Doa Sang Katak
BERHATI-HATILAH
Imam mengumumkan, bahwa Yesus Kristus sendiri akan datang di
Gereja Minggu berikutnya. Umat datang berbondong-bondong
untuk melihat Dia. Setiap orang mengharapkan Ia akan
berkhotbah, tetapi Ia hanya tersenyum, ketika diperkenalkan
dan berkata: "Selamat." Setiap orang mau menerima-Nya untuk
bermalam, khususnya imam, tetapi Ia menolak dengan sopan. Ia
berkata, Ia semalam mau tinggal di gereja. Memang wajar,
pikir mereka semua.
Ia menghilang esok harinya, sebelum pintu gereja dibuka.
Dan, ngeri rasanya, imam dan umat menemukan gereja
porak-poranda. Tertulis di mana-mana pada dinding satu kata
WASPADA. Tak ada bagian gereja yang terlewatkan, pintu dan
jendela, pilar dan mimbar, altar. Bahkan pada Kitab Suci di
atas standar: WASPADA. Coret-coret dengan huruf besar dan
kecil, dengan pensil dan pena dan cat dalam berbagai warna.
Ke mana mata memandang, orang bisa membaca. "WASPADA,"
waspada. Waspada, WASPADA, waspada, waspada.
Menjengkelkan. Buat marah. Mengacau. Menggelitik.
Menakutkan. Mereka diandaikan harus waspada apa? Itu tidak
dikata. Hanya dikatakan, WASPADA. Dorongan pertama umat mau
menghapus tiap bekas pengotoran ini, ini penghojatan. Mereka
tertahan berbuat begitu, hanya karena pemikiran, bahwa Yesus
sendiri yang melakukan perbuatan itu.
Kini kata misterius WASPADA mulai meresap dalam pemikiran
umat, setiap kali mereka masuk gereja. Mereka mulai waspada
terhadap Kitab Suci, hingga mereka bisa mengambil manfaat
dari Kitab, tanpa jadi fanatik. Mereka jadi waspada terhadap
sakramen, jadi mereka disucikan tanpa jatuh dalam
kesia-siaan. Imam mulai waspada terhadap kekuasaannya atas
umat, maka ia bisa menolong tanpa menguasai. Dan setiap
orang jadi waspada terhadap agama, yang membuat orang tanpa
sadar menjadi munafik. Mereka jadi waspada terhadap Hukum
Gereja, lalu jadi patuh pada hukum, tetapi berbelaskasih
terhadap si lemah. Mereka mulai waspada terhadap doa, hingga
mereka berhenti mengandalkan diri sendiri. Mereka bahkan
waspada terhadap pengertian mereka tentang Allah, maka
mereka mengenali-Nya juga di luar batas-batas kesempitan
Gereja sendiri.
Sekarang mereka malah menuliskan kata haram itu pada pintu
masuk gereja dan kalau anda lewat di waktu malam. Anda
melihatnya gemerlapan di atas gereja dalam terang lampu neon
berwarna-warni.
KEHENDAK RAMA
Di suatu desa di India, hiduplah seorang penenun yang sangat
saleh. Sepanjang hari ia mengucapkan nama Allah, dan secara
diam-diam orang percaya kepadanya. Setiap kali hasil
tenunannya sudah cukup banyak, ia pergi ke pasar untuk
menjualnya. Kalau di pasar ia ditanya mengenai harga
sehelai kain, ia menjawabnya begini: "Atas kehendak Rama,
harga benang 35 sen; ongkos kerja 10 sen; keuntungan, atas
kehendak Rama, 4 sen. Jadi atas kehendak Rama, harga kain 49
sen." Orang begitu percaya kepadanya, sehingga mereka tidak
pernah tawar-menawar dengannya. Mereka membayar saja harga
yang dimintanya dan mengambil barangnya.
Penenun itu mempunyai kebiasaan, kalau malam pergi ke kuil
desa, untuk mengidungkan pujian bagi Allah dan memuliakan
nama-Nya. Pada suatu malam, ketika ia sedang mengidungkan
pujian, segerombolan perampok masuk. Mereka membutuhkan
seseorang untuk membawakan barang-barang hasil curian
mereka, maka mereka berkata, "Mari, ikut kami." Tanpa
melawan penenun itu mengikuti mereka sambil membawa
barang-barang di atas kepalanya. Namun segera saja polisi
mengejar mereka, dan para perampok itu pun lari. Penenun itu
juga lari, akan tetapi karena ia sudah tua, dalam waktu
singkat polisi menyusulnya dan karena mereka menemukan
barang-barang rampokan padanya, mereka menangkapnya dan
memasukkannya ke dalam penjara.
Pagi berikutnya, ia dihadapkan kepada hakim dan didakwa
merampok. Ketika hakim menanyakan kepadanya apa yang Akan ia
katakan, ia menjawab, "Yang Mulia, atas kehendak Rama, tadi
malam saya selesai makan malam, atas kehendak Rama, saya
pergi ke kuil, untuk menyanyikan pujian baginya. ketika itu,
atas kehendak Rama, segerombolan perampok masuk dan, atas
kehendak Rama, meminta saya untuk membawakan barang-barang
mereka. Mereka menumpangkan beban yang begitu berat di atas
kepala saya, sehingga ketika polisi mengejar, atas kehendak
Rama dengan mudah saya ditangkap. Lalu, atas kehendak Rama,
saya ditahan dan dimasukkan ke dalam penjara. Dan pagi ini,
saya berdiri di hadapan Yang Mulia, atas kehendak Rama."
Hakim berkata kepada polisi, "Biarkanlah orang ini pergi.
Jelas ia tidak waras."
Sesampai di rumah, ketika ditanya mengenai apa yang telah
terjadi, penenun saleh itu berkata, "Atas kehendak Rama,
saya ditahan dan diadili di pengadilan. Dan atas kehendak
Rama, saya dibebaskan."
TIGA PULUH TAHUN UNTUK PENERANGAN BATIN
Seorang muda datang kepada seorang Guru dan bertanya,
"Kira-kira saya membutuhkan berapa waktu untuk memperoleh
penerangan batin?"
Kata Guru itu, "Sepuluh tahun."
Orang muda itu terkejut. "Begitu lama?" tanyanya tidak
percaya.
Kata Guru itu, "Tidak, saya keliru. Engkau membutuhkan dua
puluh tahun."
Orang muda itu bertanya, "Mengapa Guru lipatkan dua?"
Guru itu berkata, "Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin
engkau membutuhkan tiga puluh tahun."
Beberapa orang tidak pernah belajar sesuatu karena mereka
menggenggam segala sesuatu terlalu cepat. Kebijaksanaan
bukanlah suatu titik sampai akan tetapi suatu cara berjalan.
Kalau engkau berjalan terlalu cepat, engkau tidak akan
melihat pemandangan yang indah.
Dengan tepat mengerti ke mana engkau menuju mungkin adalah
cara yang paling tepat untuk tersesat. Tidak semua orang
bergelandangan tersesat.
DUA MACAM HARI SABAT
Di antara orang Yahudi penyucian hari Sabat, hari Tuhan, itu
pada mulanya suatu kegembiraan, tetapi terlalu banyak rabbi
terus memasukkan tambahan satu demi satu, bagaimana itu
harus dilakukan secara tepat, tindakan apa yang diizinkan,
hingga sementara orang merasa hampir tidak bisa bergerak
sepanjang Sabat, kalau salah satu peraturan mungkin bisa
dilanggar.
Baal Shem, putra Eliezer, banyak memikirkan hal ini. Pada
suatu malam ia bermimpi. Seorang malaikat membawa dia ke
surga dan menunjukkan dua takhta ditempatkan tinggi
mengatasi lainnya.
"Bagi siapa itu diperuntukkan?" ia bertanya.
"Untuk engkau," jawabnya, "jika engkau menggunakan
akal-budimu, dan untuk orang, yang nama serta alamatnya
sedang ditulis dan akan diberikan kepadamu."
Lalu ia dibawa ke tempat paling dalam di neraka dan
ditunjukkan dua tempat kosong. "Ini disiapkan untuk siapa?"
ia bertanya.
"Untuk engkau," jawabnya, "jika engkau tidak menggunakan
akal-budimu: dan untuk orang, yang nama dan alamatnya sedang
ditulis untuk engkau."
Di dalam mimpi Baal Shem mengunjungi orang, yang akan
menjadi temannya di firdaus. Ia menemukan dia bermukim di
tengah orang kafir, tak tahu menahu tentang adat Yahudi, dan
pada hari Sabat, ia mengadakan perjamuan dengan banyak acara
gembira, dan di situ semua tetangga kafir diundang. Dan
ketika Baal Shem bertanya, mengapa ia mengadakan perjamuan
itu, ia dijawab: "Aku ingat, bahwa waktu kecil aku diajar
orangtuaku, bahwa hari Sabat itu untuk mengaso dan
bergembira, maka pada hari Sabtu ibuku itu menghidangkan
makanan paling mewah: di situ kami bernyanyi, menari dan
bergembira. Aku berbuat yang sama pada hari ini."
Baal Shem mencoba mengajar orang itu tentang cara menghayati
agamanya, sebab ia lahir Yahudi, tetapi ternyata sama sekali
tidak tahu tentang peraturan para rabbi. Tetapi ia terdiam
kelu, ketika menyadari, bahwa kegembiraan orang tadi pada
hari Sabat akan terganggu, jika ia disadarkan akan
kekurangannya.
Baal Shem, masih dalam mimpinya, lalu pergi ke rumah
temannya di neraka. Ia menemukan orang itu sebagai penganut
Hukum ketat, selalu waspada, jangan ada tindakannya yang
tidak tertib. Orang celaka itu setiap hari Sabat hidup
kalut, seakan-akan ia duduk atas api membara. Ketika Baal
Shem mau memperingatkan dia akan perbudakan Hukum,
kemampuannya untuk berbicara hilang, karena ia sadar, bahwa
orang itu tidak akan mengerti, bahwa ia bisa berbuat salah
dengan menepati peraturan agama.
Berkat pewahyuan yang diberikan kepadanya lewat mimpi, Baal
Shem Tor mengembangkan cara baru untuk kebaktian, di mana
Tuhan disembah dengan gembira, yang datang dari hati.
Jika orang bersukacita ia selalu baik, tetapi bila mereka
baik, mereka jarang bersukacita.
ENGKAU ITU SIAPA?
Wanita dalam sakratulmaut menghadapi ajalnya. Ia tiba-tiba
merasa, bahwa ia dibawa ke surga dan berdiri di muka Takhta
Pengadilan.
"Siapa engkau itu?" kata suara kepadanya. "Aku ini istri
lurah," jawabnya. "Aku tidak bertanya kepadamu, engkau istri
siapa, tetapi engkau itu siapa?" "Aku ini ibu empat orang
anak." "Aku tidak bertanya, engkau ibunya siapa, tetapi
siapa engkau itu?" "Aku ini guru di sekolah." "Aku tidak
menanyakan pekerjaanmu, tetapi siapa engkau itu."
Dan demikianlah seterusnya. Tidak peduli apa yang menjadi
jawabannya, rupanya itu bukan jawaban yang memuaskan
terhadap pertanyaan: "Engkau itu siapa?"
"Aku ini seorang Kristen." "Aku tidak menanyakan agamamu,
tetapi engkau itu siapa." "Aku ini seseorang, yang tiap hari
pergi ke gereja dan selalu membantu orang miskin dan orang
dalam kesulitan." "Aku tidak menanyakan perbuatanmu, tetapi
siapa engkau itu."
Ia jelas gagal dalam ujian, oleh karena itu ia dikirim
kembali ke dunia. Ketika sembuh dari sakitnya ia berniat
menemukan siapa dia. Dan itulah yang membuat segalanya
berbeda sama sekali.
Tugasmu itu berada. Tidak menjadi seseorang atau bukan
apa-apa - sebab disitu ada keserakahan dan ambisi - tidak
menjadi ini dan itu; - dengan demikian menjadi bersyarat -
tetapi hanya ada saja.
HADIAH UNTUK IBU YANG MENGELUH
Ketika seorang gadis kecil berumur delapan tahunan mengambil
uang sakunya untuk membelikan ibunya hadiah, ibunya sangat
berterimakasih dan bahagia, karena ibu dan ibu rumah tangga
pada umumnya banyak bekerja, tetapi sedikit penghargaan.
Gadis kecil itu nampaknya telah memahami hal ini karena ia
berkata, "Itu karena ibu bekerja keras, dan tak seorang pun
menghargainya."
Wanita itu berkata, "Bapakmu bekerja keras juga."
Kata gadis kecil, "Ya, tapi ia tidak peduli akan hal itu."
"HATIKU TELAH MENCAPAI GUNUNG TERLEBIH DAHULU"
Seorang pengembara tua sedang dalam perjalanan menuju
pegunungan Himalaya pada musim dingin yang menggigit saat
mulai hujan.
Seorang pengurus rumah penginapan berkata kepadanya.
"Bagaimana engkau dapat sampai di sana dalam cuaca seperti
ini, saudaraku?"
Pengembara tua itu menjawab dengan gembira: "Hatiku sudah
lebih dulu sampai di sana, sehingga mudah bagi saya yang
tersisa ini kemudian mengikutinya."
JANGAN SAMPAI KUDAPATI ENGKAU SEDANG BERDOA
Gereja atau Sinagoga itu harus mengumpulkan dana untuk bisa
berjalan. Nah, ada sebuah sinagoga Yahudi di mana orang
tidak mengedarkan peti dana seperti di gereja-gereja
Kristen. Cara mereka mencari dana dengan menjual karcis
tempat pada hari Pesta-pesta besar, sebab di situ jemaat
yang datang banyak dan orang bersikap murah hati.
Pada hari seperti itu anak kecil datang ke Sinagoga untuk
mencari ayahnya, tetapi petugas tidak mengizinkannya masuk,
karena ia tidak punya karcis.
"Tetapi," kata si anak, "ini perkara penting sekali."
"Semua berkata begitu," jawab petugas, tak tergerakkan.
Anak jadi putus-asa dan mulai mendesah: "Maaf tuan, biar aku
masuk. Ini soal hidup atau mati. Hanya satu menit saja."
Petugas melunak! "Yah, sudah, kalau penting sekali,"
katanya. "Tetapi awas, kalau kutemukan engkau berdoa."
Agama teratur tertib, sayangnya punya banyak kelemahan juga.
KABAR ANGIN MENCIPTAKAN KELAPARAN
Pada musim panas 1946 desas-desus tentang kelaparan melanda
sebuah provinsi di negara Amerika Latin. Pada hal tanaman
tumbuh dengan baik, dan cuaca pun sempurna, menunggu panen
raya. Tetapi karena daya sas-sus itu 20.000 petani gurem
meninggalkan sawah-ladangnya dan lari ke kota-kota. Karena
perbuatan mereka panen gagal, ribuan orang meninggal dan
isyu kelaparan terbukti nyata.
(DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ,
Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar