Sikap Mental Yang Bagaimanakah Yang Mendasari Sikap Mental Buddhisme? |
oleh: Bhikkhu Jotidhammo |
disadur oleh: Nani Linda, SH |
Seperti kita ketahui ada 3 (tiga) hal yang tersirat di dalam Jalan Utama berunsur delapan Yaitu:
- Sila (kemoralan): Ucapan benar, Perbuatan benar, Usaha benar, Penghidupan benar.
- Samadhi (konsentrasi): Kesadaran benar, Konsentrasi benar.
- Panna (kebijaksanaan): Pengertian benar, Pikiran benar.
Hal tersebut di atas bukan hanya sekedar teori yang buat kita baca saja, tapi seharusnya merupakan sikap mental yang harus kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sila, adalah sikap mental yang baik, bersahabat, dan cinta kasih yang mendasari semua perbuatan kita.
Samadhi, bukan hanya sekedar duduk bermeditasi memusatkan perhatian pada satu obyek tertentu, tapi inti sebenarnya adalah mengajarkan kita untuk bersikap sungguh-sungguh, disiplin, serius dalam menghadapi sesuatu yang sudah kita tentukan, tidak setengah-setengah, tidak menghiraukan hal-hal yang lain.
Pada hakekatnya dalam hal panna ini, kita dituntut untuk melihat suatu masalah dengan pandangan luas, tidak sempit, mempunyai pengetahuan, dan pengertian. Bila saudara menghadapi sesuatu masalah dalam kehidupan ini terutama yang tidak menyenangkan, menyulitkan, menjengkelkan atau timbul pertanyaan mengapa saya tidak disukai, disingkirkan, diacuhkan orang. Kalau kita melihat masalah tersebut secara sempit, kita tidak bisa menyelesaikan masalahnya, tidak bisa mendapatkan jalan keluarnya secara tepat. Tapi kita bisa melihat masalah tersebut secara luas dengan mencari sebabnya. Sang Buddha mengajarkan kita bahwa segala sesuatu itu pasti ada sebabnya, sebab itulah yang harus kita tangani. Kebanyakan orang hanya mau melihat persoalannya saja, tidak mau melihat penyebabnya; sehingga persoalan itu dibawa ke Bhikkhu, psycholoog, dokter atau penasehat-penasehat lainnya, pada hal mereka itu hanya menasihatkan bahwa semua itu ada sebabnya, kalau bisa mengatasi sebabnya selesailah masalah itu. Biasanya setelah ditunjuk sebabnya orang itu akan lebih lega. Orang-orang yang hanya mau melihat melulu persoalannya saja dan tidak mau melihat penyebabnya adalah terlalu emosional, namun jika kita mau meredakan sedikit emosi kita pasti bisa melihat penyebabnya. Biasanya orang yang emosi ini nalar (ratio)nya di belakang sedang emosinya lebih ke depan, yang berjalan tanpa kendali. Emosi itu memang sukar untuk dikendalikan, yang bisa dikendalikan adalah nalar/pikiran, kalau kita mau menggunakan nalar maka emosi akan reda.
Menggunakan nalar lebih sulit daripada menggunakan emosi yang lebih gampang muncul. Saudara tidak perlu belajar/sekolah untuk menggunakan emosi, tapi anak-anak dari SD sampai SMA di sekolah itu diajari nalar, tapi emosi tidak perlu sekolah dari SD sampai SMA. Penderitaan yang kita alami disebabkan oleh nafsu keinginan dan nafsu keinginan itu sebenarnya didasari oleh emosi. Kalau kita bisa menggunakan nalar/akal sehat maka nafsu keinginan akan turun. Dhamma mengajar kita menggunakan nalar/akal sehat dan bukan menggunakan perasaan/emosi, juga mengajarkan kita melatih nalar untuk meredakan emosi. Dhamma memacu akal sehat kita untuk maju. Di dalam batin kita ada cita (pikiran), rasa (peranan), karsa (keinginan), jika tiga hal ini tidak diseimbangkan biasanya yang muncul adalah perasaan/emosi. Ajaran Sang Buddha itu bukan melulu menonjolkan nalar, karena kalau kita hanya menggunakan nalar saja maka orang akan menjadi kaku namun harus diimbangi dengan panna (kebijaksanaan).
Ditinjau dari segi ilmu jiwa, bisa mengikuti ajaran Sang Buddha amatlah bermanfaat karena di balik apa yang kita pelajari ditanamkan sikap mental yang positif yaitu sikap mental yang baik dan penuh cinta kasih, bekerja dengan sungguh-sungguh dan mempunyai pandangan yang luas. Ketiga sikap ini dapat Saudara bawa ke mana saja dan kapan saja.
Kalau Saudara bekerja di kantor/perusahaan dengan tugas tertentu dan jabatan tertentu, harus ada tiga sikap di atas. Saudara harus bekerja dengan baik, segala tugas haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan Saudara harus mempunyai pengertian, pengetahuan yang luas agar bisa mencapai suatu kemajuan, keberhasilan.
Jika Saudara sudah bekerja dengan baik, tapi kadang-kadang baik, kadang-kadang seenaknya, pasti Saudara tidak akan berhasil menaikkan prestasi. Atau jika Saudara sudah datang tepat pada waktunya, pulang tepat waktunya tapi melaksanakan tugas dengan tidak sungguh-sungguh, Saudara juga tidak akan berhasil. Atau Saudara bekerja dengan baik, tepat waktu, sungguh-sungguh, tapi Saudara tidak punya pengertian/pengetahuan/pandangan yang luas akan pekerjaannya atau dapat dikatakan bodoh. Saudara juga tidak akan maju-maju, Saudara tidak akan berkembang.
Bila Saudara seorang pelajar/mahasiswa, Saudara barus belajar dengan baik, sungguh-sungguh dan harus mempunyai pengertian/pandangan/pengetahuan baru Saudara bisa maju.
Atau bila mengendarai kendaraan perlu ketiga hal tersebut di atas, harus dilakukan dengan baik, sungguh-sungguh kalau tidak akan menabrak dan harus mengerti cara mengendarainya dan harus tahu rambu-rambu lalu-lintas.
Atau jika ibu-ibu memasak juga harus dikerjakan dengan baik, sungguh-sungguh dan harus tahu bahan-bahannya dan tahu cara memasaknya.
Atau seorang wiraswasta, harus menjalankan usahanya dengan baik/benar, sungguh-sungguh dan harus punya pengetahuan tentang seluk-beluk usahanya itu menuju ke arah yang lebih maju.
Semua itu membutuhkan sila, samadhi, dan panna; tapi Saudara jangan menerimanya seperti apa yang tersurat saja, semua itu bisa dipraktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bukan melulu sila itu membacakan Pancasila, samadhi itu duduk bermeditasi dan panna itu mendengarkan khotbah Dhamma. Kalau demikian agama Buddha hanya ada di Vihara saja, di luar Vihara semua tidak ada. Tapi seharusnya sikap mental itu dipakai, dipraktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari di mana saja dan kapan saja.***
Sumber: |
Jalan Tengah No. 05/Tahun Ke I/09 Februari 1989; Yayasan Dhamma Dipa Arama; Jakarta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar