Fakta Kehidupan |
oleh: Ven. Nârada Mahâthera |
Sumber Asli: FACTS OF LIFE; Narada Mahathera; Bhikkhu Aggabalo (alih bahasa) |
Kita hidup dalam dunia yang serba pincang. Ia tidak mutlak diliputi mawar, juga tidak seluruhnya berduri. Mawar adalah lembut, indah dan harum, tetapi tangkai tempat mawar mekar penuh dengan duri. Karena adanya bunga mawar maka kita tidak takut pada duri. Bagaimanapun, orang tidak akan mengecilkan arti mawar karena durinya.
Bagi seorang optimis dunia ini benar-benar penuh mawar, sedangkan bagi seorang pesimistis, dunia ini benar-benar penuh duri. Tetapi bagi seorang realis dunia ini tidak mutlak penuh duri. Dunia ini diliputi oleh mawar-mawar indah dan duri-duri tajam.
Seorang yang mengerti tak akan tergila-gila kepada keindahan mawar, tetapi akan memandangnya sebagaimana adanya. Dengan mengetahui betul-betul sifat daripada duri, ia akan memandangnya sebagaimana adanya dan akan berhati-hati supaya tidak terluka.
Seperti bandulan yang berputar terus-menerus ke kiri atau ke kanan, empat kondisi yang diinginkan dan empat kondisi yang tak diinginkan berlalu dalam dunia ini. Setiap orang tak terkecuali akan menemukan kondisi-kondisi ini selama masa hidupnya. Kondisi-kondisi ini adalah untung (labha) dan rugi (alabha), kemasyhuran (yasa) dan nama buruk (ayasa), pujian (pasamsa) dan celaan (ninda), suka (sukha) dan duka (dukkha).
UNTUNG DAN RUGI
Lazimnya para usahawan memperoleh untung dan menderita rugi. Adalah wajar menjadi puas bila mendapat untung. Pada hakekatnya dalam hal itu tak ada salahnya. Keuntungan secara halal atau tidak halal, mengakibatkan kesenangan tertentu yang dicari-cari orang. Tanpa saat-saat yang menyenangkan ini, betapapun singkatnya, kehidupan menjadi sia-sia belaka. Dalam dunia yang penuh persaingan dan kacau ini, adalah wajar bagi orang-orang untuk menikmati suatu kebahagiaan yang demikian menggembirakan hati mereka. Walaupun bersifat material, kehidupan demikian dapat mendatangkan kesehatan dan umur panjang.
Persoalan muncul jika terjadi kerugian. Keuntungan diterima dengan tersenyum, tetapi bukan demikian halnya bila sial. Kerugian sering menyebabkan penderitaan batin dan kadang-kadang kecenderungan untuk membunuh diri muncul bila kerugian yang diderita terlalu parah. Dalam keadaan demikian inilah seseorang harus menunjukkan keberanian moral yang tinggi dan memelihara keseimbangan batin yang wajar. Kita semua telah jatuh bangun dalam menghadapi tantangan hidup. Kita harus siap sedia menerima apa yang baik maupun buruk. Dengan demikian, kita akan mengalami kekecewaan sedikit saja bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Bila ada sesuatu yang hilang, seseorang biasanya merasa sedih. Tetapi dengan bersedih ini orang tidak dapat memperoleh kembali barang yang hilang. Kehilangan tersebut harus dipandang secara filosofis. Seseorang harus bersikap sebagai seorang dermawan dan berpikir bahwa kebutuhan-kebutuhan orang lain adalah lebih banyak dari padanya. Biarkan diri kita sehat dan bahagia.
Pada masa Sang Buddha, seorang wanita mulia memberikan dana makanan kepada Bhikkhu Sariputta dan beberapa bhikkhu lainnya. Sementara ia melayani mereka, ia menerima berita bahwa keluarganya mendapat malapetaka. Tanpa menunjukkan kegelisahan, dengan tenang ia menyimpan surat tersebut di kantongnya dan terus melayani para bhikkhu, bagaikan tak terjadi apa-apa. Seorang pembantu wanitanya yang membawa kendi berisi 'sari susu' (ghee) untuk para bhikkhu, tanpa hati-hati ia terpeleset sehingga kendi berisi 'sari susu' tersebut pecah. Karena terbuangnya sari susu itu, maka Bhikkhu Sariputta menghiburnya dengan berkata: "Sudah wajar bahwa semua barang pecah belah akan hancur". Nyonya bijaksana ini menjawab: "Bhante, apakah artinya kehilangan barang kecil ini? Baru saja saya menerima berita bahwa keluargaku mendapat malapetaka. Saya menerima berita tersebut dengan tenang. Saya tetap melayani para bhante sekalian walaupun ada berita buruk".
Keberanian nyonya perkasa ini sungguh patut dipuji.
Pada suatu hari Sang Buddha pergi melakukan pindapatta (pergi mengambil makanan dengan patta —mangkok makanan) ke dalam desa. Karena campur tangan 'Mara' —si Jahat, Sang Buddha tidak mendapat makanan. Ketika 'Mara' bertanya kepada Sang Buddha apakah Beliau menderita karena lapar atau tidak. Sang Buddha dengan tenang menerangkan keadaan batin mereka telah terbebas dari kekotoran-kekotoran batin, dan menjawab, "O, betapa bahagianya hidup kami, kami yang tak mempunyai kekotoran batin lagi. Dengan diliputi oleh kegembiraan, kami bagaikan para dewata dari alam Sukhakinha Brahma (Brahma Yang Bercahaya)".
Pada kesempatan lain, Sang Buddha beserta para murid bervassa di sebuah desa atas undangan seorang brahmana, tetapi brahmana ini melupakan kewajibannya untuk memberikan kebutuhan hidup kepada Sang Buddha dan Sangha. Walaupun Bhikkhu Moggallana bersedia menggunakan 'iddhi'-nya (kekuatan batin) untuk mendapat makanan (selama tiga bulan), dalam keadaan demikian Sang Buddha tanpa mengeluh sedikitpun juga merasa puas dengan makanan kuda yang diberikan oleh seorang peternak.
Orang harus berusaha menanggung kerugian dengan riang dan penuh ketabahan. Kadang-kadang keadaan ini muncul tanpa terduga sebelumnya, dan sering terjadi bukan hanya sekali saja tetapi sekaligus berturut-turut. Kita harus menghadapinya dengan keseimbangan bain (upekkha) dan menerimanya sebagai suatu kesempatan untuk melakukan kebajikan.
KEMASYHURAN DAN NAMA BURUK
Kemasyhuran dan nama buruk juga merupakan kondisi duniawi yang pasti kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Kemasyhuran kita sambut dengan senang, nama buruk tak kita inginkan. Kemasyhuran menggembirakan hati kita; sedangkan nama buruk menyakitkan kita. Kita ingin menjadi terkenal. Kita ingin foto diri kita muncul dalam surat kabar. Kita gembira sekali bila aktivitas kita, betapapun tidak berarti, diberitakan. Suatu waktu kita mencari pula publisitas.
Banyak orang dengan cara apapun ingin melihat foto diri mereka muncul dalam majalah. Untuk mendapat kehormatan, banyak orang yang bersedia memberikan imbalan atau jasa-jasa tertentu bagi mereka yang berkuasa. Demi publisitas, banyak orang yang menunjukkan kedermawanannya, dengan memberikan dana kepada seratus bhikkhu atau lebih; tetapi mereka sama sekali tak acuh kepada penderitaan orang-orang miskin dan mereka yang membutuhkan bantuan, di sekitarnya. Kita mungkin mengganjar atau menghukum seorang yang kelaparan yang untuk meredakan rasa laparnya mencuri sebutir kelapa di kebun, tetapi kita tanpa ragu-ragu memberikan seribu buah kelapa untuk mendapatkan nama baik.
Inilah kelemahan-kelemahan manusia. Kebanyakan orang berbuat atas dasar pamrih. Orang tanpa pamrih yang berbuat tanpa mementingkan diri sendiri langka di dunia ini. Kebanyakan perbuatan duniawi mempunyai tujuan yang tersembunyi. Nah, siapakah yang benar-benar baik? Berapa banyak yang sungguh-sungguh mementingkan orang lain?
Kita tak perlu mengejar-ngejar kemasyhuran. Bila kita memang akan termasyhur, itu akan datang dengan sendirinya tanpa dicari-cari. Lebah akan tertarik pada bunga yang mengandung madu. Bunga tak mengundang lebah.
Sesungguhnya kita terlalu senang atau bahagia sekali bila kemasyhuran kita tersebar luas dan jauh. Tetapi kita mesti menyadari bahwa kemasyhuran, kehormatan dan keagungan itu hanya berlangsung sebentar saja. Keadaan ini akan segera lenyap.
Bagaimanakah dengan nama buruk? Hal ini tak enak didengar dan dipikirkan. Kita pasti gusar bila kita mendengar kata-kata kasar tentang keburukan kita. Pikiran akan lebih tertekan bilamana berita-berita tersebut adalah tak adil dan salah sama sekali.
Biasanya diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mendirikan sebuah gedung yang amat bagus. Tetapi hanya dalam satu atau dua menit gedung itu dengan mudah dapat dihancurkan dengan bom perusak modern. Kadang-kadang diperlukan waktu bertahun-tahun atau seumur hidup untuk membuat reputasi atau nama baik, akan tetapi hanya dalam beberapa saat saja nama baik kita yang diperoleh dengan kerja keras itu dapat hancur. Tak seorang pun terbebas dari kata-kata merusak yang dimulai dengan kata 'tetapi' yang tidak baik. Ya, ia amat baik, ia melakukan ini dan itu, tetapi semua perbuatan baiknya dirusakkan oleh kata yang disebut 'tetapi'. Anda dapat menempuh kehidupan seperti seorang Buddha, tetapi anda takkan terbebas dari kritik, serangan dan hinaan.
Sang Buddha sangat terkenal, namun merupakan Guru yang paling sering difitnah pada zaman-Nya. Manusia-manusia besar sering terkenal; walaupun terkenal, merekapun dikenal secara keliru.
Beberapa penentang Sang Buddha menyebarkan desas-desus bahwa seorang wanita sering bermalam di vihara. Setelah gagal dalam usaha tercela, mereka menyebarkan berita palsu kepada khalayak ramai bahwa Sang Buddha bersama siswa-siswa-Nya telah membunuh wanita tersebut dan menyembunyikan mayatnya dalam timbunan sampah-sampah bunga layu di vihara. Akhirnya komplotan yang melakukan fitnahan tersebut mengaku bahwa merekalah pelaku-pelakunya.
Ketika misi penyebaran Dhamma-Nya berhasil dan banyak orang menjadi bhikkhu, lawan-lawan-Nya memfitnah-Nya dengan mengatakan bahwa Beliau mencuri anak-anak dari ibu mereka, menceraikan para suami dari istri mereka dan merusak kemajuan bangsa.
Gagal dalam semua usaha untuk menghancurkan sifat-sifat mulia-Nya, saudara sepupu-Nya bernama Devadatta, siswa Beliau yang iri hati, mencoba membunuh-Nya dengan menggulingkan batu dari atas, tetapi gagal.
Bila Sang Buddha Yang Maha Sempurna dan tak bersalah itu telah sedemikian jadinya, apakah yang akan terjadi dengan orang biasa seperti kita ini yang belum sempurna?
Lebih tinggi anda mendaki bukit, anda lebih menarik perhatian dan terlihat oleh banyak orang. Masa lampau anda diungkap tetapi masa depan anda tersembunyi. Dunia yang penuh kecaman ini memamerkan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan anda, tetapi mengabaikan kebajikan-kebajikan anda yang gemilang. Kipas penampi menerbangkan sekam beras tertinggal; sebaliknya tapisan menahan sisa-sisa ampas dan mengeluarkan saripati-saripatinya. Orang biajksana mengambil yang halus atau baik dan membuang yang kasar atau buruk; yang bodoh mengambil yang buruk atau kasar dan membuang yang halus atau baik.
Bila anda dipersalahkan dengan sengaja atau cara lain, ingatlah nasehat Epictetus, berpikir dan berkata, "O, karena kurang kenal dan hanya sedikit saja yang ia ketahui tentang diriku, maka aku tak terlalu dikritiknya. Tetapi bila aku dikenalnya dengan baik, maka lebih serius dan hebat tuduhan-tuduhan terhadap diriku".
Tidak perlu membuang-buang waktu untuk memperbaiki laporan-laporan salah kecuali bila keadaan memaksa anda membutuhkan penjelasan. Musuh senang sekali bila ia mengetahui bahwa anda menderita. Itulah sesungguhnya yang ia inginkan. Bila anda tenang-tenang saja, maka olok-olokan darinya itu bagaikan diterima oleh orang tuli saja.
Bila melihat kesalahan-kesalahan orang lain, kita harus bersikap seperti orang buta.
Bila mendengar kritik-kritik tak adil dari orang lain, kita harus bersikap tuli.
Bila ada yang menceritakan keburukan orang lain, kita harus bersikap seperti orang bisu.
Adalah tak mungkin menghentikan tuduhan, laporan-laporan dan desas-desus palsu!
Dunia dipenuhi oleh onak dan duri. Tak mungkin untuk melenyapkannya. Tetapi bilamana kita harus berjalan meskipun ada gangguan-gangguan tersebut, daripada berusaha melenyapkan gangguan-gangguan itu, yang tak mungkin, lebih baik kita menggunakan alas kaki dan berjalan dengan aman.
Dhamma mengajarkan:
"Jadilah seperti harimau yang tak gentar akan suara. Jadilah seperti angin yang takkan melekat pada jala. Jadilah seperti teratai yang tak ternoda oleh lumpur tempat ia tumbuh. Mengembaralah sendiri bagaikan badak".
Sebagai raja diraja dalam hutan, singa-singa tak merasa takut. Karena sifatnya mereka tak takut pada suara binatang-binatang lainnya. Dalam dunia ini, kita dapat mendengar berita-berita yang merugikan, tuduhan-tuduhan palsu dan penghinaan dari mulut-mulut lancang. Bagaikan singa, kita tak perlu mendengar mereka. Bagaikan bumerang, ucapan-ucapan itu akan kembali kepada tuannya sendiri. Anjing menyalak tetapi kafilah berlalu dengan tenang.
Kita hidup dalam dunia yang kotor dengan lumpur. Banyak sekali teratai yang tumbuh di situ tanpa ternoda oleh lumpur, tetapi menghiasi dunia ini. Kita bagaikan teratai tanpa noda, hidup sempurna tanpa memperdulikan lumpur yang mungkin dilemparkan kepada kita.
Kita harus menganggap lumpur yang dilemparkan kepada kita itu bagaikan mawar. Dengan demikian, tidak timbul kekecewaan.
Walaupun sukar kita harus berusaha mencoba supaya tidak melekat. Kita datang sendiri dan kita pergi sendiri pula. Ketidak-terikatan adalah kebahagiaan dalam dunia ini.
Tanpa memperdulikan anak panah beracun dari mulut-mulut lancang, sendirian kita berkelana menolong orang dengan segala kemampuan kita.
Adalah agak aneh bila orang besar difitnah, dicemarkan, diracuni, disalibkan atau ditembak. Socrates diracuni, Mahatma Gandhi yang baik ditembak.
Rupa-rupanya berbahaya bila menjadi terlalu baik?
Ya, selama hidup mereka dikecam, dimusuhi dan akhirnya dibunuh. Setalah mati, mereka diagung-agungkan dan dihormati.
Orang-orang besar bersikap acuh tak acuh pada kemasyhuran dan nama buruk. Mereka tidak kecewa bila mereka dikecam atau difitnah, karena mereka bekerja bukan untuk kemasyhuran atau mencari nama. Mereka tak memperdulikan apakah orang-orang mengakui jasa mereka atau tidak. Mereka mau bekerja saja bukan untuk mendapatkan buahnya.
PUJIAN DAN CELAAN
Pujian dan celaan adalah dua kondisi dunia lainnya yang dialami manusia. Adalah wajar menjadi gembira bila dipuji, dan menjadi kecewa bila dicela. Sang Buddha berkata, 'Orang bijaksana tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa bila dipuji atau dicela'. Bagaikan batu karang yang teguh mereka tak tergoncangkan oleh badai.
Pujian jika wajar, adalah menyenangkan didengar, tetapi bila pujian itu hanya dibuat-buat saja maka pujian tersebut, walaupun manis kedengaran, hanya merupakan penipuan belaka. Akan tetapi semua pujian tersebut tidak akan mengakibatkan apa-apa jika pujian tersebut tak sampai di telinga kita.
Dari sudut duniawi, sepatah kata pujian diterima dengan baik. Dengan hanya memuji sedikit, kemurahan hati mudah didapat. Sepatah kata pujian yang tepat cukup untuk menarik perhatian para pendengar sebelum kita memberikan ceramah. Bilamana penceramah pada permulaan memuji para pendengar, maka ia akan didengar dengan baik oleh hadirin. Tetapi bila ia memulai ceramahnya dengan celaan terhadap pendengar maka tanggapan yang diterimanya tidak memuaskan.
Orang-orang bijaksana takkan menggunakan kata-kata sanjungan pemanis mulut saja, dan mereka tak mau pula disanjung-sanjung oleh orang lain. Mereka memuji yang patut dipuji tanpa iri. Yang patut dicela mereka kritik tanpa menghina tetapi karena kasih sayang supaya yang bersalah itu mau memperbaiki dirinya.
Banyak orang yang mengenal Sang Buddha dengan baik, memuji kebajikan-kebajikan-Nya dengan cara mereka sendiri. Seorang upasaka jutawan bernama Upali, memuji Sang Buddha dengan menyebutkan satu persatu seratus kebajikan tanpa persiapan. Sembilan kebajikan sejati (Guna) Sang Buddha (Buddhanussati) yang diagungkan pada masa Beliau, tetap diagungkan oleh para pengikutnya dengan mengucapkannya di depan Buddha-rupang. Buddha Guna ini merupakan objek meditasi bagi mereka yang beriman. Kebajikan dari Buddha Guna ini tetap merupakan suatu inspirasi agung bagi umat Buddha.
Bagaimanakah dengan celaan?
Sang Buddha bersabda: "Mereka yang bicara banyak dicela. Mereka yang bicara sedikit dicela. Mereka yang diam pun dicela. Tak seorangpun di dunia ini yang tidak dicela".
Celaan nampaknya merupakan hal yang umum terjadi pada umat manusia.
Sebagian besar orang di dunia ini, kata Sang Buddha, tidak berdisiplin. Bagaikan seekor gajah dalam medan perang menahan semua panah yang mengenai dirinya, demikian pula Sang Buddha mengalami hinaan.
Orang bodoh dan jahat cenderung hanya melihat keburukan orang lain, tetapi tak menghiraukan kebaikan dan kesalehannya.
Tak ada seorangpun kecuali Sang Buddha yang sempurna. Tidak ada seorangpun yang sama sekali jahat. Sebaik-baiknya kita, masih ada juga sifat buruk dalam diri kita. Seburuk-buruknya kita, masih ada sifat-sifat baik pula dalam diri kita.
Sang Buddha menyatakan: "Ia yang mendiamkan dirinya bagaikan gong yang rusak, bila diganggu, dihina dan dicela; dialah yang saya katakan berada di hadapan Nibbana, walaupun ia belum mencapai Nibbana".
Orang dapat berbuat dengan tujuan sebaik-baiknya. Tetapi orang lain sangat sering salah menafsirkannya dan akan menuduhnya mempunyai tujuan tertentu, yang bahkan tak pernah ia impikan.
Orang boleh melayani dan membantu orang lain dengan sekuat tenaga, kadang-kadang dengan jalan berhutang atau menjual barang atau hartanya untuk menolong, menyelamatkan kawan yang dalam kesusahan, tetapi akhirnya dunia ini, yang dipenuhi oleh orang-orang bodoh, demikian berkuasa maka kawan yang ditolong tersebut akan mencari-cari kesalahannya, memfitnahnya, mencela sifat-sifat baiknya dan bergembira bila si penolong jatuh atau menderita.
Dalam ceritera-ceritera Jataka, diterangkan bahwa musikus Guttila mengajarkan segala sesuatu yang ia ketahui tentang musik kepada muridnya, tetapi muridnya adalah orang yang tak tahu diuntung, tak tahu balas budi, malahan ia berusaha menandingi dan menghancurkan gurunya.
Pada suatu ketika Sang Buddha diundang oleh seorang brahmana untuk makan di rumahnya. Karena undangan tersebut, Sang Buddha mengunjungi rumahnya. Tetapi bukannya ia melayani Beliau, malah ia mencela Beliau dengan kata-kata kotor dan kasar.
Dengan tenang Sang Buddha bertanya: "Apakah ada tamu-tamu yang datang bertamu kemari, brahmana?"
"Ya", jawabnya.
"Apakah yang anda lakukan bila mereka datang?"
"O, saya menyiapkan jamuan mewah".
"Bila mereka tidak jadi datang?"
"Tentu saja dengan gembira kami memakan sendiri sajian itu".
"Baiklah, brahmana, anda telah mengundang saya datang kemari untuk makan dan anda telah melayaniku dengan celaan-celaan. Saya tak menerima apa-apa. Silahkan ambil itu kembali".
Sang Buddha tidak mau membalas, "Jangan membalas dendam", nasehat Sang Buddha. "Kebencian takkan lenyap dengan kebencian, tetapi itu akan lenyap hanya dengan cinta kasih", ini adalah kata-kata agung Sang Buddha.
Tidak ada Guru agama yang demikian terpuji dan juga demikian dikritik, dihina dan dicela seperti Sang Buddha. Beginilah pengalaman manusia-manusia besar.
Sang Buddha dituduh membunuh seorang wanita dengan bantuan murid-murid-Nya. Karena kritik-kritik yang hebat terhadap Sang Buddha dan murid-murid-Nya oleh non-Buddhis, maka Bhikkhu Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk pergi ke desa lain.
"Ananda, bagaimanakah jika penduduk desa tersebut menghina kita pula?"
"Bhante bila demikian maka di seluruh dunia ini tak akan ada tempat bagi kita. Bersabarlah. Cercaan ini akan lenyap dengan sendirinya".
Seorang wanita haram raja, bernama Magandiya, sangat dendam terhadap Sang Buddha, karena Beliau tak menghiraukan kecantikannya dan keindahan tubuhnya (ketika ayahnya ingin mengawinkannya dengan Sang Buddha). Kemudian ia menyewa para pemabuk untuk menghina Sang Buddha di muka umum. Dengan ketenangan sempurna Sang Buddha menerima hinaan tersebut.
Hinaan adalah biasa bagi manusia pada umumnya. Lebih giat anda bekerja, lebih maju anda jadinya; maka lebih banyak pula anda dihina dan dicerca.
Socrates dihina oleh istrinya sendiri, bilamana ia pergi untuk menolong orang lain. Istrinya sakit, maka ia (istrinya) tak dapat mengerjakan pekerjaannya sehari-hari. Pada hari itu Socrates meninggalkan rumahnya dengan wajah sedih. Kawan-kawannya bertanya mengapa ia sedih. Ia menjawab bahwa istrinya tidak mencercanya, sebab ia hari ini sedang sakit.
"Sesungguhnya, anda mesti berbahagia karena tidak mendapat cercaan yang tak sedap itu", jawab temannya.
"O, tidak! Bilamana ia mencercaku, saya mendapat kesempatan untuk mempraktekkan kesabaran. Hari ini saya tak mendapat kesempatan itu. Inilah sebabnya mengapa saya sedih", jawab Socrates sang filosof.
Ini adalah pelajaran-pelajaran yang patut kita camkan selalu.
Bilamana kita dicela atau dicerca, kita harus berpikir bahwa kita diberikan kesempatan untuk mempraktekkan kesabaran. Daripada kita merasa dimusuhi, sebaiknya kita berterima kasih kepada lawan kita tersebut.
SUKA DAN DUKA
Suka dan duka adalah pasangan yang terakhir. Kedua faktor ini amat mempengaruhi manusia.
Apa yang dapat muncul atau terpenuhi dengan mudah adalah 'sukha' (kebahagiaan), sedangkan apa yang sukar sekali dipikul atau ditahan adalah 'dukkha' (penderitaan).
Kebahagiaan biasa adalah pemuasan keinginan manusia. Segera setelah hal yang diinginkan tercapai, maka kita menginginkan kebahagiaan lain lagi. Jadi keinginan kita tak pernah berhenti.
Kenikmatan indria adalah yang paling tinggi dan merupakan satu-satunya kebahagiaan bagi kebanyakan orang. Tak diragukan lagi bahwa kebahagiaan sekejap pada kesenangan materi inilah yang diharapkan, diidam-idamkan dan dibayang-bayangkan selalu. Jenis kebahagiaan ini disanjung-sanjung oleh para sensualis (orang yang bernafsu kuat), namun itu menyesatkan dan hanya berlangsung untuk sementara saja.
Dapatkah harta kekayaan memberikan kebahagiaan mutlak? Bila demikian maka jutawan tak seharusnya merasa tertekan dengan kehidupan ini. Di suatu negara tertentu yang telah mencapai puncak kemajuan, cukup banyak orang yang menderita gangguan batin. Mengapa harus demikian bila harta kekayaan pun tidak dapat memberikan kebahagiaan?
Dapatkah kekuasaan di dunia ini memberikan kebahagiaan sejati? Alexander Agung dengan penuh kemenangan mencapai India dengan menaklukkan semua negara yang dilaluinya, mengeluh karena tak ada negara yang akan ditaklukkan lagi.
Sangat sering kehidupan para negarawan yang berkuasa berada dalam bahaya. Kasus yang mengharukan tentang Mahatma Gandhi dan John Kennedy adalah contoh-contoh yang jelas.
Kebahagiaan sejati ditemukan di dalam diri dan bukan ditentukan menurut pandangan harta, kekuasaan, kehormatan atau penaklukan.
Bilamana harta duniawi itu didapat secara paksa atau tidak halal, atau disalah-gunakan, atau dimiliki dengan penuh kemelekatan, maka (harta tersebut) akan menjadi sumber kesakitan dan penderitaan bagi pemiliknya.
Apa yang merupakan kebahagiaan bagi seseorang, mungkin bukan kebahagiaan bagi orang lain. Daging dan minuman bagi seseorang, mungkin racun bagi orang lain.
Sang Buddha menguraikan empat macam kebahagiaan bagi umat biasa, yaitu: Kebahagiaan karena memiliki (athi sukha) kesehatan, kekayaan, umur panjang, kecantikan, kegembiraan, kekuatan, harta, anak dan sebagainya.
Sumber kebahagiaan kedua berasal dari kenikmatan karena menggunakan miliknya tersebut di atas (bhoga sukha).
Pria dan wanita umumnya mau senang. Sang Buddha tidak menyarankan agar supaya meninggalkan semua kenikmatan duniawi dan menjadi samana atau bhikkhu.
Kenikmatan akan kekayaan bukan hanya timbul pada waktu menggunakannya untuk diri sendiri tetapi juga pada waktu kita memberikannya demi kesejahteraan orang lain. Apa yang kita makan atau nikmati itu hanya sementara. Apa yang kita miliki kita akan tinggalkan dan pergi. Apa yang kita berikan akan kita bawa bersama-sama. Kita akan dikenang selama-lamanya karena perbuatan baik yang telah kita buat dengan barang duniawi yang kita miliki.
Tidak mempunyai hutang adalah kebahagiaan (anana sukha) pula. Bilamana kita puas dengan apa yang kita miliki dan kita hidup hemat, maka kita tak perlu berhutang kepada orang lain. Orang yang mempunyai hutang hidup dengan pikiran tertekan dan mempunyai kewajiban terhadap kreditur. Walaupun miskin, tetapi tanpa hutang, maka kita merasa bebas dan perasaan kita tenang.
Hidup jauh dari hinaan (anavajja sukha) adalah salah satu sumber kebahagiaan paling baik bagi orang awam. Orang yang hidup tanpa dihina adalah berkah bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain. Ia dikagumi banyak orang dan merasa lebih bahagia, dengan dipengaruhi getaran kedamaian orang lain. Hendaknya dicamkan bahwa adalah sulit sekali untuk mendapat nama baik dari banyak orang. Orang yang berakal budi agung hanya mau hidup tanpa tercela dan tak memperdulikannya keadaan dari luar.
Dalam dunia ini sebagian besar orang-orang menyenangkan dirinya dengan memuaskan nafsu-nafsu indrianya, sedangkan yang lainnya mencari kesenangan dengan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria. Tak terikat atau melampaui kesenangan duniawi adalah kebahagiaan batin. Kebahagiaan Nibbana, yaitu kebahagiaan yang terbebas dari penderitaan, adalah bentuk kebahagiaan tertinggi, teragung.
Biasanya kebahagiaan kita sambut, tetapi bukan sebaliknya —penderitaan agak sulit untuk diterima atau dipikul.
Kesedihan atau penderitaan datang dalam bentuk yang berbeda-beda.
Kita menderita karena kita menjadi tua, pada hal ini adalah wajar. Dengan ketenangan hati, kita menahan penderitaan karena usia tua.
Lebih pedih daripada penderitaan karena umur tua adalah penderitaan karena sakit. Bahkan hanya sakit gigi atau kepala sedikit saja kadang-kadang tak tertahan lagi.
Bilamana kita harus sakit, tanpa kuatir, kita harus sanggup berupaya untuk mengatasinya. Kita harus menghibur diri kita dengan berpikir bahwa kita tak menderita sakit yang jauh lebih parah.
Sering kita terpisah dari orang yang amat kita cintai. Perpisahan ini menyebabkan penderitaan pada batin kita. Kita harus menyadari bahwa semua pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Inilah saat baik sekali bagi kita untuk melatih ketenangan atau keseimbangan batin kita.
Sering pula kita terpaksa untuk bersama-sama dengan orang yang kita tidak sukai. Kita harus sanggup memikul keadaan ini pula. Mungkin kita sedang menerima 'kamma vipaka' —akibat kamma kita sendiri, yang berasal dari kamma lampau atau kamma sekarang ini. Kita seharusnya mencoba menyesuaikan diri kita dengan lingkungan yang baru atau berusaha mengatasi gangguan-gangguan tersebut dengan cara-cara lain.
Sedangkan makhluk sempurna seperti Sang Buddha, yang telah menghancurkan semua kekotoran batin, harus menahan derita jasmaniah yang disebabkan oleh penyakit dan eksiden.
Sang Buddha sering mengalami sakit kepala, kesakitan terakhir menyebabkan kesakitan jasmaniah pada-Nya. Akibat Devadatta menggulingkan batu untuk membunuh Beliau, kaki Beliau terluka oleh pecahan batu. Kadang-kadang Beliau dipaksa untuk menahan lapar. Karena ketidak-patuhan murid-Nya (yang bukan ariya punggala), Beliau terpaksa masuk hutan selama tiga bulan. Dalam hutan dengan beralaskan daun-daunan, dan menghadapi hembusan angin dingin Beliau tetap mempertahankan keseimbangan batin yang sempurna.
Di antara kesakitan maupun kebahagiaan, Beliau tetap hidup dengan batin yang seimbang.
Kematian adalah penderitaan terbesar yang kita harus hadapi di dalam lingkaran kehidupan kita ini (samsara-bhavacakka). Kadang-kadang kematian bukan hanya mengenai seorang keluarga kita saja, tetapi bisa terjadi pada beberapa orang sekaligus yang mungkin sulit dan berat untuk dipikul.
Patacara kehilangan keluarga dan orang yang dicintainya —orang tua, suami, kakak dan kedua anaknya, dan hal itu mengakibatkan ia menjadi gila. Sang Buddha menghiburnya.
Kisa Gotami kehilangan bayi satu-satunya dan ia pergi berusaha untuk mencari obat penyembuh bagi anaknya yang telah meninggal. Ia membawa-bawa mayat anaknya; ia mendatangi Sang Buddha dan meminta supaya anaknya dihidupkan lagi.
"Baik, saudari, dapatkah kamu membawa beberapa biji lada?"
"Tentu, Bhante!"
"Saudari, tetapi itu mesti berasal dari rumah yang belum pernah ada seorangpun meninggal di situ".
Biji lada ia dapati, tetapi tidak ada sebuah rumahpun di mana keluarga yang tinggal di situ belum pernah mengalami salah satu keluarganya meninggal dunia. Ia akhirnya mengerti sifat kehidupan.
Ketika seorang ibu ditanya mengapa ia tak menangisi kematian anak satu-satunya, ia menjawab, "Tanpa diundang ia datang, tanpa memberitahu ia pergi. Mengapa saya harus menangis? Apa gunanya menangis?"
Seperti buah yang jatuh dari pohon —mentah, matang atau tua, demikian pula kita mati sewaktu masih bayi, dewasa dan umur tua.
Matahari terbit di sebelah Timur hanya untuk terbenam di sebelah Barat.
Bunga mekar di waktu pagi dan layu di sore hari.
Kematian yang tak dapat dielakkan yang datang kepada kita semua tanpa kecuali harus kita hadapi dengan penuh keseimbangan.
"Bagaikan bumi, walaupun apa yang dilemparkan padanya, apakah itu manis atau pahit, adalah sama baginya, tanpa menunjukkan kemarahan maupun rasa persahabatan. Demikian pula dengan kita, apakah itu baik ataupun buruk, kita harus menerimanya dengan penuh ketenangan".
Sang Buddha bersabda: "Bila disentuh oleh kondisi-kondisi dunia tersebut, batin seorang arahat takkan pernah tergoncangkan".
Antara untung dan rugi, kemasyhuran dan nama buruk, pujian dan celaan, suka dan duka, marilah kita berusaha memelihara batin yang seimbang.***
Sumber: |
Lembaran Khusus Agama Buddha "INFORMASI"; Seri ke 001; Multisign Offset, Jakarta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar