Kamma Atau Hukum Sebab Akibat |
oleh: Ven. Nârada Mahâthera |
Sumber Asli: Karya Tulis Ven.Nârada Mahâthera berjudul BUDDHISM IN A NUTSHELL |
Dunia telah membuktikan kenyataan yang telah kita lihat ketidak-seimbangan itu. Kita menyaksikan perbedaan-perbedaan berbagai macam jalan kehidupan serta tingkah Iaku makhluk-makhluk yang hidup di alam semesta. Kita dapat melihat seseorang dilahirkan dalam keadaan berlebihan, dikaruniai dengan pikiran, kepribadian dan tubuh yang sempurna; sedangkan orang lain dilahirkan dalam keadaan sengsara dan menyedihkan. Bisa terjadi orang yang bajik dan saleh selalu bernasib buruk. la tetap miskin dan sengsara meskipun ia selalu berlaku jujur dan bajik. Sebaliknya, ada orang lain yang berwatak jahat, kejam dan korup, tetapi selalu mujur, dikaruniai dengan segala bentuk kesenangan.
Timbul berbagai pertanyaan dalam diri kita, mengapa seseorang mempunyai kedudukan rendah, sedang orang lain mempunyai kedudukan mulia? Mengapa seseorang harus direnggut dari tangan ibu yang penuh kasih sayang sewaktu ia masih kanak-kanak, sedangkan orang lain meninggal dalam usia remaja atau pada usia delapan puluh atau seratus tahun? Mengapa seseorang memiliki fisik lemah dan berpenyakitan, sedang orang lain memiliki tubuh yang kuat dan sehat? Mengapa seseorang berwajah tampan, dan orang lain berwajah buruk, menakutkan, sehingga orang lain ngeri dan takut melihatnya? Mengapa seseorang dibesarkan dalam kemewahan, sedang orang lain dibesarkan dalam kemiskinan dan kesengsaraan? Mengapa seseorang terlahir sebagai jutawan, sedang orang lain terlahir sebagai pengemis? Mengapa seseorang memiliki kecerdasan luar biasa, sedang orang lain begitu tolol? Mengapa seseorang terlahir dengan sifat saleh, sedangkan orang lain terlahir dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal? Mengapa ada orang yang berbakat sebagai ahli bahasa, artis, ahli matematika atau ahli musik sejak lahir? Mengapa ada orang yang buta, tuli dan cacat sejak lahirnya, Mengapa? Inilah beberapa pertanyaan yang membingungkan orang-orang. Bagaimana kita harus menerangkai "ketidak-adilan" dunia, perbedaan-perbedaan di antara umat manusia ini? Apakah semua fenomena îtu tefjadi secara kebetulan?
Dalam dunia ini tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Menyatakan bahwa sesuatu terjadi secara kebetulan adalah sama salahnya dengan menyatakan buku ini ada dengan sendirinya tanpa ada faktor-faktor lain sebelumnya. Sesungguhnya, tak ada sesuatu yang terjadi pada manusia tanpa alasan dan yang tidak dikehendaki.
Apakah hal-hal ini disebabkan oleh sesuatu makhluk yang tak bertanggung jawab?
Huxley menulis: "Apakah kita berpendapat bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengatur keadaan alam semesta yang menakjubkan ini, maka dalam pengertianku ia tidak dapat disebut murah hati dan adil, melainkan kejam dan tidak adil".
Menurut Einstein: "Bila makhluk adikodrati ini maha kuasa, maka setiap kejadian, termasuk setiap perbuatan, pikiran, perasaan dan aspirasi manusia juga merupakan karyanya; lalu bagaimana manusia harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan dan pemikiran-pemikiran mereka di hadapan makhluk maha kuasa seperti itu? Sewaktu memberi hukuman dan anugrah, ia sedikit banyak juga harus mengadili dirinya sendiri. Lalu bagaimana hal ini dapat dikaitkan dengan kebajikan dan keadilan yang dianggap berasal dari dirinya?"
"Menurut asas-asas theologie, manusia diciptakan bukan atas dasar keinginannya sendiri, dan untuk selamanya ia mulia atau celaka. Dengan begitu, sejak awal dalam proses penciptaan fisiknya sampai saat kematiannya, manusia itu dapat baik atau jahat, beruntung atau celaka, mulia atau hina, tanpa menghiraukan akan keinginan-keinginan, harapan-harapan, cita-cita, usaha-usaha ataupun doa sujudnya. Inilah fatalisme theologi". (Spencer Lewis)
Sebagaimana Charles Bradlaugh mengatakan: "Adanya keburukan merupakan suatu penghalang yang menakutkan bagi ajaran theis. Penderitaan, kesengsaraan, kejahatan, kemiskinan bertolak belakang dengan penganjur kebaikan abadi dan berlawanan dengan pernyataannya akan kemampuan dirinya sebagai dewa serba baik, serba bijaksana, dan serba kuasa".
Menurut Schopenbauer: "Barangsiapa menganggap dirinya berasal dari ketiadaan, maka ia juga harus berpikir bahwa ia akan kembali ke ketiadaan itu lagi; Suatu kekekalan telah lewat sebelum ia ada dan kekekalan kedua telah dimulai, yang melaluinya ia tidak akan pernah berakhir adalah suatu pemikiran yang menakutkan".
"Bila kelahiran adalah permulaan yang mutlak, maka kematian seharusnya akhir yang mutlak pula. Anggapan bahwa manusia berasal dari ketiadaan pasti akan membawa pada anggapan bahwa kematian adalah akhir yang mutlak".
Memberikan komentar terhadap penderitaan manusia dan dewa pencipta, Prof.J.B.S. Haldane menulis: "Kalau bukan penderitaan yang diperlukan untuk menyempurnakan sifat manusia, tentu dewa pencipta itu tidak maha kuasa. Teori yang pertama tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, sebagian orang yang hanya sedikit sekali menderita namun beruntung dalam keturunan dan pendidikan terbukti mempunyai sifat yang baik. Keberatan terhadap teori yang kedua adalah bahwa hal itu hanya berkenaan dengan alam semesta secara keseluruhan dan bahwasanya terdapat suatu kekosongan intelektual yang harus diisi dengan mendalilkan seorang dewa. Dan barangkali seorang pencipta dapat menciptakan apa saja yang dia inginkan".
Lord Russell menyatakan: "Sebagaimapa diceritakan kepada kita, dunia diciptakan oleh seorang dewa yang baik dan maha kuasa. Sebelum dia menciptakan dunia, ia telah melihat seluruh penderitaan dan kesengsaraan yang akan terjadi di dalamnya. Karenanya, ia bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Adalah suatu hal yang sia-sia memperdebatkan bahwa penderitaan dalam dunia disebabkan oleh dosa. Bila dewa pencipta itu telah mengetahui sebelumnya akan dosa yang bakal dilakukan umat manusia, maka jelas ia bertanggung jawab akan akibat-akibat dosa itu.
Mungkinkah segala perbedaan yang ada pada manusia ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan? Kita harus mengakui bahwa semua fenomena fisik-kimiawi yang diungkapkan oleh para ilmuwan, sebagian adalah sebagai faktor pembantu, tetapi tidak seluruhnya mutlak bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan besar yang terdapat di antara individu-individu. Lalu mengapa ada anak kembar yang memiliki tubuh serupa, mewarisi gen yang sejenis, menikmati kesempatan asuhan yang sama, seringkali memiliki watak, moral dan kecerdasan yang sangat berbeda?
Keturunan saja tidak dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan yang besar ini. Sesungguhnya, faktor keturunan lebih masuk akal atas persamaan-persamaan mereka daripada atas perbedaan-perbedaan. Benih fisik-kimiawi dengan panjangnya kira-kira sepertiga-puluh inci yang diwarisi dari orang tua, hanya menerangkan satu bagian dari manusia, yaitu dasar fisiknya. Mengenai perbedaan-perbedaan batin, intelektual dan moral yang jauh lebih kompleks dan halus itu diperlukan penerangan batin yang lebih dalam. Teori keturunan tidak dapat memberikan suatu jawaban yang memuaskan tentang lahirnya seorang kriminal dalam sebuah keluarga yang mempunyai leluhur terhormat atau kelahiran seorang suci atau mulia dalam sebuah keluarga yang memiliki reputasi jelek dan tentang lahirnya seorang tolol, manusia genius dan guru-guru besar. Menurut agama Buddha, perbedaan-perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh kamma kita sendiri, atau dengan kata lain, disebabkan oleh akibat dari perbuatan lampau kita dan perbuatan-perbuatan kita sekarang. Kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kita. Kita membangun penjara kita sendiri. Kita adalah arsitek dari nasib kita sendiri. Singkatnya, diri kita merupakan akibat dari kamma kita sendiri.
Bagaimana kita bisa mempercayai semua ini, dengan perbedaan berdasarkan hukum sebab akibat atau sebagai hasil dari bibit Kammanya sendiri. Di sinilah Sang Buddha tidak memaksa supaya kita percaya. Hhal ini malah kita diminta untuk datang dan buktikan terlebih dahulu. Semua hal ini bagaikan Beliau menerangkan masalah Bakteri, Virus dan sebagainya. Kita bisa membuktikan adanya mereka dengan melihat dan menyaksikan sendiri dengan menggunakan mikrokop elektron. Kalau kita ingin melihat dengan mata daging ini sudah pasti Hukum Kamma yang begitu rumit dan susah dilihat akibatnya. Tetapi semua ini telah dibuktikan kebenarannya itu oleh para Suciwan. Dengan kekuatan batin yang tenang didalam Jhana IV. Jadi secara tegas siapapun yang mampu mencapai Jhana IV. Mereka pasti bisa membuktikan kebenaran itu.
Pada suatu ketika, seorang pemuda bernama Subha datang menemui Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau, "Mengapa dan apa sebabnya di antara umat manusia ada yang memiliki keadaan rendah dan ada yang memiliki keadaan mulia? Mengapa ada manusia yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang, ada yang sehat dan ada yang berpenyakitan, ada yang berwajah tampan dan ada yang berwajah buruk, ada yang berkuasa dan yang tertindas, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang hina dan ada yang mulia, ada yang bodoh dan ada yang bijaksana?"
Sang Buddha menjawab: "Semua makhluk memiliki kammanya sendiri, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, terlindung oleh kammanya sendiri. Kammalah yang membuat semua makhluk menjadi berbeda, hina atau mulia".
Selanjutnya Sang Buddha menerangkan sebab perbedaan-perbedaan tersebut sesuai dengan hukum Sebab Akibat.
Dari sudut pandangan agama Buddha, perbedaan-perbedaan batin, intelektual, moral dan watak kita sekarang, pada prinsipnya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kita sendiri yang dilakukan di waktu lampau dan di waktu sekarang.
Secara harfiah kamma berarti perbuatan, tetapi, dalam pengertian mutlaknya kamma berarti kehendak. Kamma ada yang baik (Kusala Cetana) dan yang buruk (Akusala Cetana). Perbuatan baik akan membuahkan kebaikan. Perbuatan jahat akan membuahkan kesedihan. Inilah hukum kamma.
Kita memetik apa yang kita tanam. Kita adalah akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau; kita akan menjadi akibat dari apa yang kita lakukan sekarang, tetapi kita tidak mutlak hanya merupakan akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau; kita tidak mutlak hanya menjadi akibat dari apa kita lakukan sekarang. Misalnya seorang kriminal mungkin saja dapat menjadi orang suci di kemudian hari dan sebaliknya.
Agama Buddha mengkaitkan perbedaan ini dengan kamma, tetapi tidak menyatakan bahwa segala sesuatu disebabkan oleh kamma saja. Apabila segala sesuatu disebabkan oleh kamma, maka seorang penjahat akan selamanya menjadi jahat, karena kammanya yang menjadikan dirinya jahat. Orang tidak perlu memeriksakan dirinya ke dokter untuk disembuhkan penyakitnya, karena bila kammanya memang harus demikian ia akan sembuh dengan sendirinya.
Menurut agama Buddha, terdapat lima hukuman atau proses (niyama) yang berlaku dalam alam mental dan fisik, yaitu:
1. | Kamma niyâma atau hukum sebab dan akibat: perbuatan baik dan buruk menghasilkan akibat-akibat yang sesuai. |
2. | Bija niyâma atau hukum benih (hukum fisik organik); beras dîhasilkan dari padi, gula dihasilkan dari tebu atau madu, dan lain-lain. Teori ilmiah tentang sel-sel dan gen-gen (plasma pembawa sifat) dan kemiripan fisik anak kembar dapat dianggap berasal dari hukum ini. |
3. | Utu niyâma atau hukum fisik (inorganik), yaitu fenomena angin dan hujan menurut musim. |
4. | Citta niyâma atau hukum pikiran (hukum psikis), yaitu proses-proses kesadaran (citta vitthi), kekuatan pikiran dan lain-lain. |
5. | Dhamma niyâma atau hukum alam, yaitu: fenomena alam yang terjadi pada saat kedatangan Bodhisatta pada kelahiran terakhir, gaya tarik bumi, dan lain-lain. |
Setiap fenomena mental dan fisik dapat diterangkan dengan lima hukum serba-lengkap ini, atau proses yang merupakan hukum itu sendiri.
Karena itu, kamma hanyalah merupakan salah satu dari lima hukum yang berlaku dalam alam semesta. Kamma adalah hukum itu sendiri, tetapi dengan demikian tidak berarti harus ada seseorang pemberi hukum. Kamma bekerja dalam bidangnya sendiri tanpa campur tangan atau pengaruh dari apapun.
Misalnya, tak ada orang yang memutuskan bahwa api itu harus membakar. Tak ada orang yang memerintahkan bahwa air harus mencari permukaan yang rendah. Tak ada ilmuwan yang memerintahkan bahwa air harus terdiri dari H20 dan sifat dingin harus menjadi salah satu sifatnya. Kamma bukanlah nasib atau takdir yang ditimpakan pada kita oleh kekuatan misterius yang tak dikenal, kepada siapa kita harus menyerahkan diri kita tanpa daya. Perbuatan seseorang sendirilah yang memberi akibat pada dirinya, sehingga dengan demikian ia mempunyai suatu kemungkinan untuk membelokkan jalannya kamma sampai taraf tertentu. Berapa jauh ia dapat membelokkannya tergantung pada
usaha dirinya sendiri.
Perlu diingatkan di sini, bahwa fraseologi seperti anugrah dan hukuman jangan dimasukkan dalam pembicaraan mengenai kamma. Kamma dalam agama Buddha tidak mengakui dewa Maha Kuasa yang memerintah warganya dan memberikan anugrah atau hukuman. Umat Buddha percaya bahwa kesedihan dan kebahagiaan yang dialami seseorang merupakan akibat wajar dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya sendiri. Di sini perlu dinyatakan bahwa kamma memiliki dua prinsip, kelangsungan dan balas jasa.
Sifat yang terdapat dalam hukum kamma adalah kemampuan yang menghasilkan akibat sebagaimana mestinya. Sebab menghasilkan akibat; akibat menerangkan sebab. Benih menghasilkan buah; buah menghasilkan benih, karena keduanya saling berhubungan. Begitu juga, kamma dan akibatnya saling berhubungan; "akibat berkembang di dalam sebab".
Seorang umat Buddha yang benar-benar yakin akan kamma tak akan berdoa pada makhluk lain untuk diselamatkan, tetapi dengan penuh keyakinan ia bergantung pada dirinya sendiri untuk mencapai kesuciannya, karena hukum kamma mengajarkan tanggung jawab pribadi.
Ajaran kamma inilah yang memberi hiburan, harapan, kepercayaan pada diri sendiri dan keberanian moral. Keyakinan dalam hukum kamma inilah "yang mengabsahkan usaha, mengobarkan semangat, untuk selalu berbuat bajik, toleran dan berbati-hati". Keyakinan yang teguh dalam ajaran hukum kamma ini juga mendorong untuk berbuat baik dan menjadi orang baik tanpa merasa takut akan hukuman atau tergoda oleh anugerah apapun. Ajaran kamma inilah yang dapat menerangkan persoalan-persoalan mengenai penderitaan, misteri yang dinamakan nasib atau takdir dalam ajaran-ajaran lain dan terpenting adalah menerangkan "ketidak-samaan di antara umat manusia".
Kamma dan tumimbal lahir diterima sebagai dalil.***
Sumber: |
INTISARI AGAMA BUDDHA; Nârada Mahâthera; Sangha Theravada Indonesia. |