai
sesuatu yang kekal, bahagia, dan memiliki diri. Ia bergembira dengannya disertai
hasrat, dan mencengkeram kepadanya. Anda harus bermeditasi tentang lima
kelompok yang melekat dan mencengkeram.
(hal. 20)


Metode yang Benar

Ketika anda bermeditasi, anda harus memiliki suatu metode. Hanya metode
yang benar yang dapat menimbulkan pandangan terang. Bila anda menganggap
segala sesuatu sebagai kekal, bagaimana pandangan terang dapat muncul? Bila
anda menganggap mereka sebagai bahagia, indah, sebagai roh atau ego,
bagaimana pandangan terang dapat muncul?
Mental dan jasmani tidaklah kekal. Hal-hal yang tidak kekal ini harus
direnungkan untuk melihat mereka sebagaimana adanya – sebagai tidak kekal.
Mereka muncul dan lenyap, dan terus-menerus menekan anda, sehingga merekalah
yang merupakan penderitaan yang parah. Anda harus bermeditasi untuk melihat
mereka sebagaimana adanya – sebagai penderitaan. Mereka hanyalah sekumpulan
proses tanpa adanya kepribadian, jiwa, atau diri. Anda harus bermeditasi untuk
melihat bahwa demikianlah adanya. Anda harus mencoba melihat mereka
sebagaimana adanya.
Setiap kali anda melihat, mendengar, menyentuh, atau menyadari, anda
harus mencoba melihat proses mental dan jasmani yang masuk melalui enam pintu
indera sebagaimana adanya. Ketika anda melihat, penglihatan itu nyata. Hal ini
harus anda catat sebagai “melihat, melihat”. Dengan cara yang sama, ketika anda
mendengar, catatlah “mendengar”. Ketika anda mencium, catatlah “mencium”.
Ketika anda mengecap, catatlah “mengecap”. Ketika anda menyentuh, catatlah
“menyentuh”. Rasa lelah, panas, sakit, dan sensasi lain yang tidak menyenangkan
atau tak tertahankan muncul dari sentuhan juga. Amatilah: “kelelahan”, “panas”,
“sakit”, dan seterusnya. Pikiran dan ide juga mungkin muncul. Catatlah sebagai
“berpikir”, “berkhayal”, “senang”, “gembira”, dan lain-lain, sewaktu mereka
muncul. Bagi yogi pemula, untuk memperhatikan segala hal yang memasuki enam
pintu indera sangatlah sulit. Jadi mulailah dengan mencatat hanya beberapa hal
saja.
Anda harus memulai dengan cara berikut ini: Ketika anda menarik dan
menghembuskan napas, gerakan dinding perut terasa jelas. Mulailah dengan
memperhatikan gerakan ini. Anda harus memperhatikan gerakan mengembang
sebagai “kembang”, dan gerakan mengempis sebagai “kempis”.
(hal. 21)

Karena pengamatan gerakan mengembang dan mengempis tidak memakai
istilah-istilah kitab suci, sebagian orang yang tidak berpengalaman dalam meditasi
menghina hal itu: “Teknik kembang dan kempis ini tidak tertulis di dalam kitab
suci.” Namun demikian, kembang dan kempis adalah kenyataan yang dapat
diamati. Gerakan unsur udara adalah suatu kenyataan. Kita menggunakan kata-kata
umum “kembang” dan “kempis” supaya praktis. Dalam istilah kitab suci, gerakan
mengembang dan mengempis adalah unsur udara (vāyo-dhātu). Jika anda
mengamati dinding perut dengan perhatian penuh seiring dengan mengembang dan
mengempisnya, ketegangan dinding perut dapat diamati, gerakan dapat diamati,
kekakuan dapat diamati. Di sini, “ketegangan” adalah sifat (karakteristik) dari
unsur udara, dan pembesaran (dari dinding perut) adalah manifestasinya.
Mengetahui unsur udara sebagaimana adanya berarti mengetahui sifat, fungsi, dan
manifestasinya. Kita bermeditasi untuk mengetahui hal-hal ini.
Pandangan terang bermula dari pembedaan mental dan jasmani. Untuk
mencapainya, yogi seharusnya mulai dengan jasmani. Bagaimana caranya?
“Yogi harus menangkap berdasarkan sifat, manifestasi, dan seterusnya.”
(Visuddhimagga).
Ketika anda mulai bermeditasi tentang mental atau jasmani, anda harus
melakukannya berdasarkan sifat, fungsi, manifestasi, atau penyebab
terdekatnya. Seperti disebutkan dalam kitab Kumpulan Filsafat
(Abhidhammatthasangaha): “Kemurnian pandangan adalah pemahaman mental
dan jasmani sehubungan dengan sifatnya, fungsinya, manifestasinya, dan penyebab
terdekatnya.”
Maksudnya adalah bahwa pandangan terang diawali dengan pengetahuan
analitis dari mental dan jasmani (nāmarūpa-pariccheda-ñāna). Di antara tujuh
tahap pemurnian (satta visuddhi), terlebih dahulu anda harus memurnikan
moralitas (sīla visuddhi); lalu pikiran (citta visuddhi); lalu pandangan (ditthi
visuddhi). Untuk mencapai pengetahuan analitis dari mental dan jasmani, dan
pemurnian pandangan, anda harus bermeditasi tentang mental dan jasmani, dan
mengenali mereka berdasarkan sifat, fungsi, manifestasi, dan penyebab
terdekatnya. Sekali anda mengenali mereka dengan cara ini, anda memperoleh
(hal. 22)

pengetahuan analisis dari mental dan jasmani. Ketika pengetahuan ini matang,
anda memperoleh pemurnian pandangan.
Di sini, “mengenali mereka berdasarkan sifat-sifatnya” berarti mengenali
sifat hakiki (intrinsik) dari mental dan jasmani. “Fungsi” berarti mengenali fungsi
mereka. “Manifestasi” berarti bentuk perwujudan/penampilannya. Untuk
mengenali penyebab terdekatnya belum perlu pada tahap awal dari latihan
meditasi, sehingga kami hanya akan menjelaskan sifat-sifat, fungsi, dan
manifestasinya.
Dalam kitab Visuddhimagga dan Abhidhammatthasangaha, seperti dalam
kutipan tadi, tidak disebutkan bahwa mental dan jasmani harus direnungkan
melalui nama, jumlah, pecahan materi, atau sebagai proses yang muncul tanpa
henti. Hanya disebutkan bahwa mereka seharusnya direnungkan berdasarkan sifat,
fungsi, dan manifestasinya. Seseorang seharusnya mencatat hal ini dengan hatihati.
Kalau tidak, seseorang mungkin bisa terjerumus ke arah konsep dari nama,
jumlah, bagian-bagian pecahan, atau proses.
Kitab-kitab komentar mengatakan bahwa anda harus bermeditasi tentang
mental dan jasmani berdasarkan sifat, fungsi, dan manifestasinya. Jadi ketika anda
bermeditasi tentang unsur udara (vāyo dhātu), anda seharus melalukannya
berdasarkan sifat-sifatnya, fungsi, dan manifestasinya. Apakah sifat dari unsur
udara? Sifatnya adalah menyokong. Itulah sifat hakikinya. Menyokong adalah
sifat dari unsur udara. Apakah fungsi dari unsur udara? Fungsinya adalah
menggerakkan. Apakah manifestasinya? Manifestasinya adalah apa yang muncul
dalam pikiran yogi. Ia muncul dalam pikiran yogi sebagai mengembang,
mengecil, mendorong, atau menarik. Inilah manifestasi unsur udara.
Sambil anda merenungkan kembang dan kempisnya dinding perut,
“kekakuan”, “gerakan”, dan “mengembang” menjadi jelas bagi anda. Ini adalah
sifat, fungsi, dan manifestasi dari unsur udara. Unsur udara ini penting untuk
diketahui. Dalam bagian tentang empat postur tubuh, pemahaman yang jelas, dan
perenungan tubuh dalam kitab Satipatthāna Sutta, sang komentator menekankan
pentingnya unsur udara. Sang Buddha mengajarkan “Gacchanto vā gacchāmi’ti
pajānāti” – “Ketika ia berjalan, ia menyadari ‘Ia sedang berjalan’.”
(hal. 23)

Sang Buddha mengajarkan kita untuk berperhatian penuh sewaktu berjalan
dengan mencatat “berjalan, berjalan” setiap kita berjalan. Bagaimana caranya
pengetahuan berkembang dari pencatatan yang demikian dijelaskan oleh
komentator: “Keinginan berupa ‘Aku akan berjalan’ muncul. Hal ini menghasilkan
unsur udara. Unsur udara menghasilkan pertanda atau isyarat. Gerakan maju dari
seluruh tubuh bersamaan dengan menyebarnya unsur air disebut berjalan.”
Maksudnya adalah sebagai berikut: Yogi yang mencatat “berjalan, berjalan”
setiap ia berjalan menyadari hal berikut ini. Pertama-tama, ide/keinginan ‘Aku
akan berjalan’ muncul. Keinginan ini menimbulkan ketegangan di seluruh tubuh,
yang menyebabkan tubuh bergerak ke depan, langkah demi langkah. Gerakan ini
kita sebut “Aku berjalan”, atau “Ia berjalan”. Pada kenyataannya, tidak ada “Aku”
atau “Ia” yang berjalan. Hanya keinginan untuk berjalan dan fenomena jasmani
dari berjalan. Inilah yang disadari oleh yogi. Kitab komentar menekankan
pentingnya menyadari gerakan dari unsur udara. Bila anda telah memahami unsur
udara melalui sifat, fungsi, dan manifestasinya, anda dapat menyimpulkan sendiri
apakah meditasi anda benar atau tidak.
Unsur udara (vāyo dhātu) memiliki sifat menyokong. Dalam sebuah bola
sepak, adalah udara yang mengisi dan menyokong sehingga bola mengembang dan
tetap kencang. Dalam bahasa pergaulan kita katakan bahwa bola penuh dan
kencang. Dalam istilah filsafat, unsur udara memiliki sifat menyokong. Jika anda
meluruskan lengan anda, anda merasakan sedikit kekakuan di sana. Itu adalah
unsur udara yang sedang menyokong. Sama halnya ketika anda meletakkan kepala
anda di atas bantal berisi udara, kepala tetap tersangga, karena unsur udara di
dalam bantal menyokong kepala anda. Dalam satu tumpukan batu bata, batu yang
di bawah menyokong bata di atasnya. Jika tidak demikian, bata yang di atas akan
jatuh. Demikian juga halnya tubuh manusia penuh dengan unsur udara, yang
memberikan sokongan supaya tubuh dapat berdiri tegak dan kokoh. 1
Fungsi dari unsur udara adalah menggerakan. Ia bergerak dari suatu tempat
ke tempat lain ketika sedang kuat. Adalah unsur udara yang membuat tubuh
menekuk, meluruskan, duduk, berdiri, pergi, dan datang.
1 Istilah kokoh sesungguhnya relatif. Dibandingkan dengan sesuatu yang lebih kokoh, ia lembut.
Dibandingkan dengan sesuatu yang lebih lembut, ia kokoh.
(hal. 24)

Mereka yang tidak berpengalaman dalam meditasi pandangan terang sering
berkata, “Jika anda mencatat ‘menekuk’, atau ‘meluruskan, hanya konsep seperti
lengan yang akan muncul untuk anda. Jika anda mencatat ‘kiri’, ‘kanan’, hanya
konsep seperti kaki yang akan muncul untuk anda. Jika anda mencatat ‘kembang’,
‘kempis’, hanya konsep seperti dinding perut yang akan muncul untuk anda.” Hal
ini mungkin benar untuk sebagian yogi pemula, tetapi tidaklah benar berpikir
bahwa konsep-konsep itu akan terus-menerus terulang. Baik konsep maupun
kenyataan (realitas) muncul di hadapan yogi pemula. Sebagian orang mengajarkan
yogi pemula untuk bermeditasi tentang realitas saja. Hal ini adalah tidak mungkin.
Untuk melupakan konsep tidaklah praktis pada tahap permulaan. Anda harus
mengkombinasikan konsep dengan realitas. Sang Buddha sendiri menggunakan
konsep dan memberitahukan kita untuk menyadari “Aku sedang berjalan,
menekuk, atau mengulur” ketika kita berjalan, menekuk, atau menjulur. Ia tidak
memberitahukan kita untuk menyadari “Sedang menyokong, bergerak,” dan
seterusnya.
Walaupun anda bermeditasi menggunakan konsep seperti “berjalan,
menekuk, menjulur”, seiring dengan bertumbuhnya perhatian penuh dan
konsentrasi anda, semua konsep menjadi lenyap dan hanya realitas seperti
menyokong dan bergerak yang muncul di hadapan anda. Ketika anda mencapai
pengetahuan kehancuran (bhanga ñāna), walaupun anda mencatat “berjalan,
berjalan”, kaki atau tubuh tidak akan tampak di hadapan anda. Hanya gerakan itu
sendiri yang berada di sana. Walaupun anda mencatat “menekuk, menekuk” anda
tidak akan dapat melihat lengan atau kaki, hanya gerakannya yang ada. Walaupun
anda mencatat “kembang, kempis” anda tidak akan menyadari bentuk dari dinding
perut atau tubuh, hanya ada gerakan keluar dan ke dalam. Ini adalah fungsi dari
unsur udara.
Apa yang muncul di pikiran yogi sebagai mengembang atau mengecil,
adalah manifestasi dari unsur udara. Ketika anda menekuk atau meluruskan
lengan, tampaknya ada sesuatu yang menariknya ke dalam atau mendorongnya
keluar. Hal ini bahkan lebih jelas lagi dalam berjalan. Bagi yogi yang
konsentrasinya telah tajam dengan mencatat “berjalan”, “langkah kiri, langkah
kanan”, atau “angkat, dorong, turun”, gerakan ke depan yang seolah-olah didorong
dari belakang menjadi cukup jelas. Kaki tampaknya mendorong ke depan dengan
sendirinya. Bagaimana kaki bergerak ke depan tanpa sang yogi melakukan usaha
(hal. 25)

menjadi sangat jelas. Rasanya sungguh menyenangkan mencatat seperti demikiran
sehingga sebagian yogi meluangkan banyak waktu melakukannya.
Maka ketika anda bermeditasi tentang unsur udara, anda harus mengenalnya
berdasarkan sifatnya yang menyokong, fungsinya yang menggerakkan, dan
manifestasinya yaitu mengembang. Hanya Dengan demikian pengetahuan anda
menjadi benar.
Anda mungkin bertanya, “Haruskah kita bermeditasi hanya setelah
mempelajari sifat, fungsi, dan manifestasinya?” Tidak. Anda tidak perlu
mempelajarinya. Jika anda bermeditasi tentang gerakan mengembang, anda dengan
sendirinya akan mengenali sifat, fungsi, dan manifestasinya. Ketika anda
menengadah ke langit pada malam yang disertai badai, anda melihat kilat. Cahaya
terang ini adalah sifat dari kilat. Begitu kilat memancarkan cahayanya, kegelapan
terhalau. Penghalauan kegelapan ini adalah fungsi dari kilat tersebut. Anda juga
melihat seperti apa bentuknya – apakah itu panjang, pendek, melengkung, lurus,
atau lebar. Anda melihat sifat, fungsi, dan manifestasinya sekaligus. Anda
mungkin tidak akan mampu menjelaskan bahwa terang adalah sifatnya, menghalau
kegelapan adalah fungsinya, atau bentuknya adalah manifestasinya, tetapi anda
tetap saja melihatnya semua.
Sama halnya ketika anda bermeditasi tentang gerakan mengembangnya
dinding perut, anda akan mengenali sifat, fungsi, dan manifestasinya. Anda tidak
perlu mempelajarinya. Sebagian orang terpelajar berpikir bahwa anda harus
mempelajarinya sebelum bermeditasi. Bukan demikian halnya. Apa yang anda
pelajari hanya berupa konsep, bukan kenyataan. Seorang yogi yang sedang
merenungkan gerakan mengembang mengetahuinya dengan jelas seolah-olah
seperti menyentuhnya dengan tangan. Ia tidak perlu mempelajarinya. Jika ada
seekor gajah di depan mata anda, anda tidak perlu lagi melihat gambar gajah.
Orang yang bermeditasi tentang gerakan mengembang dan mengempisnya
dinding perut mengenali kekakuan atau kelembutannya, yaitu sifatnya. Ia
mengenali gerakan maju dan mundur, yaitu fungsinya. Jika seseorang dapat
mengetahui hal-hal ini sebagaimana adanya, apakah ia perlu mempelajarinya
terlebih dahulu? Tidak perlu bila ia hanya ingin mengerti untuk dirinya sendiri.
Tetapi ia perlu mempelajarinya bila ia ingin mengajari orang lain.
(hal. 26)

Ketika anda mencatat “langkah kanan, langkah kiri,” anda mengetahui
tegangan dalam setiap langkah – itulah sifatnya. Anda mengetahui gerakan ke
depan – itulah fungsinya, dan anda mengetahui langkah kaki – itulah
manifestasinya. Inilah pengetahuan yang benar tentang kenyataan.
Untuk mengetahui sendiri bagaimana caranya membedakan sifat, fungsi, dan
manifestasinya, anda harus mempraktekkan meditasi. Anda tentu saja memiliki
rasa panas, sakit, kaku, atau tidak enak di suatu tempat di tubuh anda sekarang.
Perasaan yang tidak menyenangkan ini sulit ditahan. Berkonsentrasilah pada
perasaan tidak menyenangkan ini dan catatlah “panas, panas,” atau “sakit, sakit.”
Anda akan mendapati bahwa anda sedang mengalami perasaan tidak
menyenangkan, yang merupakan sifat dari penderitaan (dukkha).
Ketika perasaan tidak menyenangkan ini muncul, semangat anda menjadi
rendah. Jika perasaan tidak menyenangkan ini ringan, anda hanya akan sedikit
berkurang semangatnya. Jika hal itu parah, semangat anda akan menjadi sangat
rendah. Bahkan para yogi yang sangat gigih akan mendapati bahwa semangat
mereka menjadi rendah ketika perasaan tidak menyenangkan menjadi kuat. Ketika
anda sangat lelah, anda bahkan tidak mampu bergerak. Membuat semangat
menjadi rendah adalah fungsi dari perasaan yang tidak menyenangkan.
Ketika kita menyebut ‘semangat’, yang kita maksud adalah pikiran. Ketika pikiran
sedang rendah, faktor-faktor pikiran (cetasika) juga menjadi rendah.
Manifestasi dari perasaan yang tidak menyenangkan adalah tekanan
jasmani. Perasaan ini bermanifestasi sebagai penderitaan jasmani, sesuatu yang
tidak dapat ditahan oleh pikiran yogi. Ketika seseorang bermeditasi tentang “panas,
panas,” “sakit, sakit,” perasaan ini bermanifestasi sebagai sesuatu yang menekan
tubuh, sesuatu yang sangat sulit ditahan. Perasaan ini mungkin menekan anda
begitu hebat sehingga anda harus mengeluh atau mengerang.
Jika anda bermeditasi tentang perasaan yang tidak menyenangkan pada
tubuh anda saat perasaan tersebut muncul, anda akan mengetahui bahwa anda
mengalami suatu perasaan yang tidak menyenangkan – sifatnya. Anda akan
mengetahui bahwa semangat anda surut – fungsinya, dan anda akan mengenali
penderitaan jasmani – manifestasinya. Inilah caranya para yogi memperoleh
pengetahuan pandangan terang.
(hal. 27)


pikiran

Anda dapat bermeditasi tentang pikiran juga. Pikiran mengenali dan
berpikir. Apa yang anda pikirkan dan khayalkan adalah mentalitas. Renungkan
proses mental ini sebagai ‘berpikir,” “berkhayal,” atau “berencana,” kapanpun
proses itu muncul. Anda akan menemukan bahwa sifat alaminya adalah mengenali
objek – yang merupakan sifat dari kesadaran. Setiap jenis kesadaran sifatnya
mengenali – penglihatan mengenali pemandangan, pendengaran mengenali
suara/bunyi, penciuman mengenali bau, pengecapan mengenali rasa, sentuhan
mengenali obyek sentuh, dan pikiran mengenali obyek pikiran.
Ketika anda bekerja dalam sebuah tim, anda memiliki seorang pemimpin.
Kesadaran adalah pemimpin yang mengenali obyek yang muncul pada semua
pintu indera. Ketika obyek yang dapat dilihat (bentuk/warna) kontak dengan mata,
kesadaran mengenalinya terlebih dahulu. Hanya setelah itu hal-hal lainnya yaitu
perasaan, persepsi/ingatan, keinginan, kegembiraan, ketidaksukaan, kekaguman,
dan seterusnya dapat muncul. Sama halnya ketika sebuah suara kontak dengan
telinga, adalah kesadaran yang mengenalinya terlebih dahulu.
Hal ini lebih jelas ketika anda berpikir atau berkhayal. Jika suatu ide muncul
di pikiran ketika anda sedang merenungkan gerakan kembang dan kempis, anda
harus mencatat ide tersebut. Jika anda dapat mencatatnya pada saat ide itu muncul,
ide tersebut lenyap dengan segera. Jika anda tidak dapat, beberapa pengikutnya
akan muncul berurutan – kegembiraan, keinginan, dan lain-lain. Jadi yogi
menyadari bahwa kesadaran adalah pemimpin – yang merupakan fungsinya.
Seperti dikatakan dalam Dhammapada, “Manopubbangamā dhammā – pikiran
mendahului segala sesuatu.” Jika anda mencatat kesadaran ketika kesadaran ini
muncul, anda akan melihat dengan jelas bagaimana kesadaran berperan sebagai
pemimpin, terlebih dahulu pergi ke obyek ini, kemudian ke obyek itu.
Kitab komentar mengatakan bahwa manifestasi dari kesadaran adalah
muncul secara terus-menerus. Saat anda mencatat “kembang, kempis,” dan lainlain,
pikiran kadang-kadang mengembara. Jika anda mencatatnya, hal itu lenyap.
Kemudian kesadaran lain muncul, anda mencatatnya, dan hal itu lenyap. Anda
harus sangat sering mencatat muncul dan lenyapnya kesadaran. Anda menjadi
(hal. 28)

mengerti bahwa, “Kesadaran adalah suatu rangkaian peristiwa yang muncul dan
lenyap secara berurutan. Begitu yang satu lenyap, yang berikutnya muncul.”
Dengan demikian anda menyadari manifestasi dari kesadaran yaitu terusmenerus.
Yogi yang menyadari hal ini juga menyadari kematian dan kelahiran.
“Akhirnya, kematian bukanlah sesuatu yang aneh. Kematian hanya seperti
lenyapnya suatu kesadaran yang telah saya catat. Terlahir kembali adalah seperti
munculnya kesadaran saat ini yang mengikuti kesadaran sebelumnya.”
Untuk menunjukkan bahwa seseorang dapat mengerti sifat, fungsi, dan
manifestasi segala sesuatu walaupun belum pernah mempelajarinya, kita telah
mengangkat unsur udara dari sekian banyak fenomena jasmani, dan perasaan
tidak senang dan kesadaran dari sekian banyak fenomena mental. Anda hanya
harus mencatatnya begitu fenomena-fenomena itu muncul. Hal yang sama berlaku
untuk semua fenomena mental dan jasmani. Jika anda mencatatnya sewaktu
fenomena itu muncul, anda akan memahami sifat, fungsi, dan manifestasinya.
Seorang pemula dapat memahami kelompok-kelompok pencengkeraman hanya
melalui sifat, fungsi, dan manifestasinya. Pada tahap-tahap permulaan pandangan
terang – pengetahuan analitis dari mental dan jasmani (nāmarūpa-paricchedañāna)
dan pengetahuan membedakan sebab-akibat (paccaya-pariggaha-ñāna) –
pemahaman sejauh ini sudahlah cukup. Ketika anda sampai pada tahap berikutnya
yaitu pengetahuan melalui pemahaman (sammasana-ñāna), anda juga akan
mengenali sifat-sifat ketidakkekalan (anicca), ketidakpuasan (dukkha), dan bukan
diri (anatta).
(hal. 29)


Apa Tujuan Meditasi?

Seseorang mungkin bertanya, “Apa tujuan bermeditasi tentang kelompokkelompok
pencengkeraman?” Seseorang mungkin ragu, “Apakah kita bermeditasi
tentang masa lalu, masa kini, masa yang akan datang, atau suatu masa yang tidak
jelas?”
Untuk apa kita bermeditasi? Apakah untuk mencapai kemakmuran materi?
Apakah untuk menyembuhkan penyakit? Apakah untuk memperoleh penglihatan
gaib, terbang, atau untuk kekuatan supernormal lainnya. Tujuan dari meditasi
pendangan terang bukanlah semua hal di atas. Beberapa orang telah sembuh dari
berbagai penyakit parah melalui latihan meditasi pandangan terang. Pada masa
Sang Buddha, banyak yang mencapai kesempurnaan melalui meditasi pandangan
terang juga memperoleh kekuatan supernormal. Beberapa orang di masa kini juga
mungkin memperoleh kekuatan seperti itu. Namun demikian, memperoleh
kekuatan seperti ini bukanlah tujuan dari meditasi pandangan terang (vipassanā).
Apakah kita seharusnya bermeditasi tentang suatu fenomena yang telah
berlalu? Apakah kita seharusnya bermeditasi tentang fenomena yang belum
muncul, atau hanya tentang fenomena yang sedang muncul saat ini? Apakah kita
seharusnya bermeditasi tentang fenomena yang dapat kita bayangkan karena telah
kita baca dalam buku?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: “Kita bermeditasi
untuk melepaskan pencengkeraman, dan kita bermeditasi tentang apa yang
muncul pada saat ini.”
Orang-orang yang belum berlatih meditasi, mencengkeram pada mental dan
jasmani yang muncul setiap kali mereka melihat, mendengar, mencium, mengecap,
menyentuh, atau mengetahui sesuatu. Mereka mencengkeram hal-hal ini dengan
hasrat karena mereka merasa senang dengannya. Mereka mencengkeramnya
dengan pandangan salah sebagai kekal, membahagiakan, dan sebagai diri atau ego.
Kita bermeditasi demi “tidak munculnya” pencengkeraman ini, agar terbebas
darinya. Inilah tujuan dasar dari meditasi pandangan terang (vipassanā).
(hal. 30)

Kita bermeditasi hanya pada apa yang muncul pada saat ini. Kita tidak
bermeditasi pada hal-hal di masa lalu atau masa yang akan datang, juga tidak pada
konsep. Di sini, saya berbicara tentang meditasi pandangan terang yang sebenarnya
(berdasarkan fakta), tetapi dalam meditasi berdasarkan kesimpulan berlogika
(inferential)2 kita memang bermeditasi tentang hal-hal di masa lalu dan masa yang
akan datang, atau tentang konsep. Mari saya jelaskan.
Meditasi pandangan terang ada dua jenis: berdasarkan fakta dan
kesimpulan berlogika (inferential). Pengetahuan yang anda peroleh dengan
bermeditasi pada apa yang sebenarnya sedang muncul berdasarkan sifat, fungsi,
dan manifestasinya adalah vipassanā berdasarkan fakta. Dari pengetahuan ini,
anda menyimpulkan tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan sifat alami bukan
diri dari hal-hal di masa lalu dan akan datang, atau hal-hal yang belum anda alami.
Ini adalah vipassanā inferential. Seperti disebutkan dalam Patisambhidāmagga,
“Penggabungan dari keduanya (yang terlihat dan tidak terlihat) menjadi satu
melalui kesimpulan . . .” Kitab Visuddhimagga menjelaskan penyataan ini sebagai
berikut: “… melalui kesimpulan berdasarkan logika, melalui kesimpulan
berdasarkan bukti, dari obyek yang terlihat melalui pengalaman nyata, ia
mendefinisikan bahwa keduanya [yang terlihat dan tidak terlihat] memiliki hanya
sebuah intisari tunggal yaitu ‘Bentuk-bentuk kesatuan telah hancur di masa lalu,
dan akan hancur di masa yang akan datang, sama seperti halnya sedang hancur
sekarang.” (Vism. 643)
“Obyek yang terlihat” berarti vipassanā berdasarkan fakta, dan “melalui
kesimpulan berdasarkan logika, melalui kesimpulan berdasarkan bukti” adalah
vipassanā inferential. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa vipassanā
inferential hanya dimungkinkan setelah vipassanā berdasarkan fakta. Tidak ada
kesimpulan yang dapat dibuat tanpa mengetahui terlebih dahulu obyek saat ini.
Penjelasan yang sama juga diberikan dalam kitab komentar dari Kathāvatthu:
“Melihat ketidakkekalan bahkan hanya dari satu bentuk kesatuan, seseorang dapat
menarik kesimpulan mengenai hal lainnya bahwa ‘tidak kekal adalah sifat semua
hal dalam hidup’.”
2 Inference = logic reasoning process: the process of reasoning from a
premise to a conclusion. Premise = basis of argument: a proposition that
forms the basis of an argument or from which a conclusion is drawn.
(hal. 31)

Mengapa kita tidak bermeditasi tentang hal-hal di masa lalu atau masa
yang akan datang? Karena mereka tidak dapat menolong kita memahami sifat
sebenarnya dari fenomena atau menghilangkan kekotoran mental. Anda tidak ingat
kehidupan masa lampau anda; anda bahkan tidak ingat sebagian besar masa kecil
anda. Jadi dengan bermeditasi tentang hal-hal di masa lalu, bagaimana anda dapat
mengenali hal-hal sebagaimana adanya dengan sifat, fungsi, dan manifestasinya?
Hal-hal dari masa yang baru berlalu masih bisa diingat, tetapi sewaktu mengingat
mereka anda berpikir, “Saya melihat, saya mendengar, saya berpikir. Adalah saya
yang melihat waktu itu, dan sekarang adalah saya yang sedang melihat.” Pemikiran
tentang “saya” selalu ada, sehingga akan selalu ada pandangan tentang kekekalan
dan kebahagiaan. Sehingga meditasi tentang kenangan tidak sesuai dengan tujuan
kita. Anda akan mencengkeramnya, dan pencengkeraman (upādāna) ini sulit
diatasi. Walaupun anda mungkin menganggapnya sebagai mental dan jasmani
melalui pengetahuan dan pemikiran anda, konsep tentang “Aku” tetap ada, karena
anda telah mencengkeramnya. Anda mungkin mengatakan kepada diri sendiri
bahwa mereka tidak kekal, tetapi anda melihatnya sebagai kekal. Anda mungkin
berkata bahwa mereka tidak memuaskan, tetapi kesan kebahagiaan terus-menerus
muncul. Anda merenungkan tentang tidak adanya diri, tetapi konsep tentang diri
tetap kuat dan kokoh. Anda berargumentasi dengan diri sendiri, sehingga meditasi
anda harus mengalah terhadap ide-ide yang telah tertanam sebelumnya.
Masa depan belumlah tiba, dan anda tidak dapat memastikan seperti apa
ketika masa depan datang. Anda mungkin bermeditasi tentang masa depan sebelum
hal itu datang, tetapi anda gagal melakukannya ketika hal itu benar-benar datang.
Kemudian hasrat, pandangan salah, dan kekotoran mental muncul kembali.
Sehingga bermeditasi tentang obyek masa depan dengan bantuan pembelajaran dan
pemikiran bukanlah cara untuk mengetahui hal-hal sebagaimana adanya. Itu juga
bukan cara untuk menghilangkan kekotoran mental.
Konsep-konsep (hal-hal yang tak memiliki rentang waktu) belum pernah
ada, tidak akan ada, dan tidak ada dalam diri seseorang atau di dalam diri orang
lain. Mereka hanya dibayangkan melalui pembelajaran dan pemikiran. Mereka
kelihatannya mengesankan dan intelek, tetapi sebenarnya hanya merupakan konsep
dari nama, simbol, dan bentuk. Seandainya seseorang sedang bermeditasi,
“Jasmani tidaklah kekal, ia muncul dan lenyap dari waktu ke waktu.” Tanyalah
padanya, “Apakah jasmani itu? Apakah jasmani dari masa lalu, sekarang, atau
(hal. 32)

yang akan datang? Apakah jasmani ada di dalam diri anda, atau di dalam diri orang
lain? Jika jasmani ada dalam diri anda, apakah di dalam kepala, tubuh, kaki,
tangan, mata, atau telinga anda?” Seseorang akan menemukan bahwa tidak satu
pun dari yang di atas, tetapi hanya sebuah konsep – hanya khayalan. Sehingga kita
tidak bermeditasi tentang konsep.
(hal. 33)


Fenomena Saat Ini

Fenomena saat ini adalah apa yang terjadi pada salah satu dari enam pintu
indera pada saat ini juga. Hal itu belum tercemar, ibarat sehelai kain yang baru atau
selembar kertas kosong. Jika anda cukup cepat mencatatnya begitu hal itu muncul,
hal itu tidak akan tercemar. Jika anda gagal mencatatnya, hal itu menjadi tercemar.
Sekali tercemar, hal itu tidak dapat dibersihkan. Jika anda gagal mencatat
fenomena mental dan jasmani pada saat kemunculannya, pencengkeraman
(upādāna) selalu ikut campur – pencengkeraman terhadap nafsu indera, terhadap
pandangan salah, terhadap upacara dan ritual, atau terhadap ego. Apa yang terjadi
saat pencengkeraman muncul?
“Terkondisi oleh pencengkeraman (upādāna), muncullah penjadian (bhava).
Terkondisi oleh penjadian, muncullah kelahiran (jāti). Terkondisi oleh kelahiran,
muncullah usia tua (jarā), kematian (marana), kesedihan (soka), ratap tangis
(parideva), sakit (dukkha), bersedih hati (domanassa) dan putus asa (upāyāsā).
Sehingga muncullah seluruh jenis penderitaan.” (M.i.266)
Upādāna bukanlah hal yang sepele. Hal ini adalah penyebab utama
perbuatan baik dan buruk. Seseorang yang diliputi upādāna, berjuang untuk
mendapatkan apa yang ia percaya adalah suatu hal yang baik. Setiap orang
melakukan apa yang ia pikir baik. Apa yang membuat ia berpikir bahwa hal itu
adalah baik? Upādāna. Orang lain mungkin berpikir bahwa hal itu buruk, tetapi
bagi si pelaku hal itu adalah baik. Jika ia berpikir hal itu tidak baik, ia tidak akan
melakukannya. Ada suatu ucapan yang berharga dalam salah satu ukiran prasasti
Raja Asoka, “Seseorang berpikir baik tentang perbuatannya. Ia tidak pernah
berpikir buruk tentang perbuatannya.” Seorang pencuri mencuri karena tampaknya
mencuri itu baik bagi dia. Seorang perampok merampok karena tampaknya
merampok itu bagus. Seorang pembunuh berpikir bahwa membunuh adalah baik.
Pangeran Ajātasattu berpikir adalah baik untuk membunuh ayahnya sendiri, Raja
Bimbisāra. Devadatta mencoba membunuh Sang Buddha, karena ia berpikir hal itu
adalah baik. Seseorang yang meminum racun untuk bunuh diri melakukannya
karena ia berpikir hal itu adalah baik. Ngengat bergegas menuju cahaya api pelita
karena berpikir hal itu adalah sesuatu yang sangat baik. Semua makhluk hidup
melakukan apa yang mereka perbuat karena mereka berpikir hal itu adalah baik
(hal. 34)

untuk dilakukan. Berpikir bahwa hal itu baik adalah upādāna. Sekali anda benarbenar
mencengkeram (upādāna) pada suatu ide, anda melakukan perbuatan.
Apakah hasilnya? Hasilnya adalah perbuatan baik dan buruk.
Adalah baik menahan diri supaya tidak menyebabkan penderitaan bagi
makhluk lain. Adalah perbuatan baik untuk memberikan bantuan kepada orang
lain. Adalah pebuatan baik untuk berdana atau memberikan penghormatan
kepada orang yang pantas dihormati. Perbuatan baik mendatangkan kedamaian
mental, usia panjang, dan kesehatan yang baik dalam kehidupan ini juga. Hal
itu akan memberikan manfaat yang baik dalam kehidupan-kehidupan berikutnya
juga. Upādāna yang demikian adalah pencengkeraman yang benar. Orang-orang
yang mencengkeram pada perbuatan baik membuat karma baik melalui pemberian
dana dan menjalankan sīla. Apakah hasilnya? “Terkondisi oleh penjadian,
muncullah kelahiran.” Setelah meninggal, mereka akan terlahir kembali sebagai
manusia atau dewa. Jika terlahir sebagai manusia, mereka akan menikmati usia
panjang, kecantikan, kesehatan, status, banyak teman, dan kekayaan. Anda dapat
menyebut mereka “orang yang bahagia”. Sebagai dewa, mereka akan memiliki
banyak pengikut dan tinggal di istana yang megah. Mereka telah tercengkeram
oleh pemikiran kebahagiaan, dan dalam arti duniawi mereka dapat disebut
berbahagia.
Namun dalam arti yang tertinggi, manusia-manusia bahagia dan dewa-dewa
ini tidaklah bebas dari penderitaan. “Terkondisi oleh kelahiran, muncullah usia
tua dan kematian.” Walaupun mereka terlahir sebagai manusia yang bahagia,
mereka akan menjadi tua. Lihatlah para orang tua yang bahagia di dunia ini. Saat
mereka melampaui usia tujuh puluh atau delapan puluh tahun, segalanya menjadi
penderitaan bagi mereka. Rambut beruban, gigi yang ompong, penglihatan yang
lemah, pendengaran yang kurang baik, tubuh yang bungkuk, kulit yang keriput,
kekuatan yang melemah – mereka menjadi tidak bisa apa-apa lagi. Walaupun
memiliki kekayaan dan nama baik, dapatkah orang-orang tua seperti itu bahagia?
Mereka menderita akibat usia tua. Mereka tidak dapat tidur nyenyak, mereka tidak
dapat makan dengan lahap, mereka kesulitan untuk duduk dan bangun. Akhirnya,
mereka harus menghadapi kematian. Bahkan orang kaya, raja, atau penguasa suatu
saat harus mati. Kemudian ia tidak memiliki apa-apa lagi yang dapat ia andalkan.
Teman-teman dan saudara mengelilinginya, tetapi ia hanya berbaring di
ranjangnya, menutup matanya, dan meninggal. Pada saat kematian ia pergi untuk
(hal. 35)

memulai kehidupan berikutnya sendirian. Ia pasti merasa berat meninggalkan
segala kekayaannya. Jika ia belum melakukan cukup banyak perbuatan baik, ia
akan khawatir tentang nasibnya.
Dewa-dewa yang agung juga harus meninggal seperti ini. Satu minggu
sebelum kematiannya, lima pertanda muncul pada diri mereka. Bunga-bunga yang
menghiasi mereka mulai layu, pakaian mereka mulai menjadi usang, keringat
muncul dari ketiak mereka, tubuh mereka mulai kelihatan tua, dan mereka menjadi
tidak puas lagi dengan kehidupan mereka. Ketika lima pertanda ini muncul,
mereka segera menyadari bahwa kematian segera menghampirinya, dan menjadi
sangat cemas.
Pada jaman Sang Buddha, Sakka (raja dari alam dewa Tāvatimsa) melihat
tanda-tanda ini muncul. Sangat cemas, menyadari bahwa ia akan segera meninggal,
ia pergi menemui Sang Buddha untuk meminta nasehat. Sang Buddha
mengajarinya Dhamma dan ia menjadi seorang pemenang arus (Sotāpanna).
Setelah ia meninggal, ia terlahir kembali menjadi raja Tāvatimsa. Ia beruntung bisa
bertemu Sang Buddha, kalau tidak hasilnya tentu akan celaka.
Tidak hanya usia tua dan kematian, tetapi juga kesedihan, ratap tangis, sakit,
bersedih hati, dan putus asa muncul akibat kelahiran. Jadi bahkan kehidupan yang
beruntung akibat dari pencengkeraman pada akhirnya merupakan penderitaan yang
mengerikan. Manusia, dan bahkan dewa, harus menderita. Jika suatu kehidupan
yang beruntung sebagai akibat dari perbuatan baik adalah penderitaan, apakah
lebih baik tidak melakukan perbuatan baik? Tidak, bukan demikian. Jika kita tidak
melakukan perbuatan baik, kita akan melakukan perbuatan buruk, yang akan
membawa kita ke neraka, atau kelahiran kembali sebagai binatang atau setan.
Penderitaan di alam rendah (apāya) ini jauh lebih parah. Kehidupan manusia atau
dewa adalah penderitaan bila dibandingkan dengan kebahagiaan nibbāna, tetapi
dibandingkan dengan penderitaan di alam-alam rendah, hal ini adalah
keberuntungan dan kebahagiaan.
Pencengkeraman (upādāna) yang benar mengakibatkan perbuatan baik, dan
pencengkeraman yang salah mengakibatkan perbutan buruk. Karena berpikir
bahwa hal tersebut baik untuk dilakukan, ada orang yang membunuh, mencuri,
merampok, dan menyakiti orang lain. Sebagai akibatnya, mereka terlahir di alam36
alam rendah. Terlahir di neraka seperti jatuh ke dalam kobaran api yang besar.
Bahkan seorang dewa yang hebat tidak kuasa menyelamatkan diri dari api neraka.
Pada jaman Buddha Kakusandha, ada seorang dewa Māra yang hebat bernama
Dūsī. Ia menghina Sang Buddha dan siswa-siswanya. Suatu hari ia menyebabkan
seorang Arahat meninggal. Sebagai hasil perbuatan jahat ini ia terlahir seketika di
neraka avīci. Setelah berada di sana, ia menjadi bulan-bulanan penjaga avīci.
Orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia ini akan memiliki nasib yang
menyerupai nasib Dūsī suatu hari nanti. Setelah menderita sekian lama di nereka,
mereka akan terlahir kembali sebagai binatang atau setan.
(hal. 36)


Bagaimana Pencengkeraman Muncul

Pencengkeraman (upādāna) sangatlah buruk, dan sangat penting untuk
dipahami. Kita harus bermeditasi untuk melepaskan pencengkeraman, untuk
menghentikannya. Kita bermeditasi untuk mencegah pencengkeraman yang
disertai hasrat atau pandangan salah – yaitu tidak mencengkeram pada segala
sesuatu sebagai kekal, bahagia, diri atau ego. Orang-orang yang gagal bermeditasi,
mencengkeram setiap saat mereka melihat, mendengar, merasa, atau berpikir.
Tanyalah pada diri anda sendiri apakah anda mencengkeram atau tidak. Jawabnya
akan sangat jelas.
Mari kita mulai dengan melihat. Seandainya anda melihat sesuatu yang
indah. Apakah yang anda pikirkan? Anda merasa senang dan gembira dengan
obyek tersebut, bukan? Anda tidak akan berkata, “Saya tidak ingin melihat, saya
tidak ingin memandangnya.” Sebenarnya, anda sedang berpikir, “Sungguh indah!
Betapa bagusnya!” Dengan tersenyum lebar, anda merasa senang dengannya. Pada
saat yang sama, anda berpikir obyek itu adalah kekal. Apakah obyek itu manusia
atau benda mati, anda pikir obyek itu telah ada sebelumnya, ada sekarang, dan
akan ada selamanya. Walaupun obyek itu bukan milik anda sendiri, dalam hati
anda merasa memilikinya dan bergembira dengan obyek itu. Jika obyek itu berupa
sepotong pakaian, anda mengenakannya di dalam hati dan merasa senang. Jika itu
berupa sepasang sandal, anda mengenakannya di dalam hati. Jika obyek itu adalah
manusia, anda menikmatinya dalam hati, dan merasa senang.
Hal yang sama terjadi ketika anda mendengar, mencium, mengecap, atau
menyentuh. Anda bergembira pada setiap kesempatan. Dengan pikiran, batasan
kesenangan anda menjadi lebih luas lagi. Anda berfantasi dan bergembira dengan
hal-hal yang bukan milik anda. Anda merindukan dan membayangkan mereka
menjadi milik anda. Jika mereka adalah milik anda sendiri, tak perlu lagi
dikatakan, anda terus-menerus berpikir tentang mereka, dan menikmati mereka
tanpa henti. Kita bermeditasi untuk memeriksa kesenangan dan pencengkeraman
seperti itu.
Anda juga mencengkeram berbagai hal dengan pandangan salah. Anda
mencengkeram dengan pandangan tentang aku. Ketika anda melihat, anda
(hal. 37)

berpikir bahwa apa yang anda lihat adalah seorang manusia, sebuah ego. Anda
menganggap kesadaran melihat sebagai seorang manusia, atau sebuah ego. Tanpa
pengetahuan vipassanā yang dalam, kita mencengkeram pada berbagai hal pada
saat kita melihat mereka. Jika anda merenung sejenak, anda akan melihat betapa
anda memiliki upādāna di dalam diri anda. Anda berpikir tentang diri sendiri atau
orang lain sebagai orang-orang yang telah hidup sepanjang hidupnya. Dalam
kenyataannya tidak ada hal yang demikian. Tidak ada sesuatu yang hidup
sepanjang hidupnya. Hanya mental dan jasmani yang muncul dan lenyap secara
terus-menerus. Anda menganggap mental dan jasmani yang tidak kekal ini sebagai
seorang manusia, mencengkeram kepadanya. Kita bermeditasi untuk mencegah
pencengkeraman terhadap berbagai hal yang disertai pandangan salah.
Kita harus bermeditasi terhadap obyek-obyek tepat saat mereka terjadi.
Hanya saat itulah kita akan mampu mencegah upādāna. Upādāna datang dari
penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, dan pemikiran. Hal
itu datang melalui enam pintu indera. Dapatkah kita mencengkeram hal-hal yang
tidak dapat kita lihat atau dengar? Tidak sama sekali. Sang Buddha sendiri
mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepada Mālukyaputta. “Sekarang apa
pendapatmu, Mālukyaputta? Ada obyek-obyek tertentu yang dapat dilihat yang
engkau belum pernah lihat, tidak melihatnya sekarang, tidak juga berharap
melihatnya di waktu yang akan datang. Dapatkah obyek-obyek yang demikian
menimbulkan keinginan, nafsu, atau rasa suka di dalam dirimu?” (S.i.v.72)
Apakah obyek-obyek rupa yang belum pernah anda lihat sebelumnya? Kotakota,
desa-desa, atau negara-negara yang belum pernah anda kunjungi, laki-laki
dan wanita tinggal di sana, dan pemandangan lainnya. Bagaimana seseorang dapat
jatuh cinta terhadap seseorang yang belum pernah mereka temui? Bagaimana
mereka dapat melekat kepadanya? Anda tidak mencengkeram hal-hal yang
belum pernah anda lihat. Tidak ada kekotoran mental yang muncul karena halhal
tersebut. Jadi anda tidak perlu bermeditasi tentang mereka. Namun hal-hal yang
anda lihat adalah masalah lain. Kekotoran mental dapat muncul bila anda gagal
bermeditasi untuk mencegahnya.
Hal yang sama juga berlaku pada hal-hal yang didengar, dicium, dikecap,
disentuh, atau dipikirkan.
(hal. 38)


Bermeditasilah Sekarang Juga

Jika anda gagal bermeditasi tentang fenomena yang muncul, dan juga tidak
menyadari sifat sesungguhnya berupa ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa
diri, mungkin muncul pencengkeraman pada fenomena tersebut dan membiarkan
kekotoran mental tumbuh. Ini adalah kasus dengan kekotoran mental yang
terpendam (laten). Karena kekotoran mental muncul dari obyek, kita menyebutnya
“obyek yang terpendam.” Apa yang dicengkeram orang dan mengapa mereka
mencengkeram hal-hal tersebut? Mereka mencengkeram hal-hal atau orang-orang
yang telah mereka lihat karena mereka telah melihatnya. Jika anda gagal
bermeditasi tentang mereka begitu mereka muncul, pencengkeraman muncul tanpa
dapat dielakkan. Kekotoran mental terpendam pada apa pun yang kita lihat,
dengar, kecap, dan lain-lain.
Jika anda bermeditasi, anda akan mendapati bahwa apa yang anda lihat
segera berlalu, apa yang anda dengar segera berlalu. Mereka berlalu dalam sekejap.
Begitu anda melihat mereka sebagaimana adanya, tidak ada lagi yang dicintai,
tidak ada lagi yang dibenci, tidak ada lagi yang bisa dicengkeram, sehingga tidak
ada pencengkeraman lagi.
Anda harus bermeditasi sekarang juga. Pada saat anda melihat, anda harus
bermeditasi. Anda tidak boleh mengabaikannya. Anda dapat membeli barang
secara kredit, tetapi anda tidak dapat bermeditasi secara kredit. Bermeditasilah
sekarang juga. Hanya dengan demikian maka pencengkeraman tidak akan muncul.
Dalam istilah Abhidhamma, anda harus bermeditasi segera setelah proses pada
pintu mata berakhir, dan sebelum proses pintu pikiran yang mengikutinya mulai.
Ketika anda melihat sebuah obyek bentuk/warna, prosesnya terjadi seperti di
bawah ini:
Pertama-tama, anda melihat obyek yang muncul. Ini adalah proses melihat.
Kemudian anda meninjau obyek yang terlihat. Ini adalah proses peninjauan.
Kemudian anda menyusun bentuk-bentuk yang terlihat dan melihat bentuk atau
warnanya. Ini adalah proses pembentukan. Terakhir, anda mengenali konsepnya
atau namanya. Ini adalah proses penamaan. Dalam hal obyek-obyek yang belum
pernah anda lihat sebelumnya, sehingga tidak dapat memberi nama, proses
(hal. 40)

penamaan tidak akan terjadi. Dari keempat proses, ketika proses melihat terjadi,
anda melihat bentuk saat itu, kenyataannya (realitas), sewaktu hal itu muncul.
Ketika proses kedua atau peninjauan terjadi, anda meninjau bentuk yang baru
dilihat, yang juga merupakan kenyataan. Kedua proses berfokus pada kenyataan,
yaitu obyek yang terlihat. Belum ada konsep yang muncul. Perbedaannya adalah
antara kenyataan saat ini dan kenyataan masa lalu. Dengan proses yang ketiga anda
sampai pada konsep dari bentuk. Dengan proses yang keempat anda sampai pada
konsep dari nama. Proses-proses berikutnya adalah berbagai macam konsep.
Semua konsep-konsep ini adalah umum bagi orang-orang yang tidak
berpengalaman dalam meditasi vipassanā.
Terdapat empat belas momen pikiran dalam proses melihat. Jika tidak ada
kesadaran penglihatan, pendengaran, atau pikiran yang muncul, kesadaran
kesinambungan kehidupan terus berlangsung. Kesadaran ini sama dengan
kesadaran tumimbal lahir. Itu adalah kesadaran yang tetap berlanjut ketika anda
tidur nyenyak. Ketika obyek bentuk/warna muncul, kesadaran kesinambungan
kehidupan berhenti, kemudian muncul momen pikiran yang mengarahkan
kesadaran pada obyek yang datang ke pintu mata. Ketika hal ini berhenti,
kesadaran melihat muncul. Kemudian datanglah kesadaran pemeriksa,
kemudian kesadaran yang menimbang apakah obyek yang dilihat itu baik atau
buruk. Kemudian, sesuai dengan hasil pertimbangan tadi, penilaian (apersepsi)3
baik atau tidak baik muncul dengan gejolak yang hebat sepanjang tujuh momen
pikiran. Ketika hal ini berhenti, dua momen pikiran yang melanjutkan proses
sebelumnya muncul. Ketika momen pikiran terakhir berhenti, kesadaran surut lagi
menuju kesinambungan kehidupan, seperti jatuh tertidur. Dari pengarahan
kesadaran sampai yang terakhir terdapat empat belas momen pikiran. Semua ini
bermanifestasi sebagai satu kesadaran melihat. Ini adalah bagaimana proses
melihat terjadi.
Bagi seseorang yang terlatih dengan baik dalam meditasi vipassanā, setelah
kesadaran kesinambungan kehidupan muncul (mengikuti berakhirnya proses
melihat), kesadaran pandangan terang yang meninjau ‘melihat’ terjadi. Anda
harus berusaha bermeditasi dengan segera, dengan cara ini. Jika anda mampu
3 Apperception = the process whereby perceived qualities of an object are
related to past experience
(hal. 41)

melakukannya, kesan dalam pikiran anda adalah seolah-olah anda sedang
bermeditasi tentang obyek-obyek tersebut ketika mereka terlihat, segera setelah
mereka muncul. Meditasi jenis ini dalam sutta disebut “meditasi pada saat ini”. “Ia
melihat dengan jeli hal-hal saat ini ketika mereka muncul di sini dan sekarang.”
(M.iii.187) Dalam kitab Patisambidhāmagga tertulis, “Memahami peninjauan
terhadap ketidakwajaran keadaan sekarang disebut pengetahuan pandangan terang
tentang muncul dan lenyap.”
Kutipan dari sutta-sutta tadi menunjukkan dengan jelas bahwa kita harus
bermeditasi tentang keadaan saat ini. Jika anda gagal bermeditasi tentang saat ini,
proses penangkapan muncul mengikuti kelanjutan kehidupan. Kesadaran ini
muncul untuk meninjau apa yang baru terlihat. Momen pikiran yang terlibat
adalah: menangkap (1), menilai (7), dan mengingat (2) – totalnya sepuluh momen
pikiran. Setiap kali anda berpikir, tiga jenis kesadaran dan sepuluh momen pikiran
ini terjadi, tetapi bagi yogi akan tampak hanya sebagai satu momen pikiran saja.
Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Patisambhidāmagga dan Visuddhimagga
mengenai pengetahuan kehancuran. Jika anda mampu bermeditasi sebelum proses
penangkapan, anda mungkin tidak sampai pada konsep, dan dapat bersama dengan
kenyataan – yaitu obyek yang terlihat. Namun ini bukan hal yang mudah bagi
pemula.
Jika anda gagal bermeditasi bahkan pada proses penangkapan, anda sampai
pada proses pembentukan dan proses penamaan. Kemudian datanglah
pencengkeraman. Jika anda bermeditasi setelah munculnya upādāna, konsep tidak
akan hilang. Itulah sebabnya kita mengajarkan anda untuk bermeditasi segera,
sebelum konsep muncul.
Proses untuk pendengaran, penciuman, pengecapan, dan sentuhan harus
dipahami dengan cara yang sama.
Dengan adanya pemikiran pada pintu pikiran, jika anda gagal bermeditasi
dengan segera, proses-proses selanjutnya muncul sesudah pemikiran itu. Jadi anda
harus bermeditasi segera, supaya mereka tidak muncul. Kadang-kadang, sewaktu
anda mencatat “kembang, kempis, duduk, sentuh,” pikiran atau ide mungkin
muncul di sela-selanya. Anda mencatatnya pada saat hal itu muncul. Anda catat
lalu ia segera berhenti. Kadang-kadang pikiran baru akan berkelana, anda catat dan
(hal. 42)

pikiran tersebut menjadi diam. Menurut perkataan beberapa yogi, “Pikiran mirip
anak nakal yang hanya mau diam bila ia dibentak untuk diam.”
Jadi jika anda mencatat kejadian disaat anda melihat, mendengar,
menyentuh, atau berpikir, tidak ada kesadaran selanjutnya yang akan muncul
yang mengakibatkan upādāna. “… ketika anda melihat, anda hanya melihat;
ketika anda mendengar, anda hanya mendengar; ketika anda berpikir, anda hanya
berpikir; dan ketika anda mengetahui, anda hanya mengetahui.” Seperti yang
ditunjukkan dalam kutipan dari Mālukyaputta Sutta tadi, hanya ada penglihatan,
suara dan ide yang ada di sana. Bila mengingat sesuatu, hanya sifat sesungguhnya
yang telah anda pahami yang akan muncul dan tidak ada upādāna. Yogi yang
mencatat sesuatu yang muncul pada saat kemunculannya, akan melihat bagaimana
segala sesuatu muncul dan lenyap, dan menjadi jelas bahwa segalanya tidak kekal
(anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan tanpa diri (anatta). Yogi memahami hal
ini secara langsung – bukan karena seorang guru telah menjelaskannya. Hanya
inilah pengetahuan yang sesungguhnya.
(hal. 43)




Perjuangan Tanpa Henti

Untuk sampai pada pengetahuan ini membutuhkan usaha tanpa henti.
Kemungkinannya kecil bahwa anda akan memperoleh pengetahuan seperti itu
dalam satu sesi meditasi duduk – barangkali hanya satu dari sejuta orang yang
dapat melakukannya. Pada jaman Sang Buddha ada banyak orang yang mencapai
Jalan Mulia (Magga) dan Buah Mulia (Phala) setelah mendengarkan satu ayat
dhamma, tetapi tidak ada yang dapat mengharapkan hal itu pada jaman sekarang.
Ketika Sang Buddha sedang mengajar, ia mengetahui keadaan para pendengarnya
dengan sempurna, dan para pendengarnya memiliki kesempurnaan (pārami) yang
luar biasa. Sekarang ini para guru hanyalah orang biasa yang mengajarkan apa
yang telah mereka pelajari. Ia tidak mengetahui keadaan pendengarnya. Sulit untuk
mengatakan bahwa para pendengar memiliki kesempurnaan yang luar biasa, jika
mereka memilikinya, mereka semestinya telah mencapai pencerahan pada jaman
Sang Buddha. Jadi kami tidak dapat mengharapkan anda untuk mencapai
pengetahuan khusus hanya dalam sekali berlatih – anda dapat mencapainya hanya
jika anda berusaha cukup keras.
Berapa lama anda harus berusaha? Memahami ketidakkekalan,
ketidakpuasan, dan tanpa diri, mulai dari pengetahuan pemahaman (sammasanañāna),
tetapi hal ini tidak datang semuanya sekaligus. Hal ini harus didahului oleh
pemurnian pikiran (citta visuddhi), pemurnian pandangan (ditthi visuddhi), dan
pemurnian dengan mengatasi keraguan (kankhāvitarana visuddhi). Dari
pengalaman saya tentang yogi jaman sekarang, seseorang yang mempunyai bakat
khusus dapat mencapai pengetahuan ini dalam dua atau tiga hari. Sebagian besar
akan memerlukan lima, enam, atau tujuh hari, tetapi mereka harus berusaha dengan
tekun. Mereka yang usahanya lemah, mungkin tidak dapat mencapainya bahkan
setelah lima belas atau dua puluh hari. Jadi saya akan berceramah terlebih dahulu
tentang usaha yang sungguh-sungguh.
Meditasi pandangan terang adalah usaha tanpa henti. Anda harus
bermeditasi bilamana anda melihat, mendengar, mencium, mengecap, menyentuh
atau berpikir, tanpa melewatkan apapun. Bagi pemula, untuk dapat mencatat
segalanya tidaklah mungkin. Mereka harus memulai dengan mencatat hanya
beberapa hal. Hal yang mudah adalah mencatat gerakan kembang dan kempisnya
(hal. 44)

dinding perut, yang telah saya bicarakan sebelumnya. Catatlah “kembang,
kempis,” “kembang, kempis,” tanpa henti. Seiring dengan menguatnya perhatian
penuh dan konsentrasi anda, tambahkan “duduk” dan “sentuh”. Catatlah
“kembang, kempis, duduk, sentuh.” Sewaktu anda mencatat, pikiran mungkin
muncul. Catatlah juga, “berpikir, berencana, mengetahui.” Mereka adalah
rintangan mental, bila anda tidak menghalaunya, anda tidak akan memiliki
pemurnian pikiran, dan tidak akan mencapai pemahaman yang jelas tentang
fenomena mental dan jasmani. Jadi jangan biarkan rintangan mental masuk.
Catatlah dan halaulah mereka.
Jika muncul perasaan yang tidak menyenangkan seperti lelah, panas, sakit,
atau gatal muncul, berkonsentrasilah pada perasaan tersebut dan catatlah: “lelah,
lelah,” “panas, panas,” dan seterusnya sewaktu mereka muncul. Jika ada keinginan
untuk meregangkan atau menekuk anggota tubuh, catatlah hal itu juga, “ingin
menekuk,” “ingin merentangkan.” Ketika anda menekuk atau merentang, setiap
gerakan harus dicatat, “menekuk, menekuk,” “merentang, merentang.” Ketika anda
bangkit dari tempat duduk, catatlah setiap gerakan. Ketika anda berjalan, catatlah
setiap langkah. Ketika anda duduk, catatlah tindakan duduk. Jika anda berbaring,
catatlah setiap gerakan juga.
Setiap gerakan tubuh, setiap pikiran, dan setiap perasaan yang muncul,
haruslah dicatat. Jika tidak ada sesuatu yang khusus untuk dicatat, teruskanlah
mencatat “kembang, kempis, duduk, sentuh.” Anda juga harus mencatat sewaktu
makan atau mandi. Jika ada hal-hal tertentu yang anda lihat, catatlah juga. Kecuali
untuk empat sampai enam jam saat anda tidur, anda harus mencatat segalanya
secara terus-menerus. Anda harus berusaha mencatat setidaknya satu hal setiap
detik.
Jika anda terus mencatat seperti ini dengan sungguh-sungguh, dalam dua
atau tiga hari anda akan menemukan bahwa perhatian penuh dan konsentrasi anda
menjadi cukup kuat. Kemudian pikiran yang mengembara menjadi sangat jarang.
Jika masih ada, anda mampu mencatatnya pada saat mereka muncul, dan mereka
segera lenyap. Obyek yang dicatat dan pikiran yang mencatat menjadi
tersinkronisasi dengan baik. Anda mampu mencatat dengan mudah. Ini adalah
tanda-tanda bahwa perhatian penuh dan konsentrasi anda telah menjadi kuat.
Dengan kata lain, anda telah mengembangkan pemurnian pikiran.
(hal. 45)




Segalanya Mengalami Kehancuran

Mulai sekarang, setiap kali anda mencatat, obyek yang dicatat dan pikiran
yang mencatatnya muncul sebagai dua hal yang berbeda. Anda menjadi tahu
bahwa bentuk materi, seperti gerakan kembang dan kempis, adalah satu hal, dan
mental yang mencatat adalah hal yang lain. Biasanya, bentuk materi dan pikiran
yang mencatatnya tidak terlihat terpisah. Mereka terlihat seperti satu kesatuan dan
seperti hal yang sama. Pengetahuan yang anda dapatkan dari buku mungkin saja
memberitahukan anda bahwa mereka terpisah, tetapi pengalaman pribadi anda
mengenali mereka sebagai suatu hal yang sama. Getarkan jari telunjuk anda.
Apakah anda melihat pikiran yang hendak menggetarkannya? Dapatkah anda
membedakan antara pikiran dan getaran tersebut? Jika anda jujur, jawabannya
adalah “tidak”. Namun bagi yogi yang perhatian penuh dan konsentrasinya telah
berkembang dengan baik, obyek dari perhatian dan kesadaran terhadapnya adalah
terpisah seperti sebuah dinding dan batu yang dilemparkan ke dinding tersebut.
Sang Buddha menggunakan perumpamaan batu permata dan benang
(D.i.76). Ketika anda melihat seuntai batu permata biru (lapis lazuli), anda
mengetahui bahwa batu permata tersebut dirangkai (ditembus) oleh seutas benang
– ini batu permatanya, itu benangnya. Sama halnya, yogi mengetahui bahwa inilah
bentuk materi, itulah kesadaran yang mengamatinya, yang tergantung kepadanya,
dan berhubungan dengannya. Kitab komentar mengatakan bahwa kesadaran yang
dimaksud di sini adalah pengetahuan pandangan terang yang mengamati bentuk
materi. Batu permatanya adalah bentuk materi dan benangnya adalah kesadaran
yang mengamati. Benangnya berada di dalam batu permata, seperti pengetahuan
pandangan terang menembus bentuk materi.
Ketika anda mencatat “kembang,” gerakan mengembang adalah satu hal,
dan kesadaran tentang gerakan mengembang adalah hal yang lain. Hanya dua hal
ini yang ada. Ketika anda mencatat “kempis”, gerakan mengempis adalah satu hal,
kesadaran tentang itu adalah hal yang lain – hanya dua hal ini yang ada.
Pengetahuan ini menjadi jelas bagi anda dengan sendirinya. Ketika anda
mengangkat satu kaki sewaktu berjalan, gerakan mengangkat adalah satu hal,
kesadaran tentang itu adalah hal lain. Hanya dua hal ini yang ada. Ketika anda
mendorong kaki ke depan, ada gerakan mendorong ke depan dan ada kesadaran
(hal. 46)

tentang itu. Ketika anda menurunkan kaki, ada gerakan menurunkan dan ada
kesadaran tentang itu. Hanya dua hal ini – tidak ada yang lain.
Siring dengan kemajuan konsentrasi anda, anda menjadi paham bagaimana
hal-hal mental dan jasmani yang selama ini anda catat terus-menerus lenyap
dengan sendirinya. Ketika anda mencatat “kembang,” bentuk dari gerakan
mengembang datang berangsur-angsur, kemudian lenyap. Ketika anda mencatat
”kempis,” bentuk dari gerakan mengempis datang berangsur-angsur, kemudian
lenyap lagi. Dengan setiap pencatatan anda hanya menemukan kemunculan dan
lenyapnya. Ketika mencatat “menekuk,” satu tekukan dan yang berikutnya tidak
tercampur. “Menekuk” lenyap, “menekuk” yang lain juga lenyap. Keinginan
menekuk, bentuk tekukan, dan kesadarannya, datang dan pergi menurut ruang dan
waktunya sendiri. Ketika anda mencatat rasa lelah, panas, atau sakit, hal-hal ini
juga lenyap sewaktu anda mencatatnya. Hal ini menjadi jelas bagi anda bahwa
semua fenomena muncul dan kemudian lenyap, sehingga mereka bersifat tidak
kekal.
Yogi memahami secara pribadi apa yang dikatakan kitab komentar, “Mereka
tidak kekal dalam arti tidak menjadi apa pun sesudah proses penjadian.”
Pengetahuan ini datang kepada yogi, bukan dari buku, bukan juga dari guru. Ia
memahaminya secara langsung. Inilah yang disebut pengetahuan sejati.
Mempercayai apa kata orang lain adalah kepercayaan. Mengingatnya karena
kepercayaan adalah pembelajaran. Itu bukan pengetahuan langsung. Anda harus
mengetahuinya dari pengalaman anda sendiri. Hal ini sangat penting. Meditasi
pandangan terang adalah perenungan untuk mengenali diri anda sendiri. Anda
bermeditasi, anda melihatnya untuk diri sendiri, dan anda tahu – hanya inilah yang
disebut pandangan terang.
Mengenai perenungan tentang ketidakkekalan, tertulis di Visuddhimagga: “
… yang tidak kekal harus dipahami … ketidakkekalan harus dipahami …
pengetahuan tentang ketidakkekalan harus dipahami.” (Vism. 290)
Pernyataan singkat ini diikuti dengan penjelasan: “Di sini ‘yang tidak kekal’
berarti lima kelompok pencengkeraman.” Anda harus memahami bahwa lima
kelompok tersebut adalah tidak kekal (anicca). Walaupun anda mungkin belum
memahaminya dengan pengetahuan anda sendiri, anda harus tahu hal ini. Anda
(hal. 47)

juga harus tahu bahwa mereka tidak memuaskan (dukkha), dan tanpa diri (anatta).
Jika anda mengetahui hal ini, anda boleh melaksanakan meditasi vipassanā.
Pemahaman berdasarkan pembelajaran ini mengacu pada Cūlatanhāsankhaya Sutta
(Majjhimanikāya, Sutta 37): “Di sini, pimpinan para dewa, ketika seorang bhikkhu
telah mendengar bahwa tidak ada yang perlu dilekati, ia secara langsung
mengetahui segalanya.” (M.i.251)
“Mengetahui secara langsung” maksudnya bermeditasi tentang mental dan
jasmani, dan menyadarinya. Ini adalah pengetahuan vipassanā tingkat dasar yang
disebut “pengetahuan analitis terhadap mental dan jasmani” dan “pengetahuan
membedakan sebab-akibat.” Jika anda telah mempelajari bahwa mental dan
jasmani tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa diri, anda dapat mulai
bermeditasi dari analisa mental dan jasmani. Kemudian anda dapat maju terus ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi seperti pengetahuan melalui pemahaman.
Selanjutnya dikatakan “… setelah mengetahui segala sesuatu secara
langsung, ia memahami segala sesuatu sepenuhnya.” Jadi syarat minimum seorang
pemula meditasi vipassanā adalah ia telah mendengar atau mempelajari tentang
tiga sifat dari mental dan jasmani. Bagi umat Buddha di Myanmar, hal ini adalah
sesuatu yang telah dipelajari semua orang sejak kecil.
Kita katakan bahwa mental dan jasmani tidak kekal karena mereka muncul,
kemudian lenyap. Jika suatu hal tidak pernah muncul, kita tidak dapat mengatakan
hal itu tidak kekal. Apakah yang tidak pernah muncul? Yaitu konsep. Konsep
tidak pernah muncul, tidak pernah benar-benar ada. Misalnya saja nama
seseorang. Nama itu dipergunakan sejak seorang anak diberi nama. Nama itu
muncul seolah-olah telah muncul sebelumnya, tetapi sebenarnya orang-orang
hanya menggunakannya saat berbicara pada seseorang. Nama tidak pernah muncul
dan tidak pernah benar-benar ada. Jika anda pikir nama ada, cobalah mencarinya.
Ketika seorang anak lahir, orang tuanya memberinya sebuah nama. Misalnya
seorang anak laki-laki diberi nama “Master Red.” Sebelum upacara pemberian
nama, nama “Master Red” tidak dikenal siapa pun. Namun, sejak hari anak itu
diberi nama, orang-orang mulai memanggilnya “Master Red,” tetapi kita tidak
dapat mengatakan nama tersebut telah muncul sejak saat itu. Nama “Master Red”
benar-benar tidak ada. Mari kita mencoba mencarinya.
(hal. 48)

Apakah nama “Master Red” ada di dalam tubuh anak laki-laki tersebut? Di
kepalanya? Di wajahnya? Tidak, ia tidak ada di mana pun. Orang-orang setuju
memanggilnya “Master Red,” hanya itu saja. Jika ia meninggal, apakah nama
tersebut mati bersamanya juga? Tidak. Selama orang tidak melupakannya, nama
tersebut tetap hidup. Maka dikatakan, “Sebuah nama tidak pernah hancur.” Hanya
ketika orang-orang melupakannya maka nama Master Red akan lenyap, tetapi
nama itu tidak hancur. Seandainya seseorang menemukannya kembali, nam
tersebut akan dipakai lagi.
Ingat nama-nama bodhisatta dalam cerita-cerita Jātaka: Vessantara,
Mahosadha, Mahājanaka, Vidhura, Temiya, Nemi. Nama-nama ini dikenal pada
jaman cerita-cerita tersebut, tetapi hilang selama jutaan tahun sampai Sang Buddha
menceritakannya kembali. Empat masa yang tak terhitung dan seratus ribu siklus
dunia yang lalu, nama Buddha Dīpankara dan Sumedha sangat terkenal. Namanama
tersebut hilang sesudahnya, tetapi Buddha Gotama kita menceritakannya
kembali, sehingga nama-nama tersebut kita ketahui lagi sekarang. Mereka akan
dikenal sepanjang ajaran Sang Buddha masih ada. Begitu agama Buddha lenyap
dari dunia, nama-nama ini akan dilupakan juga. Namun jika Buddha berikutnya
menyebut-nyebut nama mereka kembali, mereka akan dikenali lagi. Jadi konsep
dan nama hanyalah kesepakatan. Mereka tidak pernah ada. Mereka belum pernah
ada dan tidak akan pernah ada. Mereka tidak pernah muncul, sehingga kita tidak
dapat mengatakan bahwa mereka lenyap. Kita juga tidak dapat mengatakan bahwa
mereka tidak kekal. Setiap konsep adalah seperti itu – tidak memiliki keberadaan,
tidak ada penjadian, tidak lenyap, jadi tidak ada ketidakkekalan.
Nibbāna, walaupun berupa kenyataan, tidak dapat dikatakan tidak kekal,
karena nibbāna tidak pernah muncul ataupun lenyap. Nibbāna dianggap kekal
karena nibbāna selalu tetap sebagai kedamaian abadi.
(hal. 49)


Ketidakkekalan

Kenyataan-kenyataan yang lainnya (selain nibbāna) adalah seperti mental
dan jasmani, dari awalnya belum pernah ada. Mereka muncul ketika ada faktor
penyebabnya. Setelah muncul, mereka lenyap kembali. Maka kita katakan bahwa
kenyataan-kenyataan ini adalah tidak kekal. Ambil “melihat” sebagai contohnya.
Pada awalnya tidak ada yang disebut “melihat,” tetapi jika mata tersebut tidak
buta, bila ada objek yang bisa dilihat, jika ada cahaya, dan perhatian anda tertuju
kepada obyek tersebut, maka dengan adanya keempat faktor penyebab ini
terjadilah “melihat.” Sekali hal ini muncul, ia lenyap kembali, dan kemudian tidak
ada lagi. Maka kita katakan bahwa “melihat” adalah tidak kekal. Adalah hal yang
tidak mudah bagi seorang awam untuk mengetahui bahwa “melihat” adalah tidak
kekal. “Mendengar” lebih mudah dipahami. Tidak ada “Mendengar” pada
awalnya, tetapi jika telinga tidak tuli, ada bunyi yang muncul, tidak ada
penghalang, dan perhatian anda tertuju kepadanya, maka ketika empat faktor ini
tergabung ada yang disebut dengan “mendengar.” Hal ini muncul dan kemudian
lenyap, lalu tidak ada lagi. Maka kita katakan bahwa “mendengar” adalah tidak
kekal.
Sekarang anda mendengar saya berbicara. Anda mendengar satu suara
setelah suara sebelumnya. Sekali anda telah mendengarnya, mereka lenyap.
Dengarkan! “suara,” “suara.” Ketika saya katakan “sua-” anda mendengarnya, lalu
suara itu menghilang. Ketika saya katakan “-ra” anda mendengarnya, lalu suara itu
menghilang. Beginilah caranya suara-suara tersebut muncul dan lenyap. Hal yang
sama juga berlaku pada fenomena mental dan jasmani. Mereka datang dan pergi.
Melihat, mendengar, mencium, mengecap, menyentuh, berpikir, menekuk,
meluruskan, bergerak – semuanya datang dan pergi. Karena mereka selalu
lenyap, kita katakan bahwa mereka tidak kekal.
Khususnya kesadaran, lenyapnya sangatlah jelas. Jika pikiran anda
berkelana ketika anda sedang mencatat “kembang,” “kempis,” anda catat
“berkelana.” Begitu anda mencatatnya, pikiran yang berkelana lenyap. Pikiran
tersebut hilang. Ia tidak ada sebelumnya. Ia terjadi hanya sebentar. Kemudian ia
pergi dengan cepat sekali setelah dicatat. Maka kita katakan bahwa pikiran yang
berkelana tersebut tidak kekal. Lenyapnya perasaan tidak menyenangkan juga
(hal. 50)

jelas. Ketika anda sedang mencatat “kembang,” “kempis,” ketegangan, panas, atau
rasa sakit muncul di suatu bagian dari tubuh anda. Jika anda berkonsentrasi pada
bagian tersebut dan mencatat “tegang,” “panas”, “sakit,” kadang-kadang sensasi itu
lenyap sama sekali, dan kadang-kadang lenyap, paling tidak sewaktu anda sedang
mencatatnya. Jadi sensasi tersebut tidak kekal. Yogi menyadari sifat
ketidakkekalannya ketika ia mencatat sensasi tersebut muncul dan lenyap.
Pengertian akan sifat sementara dari segala hal merupakan pengetahuan
pandangan terang tentang ketidakkekalan (aniccānupassanā-ñāna). Hal ini datang
dari pengalaman anda sendiri. Sekedar perenungan tanpa pengalaman pribadi
bukanlah pandangan terang yang sejati. Tanpa bermeditasi, anda tidak akan
menyadari bahwa semuanya muncul dan lenyap. Itu hanyalah pengetahuan
akademis. Hal itu mungkin termasuk perbuatan bajik, tetapi bukanlah pandangan
terang yang sejati.
Pandangan terang yang sejati adalah apa yang anda sadari sendiri melalui
meditasi tentang semua hal sewaktu mereka muncul dan lenyap. Di sini di antara
para pendengar terdapat banyak yogi yang telah sampai pada tahap pandangan
terang ini. Saya tidak hanya berbicara menurut pengalaman saya sendiri. Tidak,
bahkan bukan dari pengalaman empat puluh atau lima puluh siswa saya.
Jumlahnya bahkan ratusan. Yogi pemula mungkin belum memiliki pandangan
terang sejernih itu – tidak mudah mencapainya, tetapi tidak terlalu sulit juga. Jika
anda berusaha cukup keras sesuai dengan yang kami instruksikan, anda akan dapat
memperolehnya. Jika anda tidak berusaha, anda tidak akan memperolehnya. Gelar
akademis, penghormatan, penghargaan, semuanya adalah hasil dari kerja keras.
Tidak ada hasil tanpa usaha. Pengetahuan pandangan terang yang diajarkan oleh
Sang Buddha juga harus diusahakan untuk mendapatkannya.
Seiring dengan semakin tajamnya konsentrasi anda, anda akan mampu
melihat banyak momen pikiran dalam satu gerakan menekuk atau meluruskan
anggota tubuh. Anda akan melihat banyak pikiran yang muncul, satu setelah yang
sebelumnya selesai, sewaktu anda ingin menekuk atau meluruskan. Hal yang sama
terjadi juga ketika anda berjalan. Banyak sekali momen pikiran muncul dalam satu
kedipan mata. Anda harus mencatat semua pikiran yang berlalu dengan cepat
ketika mereka muncul. Jika anda tidak dapat mencatatnya satu per satu, catat saja
“mengetahui, mengetahui.” Anda mungkin melihat bahwa ada empat, lima atau
(hal. 51)

lebih pikiran yang muncul secara beruntun setiap kali anda mencatat
“mengetahui.” Kadang-kadang, ketika kesadaran lagi sangat cepat, bahkan
pencatatan mental “mengetahui” tidak perlukan. Ikuti saja pikiran-pikiran tersebut
dengan kewaspadaan.
Sebuah pikiran muncul, dan mental yang mencatat menyadarinya; pikiran
yang lain muncul, dan mental mengetahuinya. Ini adalah seperti peribahasa,
“Sesuap makanan, sebuah pukulan tongkat.” Untuk setiap pikiran yang muncul ada
kesadaran yang mengamatinya. Ketika anda mencatat seperti ini, muncul dan
lenyapnya menjadi jelas. Pikiran yang berkelana yang muncul sewaktu anda
mencatat kembang dan kempisnya dinding perut, tertangkap oleh kesadaran yang
mengamatinya, seperti seekor binatang yang jatuh ke dalam perangkap, atau
seperti sasaran yang terkena lemparan yang jitu. Begitu anda menyadarinya,
pikiran tersebut lenyap. Anda bisa melihat hal ini dengan jelas seperti melihat
sesuatu yang digenggam dengan tangan anda lenyap. Seperti ini terus setiap kali
kesadaran muncul.
Ketika rasa lelah muncul, anda catat “lelah,” dan ia lenyap. Ia muncul lagi,
anda catat lagi, dan ia lenyap lagi. Keadaan lenyap seperti ini akan menjadi
semakin jelas dalam tahap pandangan terang yang lebih tinggi. Lelah – dicatat –
hilang; lelah – dicatat – hilang. Mereka lenyap satu per satu. Tidak ada hubungan
antara satu rasa lelah dan yang berikutnya. Sama halnya dengan rasa sakit. Sakit –
dicatat – hilang; sakit – dicatat – hilang. Setiap rasa sakit hilang ketika dicatat. Satu
rasa sakit tidak bercampur dengan yang lainnya. Setiap rasa sakit terpisah adanya.
Bagi orang awam tidak terasa terputus-putusnya rasa lelah atau sakit.
Mereka kesannya bersambung terus-menerus selama waktu yang panjang. Pada
kenyataannya, tidak ada rasa lelah atau sakit yang bersambung, melainkan hanya
satu fenomena setelah yang sebelumnya, persis seperti potongan-potongan yang
sangat pendek yang terpisah. Yogi menyadari hal ini sewaktu ia mencatat.
Ketika anda catat “kembang,” dinding perut mengembang secara berangsurangsur
dan lenyap pada setiap tahapan “kembang.” Ketika anda mencatat
“kempis,” terlihat mengempis secara berangsur-angsur dan setiap bagian
“kempis,”menjadi lenyap. Mereka yang tidak berpengalaman dalam meditasi
berpikir tentang mengembang dan mengempis berupa bentuk dinding perut. Jadi
(hal. 52)

mereka berpikir bahwa yogi juga akan mengamati bentuk dinding perut yang tak
bermanfaat, dan sebagian orang menuduh berdasarkan hal ini. Tolong jangan
menerka-menerka, coba lihat untuk kepentingan diri sendiri. Jika anda berusaha
cukup keras anda akan melihat apa yang kami maksud.
Ketika anda mencatat “menekuk,” anda melihat dengan jelas bagaimana
setiap tahapan gerakan menjadi lenyap, satu gerakan mengikuti yang lain. Anda
sekarang mengerti tentang pernyataan yang mengatakan bahwa kenyataan seperti
mental dan jasmani tidak bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Orang awam
berpikir itu sebuah tangan yang sama yang bergerak, yang telah ada sebelum
ditekuk, dan akan terus ada setelah ditekuk. Mereka berpikir bahwa tangan yang
sama bergerak ke dalam dan keluar. Bagi mereka tangan tersebut tidak pernah
berubah. Hal ini disebabkan mereka gagal menembus kesinambungan materi,
bagaimana materi muncul secara berangsur-angsur. Mereka tidak memiliki
pengetahuan yang menembus. Ketidakkekalan dikatakan disembunyikan oleh
kesinambungan. Ketidakkekalan tersembunyi karena seseorang tidak bermeditasi
pada apa yang muncul dan lenyap. Seperti dikatakan dalam Visuddhimagga:
“Pertama-tama, sifat ketidakkekalan tidak menjadi jelas, karena ketika
muncul dan lenyap tidak diberikan perhatian, sifat ketidakkekalan terselubung oleh
kesinambungan.” (Vism.640)
Karena yogi memperhatikan setiap kemunculan, semua fenomena mental
dan jasmani terlihat sebagai potongan yang terpisah-pisah - bukan sebagai sesuatu
yang utuh atau berkesinambungan. Dari jarak jauh, sebuah barisan semut terlihat
seperti garis, tetapi ketika anda datang mendekatinya anda dapat melihat satu per
satu semutnya. Yogi melihat semua hal dalam bentuk potongan yang terpisahpisah,
jadi kesinambungan tidak dapat lagi menutup-nutupi kenyataan dari yogi.
Sifat ketidakkekalan terkuak dengan sendirinya untuk yogi. Dia tidak lagi ditutupi
kebodohan.
“Namun ketika kesinambungan terputus oleh pemisahan antara muncul dan
lenyap, sifat alamiah dari ketidakkekalan menjadi jelas .” (Ibid)
Inilah caranya anda bermeditasi dan mencapai pengetahuan tentang
ketidakkekalan (aniccānupassanā-ñāna). Sekedar merenung tanpa bermeditasi
tidak akan membuat pengetahuan ini muncul. Sekali pengetahuan ini berkembang,
(hal. 53)

selanjutnya pengetahuan tentang ketidakpuasan (dukkhānupassanā-ñāna), dan
pengetahuan tentang tanpa diri (anattānupassanā-ñāna) akan mengikuti.
“Bagi seseorang, Meghiya, yang telah melihat ketidakkekalan, pandangan
tentang bukan diri juga terbentuk.” (A.iv.358)
Bagaimana anda dapat menganggap apa yang anda telah tahu dengan jelas
selalu muncul dan lenyap sebagai diri, ego, atau makhluk? Orang-orang
mencengkeram pada diri karena mereka berpikir mereka adalah orang yang sama
sepanjang hidupnya. Sekali hal ini menjadi jelas dari pengalaman anda sendiri
bahwa hidup terdiri dari hal-hal yang selalu lenyap, anda tidak akan
mencengkeramnya sebagai diri.
Sebagian orang yang keras kepala mengatakan bahwa ceramah ini
dimaksudkan hanya untuk Meghiya. Hal ini tidak semestinya dikatakan. Kita takut
orang lain akan mengatakan bahwa ajaran Sang Buddha dimaksudkan hanya untuk
orang-orang di jaman Beliau, bukan untuk orang-orang yang hidup sekarang.
Pernyataan ini tidak hanya ditemukan dalam Meghiya Sutta. Dalam Sambodhi
Sutta Sang Buddha bersabda, “Bagi seseorang, bhikkhu-bhikkhu, yang telah
melihat ketidakkekalan, pandangan tanpa diri juga terbentuk.” (Sambodhi Sutta,
A.iv.353)
Jika seseorang menyadari ketidakkekalan, ia juga menyadari penderitaan.
Yogi yang telah menyadari bagaimana semua hal muncul dan lenyap, dapat
melihat bagaimana ketidakkekalan tersebut menyebabkan ia menderita. Dalam
kitab komentar terhadap Sambodhi Sutta tertulis, “Ketika sifat ketidakkekalan
terlihat, sifat tanpa diri juga terlihat, karena ketika satu dari tiga sifat ini terlihat,
yang dua lainnya.” Sehingga sangat penting untuk memahami sifat ketidakkekalan.
(hal. 54)


Menemukan Kembali

Sehubungan dengan ini, biarkan saya menceritakan pengalaman saya
sebagai seorang guru. Kisahnya mengenai seorang yogi dari desa Seikhun di
kecamatan Shwebo. Sebenarnya dia adalah salah seorang sepupuku. Ia salah satu
dari tiga orang pertama di desa itu yang ikut melakukan meditasi pandangan
terang. Pada mulanya ketiganya setuju untuk berlatih selama seminggu. Mereka
berusaha sangat keras. Mereka membawa cerutu dan daun sirih ke vihara untuk
mengkonsumsi satu setiap harinya, tetapi ketika mereka pulang mereka membawa
ketujuh cerutu dan daun sirih yang semuanya belum tersentuh. Mereka berlatih
begitu giat, sehingga dalam tiga hari mereka mencapai pengetahuan tentang
muncul dan lenyap dan menjadi begitu senang karena telah mengalami ketenangan,
dan melihat cahaya-cahaya yang cemerlang. Mereka berkata dengan gembira,
“Hanya dalam usia tua inilah kami baru menemukan kebenaran.” Karena mereka
adalah yang pertama berlatih meditasi, saya berpikir untuk membiarkan mereka
menikmati kebahagiaan baru itu, dan melanjutkan pencatatan seperti sebelumnya.
Saya tidak mengatakan kepada mereka untuk mencatat perasaan gembira tersebut.
Sehingga walaupun mereka meneruskan berlatih selama empat hari lagi, mereka
tidak memperoleh pandangan terang yang lebih dalam lagi.
Setelah beristirahat beberapa minggu, mereka kembali untuk bermeditasi
selama satu minggu lagi. Sepupu saya itu kemudian mencapai pengetahuan tentang
kehancuran. Walaupun ia mencatat “kembang, kempis, duduk,” ia tidak melihat
lagi bentuk dinding perutnya, dan tubuhnya tampak seperti hilang. Ia
memberitahukan saya bahwa ia sampai harus menyentuhnya dengan tangan untuk
memeriksa apakah perutnya masih ada. Ke mana pun dia memandang, segalanya
tampaknya sedang hancur. Tanah dan pohon terlihat seperti sedang hancur.
Rasanya berlawanan dengan pengalaman ia yang dulu-dulu, dan ia mulai bertanyatanya
apa yang sedang terjadi. Ia belum pernah membayangkan bahwa bendabenda
materi yang begitu besar dapat hancur terus-menerus. Ia dulu berpikir bahwa
mereka hancur hanya setelah waktu yang cukup lama. Mereka dapat bertahan
untuk waktu yang cukup lama, demikian pikirnya. Pengetahuan pandangan
terangnya mendapat momentum pada waktu merenungkan muncul dan lenyapnya
fenomena, dan kehancuran tampak di hadapannya tanpa usaha yang khusus.
(hal. 55)

Benda-benda lenyap dan pecah di depan matanya sendiri. Hal ini berlawanan sama
sekali dengan pengalaman terdahulunya. Ia berpikir matanya mulai rusak, sehingga
dia bertanya kepada saya. Saya katakan bahwa kehancuran dan pecahnya segala
sesuatu yang ia lihat benar-benar sedang terjadi. Dengan pandangan terang yang
berkembang menjadi lebih tajam dan cepat, kehancuran segala sesuatu menjadi
jelas tanpa usaha yang khusus. Belakangan ia menceritakan pengalamanpengalamannya
seiring berkembangnya pengetahuan pandangan terangnya
semakin meningkat. Sekarang ia telah tiada - ia telah meninggal bertahun-tahun
yang lalu.
Ketika pengetahuan pandangan terang menjadi benar-benar tajam,
pengetahuan ini akan mengatasi pikiran dan pandangan salah. Anda melihat semua
hal sebagaimana adanya: sebagai tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha),
dan tanpa diri (anatta). Ketika konsentrasi belum berkembang, sekedar perenungan
tanpa meditasi tidak dapat memberikan anda pandangan terang yang sejati
terhadap sifat alamiah segala sesuatu. Hanya meditasi pandangan terang yang
dapat menuntun menuju pemahaman itu. Sekali anda menyadari ketidakkekalan,
anda melihat bahwa segala sesuatu menyiksa anda melalui muncul dan lenyap
yang terus-menerus. Anda melihat bahwa anda tidak bisa mendapatkan
kesenangan darinya. Mereka tidak dapat menjamin keamanan karena mereka dapat
hilang kapan saja. Sehingga mereka itu menakutkan, mengerikan, dan
merupakan penderitaan.
Sebelumnya anda berpikir, “Tubuh ini belum akan hancur. Tubuh ini akan
dapat bertahan cukup lama.” Sehingga anda menganggapnya sebagai tempat
perlindungan yang aman. Namun ketika anda bermeditasi dan memperoleh
pandangan terang, anda hanya menemukan keadaan yang muncul dan lenyap tanpa
henti. Jika fenomena baru tidak muncul untuk menggantikan yang telah lenyap,
itulah saatnya untuk meninggal, dan hal ini dapat terjadi kapan saja. Menganggap
bahwa fenomena mental dan jasmani yang tidak stabil ini sebagai diri yang kekal
adalah tidak bijaksana seperti membeli rumah yang sudah usang.
Anda juga menyadari bahwa tidak ada yang terjadi sesuai keinginan anda.
Segalanya hanya mengikuti jalan alamiahnya. Dulu anda berpikir bahwa anda
dapat pergi bila anda ingin pergi, duduk bila anda ingin duduk, berdiri, melihat,
mendengar, atau melakukan semuanya jika anda memang menginginkan. Sekarang
(hal. 56)

ketika ada bermeditasi, anda menemukan bahwa hal ini tidaklah benar. Mental dan
jasmani terlihat bekerja sebagai satu tim. Hanya bila muncul keinginan untuk
menekuk, maka ada fenomena jasmani menekuk. Hanya bila muncul keinginan
meluruskan, maka ada fenomena jasmani meluruskan. Hanya ada akibat bila ada
sebabnya. Anda melihat hanya bila ada sesuatu untuk dilihat. Anda mendengar
hanya bila ada sesuatu untuk didengar. Anda merasa senang hanya bila ada alasan
untuk merasa senang, dan anda merasa khawatir ketika ada alasan untuk merasa
khawatir. Jika ada sebab, akibatnya mengikuti, dan tidak ada yang dapat anda
lakukan tentang hal ini. Tidak ada yang namanya diri, yang hidup dan berbuat apa
saja yang ia inginankan. Tidak ada diri, tidak ada ego, tidak ada aku – hanya
fenomena mental dan jasmani yang muncul dan lenyap.
Memahami hal ini meupakan sesuatu yang paling penting dalam meditasi
pandangan terang. Tentu saja anda akan mengalami kegembiraan, ketenangan, dan
cahaya terang selama menjalani latihan anda, tetapi mereka tidak penting. Hal
yang utama adalah memahami ketidakkekalan, tidak memuaskan, dan bukan
diri. Sifat-sifat ini menjadi jelas seiring dengan berlanjutnya latihan meditasi anda
sesuai dengan instruksi.
(hal. 57)


Berakhirnya Pencengkeraman

Segalanya harus menjadi jelas atas usaha anda sendiri, bukan dengan
mempercayai apa yang dikatakan orang lain. Bila di antara yogi pemula ada yang
belum mencapai pandangan terang seperti itu, anda mengetahui bahwa anda belum
mencapai tahap itu. Teruslah berusaha. Jika yogi lain dapat mencapai pandangan
terang seperti itu, anda juga bisa. Tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.
Pengetahuan akan datang kepadamu jika anda terus bermeditasi. Hanya bila anda
tahu melalui pengalaman pribadi bahwa segala sesuatu tidak kekal, tidak
memuaskan, dan bukan diri, maka anda akan berhenti mencengkeram
terhadap obyek indera, yang kini anda anggap kekal, bahagia, indah, dan baik.
Anda tidak akan lagi mencengkeram terhadap mereka sebagai diri, jiwa, atau aku.
Semua jenis pencengkeraman akan dimusnahkan. Apa yang terjadi setelah itu?
Semua kekotoran mental akan menjadi tenang, dan nibbāna akan terealisasi.
“Ketika ia tidak mencengkeram, ia tidak menjadi kacau. Bila ia tidak kacau, ia
secara pribadi mencapai nibbāna.” (M.i.251)
Bilamana anda bermeditasi, anda tidak memiliki obsesi terhadap obyek yang
dicatat. Jadi tidak ada pencengkeraman yang muncul. Tidak ada pencengkeraman
terhadap apa yang anda dengar, cium, kecap, sentuh, atau pikir. Mereka semua
terlihat muncul dan lenyap, satu per satu. Mereka semua adalah penderitaan. Tidak
ada yang dapat dicengkeram sebagai bahagia, baik, atau indah. Mereka muncul dan
lenyap, yang merupakan sifat alamiah mereka, jadi tidak ada yang dapat
dicengkeram sebagai diri, jiwa, atau aku yang hidup dan tahan lama. Semua
kenyataan ini menjadi sangat jelas bagi anda. Pada titik tersebut, semua
pencengkeraman berhenti. Kemudian anda merealisasi nibbāna melalui Jalan
Mulia. Saya akan menjelakan hal ini melalui Hukum Sebab Akibat yang Saling
Bergantungan (paticcasamuppāda) dan lima kelompok pencengkeraman
(pañcupādānakkhandha).
“Dari penghentian hasrat, pencengkeraman berhenti. Dari penghentian
pencengkeraman, penjadian berhenti. Dari penghentian penjadian, kelahiran
berhenti. Dari penghentian kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis,
sakit, bersedih hati, dan putus asa berhenti. Dengan demikian, semua penderitaan
berhenti.” (M.i.270)
(hal. 58)

Seseorang yang bermeditasi tentang fenomena mental dan jasmani yang
muncul pada enam pintu indera dan memahami sifat alamiahnya berupa
ketidakkekalan, tidak memuaskan, dan tanpa diri, tidak merasa senang atau
mencengkeram pada kedua fenomena terebut. Karena yogi tidak mencengkeram
mereka, ia tidak berusaha menikmati mereka. Karena ia tidak berusaha menikmati
mereka, tidak ada kamma atau “penjadian” yang baru. Karena tidak ada kamma
baru, maka tidak ada kelahiran baru. Bila tidak ada kelahiran baru, tidak ada
kondisi untuk usia tua, kematian, kesedihan, ratapan, sakit, bersedih hati, dan putus
asa. Inilah caranya seseorang merealisasi nibbāna sejenak melalui jalan pandangan
terang setiap kali ia bermeditasi.4
Dalam Sīlavanta Sutta yang dikutip sebelumnya, YM Sāriputta menjelaskan
bagaimana seorang bhikkhu yang memiliki kebiasaan moral akan menjadi
pemenang arus (sotāpanna) jika ia bermeditasi tentang lima kelompok sebagai
tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa diri. Jika seorang pemenang arus
bermeditasi dengan cara yang sama, ia dapat menjadi orang yang terlahir satu kali
(sakadāgāmi). Sama halnya, seorang yang terlahir satu kali dapat menjadi orang
yang tidak lahir kembali (Anāgāmi), dan seorang yang tidak lahir kembali dapat
menjadi arahat. Dengan cara ini, empat Buah Mulia direalisasikan melalui Jalan
Mulia.
Pencapaian nibbāna melalui Jalan Mulia dijelaskan di bab mengenai “Jalan
Mulia”.
(hal. 59)


Kemajuan Pandangan Terang

Untuk mencapai Jalan Mulia, seseorang harus mulai dengan jalan pandangan
terang, yang dimulai dari pengetahuan analitis tentang mental dan jasmani
(nāmarūpa-pariccheda-ñāna). Kemudian seseorang tiba pada pengetahuan tentang
membedakan sebab-akibat (paccaya-pariggaha-ñāna). Kemudian, dengan usaha
yang berkelanjutan, seseorang mencapai pengetahuan tentang pemahaman
(sammasana-ñāna). Pada tahap ini seseorang menikmati perenungan dan
penyelidikan terhadap segala sesuatu. Orang-orang terpelajar sering menghabiskan
waktu yang panjang pada tahap ini. Jika anda tidak ingin merenung atau
menyelidiki, terus saja bermeditasi. Kewaspadaan anda akan menjadi ringan dan
cepat, dan anda dapat melihat dengan jelas bagaimana segala sesuatu yang dicatat
muncul dan lenyap, yang merupakan pengetahuan muncul dan lenyap
(udayabbaya-ñāna).
Pada tahap ini, pencatatan menjadi mudah. Cahaya terang, kegembiraan, dan
ketenangan muncul. Ketika seseorang mengalami hal-hal demikian yang belum
pernah dialami sebelumnya, ia menjadi sangat puas dan gembira. Pada tahap awal
meditasi, yogi harus berusaha keras menjaga pikirannya supaya tidak mengembara
kesana-kemari. Namun pikiran tetap saja mengembara, dan sebagian besar waktu
yogi tidak dapat bermeditasi. Kelihatannya tidak ada yang berjalan dengan benar.
Sebagian yogi memang harus berjuang dengan sangat keras, tetapi dengan
keyakinan yang kokoh terhadap gurunya, niat baik dan tekad yang kuat, ia mampu
melewati tahap yang sulit ini. Ketika ia tiba di pengetahuan muncul dan lenyap,
segalanya menjadi baik-baik saja. Pencatatan menjadi mudah dan tak perlu usaha.
Rasanya enak untuk mencatat, dan muncul cahaya terang. Kegembiraan memenuhi
mental sampai bisa menyebabkan merinding. Tubuh dan pikiran sangat tenang dan
ia merasa sangat nyaman. Obyek-obyek tampaknya masuk ke dalam perhatian
penuh yogi dengan sendirinya, dan perhatian penuh tampaknya jatuh sendiri pada
obyek. Semua yang muncul tercatat secara otomatis, dan yogi tidak pernah gagal
atau lupa mencatat. Pada setiap pencatatan, kewaspadaan sangat jelas. Mengamati
sesuatu dan merenungkannya menjadi gampang. Ketidakkekalan, ketidakpuasan,
dan bukan diri menjadi jelas, sampai-sampai anda ingin berceramah. Anda
berpikiran anda dapat menjadi guru yang sangat baik, tetapi jika anda tidak
(hal. 60)

memiliki pendidikan, anda akan menjadi guru yang sangat buruk. Namun anda
tetap saja ingin berceramah, dan sebagian yogi menjadi sangat aktif berbicara. Kita
sebut tahap ini “nibbāna imitasi,” yang bukan merupakan nibbāna orang-orang
Mulia. Itu adalah “keabadian para pemilik pengetahuan.”
Latihan meditasi seperti mendaki gunung. Ketika anda mulai mendaki dari
tempat berkumpul, tidak berapa lama anda sudah merasa lelah. Anda bertanya pada
orang-orang yang sedang turun, dan mereka memotivasi anda dengan berkata,
“Sudah tidak jauh lagi.” Walaupun anda lelah, anda terus mendaki dan tidak lama
kemudian tiba di tempat peristirahatan di bawah bayangan pohon dengan angin
yang sejuk. Semua kelelahan anda hilang. Pemandangan yang indah membuat anda
takjub. Anda menjadi lebih segar untuk meneruskan pendakian. Pengetahuan
muncul dan lenyap adalah tempat peristirahatan bagi anda dalam pendakian ke
tingkat pengetahuan pandangan terang yang lebih tinggi.
Para yogi yang belum mencapai tahap pandangan terang ini bisa kehilangan
harapan. Berhari-hari telah berlalu dan mereka masih belum mencicipi pandangan
terang. Mereka sering putus asa, dan sebagian meninggalkan pusat meditasi sambil
berpikir bahwa meditasi itu sebenarnya tidak berguna. Mereka belum menemukan
“nibbāna-nya yogi,” jadi kami harus memotivasi pendatang baru dengan harapan
setidaknya mereka mencapai pengetahuan ini. Kami minta mereka berusaha untuk
mencapainya dengan cepat, dan kebanyakan berhasil sesuai dengan nasehat kami.
Kemudian mereka tidak memerlukan motivasi lebih lanjut karena mereka penuh
dengan keyakinan dan tekad untuk berusaha terus sampai mereka mencapai tujuan
akhir.
“Nibbāna-nya yogi” sering disebut sebagai “kesenangan di atas kesenangan
manusia.” Anda menemukan kesenangan dari segala hal, mulai dari pendidikan,
kekayaan, sampai dengan dari kehidupan berkeluarga. Namun “Nibbāna-nya bagi
yogi” melebihi itu semua. Seorang yogi memberitahu saya bahwa ia pernah
menikmati semua kesenangan duniawi, tetapi tidak ada yang dapat dibandingkan
dengan kesenangan yang dia dapatkan dari meditasi. Ia tidak mampu
menggambarkan betapa menyenangkannya hal itu. Namun demikian, kesenangan
ini bukanlah tujuan akhir. Anda masih harus berusaha, dan meneruskan pencatatan
anda.
(hal. 61)

Ketika latihan anda lebih berkembang, bentuk dan sifat-sifat tidak lagi
memiliki manifestasi dan anda mendapati mereka selalu menghilang/lenyap. Apa
pun yang muncul, langsung lenyap pada saat anda mencatatnya. Anda mencatat
“melihat” dan obyek tersebut langsung lenyap. Anda catat “mendengar” dan
obyek tersebut lenyap. Anda catat “menekuk, meluruskan,” dan lain-lain, dan
mereka semua lenyap. Tidak hanya obyek yang menghilang, tetapi pikiran yang
mencatatnya juga langsung menghilang/lenyap. Inilah pengetahuan tentang
kehancuran (bhanga ñāna). Setiap kali anda mencatat, segalanya segera hancur.
Setelah menyaksikan kehancuran ini cukup lama, anda menjadi takut terhadap
fenomena kehancuran ini. Inilah pengetahuan tentang rasa takut (bhaya ñāna).
Kemudian anda menemukan cacat/keburukan dalam semua hal yang terus-menerus
lenyap, yang merupakan pengetahuan tentang kesengsaraan (ādīnava-ñāna).
Seiring usaha anda meneruskan meditasi, anda menjadi bosan terhadap mereka,
inilah yang merupakan pengetahuan tentang rasa jijik/muak (nibbidā-ñāna).
“Melihat demikian, murid mulia yang telah diajari dengan baik menjadi
kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan … “ (M.i.139)
Pada tahap sebelumnya, tubuh anda merupakan sumber kesenangan. Duduk
atau bangun, pergi atau datang, menekuk atau meluruskan, berbicara atau bekerja –
segalanya kelihatannya sangat baik. Tubuh anda kelihatannya dapat diandalkan
dan menyenangkan. Sekarang anda menyadari bahwa segalanya hancur, anda tidak
lagi menganggap tubuh anda dapat diandalkan dan menyenangkan. Ia justru
menjadi beban.
Anda telah menikmati kesenangan mental dan jasmani, sambil berpikir, “Ini
bagus,” “Aku merasa bahagia.” Sekarang perasaan tidak lagi menyenangkan
karena mereka lenyap ketika anda catat. Anda menjadi bosan dengan mereka.
Sebelumnya anda berpikir yang baik-baik tentang pencerapan, tetapi sekarang
mereka lenyap begitu anda catat, dan anda juga menjadi jijik terhadap mereka.
Bentuk-bentuk mental bertanggung jawab atas semua perilaku tindakan
jasmani, ucapan, dan pikiran anda. Berpikir bahwa “Aku duduk, aku bangun, aku
pergi, aku bertindak” adalah pencengkeraman terhadap bentuk-bentuk mental.
Anda juga berpikir tentang mereka sebagai sesuatu yang baik, tetapi sekarang
(hal. 62)

setelah anda melihat bagaimana mereka lenyap, anda merasa muak terhadap
mereka.
Anda dulu terbiasa menikmati berpikir. Ketika yogi pemula disuruh jangan
menikmati berpikir, tetapi harus terus mencatat, mereka tidak senang sama sekali.
Sekarang anda melihat bagaimana pikiran-pikiran dan ide-ide muncul dan lenyap,
dan anda menjadi bosan juga dengan mereka. Hal yang sama terjadi pada enam
indera anda. Apa pun yang terjadi pada enam pintu indera adalah menjijikkan dan
membosankan. Sebagian yogi malah memiliki rasa jijik dan benci yang kuat.
Kemudian muncul hasrat untuk terbebas dari semua fenomena mental dan
jasmani ini. Sekali anda bosan dengan mereka, dengan sendirinya anda ingin
terbebas dari mereka. Anda berpikir, “Mereka muncul dan lenyap tanpa henti.
Mereka tidak ada bagusnya. Hal ini akan lebih baik jika mereka berhenti total.”
Inilah pengetahuan tentang hasrat untuk terbebas (muñcitukamyatā-ñāna).
Berhentinya semua fenomena adalah nibbāna, jadi hasrat untuk terbebas berarti
merindukan nibbāna. Apa yang harus seseorang lakukan jika ingin mencapai
nibbāna? Seseorang harus berusaha lebih keras dan terus mencatat. Ini adalah
pengetahuan tentang pengamatan ulang (patisankhā-ñāna). Berjuang dengan usaha
yang luar biasa, sifat-sifat ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa diri menjadi
semakin jelas. Setelah pengamatan ulang, anda berangsur-angsur tiba di
pengetahuan tentang keseimbangan dari semua bentukan (sankhārupekkhā-ñāna).
Sekarang yogi merasa tenang. Tanpa banyak usaha, pencatatan berjalan lancar dan
sangat jelas. Sewaktu duduk untuk bermeditasi, ia hanya perlu memulai usaha
awal, kemudian segalanya berjalan sendirinya secara otomatis. Selama kurang
lebih satu jam, yogi tidak mengubah sikap tubuh dan dapat terus mencatat tanpa
gangguan.
Sebelum tahap ini terdapat banyak gangguan. Pikiran anda mungkin
terganggu oleh suara atau pikiran yang mengembara. Perasaan sakit seperti lelah,
panas, kesemutan, gatal, dan batuk sering muncul dan mengganggu anda, sehingga
anda harus membangun konsentrasi dari awal lagi. Namun sekarang segalanya
berjalan dengan lancar, karena tidak ada lagi gangguan. Anda mungkin mendengar
suara, tetapi anda dapat mengabaikan mereka dan terus mencatat. Apa pun yang
muncul, anda catat tanpa merasa terganggu. Pikiran tidak lagi mengembara.
Walaupun obyek menyenangkan dapat muncul, tidak ada kegembiraan atau
(hal. 63)

kesenangan yang muncul di dalam diri anda. Jika anda bertemu dengan obyek
kurang menyenangkan, anda tidak merasakan kesal ataupun takut. Perasaan sakit
seperti lelah, panas, atau gatal jarang terjadi, namun jika muncul tetap bisa
ditahan/ditoleransi. Pencatatan anda mengatasi semua hal tersebut. Gatal, sakit dan
batuk lenyap begitu anda mencapai pengetahuan ini. Sebagian yogi sembuh dari
penyakit-penyakit yang parah. Jika penyakit mereka tidak sembuh total, gejalanya
berkurang ketika mereka mencatat dengan sungguh-sungguh. Selama satu jam atau
lebih tidak akan ada gangguan. Sebagian yogi mampu duduk dua atau tiga jam
tanpa gangguan, dan tubuh mereka tidak merasa lelah. Waktu berjalan dengan
cepat, dan bahkan duduk bermeditasi tiga jam kelihatannya tidak terlalu lama.
Pada hari yang panas di musim panas seperti ini, alangkah baiknya bila anda
telah mencapai pengetahuan ini. Sementara orang lain merengek karena panas
yang menyengat, yogi rajin yang memiliki pengetahuan keseimbangan ini sama
sekali tidak merasakan panas ini. Sepanjang hari rasanya seperti lewat begitu saja.
Ini adalah tahap pengetahuan pandangan terang yang sangat baik, tetapi bisa ada
bahaya seperti kekhawatiran, ambisi atau hasrat yang berlebihan. Jika hal ini tidak
dapat dihilangkan, tidak ada kemajuan yang bisa didapat. Begitu mereka hilang,
pengetahuan tentang Jalan Mulia (magga-ñāna) akan terealisasi. Bagaimana
caranya?
(hal. 64)


Jalan Mulia

Setiap kali anda mencatat “kembang, kempis, sentuh, melihat, mendengar,
menekuk, meluruskan, dan sebagainya, suatu usaha dilakukan. Inilah usaha benar
dari Jalan Mulia Beruas Delapan. Ketika anda mencatat, anda berperhatian penuh,
yang merupakan perhatian penuh benar. Konsentrasi anda menembus obyek
yang dicatat dan tetap terpaku padanya, yang merupakan konsentrasi benar.
Ketiga hal ini adalah faktor dari bagian konsentrasi dari Jalan Mulia. Ketika anda
mencatat dengan konsentrasi, penerapan awal dikenakan pada obyek yang dicatat.
Hal ini adalah penerapan pikiran dan faktor-faktor pikiran pada obyek. Sifatnya
adalah “mengangkat” faktor-faktor pikiran pada obyek (abhiniropanalakkhana),
menurut kitab komentar. Inilah pikiran benar. Kemudian ada pengertian bahwa
obyek yang diperhatikan merupakan gerakan, bukan kesadaran, melihat,
kesadaran, ketidakkekalan, dan seterusnya, yang merupakan pandangan benar.
Pikiran benar dan pandangan benar adalah faktor dari bagian kebijaksanaan dari
Jalan Mulia. Tiga faktor dari bagian moralitas yaitu: ucapan benar, tindakan
benar, dan penghidupan benar, dipenuhi ketika anda ikut serta dalam latihan
meditasi pandangan terang dengan mengambil sila. Lagipula tidak bisa ada ucapan
salah, tindakan salah, atau penghidupan salah dalam hal pencatatan obyek. Jadi
bilamana anda mencatat, anda menyempurnakan bagian moralitas dari Jalan Mulia
juga.
Delapan faktor dari Jalan Mulia terjadi dalam setiap saat dari kewaspadaan.
Mereka merangkai jalan pandangan terang yang muncul bila pencengkeraman
telah dimusnahkan. Anda harus mengembangkan jalan ini secara berangsur-angsur
sampai anda mencapai pengetahuan keseimbangan terhadap bentuk-bentuk. Ketika
pengetahuan ini menjadi matang, anda akan tiba pada Jalan Mulia. Penjelasannya
adalah seperti ini: ketika pengetahuan keseimbangan terhadap bentuk-bentuk telah
matang dan kuat, pencatatan anda menjadi lebih tajam dan cepat. Ketika mencatat
dengan kewaspadaan yang cepat seperti itu, secara tiba-tiba anda jatuh ke dalam
kedamaian yang merupakan nibbāna. Rasanya agak aneh. Anda tidak memiliki
pengetahuan tentang itu sebelumnya, dan anda juga tidak dapat merenungkannya
ketika anda mencapainya. Anda hanya dapat merenungkannya setelah
mencapainya. Anda merenung karena anda mengalami sesuatu yang unik. Inilah
(hal. 65)

pengetahuan perenungan (paccavekkhanā-ñāna). Kemudian anda menjadi tahu apa
yang telah terjadi. Inilah caranya anda merealisasi nibbāna melalui Jalan Mulia.
Jika anda ingin merealisasi nibbāna, maka perlu memperjuangkan
kebebasan dari pencengkeraman. Bagi umat awam, pencengkeraman muncul di
mana-mana – saat melihat, mendengar, menyentuh, dan berpikir. Ini semua
mencengkeram pada segala hal sebagai kekal, bahagia, baik, sebagai diri, ego, atau
seseorang. Anda harus berjuang untuk kebebasan penuh dari pencengkeraman.
Berjuang maksudnya bermeditasi terhadap segala sesuatu yang muncul – apa pun
yang terlihat, terdengar, tersentuh, atau terpikir. Jika anda terus bermeditasi
demikian, pencengkeraman akan berhenti, dan Jalan Mulia akan muncul, menuju
ke nibbāna. Itulah prosesnya.
Bagaimana pandangan terang berkembang? Pandangan terang berkembang
melalui meditasi tentang lima kelompok pencengkeraman. Mengapa dan kapan
kita sebaiknya bermeditasi tentang kelompok tersebut? Kita bermeditasi tentang
kelompok tersebut setiap saat mereka muncul, supaya kita tidak mencengkeram
pada mereka. Jika kita gagal bermeditasi tentang mental dan jasmani,
pencengkeraman muncul. Kita mencengkeramnya sebagai sesuatu yang kekal,
baik, dan sebagai diri atau ego. Jika kita terus bermeditasi tentang mental dan
jasmani, pencengkeraman berhenti. Kemudian kita melihat dengan jelas bahwa
semua fenomena hanyalah berupa proses-proses yang tidak kekal, tidak
memuaskan, dan tanpa jiwa. Begitu pencengkeraman berhenti, Jalan Mulia
muncul, menuju ke nibbāna. Inilah dasar-dasar meditasi pandangan terang.
(hal. 66)


Putri Tukang Tenun

Sekarang beberapa kata motivasi. Ketika Sang Buddha mengajar, para
pendengarnya bermeditasi sambil mendengarkan Beliau dan memperoleh
pandangan terang. Menurut kitab komentar, delapan puluh empat ribu orang
mencapai pandangan terang setelah setiap ceramah. Membaca hal ini, sebagian
orang berkata, “Tampaknya sangat gampang memperoleh pandangan terang, tetapi
walaupun kita telah berusaha sangat keras, mengapa kita tidak mampu memperoleh
apa pun? Mengapa terdapat perbedaan yang demikian besar?”
Anda harus mengerti bahwa kitab komentar hanya menceritakan kembali
kejadian tersebut dan tidak menyebut secara rinci kemampuan masing-masing
pendengarnya. Pengajarnya adalah Sang Buddha sendiri, dan para pendengarnya
memiliki kesempurnaan (pārami) yang baik. Untuk menggambarkan hal ini, mari
saya ceritakan sebuah kisah dari jaman Sang Buddha.
Suatu kali Sang Buddha sedang mengajar di Ālavī (sekarang Allahabad).
Topiknya adalah perhatian penuh tentang kematian. Beliau menghimbau para
pendengar-Nya untuk merenung, “Kehidupan tidaklah pasti; kematian adalah
pasti.” Kemudian Beliau kembali ke Sāvatthī. Dari antara pendengarnya ada
seorang gadis berusia enam belas tahun – putri seorang tukang tenun. Sejak saat itu
ia selalu mengembangkan perhatian penuh tentang kematian.
Tiga tahun kemudian, Sang Buddha datang kembali ke Ālavī. Ketika Sang
Buddha sedang duduk di tengah kerumunan, Beliau melihat wanita muda itu
datang ke arah-Nya. Sang Buddha bertanya, “Nona muda, dari mana engkau
datang?” Ia menjawab, “Aku tidak tahu, Guru.” “Ke mana engkau akan pergi?”
tanya Sang Buddha lagi. “Aku tidak tahu, Guru” jawabnya lagi. “Apakah engkau
tidak tahu?” Beliau bertanya. “Aku tahu, Guru” jawabnya. “Tahukah engkau?”
Beliau bertanya. “Aku tidak tahu, Guru” jawabnya. Beberapa orang dari para
pendengar menjadi kesal dengan dia. Mereka pikir ia berlaku tidak hormat kepada
Sang Buddha. Maka Sang Buddha meminta wanita muda tersebut menjelaskan
jawabannya.
Ia berkata, “Guru, Engkau tidak mungkin hanya berbasa-basi. Ketika Guru
bertanya kepadaku dari mana aku datang, aku segera tahu bahwa Guru sedang
(hal. 67)

menanyakan kehidupanku yang lalu, jadi aku jawab bahwa aku tidak tahu. Ketika
Guru bertanya kepadaku ‘Ke mana engkau pergi?’ Guru bermaksud menanyakan
kehidupan mana setelah ini yang akan aku datangi, jadi aku jawab lagi ‘aku tidak
tahu’. Kemudian Guru bermaksud menanyakan apakah aku tahu bahwa aku akan
meninggal, jadi aku jawab, ‘aku tahu.’ Terakhir, Guru menanyakan apakah aku
tahu kapan aku akan meninggal. Karena aku tidak tahu kapan aku akan meninggal,
maka aku jawab, ‘aku tidak tahu.’ Sang Buddha membenarkan jawabannya dengan
mengucapkan “Sādhu.”
Menjawab pertanyaan ketiga, kita semua tahu bahwa kita pasti akan mati,
tetapi tidak pasti kapan. Mari kita tanya diri kita pertanyaan kedua: “Ke mana saya
akan pergi?” Agak sulit dijawab, bukan? Namun ada cara untuk membuat
jawabannya tidak begitu sulit. Pikirkanlah perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran
anda. Manakah yang lebih banyak, perbuatan baik, atau perbuatan jahat? Jika
perbuatan jahat lebih banyak, anda akan menuju ke tempat yang lebih
buruk. Maka anda harus berjuang untuk melakukan perbuatan baik. Cara terbaik
adalah melaksanakan meditasi pandangan terang, supaya anda dapat
mencapai pembebasan dari alam-alam rendah selama-lamanya. Anda
seharusnya berusaha mencapai paling sedikit tahap pemenang arus (Sotāpanna).
Apakah ini cukup? Jika anda dapat mencapai tahap ini, saya akan senang,
walaupun menurut nasehat Sang Buddha anda harus berusaha sampai anda
mencapai tingkat kesucian Arahat (Arahata Phala).
Sekarang mari kembali ke kisah putri tukang tenun. Ia menjadi pemenang
arus (sotāpanna) setelah percakapannya dengan Sang Buddha tentang satu ayat
yang singkat. Jelas sudah bahwa ia telah mencapai pandangan terang sebagai hasil
mengembangkan perhatian penuh terhadap kematian secara tekun selama tiga
tahun. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pasti banyak orang seperti dia.
Ketika Sang Buddha sedang berdiam di hutan Jeta di Sāvatthī, ada
pembabaran Dhamma setiap hari. Penduduk Sāvatthī datang di petang hari,
berpakaian rapi dan membawa persembahan berupa bunga dan dupa, datang untuk
mendengarkan Dhamma. Hal yang sama pasti juga terjadi ketika Sang Buddha
sedang berdiam di hutan Bambu, dekat Rājagaha. Setelah mendengarkan Dhamma,
orang-orang tentunya juga berlatih meditasi seperti juga mereka menjaga lima sila.
Bahkan sampai saat ini, orang-orang mulai berlatih meditasi setelah selesai
(hal. 68)

mendengarkan ceramah guru meditasi. Jika Sang Buddha sendiri yang sedang
mengajar, bagaimana mungkin mereka tidak termovitasi untuk berlatih? Seperti
itulah orang-orang yang kemudian memperoleh pandangan terang ketika mereka
mendengarkan ceramah Dhamma yang lain.
Ada bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria dan wanita – semua jenis orang.
Mereka yang telah berkesempatan mendengarkan ceramah dari Sang Buddha
sendiri tentunya telah memiliki kesempurnaan yang sangat baik. Setiap saat Sang
Buddha mengajar, Beliau melakukannya dengan menyesuaikan keadaan para
pendengar, yang merupakan hal yang sangat penting.
(hal. 69)


Pentingnya Metode yang Benar

Seorang bhikkhu bernama Cūlapanthaka tidak mampu mengingat satu bait
syair yang memiliki empat puluh suku kata, bahkan dalam waktu empat bulan.
Kakaknya Mahāpanthaka menjadi tidak sabar dengannya, dan mengusirnya pergi.
Sang Buddha memanggilnya, memberinya sepotong kain putih, dan menyuruhnya
memegangnya sambil mengucapkan, “Menghapus kekotoran, menghapus
kekotoran.” Sang bhikkhu melakukannya sesuai perintah, kemudian menyadari
sifat dari mental dan jasmani dirinya sendiri, dan menjadi Arahat. Hal itu tentunya
hanya perlu dua atau tiga jam melakukannya. Ia mencapai pandangan terang begitu
mudah karena ia telah diberi bahan meditasi yang disesuaikan dengan keadaannya
secara sempurna.
Seorang murid YM Sāriputta bermeditasi tentang mayat yang membusuk
selama empat bulan, tetapi tidak berhasil. YM Sāriputta membawanya menghadap
Sang Buddha yang menciptakan sebuah bunga lotus emas yang indah dengan
menggunakan kesaktianNya, dan memberikannya kepada sang bhikkhu. Ia pernah
menjadi pandai emas selama lima ratus kehidupan berturut-turut. Ia menyukai
benda-benda yang indah dan tidak berminat terhadap mayat yang membusuk.
Ketika ia melihat bunga lotus emas, ia terpesona dan segera mengembangkan
jhāna sambil melihatnya. Kemudian Sang Buddha membuat bunga lotus menjadi
layu, sehingga sang bhikkhu menyadari ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan bukan
diri dari semua hal yang terkondisi. Sang Buddha kemudian mengajarinya satu bait
syair, yang membuat bhikkhu itu mencapai Arahat setelah mendengarnya.
Sesepuh Channa kurang berhasil dalam usahanya mencapai pandangan
terang, maka ia meminta nasehat dari YM Ānanda. YM Ānanda berkata kepada
Channa, “Engkau adalah ‘tanah tempat menabur benih,’ seseorang yang dapat
menumbuhkan pandangan terang dari dalam.” Sang Sesepuh dipenuhi rasa
gembira, mengikuti nasehat YM Ānanda, dan tidak lama kemudian mencapai
pandangan terang.
Sebagian guru meditasi masa kini (modern) tidak mengetahui cara mengajar
yang cocok dengan keadaan murid-murid mereka. Para guru tersebut berbicara
dengan muridnya dengan cara yang tidak sesuai dengan karakter mereka.
(hal. 70)

Akibatnya mereka menjadi kehilangan semangat dan pulang. Namun sebagian
guru mengetahui apa yang harus dikatakan, dan murid-murid mereka, yang
awalnya berpikir hanya ingin berdiam beberapa hari saja, termotivasi untuk tinggal
terus dan mencapai pandangan terang. Sangatlah penting untuk mengajar sesuai
dengan keadaan para pendengarnya. Tidaklah heran ribuan orang bisa mencapai
pandangan terang pada akhir ceramah yang dibabarkan Sang Buddha.
Dari antara para pendengar mungkin ada satu atau dua yang telah mencapai
kesempurnaan seperti orang-orang pada jaman Sang Buddha, dan ada juga yang
kesempurnaannya menjadi matang setelah berhari-hari atau berbulan-bulan
berlatih. Mereka ini dapat mencapai pandangan terang ketika mendengarkan
Dhamma sekarang. Jika anda belum dapat mencapainya, anda akan segera
mencapainya jika anda terus berusaha. Bagi mereka yang belum pernah berusaha
sebelumnya, sekarang telah belajar metode yang benar. Jika anda mulai berusaha
pada waktu yang sesuai, anda akan mencapai pandangan terang. Apakah anda telah
mencapai pandangan terang atau hanya melakukan perbuatan baik, anda semua
akan terlahir di enam alam dewa setelah anda meninggal. Di sana anda akan
bertemu dengan dewa-dewa yang merupakan Makhluk-Makhluk Mulia, yang telah
ada di sana sejak jaman Sang Buddha. Anda akan bertemu dengan Anāthapindika,
Visākhā, dan yang lainnya. Kemudian anda dapat bertanya kepada mereka tentang
apa yang telah mereka pelajari dari Sang Buddha, dan bagaimana mereka berlatih.
Alangkah menggembirakan bila dapat berdiskusi Dhamma dengan makhlukmakhluk
bijaksana tersebut di alam-alam dewa.
(hal. 71)

Anda Dapat Terlahir Kembali di Mana Pun Anda Inginkan
Sesungguhnya jika anda tidak ingin terlahir di alam dewa tetapi ingin di
alam manusia, anda dapat terlahir lagi di sini. Suatu hari, sekitar dua puluh lima
atau tiga puluh tahun yang lalu, seorang umat awam keturunan Cina mengundang
beberapa bhikkhu untuk berpindapata di rumahnya di Moulmein, Myanmar.
Setelah selesai bersantap, bhikkhu kepala dalam ceremah penutup berkata bahwa
sebagai hasil dari memberi makan bhikkhu-bhikkhu, umat awam tersebut akan
terlahir di alam dewa, di mana kehidupan penuh dengan kegembiraan dengan
istana yang besar-besar dan taman yang indah-indah. Sang bhikkhu kemudian
bertanya kepada umat awam tadi, “Umat awam, bukankah anda ingin terlahir di
alam dewa?” “Tidak,” si umat menjawab, “saya tidak ingin terlahir di alam dewa.”
“Mengapa tidak?” tanya sang bhikkhu. “Saya hanya ingin terlahir di rumah saya
sendiri, di tempat saya sendiri.” “Baiklah,” kata sang bhikkhu, “anda akan terlahir
kembali di rumah anda ini, di tempat anda sendiri.” Sang bhikkhu benar. Karma
baik si umat awam akan membawanya ke mana pun dia ingin pergi.
“Aspirasi/keinginan, bhikkhu-bhikkhu, dari seorang yang baik akan
terpenuhi karena kemurniannya.” (A.iv.239)
Anda para pendengar di sini memiliki moralitas yang murni. Suatu saat
ketika kebanyakan orang di Yangon sedang bersenang-senang merayakan Tahun
Baru, anda malah di sini melakukan perbuatan-perbuatan bajik, jauh dari keributan
dan hura-hura. Sebagian dari anda telah mengenakan jubah kuning, dan sedang
berlatih meditasi. Sebagian dari anda sedang menjaga delapan sila ketika berlatih
meditasi. Jadi moralitas anda menjadi murni. Jika anda ingin terlahir kembali di
alam dewa, anda akan terlahir di sana. Jika anda ingin terlahir kembali di alam
manusia ini, anda akan mendapatkannya.
Sehubungan dengan ini ada sesuatu yang merisaukan kita. Pada jaman ini,
negara-negara di Eropa dan Amerika sangat makmur. Kita mengkhawatirkan
bahwa orang-orang Myanmar yang telah melakukan perbuatan baik di sini
barangkali menjadi condong terhadap negara-negara itu dan akan terlahir kembali
di sana. Saya pikir sekarang sudah terjadi. Sebagian orang bertanya, “Walaupun
umat Buddha melakukan perbuatan baik, tetapi mengapa negara-negara yang
(hal. 72)

penduduk mayoritasnya beragama Buddha, tidak makmur?” Mereka tampaknya
berpikir, “Ketika orang Myanmar meninggal, ia akan terlahir kembali hanya di
Myanmar.” Tidak benar demikiran. Seseorang yang memiliki jasa dapat terlahir di
mana pun yang dia inginkan.
Orang-orang kaya di negara-negara lain mungkin pernah menjadi umat
Buddha yang baik dari Myanmar. Ada begitu banyak orang yang telah melakukan
perbuatan baik di sini, tetapi tidak cukup banyak orang tua kaya di sini yang bisa
menerima mereka dalam kehidupan mereka berikutnya. Sehingga mereka terpaksa
harus terlahir di tempat lain. Jika anda terlahir di sana, dan anda hanya makhluk
duniawi (putthujana), anda harus memeluk agama orang tua anda di sana. Hal ini
patut diperhatikan. Untuk menjadi kokoh dalam keyakinan agama anda, anda harus
berusaha mencapai tahap di mana keyakinan anda dalam Buddha, Dhamma, dan
Sangha tidak akan pernah goyah. Setelah anda menjadi seorang pemenang arus
(Sotāpanna) maka keyakinan anda terhadap Tiga Permata tidak akan pernah
goyah, di negara mana pun anda mungkin terlahir.
Saat ini tidak begitu baik terlahir di alam manusia. Hidup yang singkat,
penyakit banyak sekali, ideologi sudah membingungkan, dan ada banyak bahaya.
Jika anda tidak ingin terlahir di alam manusia, anda akan terlahir di alam dewa.
Bahkan jika anda belum mencapai Jalan Mulia (Magga) dan Buah Mulia (Phala),
perbuatan baik anda memberikan dana dan menjaga sila akan membawa
anda ke mana pun yang anda inginkan. Jika anda telah mencapai Jalan Mulia
dan Buah Mulia, hal itu akan lebih baik lagi.
Alam dewa tidak terlalu sulit dicapai. Seorang umat bernama Indaka
memberikan sesendok nasi kepada Sangha dan kemudian terlahir di alam dewa
Tāvatimsa. Umat di Myanmar telah berdana jauh lebih besar daripada sesendok
nasi. Tentang sila, menjaga sila untuk sementara waktu dapat mengirim orang ke
alam dewa. Sebagian orang menjaga delapan sila hanya setengah hari, kemudian
mereka terlahir di alam dewa. Anda sekarang menjaga delapan sila dengan sangat
baik dan juga berlatih meditasi. Anda akan dengan mudah terlahir di alam dewa.
Mengapa tidak? Sekali di sana, anda dapat bertanya kepada Makhluk-Makluk
Mulia tentang Dhamma dan berdiskusi dengan mereka. Silakan saja.
(hal. 73)


Dewi Uposathā

Pada jaman Sang Buddha tinggallah seorang wanita muda bernama
Uposathā di Sāketa, di propinsi Kosala bagian India tengah. Ia hidup sesuai dengan
Dhamma dan menjadi seorang pemenang arus (Sotāpanna). Setalah meninggal ia
terlahir kembali di alam dewa Tāvatimsa, di mana ia tinggal di sebuah istana yang
megah. Suatu hari YM Moggallāna bertemu dengannya ketika ia sedang menyusuri
alam dewa.
Bhikkhu-bhikkhu di jaman itu sempurna dalam pengetahuan tingkat tinggi
dan mencapai berbagai macam kesaktian. Mereka dapat pergi ke alam dewa,
melihat para dewa dengan kekuatan mata saktinya atau mendengar mereka dengan
kekuatan telinga saktinya. Di jaman sekarang, tidak ada bhikkhu yang dikenal
memiliki kesaktian seperti itu. Kita tidak dapat pergi ke alam dewa. Jika kita
berusaha sampai ke sana, kita tidak akan mampu melihat mereka. Jangankan dewa
di alam yang tinggi, kita bahkan tidak mampu melihat dewa yang tinggal di bumi,
misalnya penunggu pohon dan barang-barang berharga.
YM Moggallāna sering menyusuri alam dewa dengan kesaktiannya.
Tujuannya untuk mengetahui secara langsung dari para dewa tentang bagaimana
mereka sampai terlahir ke sana. Perbuatan baik apa yang telah mereka lakukan
sehingga pantas terlahir di sana. Ia bisa saja mengetahui perbuatan mereka di masa
lampau tanpa bertanya kepada mereka, tetapi ia menginginkan jawaban langsung
dari mereka. Ketika YM tiba di istana Uposathā, ia keluar menyambutnya. YM
Moggallāna bertanya kepadanya, “Dewi muda, keagunganmu seperti
cemerlangnya planet Venus. Apa perbuatan baik yang telah engkau lakukan
sehingga menjadi pantas mendapatkan kemewahan dan kebahagiaan ini?”
Ia menjawab, “Aku dulu seorang wanita bernama Uposathā, tinggal di
Sāketa. Aku mendengarkan ajaran Sang Buddha, memperoleh keyakinan dalam
Dhamma, dan menjadi pengikut sebagai umat awam, berlindung pada Tiga
Permata.”
Menempatkan keyakinan anda dalam Tiga Permata (Tiratana), berarti
mengambil perlindungan. Anda melakukan ini dengan mengucapkan, “Aku
(hal. 74)

berlindung kepada Buddha. Aku berlindung kepada Dhamma. Aku berlindung
kepada Sangha.”
Sang Buddha mengenal semua Dhamma. Setelah secara langsung
merealisasi nibbāna, akhir dari semua penderitaan seperti usia tua, sakit, dan
kematian, Beliau mengajarkan Dhamma, supaya makhluk-makhluk lain dapat
menikmati kebahagiaan nibbāna juga. Jika seseorang mengikuti ajaran Sang
Buddha, ia dapat menhindari empat alam rendah, dan memperoleh pembebasan
dari semua penderitaan. Dengan meyakini hal ini, anda berlindung kepada
Buddha. Ketika anda sakit, anda harus menaruh keyakinan anda pada seorang
dokter. Anda harus mempercayainya, sambil berpikir, “Dokter ini adalah seorang
ahli. Ia dapat menyembuhkan penyakit saya.” Dengan cara yang sama, anda harus
menaruh kepercayaan anda kepada Sang Buddha, dengan mengetahui bahwa anda
akan terbebas dari segala penderitaan dengan mengikuti ajarannya. Namun
sebagian orang tidak mengindahkan pentingnya ayat ini. Mereka hanya
mengucapkannya karena orang tua atau guru mereka menyuruh melakukannya. Ini
bukanlah cara yang benar. Anda harus mengetahui maknanya, merenungkannya,
dan mengucapkannya dengan perlahan. Jika anda tidak dapat terus menerus
melakukannya, setidaknya usahakan untuk melakukannya sekali-sekali.
Ketika anda mengucapkan, “Aku berlindung kepada Dhamma,” anda
menaruh kepercayaan anda pada ajaran Sang Buddha – ajaran mengenai Jalan
Mulia (Magga), Buah Mulia (Phala), dan nibbāna. Anda harus menegaskan
keyakinan anda bahwa latihan dari ajaran ini akan membebaskan anda dari empat
alam rendah dan dari semua penderitaan dalam lingkaran tumimbal lahir.
Ketika anda mengucapkan, “Aku berlindung kepada Sangha,” anda menaruh
kepercayaan anda kepada Orang-Orang Mulia, yang dengan berlatih Dhamma
yang diajarkan Sang Buddha, telah mencapai atau hampir mencapai Jalan Mulia
dan Buah Mulia. Anda harus menegaskan kepercayaan anda bahwa meyakini
Sangha akan membawa anda menuju kebebasan dari alam-alam rendah dan
lingkaran tumimbal lahir. Seorang pria yang telah mengambil Tiga Perlindungan
disebut “upāsaka”, dan seorang wanita disebut “upāsikā”. Menjadi upāsaka atau
upāsikā adalah perbuatan baik yang akan membawa anda menuju alam-alam dewa.
(hal. 75)

“Orang yang berlindung kepada Buddha, tidak akan menempuh jalan yang
menurun; setelah meninggalkan tubuhnya, ia akan bergabung dengan para dewa.”
(D.ii.255)
Uposathā juga telah melakukan perbuatan baik yang lain. Ia berkata,”Aku
menjaga moralitas, memberikan dana, dan mentaati Uposatha.”
Mereka yang tidak mengenal Dhamma, mengolok-olok Uposathā yang
menjalankan Uposatha (delapan sīla) dengan berkata,”Jika engkau mentaati
Uposatha, engkau hanya akan lapar, cuma itu saja!” Mereka tidak mengetahui apa
pun tentang perbuatan baik dan buruk. Mereka tidak tahu bahwa dengan
mengatasi hasrat untuk makan, yang merupakan keserakahan, memperoleh
karma baik. Tetapi mereka mungkin tahu bahwa puasa dapat berakibat baik untuk
orang sakit, dan kemudian mereka memujinya. Mereka hanya mempedulikan
kesejahteraan materi saat itu saja. Mereka tidak memahami mental sama sekali,
juga tentang kehidupan setelah kematian. Mentaati Uposatha mengharuskan anda
mencegah pikiran jahat muncul, dan mengembangkan pikiran baik misalnya
menahan diri dan kesabaran, seharian penuh, siang dan malam.
Seseorang berpikir,”Sepanjang hidup mereka, para Arahat menjauhi
perbuatan jahat misalnya membunuh, mencuri, kegiatan seksual, kepalsuan, zat
yang memabukkan, dan makan pada waktu yang tidak pantas. Aku akan
mencontoh mereka selama satu hari dan menghormati mereka dengan melakukan
hal yang sama.” Orang-orang baik berpikir seperti ini ketika mereka menjalankan
delapan sila. Ketika anda merasa lapar, anda mengontrol diri anda sendiri, dan
berjuang untuk menghilangkan kekotoran mental yaitu keserakahan. Ini adalah
perbuatan baik. Ketika perbuatan baik sejenis itu muncul di pikiran anda, pikiran
menjadi termurnikan. Hal ini mirip puasa dan membersihkan usus anda ketika
anda sakit. Karena pikiran anda murni, ketika anda meninggal, akibatnya adalah
kesadaran yang murni. Sehingga dapat kita katakan bahwa seseorang terlahir
sebagai manusia atau dewa.
Dewi Uposathā meneruskan,”Aku tinggal di istana ini sebagai akibat
pengendalian diri dan kedermawanan.” Di sini ‘pengendalian diri’ sangatlah
penting. Bahkan di dunia ini, jika tidak ada pengendalian pada pengeluaran anda,
anda akan cepat menjadi miskin. Jika tidak ada pengendalian dalam tindakan anda,
(hal. 76)

anda akan menderita penyakit menular atau terlibat dalam kejahatan. Sedangkan
untuk kehidupan selanjutnya, pengendalian sangatlah penting karena dapat
memurnikan hati. Bahwa kedermawanan dapat membawa menuju alam dewa
sudah menjadi pengetahuan umum di antara umat Buddha.
Kemudian dewi tersebut berkata,”Aku mengenal Empat Kesunyataan
Mulia.”
Inilah kesunyataan yang harus diketahui oleh Orang-Orang Mulia. Setelah
anda sendiri memahami kesunyataan ini, anda menjadi Orang Mulia. Empat
Kesunyataan Mulia yaitu: kesunyataan tentang penderitaan, kesunyataan
tentang penyebab penderitaan, kesunyataan tentang berhentinya
penderitaan, dan kesunyataan tentang jalan menuju berhentinya penderitaan.
Jalan adalah bagian yang paling penting. “Mengenal Kesunyataan Mulia” bukan
berarti mempelajarinya melalui rumor/kabar burung. Maksudnya menyadari
langsung sendiri. Anda harus memahaminya dengan baik, melepaskan apa yang
patut dilepaskan, merealisasi penghentian, dan mengembangkan jalan anda sendiri.
Ini adalah apa yang dijelaskan di kitab komentar. Lima kelompok pencengkeraman
adalah kesunyataan tentang penderitaan. Mencatat lima kelompok
pencengkeraman untuk mengenali mereka sebagaimana adanya adalah memahami
kesunyataan tentang penderitaan. Ketika anda melanjutkan pencatatannya, anda
melihat bagaimana mereka muncul dan lenyap, dan itu adalah penderitaan. Anda
memahami hal ini ketika anda bermeditasi. Ketika anda mencapai Jalan Mulia,
anda melihat nibbāna, akhir dari penderitaan. Saat merenungkan, anda memahami
bahwa apa pun yang belum berakhir adalah penderitaan. Anda memahami ini pada
saat pencapaian Jalan. Ini bukan pemahaman melalui perhatian pada obyek, tetapi
melalui fungsi/tugas.
Ketika anda bermeditasi, tidak ada pencengkeraman pada obyek yang
dicatat. Inilah pemahaman melalui pelepasan. Saat merenungkan, tidak ada
pendambaan atau kemelekatan yang akan muncul untuk obyek-obyek yang telah
anda lihat sebagai tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa diri. Sehingga
hasrat/pendambaan telah dipadamkan. Inilah caranya anda mengerti ketika
bermeditasi. Ketika anda merealisasi Jalan Mulia dan nibbāna, tidak ada
keserakahan yang akan muncul berhubungan dengan Jalan Mulia. Dengan
pencapaian Jalan Mulia dari pemenang arus (Sotāpanna), hasrat kasar apapun
(hal.77)

yang membawa seseorang menuju alam rendah telah dibasmi. Dengan pencapaian
Jalan Mulia dari ‘yang tidak kembali’ (Anāgāmi), semua hasrat terhadap
kesenangan indera telah dilepaskan. Dengan pencapaian tingkat kesucian Arahat,
semua hasrat akhirnya telah dihancurkan.
Setiap anda mencatat, tidak ada kekotoran mental, karma, atau penderitaan
yang akan muncul berhubungan dengan obyek yang dicatat. Segalanya telah
padam. Berhentinya penderitaan seperti itu dapat dialami dalam setiap pencatatan.
Inilah caranya anda menyadari kesunyataan tentang berhentinya penderitaan.
Pada saat Jalan Mulia anda merealisasi nibbāna. Setiap kali anda bermeditasi,
muncul pandangan benar mengenai sifat alamiah mental dan jasmani. Ketika ada
pandangan benar, bentuk-bentuk mental seperti pikiran benar juga muncul. Kita
telah berurusan dengan mereka sebelumnya. Mengembangkan delapan faktor dari
Jalan Mulia berarti mengembangkan Jalan Mulia. Inilah proses pemahaman anda
ketika bermeditasi. Pada saat Jalan Mulia, delapan faktor muncul dan nibbāna
terealisasi. Seseorang yang telah mencapai Jalan Mulia dan Buah Mulia dapat
melihat dalam perenungan bagaimana Jalan Mulia itu muncul. Hal ini juga
merupakan pemahaman.
Dengan demikian, jika anda telah memahami bagaimana mental dan jasmani
merupakan penderitaan; jika anda telah melepaskan keserakahan, yang merupakan
penyebab penderitaan; jika anda telah merealisasikan akhir dari penderitaan; dan
jika anda telah mengembangkan delapan faktor Jalan Mulia, kita dapat mengatakan
bahwa anda mengetahui Empat Kesunyataan Mulia. Ketika dewi Uposathā
berkata bahwa ia telah mengetahui Kesunyataan Mulia, maksudnya adalah ia telah
melihat Jalan pandangan terang dan Jalan Mulia melalui pengalamannya sendiri.
Dengan kata lain, ia adalah seorang pemenang arus (Sotāpanna).
Sekali anda mengenali Empat Kesunyataan Mulia, anda juga mengenali
Dhamma Mulia. Kita akan memberika kutipan dari sutta-sutta.
“… siswa mulia yang telah diajari dengan baik, seseorang yang telah
melihat Orang-Orang Mulia, yang terampil dalam Dhamma Mulia.” (M.i.11;136;
310)
Jika anda bukan Orang Mulia, anda tidak akan tahu melalui kebijaksanaan
benar seperti apa orang yang disebut Orang Mulia. Mereka yang belum pernah
(hal. 78)

ditahbiskan ke dalam Sangha tidak akan tahu dari pengalaman sendiri bagaimana
perilaku dan cara hidup seorang bhikku. Mereka yang belum pernah bermeditasi
tidak akan tahu bagaimana perilaku dan cara hidup seorang yogi. Hanya ketika
anda sendiri adalah Orang Mulia, baru anda dapat mengerti seperti apa Orang
Mulia itu.
Menurut kitab komentar, Dhamma Mulia terdiri dari empat landasan
perhatian penuh, empat usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima
kemampuan, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, dan delapan faktor
Jalan Mulia – tiga puluh tujuh syarat pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā).
Ada tujuh kelompok. Jika anda mengetahui salah satu dari tujuh kelompok
tersesbut, anda mengetahui juga enam kelompok lainnya. Kita telah berkata bahwa
jika anda mengetahui Empat Kesunyataan Mulia, anda mengetahui Dhamma
Mulia, karena Jalan Mulia beruas delapan, yang termasuk dalam Empat
Kesunyataan Mulia, adalah satu kelompok dalam Dhamma Mulia.
Ketika anda berusaha mengembangkan salah satu dari tujuh kelompok
Dhamma Mulia seperti empat landasan perhatian penuh, anda memahami hal itu
dari pengalaman anda sendiri. Inilah pengertian benar – belajar dari yang dikatakan
orang lain tidak akan bisa.
“Seorang bhikkhu, ketika ia berjalan, mengetahui ‘Aku sedang berjalan’.”
Jadi jika anda ingin menjadi Orang Mulia, catatlah “berjalan, berjalan” atau
“angkat, dorong, turun” ketika anda berjalan. Ketika anda berjalan, perhatian
penuh muncul setiap saat anda mencatat, demikian juga pengetahuan yang
mengetahui obyek yang dicatat. Anda mengetahui keinginan untuk berjalan,
bentuk materi dari berjalan, dan kesadaran dari berjalan, muncul dan lenyap.
Perhatian penuh dan pengetahuan ini yang muncul setiap saat anda mencatat,
adalah landasan perhatian penuh pada tubuh.
“Ia sadar ‘Aku merasakan sakit’.” Seorang yogi mencatat “panas, panas”
atau “sakit, sakit” bilamana rasa panas atau sakit muncul. Dengan demikian ia
selalu berperhatian penuh dan mengetahui bagaimana perasaan tersebut muncul
dan lenyap. Inilah landasan perhatian penuh pada perasaan.
“Ia menyadari pikiran yang penuh gairah sebagai penuh gairah.” Setiap kali
pikiran muncul, yogi mencatat “hasrat” atau “menikmati”. Ia berperhatian penuh
(hal. 79)

dan mengetahui bagaimana pikiran seperti itu muncul dan lenyap. Inilah landasan
perhatian penuh pada pikiran.
“Seseorang yang memiliki nafsu indera menyadari ‘nafsu indera ada di
diriku’.” Seseorang mencatat “nafsu”, “senang”, dan seterunsnya, dan selalu
berperhatian penuh. Seseorang mengetahui bagaimana suatu keadaan seperti nafsu
indera muncul dan tenggelam. Inilah pengembangan perhatian penuh melalui
perenungan keadaan mental.
Di antara anda yang berlatih di sini sedang belajar dari pengalaman pribadi.
Anda menjadi terampil dalam Dhamma Mulia – empat landasan perhatian
penuh. Pada waktu yang bersamaan, anda sedang membangun empat usaha
benar. Ketika anda mencatat, anda sedang berusaha untuk menghilangkan
keadaan-keadaan yang tidak baik yang telah muncul, atau mencegah munculnya
apa yang belum muncul. Anda sedang berjuang mengembangkan perbuatan baik
melalui pandangan terang dan Jalan Mulia yang belum muncul, atau
mengembangkan pandangan terang yang telah muncul. Empat landasan
keberhasilan juga terlibat. Dalam perjuangan anda, anda harus bergantung pada
tekad, usaha, pikiran, atau kebijaksanaan. Lima kemampuan yaitu keyakinan,
usaha, perhatian penuh, konsentrasi, dan kebijaksanaan juga hadir, dan lima
kekuatan juga sama. Tujuh faktor pencerahan adalah perhatian penuh,
penelitian (terhadap Dhamma), usaha, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi, dan
keseimbangan mental, yang juga hadir ketika anda mencatat. Bahwa delapan
faktor dari Jalan Mulia juga terlibat, tidak perlu lagi diulangi di sini.
Kembali ke kisah dewi Uposathā. Ia berkata,”Aku menjaga lima sīla. Aku
adalah murid awam Sang Buddha Gotama. Aku sering mendengar tentang KISAH
Nandana dan ingin pergi ke sana. Akibatnya aku terlahir di sini di Nandana.”
Nandana adalah nama sebuah taman di alam dewa. Pada masa itu orangorang
bercerita tentang Nandana sama halnya seperti cerita orang tentang Amerika
atau Eropa pada jaman ini. Uposathā mendengar cerita orang tentang taman dewa
dan ingin terlahir di sana, sehingga ia benar-benar terlahir di sana. Namun ia
menjadi kecewa. Ia memberitahu YM Moggallāna,”Aku gagal mentaati perkataan
Sang Buddha. Karena telah menambatkan pikiran ke alam yang rendah ini, aku
sekarang menyesalinya.”
(hal. 80)

Sang Buddha mengajari kita bahwa segala bentuk kehidupan adalah tidak
memuaskan – hanya ada penderitaan. Ia mengajari kita untuk berjuang mengakhiri
penderitaan, tetapi Uposathā telah mengabaikan nasehat Sang Buddha dan
merindukan kehidupan di alam dewa. Sekarang ia menyadari kesalahannya.
Anda mungkin bertanya,”Mengapa seseorang tidak bisa berusaha
mengakhiri penderitaan di alam dewa?” Tidak mudah bermeditasi di sana. Para
dewa selalu bernyanyi, menari, dan bersenang-senang. Tidak ada tempat yang sepi
seperti di alam manusia. Bahkan di dunia ini, ketika anda pulang ke rumah, anda
tidak dapat berlatih dengan baik, bukan? Maka berjuanglah dengan gigih sekarang.
YM Moggallāna menghiburnya,”Jangan khawatir, Uposathā. Sang
Tathāgata telah menyatakan bahwa engkau adalah pemenang arus dengan
pencapaian khusus. Engkau telah bebas dari penderitaan di alam-alam rendah.
Uposathā masih berada di Tāvatimsa, dan masih belum lama berada di sana
bila mempertimbangkan panjangnya usia di alam dewa. Satu abad di sini sama
dengan satu hari saja di sana. Dari jaman Sang Buddha sampai sekarang adalah
2500 tahun, yang artinya hanya dua puluh lima hari menurut kalender di
Tāvatimsa. Jadi ia bahkan belum berusia satu bulan. Jika anda telah mencapai
pandangan terang khusus sekarang, dalam empat puluh, lima puluh, atau enam
puluh tahun anda akan terlahir di alam dewa, bertemu dengan dewi ini, dan
membahas Dhamma dengannya. Jika anda belum memiliki pandangan terang,
jangan patah semangat. Paling sedikit anda akan terlahir di alam dewa. Kemudian
anda dapat bertanya kepada dewa-dewa Mulia, mendengarkan ajaran mereka, dan
berlatih apa yang mereka ajarkan. Tidak lama kemudian anda akan mencapai Jalan
Mulia dan Buah Mulia. Tubuh para dewa sangat halus. Kesadaran yang muncul
sehubungan dengan materi yang halus ini sangat tajam dan cepat. Jadi jika anda
ingat bagaimana anda bermeditasi di kehidupan manusia, anda akan dapat
memahami muncul dan lenyapnya mental dan jasmani, dan mencapai Jalan Mulia
dan Buah Mulia dalam waktu singkat.
“Ayat-ayat Dhamma muncul di hadapannya dalam kebahagiaannya di sana.
Munculnya ingatan, bhikkhu-bhikkhu, cukup lambat, tetapi kemudian ia dengan
cepat mencapai pandangan terang khusus.” (A.ii.185)
(81)

Seorang wanita suku Sākya bernama Gopika, yang sudah menjadi pemenang
arus (Sotāpanna), meninggal dan terlahir kembali menjadi Gopaka, putra dewa
Sakka, di Tāvatimsa. Di sana ia melihat tiga dewa penghibur (gandhabba) yang
datang untuk menari di istana ayahnya. Dalam perenungan, Gopaka melihat bahwa
ketiga dewa itu pernah menjadi bhikkhu yang ia puja di kehidupannya yang
sebelumnya, dan ia memberitahukan mereka hal tersebut. Dua dewa tersebut ingat
terhadap Dhamma yang telah mereka jalankan, segera bermeditasi, dengan segera
mencapai jhāna, menjadi ‘yang tidak kembali’ (Anāgāmi) dan naik ke alam
Brahmāpurohita.
Ada banyak dewa dan dewi seperti Uposathā yang sekarang tinggal di alam
dewa, yang telah berlatih Dhamma pada jaman Sang Buddha. Mereka adalah
dewa-dewa seperti Gopaka yang telah terlahir sebagai dewa setelah menjadi
wanita. Semua dari mereka pernah berlatih Dhamma persis seperti yang anda
lakukan sekarang. Hal ini sangat membesarkan hati. Inilah jalan kuno yang telah
ditempuh oleh Orang-orang Mulia. Anda sekarang sedang mengikuti jalan yang
sama. Setiap kali anda mencatat, anda sedang menapaki jalan ini. Ibarat seorang
wisatawan mendekati tempat tujuannya dengan setiap langkah, anda mendekati
nibbāna dengan setiap pencatatan.
Jika Jalan Mulia dan Buah Mulia akan tercapai dalam sepuluh ribu
pencatatan, dan jika anda sekarang telah melakukan seribu pencatatan, maka anda
hanya memerlukan sembilan ribu lagi untuk mencapainya. Jika anda telah
mencatat sembilan ribu kali, anda tinggal melakukan seribu lagi. Jika anda telah
memiliki sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan pencatatan, maka
satu pencatatan lagi akan menjadi proses Jalan Mulia. Semakin banyak anda
mencatat, semakin dekat jarak anda dari Jalan Mulia.
Semoga anda mampu mencatat lima kelompok pencengkeraman bilamana
mereka muncul pada enam pintu indera. Semoga anda menyadari sifat mereka
yang tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri. Semoga anda mengalami
kemajuan dalam pandangan terang (vipassanā), dan semoga anda merealisasi
nibbāna, akhir dari segala penderitaan.
Sadhū! Sadhū! Sadhū!