Burung Berkicau
oleh Anthony de Mello SJ 43. TELUR
Nasruddin mencari nafkah dengan menjual telur. Seseorang datang di warungnya dan berkata: 'Coba terka apa yang kugenggam ini?'
'Sebutkan ciri-cirinya!' kata Nasruddin.
'Baik! Bentuknya sama seperti telur, ukurannya sebesar telur. Kelihatannya seperti telur, rasanya seperti telur dan baunya seperti telur. Isinya berwarna kuning dan putih, cair sebelum direbus dan menjadi kental bila dimasak. Dan asalnya dari ayam betina ...'
'Nah, aku tahu!' kata Nasruddin. 'Pasti semacam kue!'
Seorang ahli mempunyai keistimewaan ini: tidak menyadari yang sudah jelas. Imam Agung punya keistimewaan: tidak menyadari kedatangan Mesias.
44. BERSERU SUPAYA TETAP SELAMAT - DAN YAKIN.
Pada suatu hari seorang nabi tiba di sebuah kota untuk menobatkan para penduduknya. Mula-mula orang kota mendengarkan khotbah-khotbahnya, tetapi lama-kelamaan mereka tidak datang lagi, sampai tidak ada segelintir orang pun yang mendengarkan kata-kata sang nabi.
Pada suatu hari seorang musafir bertanya kepada nabi: 'Mengapa Anda masih saja terus berkhotbah? Apakah Anda tidak tahu, bahwa tugas Anda itu sia-sia saja?'
Jawab sang nabi: 'Pada mulanya aku berharap dapat mengubah mereka. Kini aku masih terus berseru, agar supaya mereka jangan mengubah aku!'
46. JIMAT
Manusia merasa kesepian dan putus asa hidup di alam semesta yang luas ini. Maka ia selalu dicekam ketakutan.
Agama yang baik menghilangkan ketakutan. Agama yang jelek justru menambahnya.
Seorang ibu kurang berhasil membujuk puteranya yang masih kecil supaya pulang dari bermain sebelum petang hari. Maka ia menakut-nakutinya. Dikatakan kepadanya, bahwa jalan pulang ke rumah penuh dengan setan, yang berkeliaran segera sesudah matahari terbenam. Sekarang ibu itu tak bersusahpayah lagi. Setiap sore anaknya pulang pada waktunya.
Namun waktu si anak bertambah dewasa, ia jadi takut pada kegelapan dan setan, sehingga ia tidak berani keluar rumah di waktu malam. Maka ibunya memberinya sebuah kalung jimat dan meyakinkannya, bahwa selama ia memakai kalung itu, setan-setan tidak akan berani mengganggunya.
Nah, sekarang ia berani keluar di waktu gelap, sambil memegang erat-erat jimat itu.
Agama yang jelek memperkuat kepercayaannya akan jimat. Agama yang baik membuka matanya untuk melihat, bahwa setan-setan tidak ada.
47. NASRUDDIN DI TIONGKOK
Mullah Nasruddin pergi ke Tiongkok. Di sana ia mengumpulkan sekelompok murid, yang disiapkannya untuk menerima penerangan budi. Segera setelah mendapatkan penerangan, para murid itu berhenti mengikuti pelajarannya.
Bukanlah penghargaan bagi seorang pembimbing rohani, bahwa para murid selamanya duduk bersimpuh di depan kakinya.
48. KUCING SANG GURU
Setiap kali guru siap untuk melakukan ibadat malam, kucing asrama mengeong-ngeong, sehingga mengganggu orang yang sedang berdoa. Maka ia menyuruh supaya kucing itu diikat selama ibadat malam.
Lama sesudah guru meninggal, kucing itu masih tetap diikat selama ibadat malam. Dan setelah kucing itu mati, dibawalah kucing baru ke asrama, untuk dapat diikat sebagaimana biasa terjadi selama ibadat malam.
Berabad-abad kemudian kitab-kitab tafsir penuh dengan tulisan ilmiah murid-murid sang guru, mengenai peranan penting seekor kucing dalam ibadat yang diatur sebagaimana mestinya.
49. PAKAIAN LITURGI
Oktober, 1917: Pecahlah Revolusi Rusia. Sejarah manusia mendapatkan dimensi baru.
Dikisahkan, bahwa tepat pada bulan itu Gereja Ortodoks Rusia mengadakan sidang sinode[2]. Berlangsunglah suatu perdebatan sengit mengenai warna pakaian yang harus digunakan dalam upacara-upacara ibadat. Ada yang dengan suara keras menandaskan, bahwa seharusmya berwarna putih. Yang lain, dengan suara tidak kalah kerasnya, mengatakan bahwa harus berwarna ungu .
Berusaha mengerti masalah-masalah revolusi jauh lebih sukar daripada menyiapkan upacara ibadat yang indah. Aku lebih suka berdoa daripada terlibat dalam pertengkaran dengan tetangga.
--------
[2] Sinode (Yunani): pertemuan para uskup wilayah gerejani
50. BUNGA TAPAL-KUDA
Seseorang yang bangga akan halaman rumahnya yang berumput indah, menjadi kecewa melihat tumbuh suburnya bunga-bunga tapal-kuda. Semua usaha sudah dicobanya untuk membasmi bunga-bunga itu, namun mereka tetap saja merajalela.
Akhirnya ia menulis surat kepada Departemen Pertanian. Satu persatu ia menyebutkan semua usaha yang telah dicobanya dan mengakhiri suratnya dengan pertanyaan: 'Apa yang semestinya kulakukan sekarang?'
Tidak lama kemudian datanglah surat balasan: 'Kami menganjurkan supaya Anda berusaha menyenangi bunga tapal-kuda.'
Aku juga punya halaman rumput yang kubanggakan; dan pikiranku juga diganggu oleh bunga tapal-kuda, maka aku berusaha keras untuk memberantasnya. Oleh karena itu, berusaha menyukainya sungguh tidak mudah.
Aku berusaha berbicara dengan mereka setiap hari. Dengan akrab. Dengan ramah. Namun mereka diam seribu bahasa. Mereka masih menyimpan dendam atas peperangan yang pernah kulancarkan melawan mereka. Rupanya mereka juga masih sedikit curiga akan alasan-alasan yang kukemukakan.
Tetapi tidak lama kemudian mereka tersenyum kembali. Tidak bersitegang lagi. Malahan menanggapi kata-kataku. Segera saja kami menjadi sahabat baik.
Memang, halaman-berumputku jelek nampaknya. Tetapi tamanku segera menjadi sangat indah berseri!
---o000o---
Perlahan-lahan ia menjadi buta. Dan ia memerangi kebutaan itu dengan segala cara. Ketika segala macam obat sudah tidak bisa lagi mencegahnya, ia melawan dengan seluruh luapan emosinya. Aku membutuhkan keberanian untuk berkata kepadanya: 'Kuanjurkan, engkau belajar mencintai kebutaanmu!'
Mulailah suatu perjuangan. Semula ia tidak sudi menanggapi usulku; bahkan dengan sepatah kata pun. Dan jika ia memaksa diri berbicara dengan kebutaannya, kata-katanya penuh dengan kemarahan dan kepahitan. Tetapi ia terus berbicara dan lambat laun kata-katanya semakin bernada menyerah, sabar dan menerima ... Dan akhirnya, pada suatu hari ia sendiri tidak menduganya - kata-katanya berubah menjadi hangat, manis, akrab ... dan kata-kata cinta. Lalu tibalah waktunya, ketika ia dapat merangkul kebutaannya dan berkata 'Aku cinta padamu.' Hari itulah aku melihat dia tersenyum lagi. Oh, betapa manisnya!
Penglihatannya, tentu saja, hilang untuk selamanya. Tetapi betapa berserinya wajah itu sekarang. Jauh lebih ceria daripada sebelumnya. Kebutaan datang berbagi hidup dengannya.
51. JANGAN BERUBAH
Aku sudah lama mudah naik darah. Aku serba kuatir, mudah tersinggung dan egois sekali. Setiap orang mengatakan bahwa aku harus berubah. Dan setiap orang terus-menerus menekankan, betapa mudah aku menjadi marah.
Aku sakit hati terhadap mereka, biarpun sebetulnya aku menyetujui nasehat mereka. Aku memang ingin berubah, tetapi aku tidak berdaya untuk berubah, betapapun aku telah berusaha.
Aku merasa paling tersinggung ketika sahabat karibku juga mengatakan, bahwa aku mudah naik pitam. Ia juga terus-menerus mendesak supaya aku berubah. Aku mengakui bahwa ia benar, meskipun aku tidak bisa membencinya. Aku merasa sama sekali tak berdaya dan terpasung.
Namun pada suatu hari ia berkata kepadaku: 'Jangan berubah! Tetaplah seperti itu saja. Sungguh, tidak jadi soal, apakah engkau berubah atau tidak. Aku mencintaimu sebagaimana kau ada. Aku tidak bisa tidak mencintaimu.'
Kata-kata itu berbunyi merdu dalam telingaku: 'Jangan berubah. Jangan berubah. Jangan berubah ... Aku mencintaimu.'
Dan aku menjadi tenang. Aku mulai bergairah. Dan, oh, sungguh mengherankan, aku berubah!
Sekarang aku tahu, bahwa aku tidak dapat benar-benar berubah, sebelum aku menemukan orang yang tetap akan mencintaiku, entah aku berubah atau tidak.
Engkau mencintaiku seperti itu, Tuhan?
52. SAHABATKU
Malik bin Dinar, sangat marah karena seorang pemuda yang hidup di sebelah rumahnya bertindak kurang ajar. Lama ia tidak berbuat apa-apa. Ia berharap, orang lain akan turun tangan. Tetapi setelah perilaku pemuda itu menjadi sungguh keterlaluan, maka Malik menegurnya, agar ia mengubah kelakuannya.
Pemuda itu dengan tenang memberitahu Malik, bahwa ia dilindungi oleh Sultan dan tidak seorang pun dapat menghalangi apa pun yang dikehendakinya.
Malik berkata: 'Aku sendiri akan mengadu kepada Sri Sultan.' Pemuda itu menanggapi: 'Samasekali tidak ada gunanya. Sebab, Sri Sultan tidak pernah berubah pandangan mengenai diriku.'
'Kalau begitu, engkau akan kulaporkan kepada Pencipta di surga!, kata Malik. 'Pencipta di surga?' tukas pemuda itu. 'Ia Maharahim sehingga tidak akan mempersalahkan aku!'
Malik tidak dapat berbuat apa-apa. Maka ditinggalkannya pemuda itu. Tetapi beberapa waktu kemudian nama si pemuda menjadi begitu jelek, hingga orang banyak pun menentangnya. Malik merasa wajib untuk mencoba memperingatkannya lagi. Ketika ia berjalan menuju rumah pemuda tersebut ia mendengar Suara dalam batinnya: 'Awas! Jangan menyentuh sahabatku. Ia ada di bawah perlindunganKu.' Malik menjadi bingung. Waktu bertemu muka dengan pemuda itu, ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Pemuda itu bertanya: 'Mengapa engkau datang?' Jawab Malik: 'Aku datang untuk menegurmu, tetapi di tengah jalan kudengar Suara yang melarangku untuk menyinggungmu, karena engkau berada di bawah perlindunganNya.'
Wajah pemuda bergajulan itu berubah: 'Benarkah Ia menyebut aku sahabatNya?' tanyanya. Tetapi pada saat itu Malik sudah meninggalkan rumahnya. Bertahun-tahun kemudian Malik berjumpa dengannya di Mekah. Ia begitu tersentuh oleh perkataan Suara itu, sehingga ia membagi-bagikan seluruh harta bendanya dan menjadi pengemis pengembara. 'Aku datang kemari untuk mencari Sahabatku,' katanya kepada Malik. Lalu ia meninggal.
Tuhan, sahabat orang berdosa? Pernyataan ini amat berbahaya, tetapi sekaligus berkekuatan luar biasa. Aku pernah mencobanya pada diriku sendiri, ketika aku berkata: 'Tuhan Maharahim sehingga tidak akan mempersalahkan aku.' Dan tiba-tiba aku mendengar Kabar Gembira, --pertama kali dalam hidupku.
53 PEMUDA ARAB YANG SEDERHANA
Guru Arab Jalalud-Din Rumi senang sekali menceritakan kisah berikut ini:
Pada suatu hari Nabi Muhammad sedang bersembahyang subuh di mesjid. Di antara orang-orang yang ikut berdoa dengan Nabi adalah seorang pemuda Arab.
Nabi mulai membaca Qur'an dan mendaras ayat yang menyatakan perkataan Firaun: 'Aku ini dewa yang benar.' Mendengar perkataan itu pemuda yang baik itu tiba-tiba menjadi marah. Ia memecah keheningan dengan berteriak: 'Pembual busuk, bangsat dia!'
Nabi berdiam diri. Tetapi seusai sembahyang, orang-orang lain mencela orang Arab itu dengan gusar: 'Apakah engkau tidak tahu malu? Niscaya doamu tidak berkenan kepada Tuhan. Sebab, engkau tidak hanya merusak kekhusukan suasana doa, tetapi juga mengucapkan kata-kata kotor di hadapan Rasul Allah.'
Wajah pemuda yang malang itu menjadi merah padam dan ia gemetar ketakutan, sampai-sampai Malaikat Jibrail menampakkan diri pada Nabi dan bersabda: 'Assalamuallaikum! Allah berfirman agar engkau menyuruh orang banyak berhenti mencaci-maki pemuda yang sederhana ini. Sungguh, sumpah serapahnya yang jujur berkenan di hatiKu, melebihi doa orang-orang saleh.'
Bila kita berdoa, Tuhan melihat ke dalam hati kita dan bukan pada rumusan kata-kata.
54. KAMI BERTIGA, KAMU BERTIGA.
Ketika kapal seorang Uskup berlabuh untuk satu hari di sebuah pulau yang terpencil, ia bermaksud menggunakan hari itu sebaik-baiknya. Ia berjalan-jalan menyusur pantai dan menjumpai tiga orang nelayan sedang memperbaiki pukat. Dalam bahasa Inggeris pasaran mereka menerangkan, bahwa berabad-abad sebelumnya mereka telah dibaptis oleh para misionaris. 'Kami orang Kristen,' kata mereka sambil dengan bangga menunjuk dada.
Uskup amat terkesan. Apakah mereka tahu doa Bapa Kami? Ternyata mereka belum pernah mendengarnya. Uskup terkejut sekali. Bagaimana orang-orang ini dapat menyebut diri mereka Kristen, kalau mereka tidak mengenal sesuatu yang begitu dasariah seperti doa Bapa Kami?
'Lantas, apa yang kamu ucapkan bila berdoa?'
'Kami memandang ke langit. Kami berdoa: 'Kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami.' Uskup heran akan doa mereka yang primitif dan jelas bersifat bid'ah ini. Maka sepanjang hari ia mengajar mereka berdoa Bapa Kami. Nelayan-nelayan itu sulit sekali menghafal, tetapi mereka berusaha sebisa-bisanya. Sebelum berangkat lagi pada pagi hari berikutnya, Uskup merasa puas. Sebab, mereka dapat mengucapkan doa Bapa Kami dengan lengkap tanpa satu kesalahan pun.
Beberapa bulan kemudian kapal Uskup kebetulan melewati kepulauan itu lagi. Uskup mondar-mandir di geladak sambil berdoa malam. Dengan rasa senang ia mengenang, bahwa di salah satu pulau yang terpencil itu ada tiga orang yang mampu berdoa Bapa Kami dengan lengkap berkat usahanya yang penuh kesabaran. Sedang ia termenung, secara kebetulan ia, melihat seberkas cahaya di arah Timur. Cahaya itu bergerak mendekati kapal. Sambil memandang keheran-heranan, Uskup melihat tiga sosok tubuh manusia berjalan di atas air, menuju ke kapal. Kapten kapal menghentikan kapalnya dan semua pelaut berjejal-jejal di pinggir geladak untuk melihat pemandangan ajaib ini.
Ketika mereka sudah dekat, barulah Uskup mengenali tiga sahabatnya, para nelayan dulu. 'Bapak Uskup', seru mereka, 'Kami sangat senang bertemu dengan Bapak lagi. Kami dengar kapal Bapak melewati pulau kami, maka cepat-cepat kami datang.'
'Apa yang kamu inginkan?' tanya Uskup tercengang-cengang.
'Bapak Uskup,' jawab mereka, 'kami sungguh-sungguh amat menyesal. Kami lupa akan doa yang bagus itu. Kami berkata: Bapa kami Yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu; datanglah kerajaanMu ... lantas kami lupa. Ajarilah kami sekali lagi seluruh doa itu!'
Uskup merasa rendah diri: 'Sudahlah, pulang saja, saudara-saudaraku yang baik, dan setiap kali kamu berdoa, katakanlah saja: Kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami.'
Aku kadang-kadang melihat wanita-wanita tua berdoa rosario tak habis-habisnya di gereja. Bagaimana mungkin Tuhan dimuliakan dengan suara bergumam yang tidak keruan itu? Tetapi setiap kali aku melihat mata mereka atau memandang wajah mereka menengadah, di dalam hati aku tahu, bahwa mereka lebih dekat dengan Tuhan daripada banyak orang terpelajar.
(cerita serupa dari tradisi Kaum Asaaseen)
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar