Check out the Latest Articles:

Sabtu, 16 April 2011

teori; KEHIDUPAN DAN ALAM KEHIDUPAN (bagian 2)

KEHIDUPAN DAN ALAM KEHIDUPAN

8. Bagaimana dan kapan kehidupan bermula adalah misteri dan mungkin akan tetap demikian. Kebanyakan agama-agama menyatakan bahwa Tuhan mereka masing-masing yang menciptakan kehidupan. Namun pernyataan demikian belum tentu dapat menjawab bagaimana kehidupan dimulai, sebab bila Tuhan adalah makhluk-hidup, maka dengan demikian harus sejalan dengan pemahaman, bahwa ‘hidup berasal dari hidup’. Dan, dalam hal ini belum dapat diterangkan bagaimana kehidupan Tuhan (sebagai suatu pribadi) dimulai. Terpisah dari legenda-legenda, maka selama ini, ada dua teori ilmiah yang mencoba menerangkan bagaimana kehidupan bermula di dunia ini. Pertama, adalah Hipotesa Haldane-Oparin, yang dinamai sesuai nama dua sarjana yang pertama yang mengemukakan bahwa bahan organik berasal dari bahan anorganik.1 Menurut hipotesa mereka, pada zaman lampau, campuran dari gas anorganik yang sederhana larut dalam laut, lalu dengan energi matahari membentuk molekul prasejarah yang pertama; molekul ini kemudian merupakan prasyarat bermulanya kehidupan. Hipotesa ini adalah yang paling diterima dalam menerangkan asal kehidupan. Kemudian, baru-baru ini, Sir Fred Hoyle dan Professor Chandra Wickramasinghe menyajikan hipotesa yang sangat berbeda.2 Mereka mengatakan bahwa bentuk kehidupan yang sederhana ber-evolusi di angkasa luar lalu terbawa ke bumi oleh meteor-meteor dan ekor komet yang sedang melintas. Namun, cara bagaimanapun kehidupan dimulai, pada kenyataannya telah pernah ditemukan bukti-bukti berupa fosil berbentuk batang yang menyerupai ganggang dan bakteri primitif kita saat ini, yang telah ada sejak 2,7 milyar tahun lalu. Hampir semua ahli sependapat bahwa bentuk kehidupan awal berkembang dipermukaan laut.



9. Agama Buddha mengajarkan, asal kehidupan tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Walau demikian, Sang Buddha juga memberi gambaran bagaimana kehidupan berawal di bumi. Beliau menjelaskan, ketika alam-semesta mulai mengembang, alam yang telah ada barulah alam surga (alam-dewa).

Dan demikian mereka hidup, terdiri dari batin saja, senantiasa berbahagia, badannya mengeluarkan cahaya, bergerak di angkasa dengan jayanya, dan bertahan begitu sampai masa yang sangat lama sekali. Pada waktu itu bumi hanya terdiri dari massa air semata dan semuanya gelap kelam. Tidak ada bulan atau matahari, belum ada tata-surya, bintang belum terlihat, belum ada perhitungan waktu bulan, pertengahan-bulan, tahun atau musim, belum ada laki-laki dan wanita, hanya makhluk itu saja yang ada. Lalu setelah jarak waktu yang sangat lama, buih-buih yang menggiurkan terbentuk diatas permukaan massa air dimana makhluk-makhluk itu berada. Bentuknya seperti lapisan yang terbentuk diatas susu panas yang mendingin. Warnanya seperti dadih-susu (susu yang mengental) atau mentega, dan rasanya seperti madu murni. Lalu, beberapa makhluk yang bersifat rakus berkata: “Saya berkata, apa yang seperti ini !, lalu mencoba buih itu dengan jarinya. Ketika ia melakukannya, dia menyukainya, dan keinginan timbul diantara mereka. Jadi mereka mulai berpencar memakannya. Setelah itu, cahaya badannya menghilang; lalu bulan dan matahari, siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, tahun dan musim, terjadi.3

Sang Buddha menerangkan lebih lanjut, bahwa badan makhluk itu bertambah nyata setiap mereka makan, lalu timbul ciri-ciri seksual. Mengenai perubahan tersebut, Beliau berkata, berlangsung “pada kurun waktu yang sangat, sangat panjang”.4 Saat ini, setiap ilmuwan pun, tak dapat tidak sependapat bahwa semua yang dijelaskan Sang Buddha adalah sama dengan temuan ilmiah tentang asal tata-surya tersebut. Temuan ilmiah dan Sang Buddha, keduanya sependapat, bahwa permukaan bumi pada masa awalnya tertutup oleh air. Pula, keduanya sependapat bahwa kehidupan pertama mengambang diatas permukaan air, dimana mereka menyerap sari makanan. Keduanya juga sependapat, bahwa bentuk kehidupan awal adalah aseksual (tak berjenis kelamin), pula keduanya sependapat bahwa bentuk kehidupan ber-evolusi, dari bentuk yang sederhana ke bentuk kehidupan yang lebih kompleks, dan bahwa proses itu berlangsung dalam waktu yang sangat panjang.



10. Ilmu pengetahuan membagi kehidupan menurut susunan tubuhnya, sedangkan Sang Buddha membaginya menurut apa yang dialaminya. Sang Buddha mengatakan ada enam alam kehidupan, berbeda satu dari lainnya dalam hal apa yang dialami dalam alam kehidupannya masing-masing. Ada Alam Dewa, Alam Manusia, Alam Binatang, Alam Roh Lapar, Alam Roh Cemburu, Alam Neraka. Marilah kita menelitinya satu demi satu.



11. Para dewa, yang dalam bahasa Inggeris sering disebut sebagai “gods”, dan alam dimana mereka berada sering disebut sebagai “heaven” (surga), namun kedua istilah itu tidak tepat untuk mengungkapkan konsep tentang dewa, Kata “God” (Tuhan) adalah konsep ketuhanan yang menyangkut cinta-kasih, menyangkut kekuatan untuk mencipta dan mengendalikan segalanya, yang sama sekali berbeda dibanding manusia. Kata “surga” menyangkut konsep ketuhanan dari kehidupan kekal sesudah kematian, dimana tidak ada yang berbuat kesalahan seperti kehidupan dibumi. Pada kenyataannya, para dewa tidaklah sempurna dan pula tidak kekal, bila masa kehidupannya usia mereka bisa terlahir kembali sebagai manusia, demikian pula sebaliknya manusia bisa terlahir kembali sebagai dewa. Ciri utama dari kehidupan dewa, adalah bahwa para dewa mengalami lebih banyak kebahagiaan.

Pula, surga tempatnya tidaklah mesti selalu terpisah dari alam kehidupan lainnya; surga tidak “di atas sana”, pula neraka tidak “di bawah sana”. Satu dewa bisa saja berada disamping satu manusia ataupun disamping satu roh-lapar. Yang membuat mereka terpisah atau berbeda, adalah pada keadaan yang dialaminya, bukan pada tempat dimana mereka masing-masing berada. Karena dewa-dewa mungkin saja adalah manusia-manusia sebelum mereka terlahir di Alam Dewa, maka mereka senantiasa masih tertarik pada apa yang dikerjakan manusia. Mereka bisa menjawab doa seseorang, melindungi orang tertentu dari mara bahaya, namun bisa menyebabkan kesulitan-kesulitan diantara manusia.



12. Setelah pembicaraan tentang perbedaan antara dewa dan “gods”, kita sampai pada yang diajarkan oleh Sang Buddha tentang konsep “penciptaan” alam-semesta oleh suatu “maha-dewa” atau makhluk tertentu. Keberadaan makhluk seperti itu dibantah oleh Sang Buddha, sebab menurut Beliau, pemahaman seperti itu adalah tidak masuk akal, tanpa pembuktian yang mendukungnya. Ada beberapa argumentasi yang mencoba membuktikan adanya “maha-dewa” pencipta, namun Buddha Dhamma malah membuktikan bahwa tidak satupun argumentasi itu memuaskan. Argumentasi pertama mengatakan seperti ini: “Segala sesuatu mempunyai kausa (sebab), oleh karenanya selayaknya ada kausa pertama, dan bahwa kausa pertama itulah “maha-dewa” itu. Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi ini. Pertama, ialah bahwa argumentasi diatas justru bertolak belakang dengan pernyataan/argumentasi itu sendiri. Oleh karena, segala sesuatu mempunyai kausa, maka kausa pertama seharusnya mempunyai kausa juga. Kedua, tidak ada alasan yang masuk akal, bahwa segala sesuatu harus mempunyai satu kausa tunggal. Semua benda pada dasarnya terbentuk dari beberapa kausa, dengan demikian adalah sangat makul kalau dikatakan bahwa sesuatu hal memiliki sepuluh, ratusan atau bahkan ribuan kausa. Ketiga, walau ada kausa pertama yang tunggal, namun tidak terbukti bahwa itu adalah suatu “maha-dewa”. Banyak kemungkinan untuk itu. Lalu ke-empat, adalah secara makul tidak mungkin ada kausa pertama atau asal dari alam-semesta. Suatu permulaan, adalah suatu kejadian, dan sama halnya dengan kejadian-kejadian pada umumnya, permulaan adalah suatu perlangsungan, yang tentunya pasti mengambil masa atau waktu untuk perlangsungannya. Waktu terdiri atas lampau, sekarang dan akan datang. Oleh karenanya pada setiap kejadian yang berlangsung, ada waktu sebelum terjadi (waktu lampau), waktu ketika terjadi (sekarang) dan waktu sesudah terjadi (waktu akan datang). Sebelum dari apa yang disebut “penciptaan oleh maha-dewa”, dengan sendirinya tidak ada waktu (karena segala sesuatu belum ada). Lalu, jelas tidaklah mungkin bahwa sesuatu “tanpa-waktu” menghasilkan waktu, sama tidak mungkinnya gelap menghasilkan terang, atau kering dapat menimbulkan basah.



13. Argumentasi lain, mengenai keberadaan “maha-dewa” tersebut, adalah sebagai berikut: dikatakan “Segala sesuatu secara alami mempunyai tujuan dan aturan. Tidak terjadi secara kebetulan, namun dirancang. Apabila alam adalah rancangan, maka harus ada perancang, lalu perancang itu seharusnya “maha-dewa” tersebut”. Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi diatas. Pertama, walau misalnya diakui bahwa alam ini dirancang, namun tidak terbukti bahwa perancangnya adalah “maha-dewa” tersebut, juga tidak terbukti bahwa perancangnya adalah tunggal. Pada kenyataannya, alam demikian rumit serta kompleks, wajar bila memerlukan banyak perancang. Jadi, bila segala sesuatu dirancang, maka perlu ada beberapa “pencipta”. Kedua, walau misalnya alam ini dirancang, maka ternyata tampak aspek kekejaman dalam rancangannya. Sebagai contoh, kuman tuberkulosa dirancang untuk menggerogoti paru-paru manusia. Mulut belut laut dirancang untuk mencengkram tubuh ikan mangsanya untuk kemudian pelan-pelan dimakan hidup-hidup penuh rasa sakit. Kuman kusta dirancang untuk menggerogoti daging manusia sehingga anggota badan rusak. Dengan demikian, walau, misalnya alam dirancang, kenyataan bahwa justru banyak rancangan menyebabkan penderitaan menyimpulkan bahwa Yang-Esa yang maha-pengasih tidak pernah menciptakannya sedemikian rupa. Ke-tiga, walau misalnya alam ini dirancang, banyak dari rancangan itu justru salah. Bila “maha-dewa sempurna” itu merancang, maka ciptaannya seharusnya sempurna pula. Kenyataannya hujan memang mengairi persawahan, tapi kadang-kadang hujan tidak datang, menyebabkan berjuta orang meninggal karena kelaparan, atau hujan terlampau banyak, menyebabkan ribuan orang kehilangan rumahnya atau hidupnya karena banjir. Setiap tahun jutaan bayi dilahirkan cacat mental atau badaniah yang sangat mengerikan. Produksi sel tubuh, kadang-kadang salah, menyebabkan tumor dan kanker. Kenyataan, bahwa perancangan alam tidaklah sempurna meng-indikasikan bahwa “maha-dewa”, pencipta yang seharusnya sempurna bukanlah perancangnya.





14. Agama Buddha juga masih memiliki beberapa argumentasi kuat untuk menganggap “maha-dewa” itu, tidaklah maha-tahu, maha-kuasa serta maha-pengasih. Argumentasi pertama adalah, apabila “maha-dewa” itu maha-tahu, maka “maha-dewa” itu pasti mengetahui semua masa lalu, mengetahui semua masa sekarang dan mengetahui semua masa yang akan datang. Dengan demikian seharusnya “maha-dewa” itu pasti mengetahui pilihan yang dijatuhkan seseorang, pikiran yang dipunyai seseorang, tindakan yang akan dilakukan seseorang, jauh sebelum dilaksanakan oleh orang itu. Jadi, dengan demikian setiap manusia seharusnya hanya dapat bertindak sesuai apa yang telah “maha-dewa” ramalkan sebelumnya; seluruh kehidupan setiap orang telah dipastikan dan telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, berdasar pada pemahaman “maha-dewa maha-tahu” itu tidak mungkin lagi ada kebebasan keinginan lagi; lalu bila tidak ada kebebasan keinginan, seseorang tidak seharusnya bertanggung jawab pada setiap tindakannya, pula ide untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan, tidak berarti lagi.

Sehubungan dengan itu, argumentasi lain, adalah sebagai berikut:

Bila “maha-dewa” adalah pencipta dan pengendali segalanya, maka tiada gunanya manusia berbuat apapun, sebab manusia bagaikan wayang-kulit dari kehendak “maha-dewa” sebagai dalangnya, dan dengan sendirinya “maha-dewa” itulah penanggung jawab dari semua tindakan manusia yang tidak terpuji. Sang Buddha menyatakan argumentasi-nya sebagai berikut:

Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmana yang percaya dan mengajarkan, bahwa apapun yang dialami manusia, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semuanya disebabkan oleh keinginan “maha-dewa”. Saya menemui dan bertanya pada mereka, apakah benar mereka mengajarkan demikian, mereka ternyata mengiyakan, lalu saya berkata: “Apabila demikian, tuan yang terhormat, mereka yang membunuh, mencuri dan berzina pula atas kehendak “maha-dewa” tersebut. Mereka harus berbohong, berfitnah dan berkata kasar serta bergunjing, disebabkan karena kemauan-nya. Mereka harus menjadi serakah, pembenci dan berpandangan salah karena kemauan “maha-dewa” tersebut”. Mereka menyandarkan semuanya sebagai keputusan “sang maha-dewa” akan kehilangan gairah keinginan dan daya-upaya untuk berbuat ini atau tidak berbuat itu.5

Pujangga Buddhis, Santideva, menyatakan dengan sederhana: “Bila “maha-dewa” lah penyebab semua kejadian, lalu apa gunanya manusia berusaha sekuat tenaga?”6.



15. Argumentasi lain mengenai konsep “maha-dewa”, sebagai berikut: keberadaan kejahatan dan penderitaan didunia adalah bukti bahwa “maha-dewa” yang maha-kasih, maha-kuasa tidaklah ada, sebab bila ada tentunya “maha-dewa” sedemikian itu bisa menghentikan segala kejahatan, bencana dan penderitaan. Seorang manusia sederhana sekalipun akan berbuat apa saja agar terbebas dari sakit, kelaparan dan ketakutan apabila mereka berdaya untuk itu; lalu mengapa “maha-dewa” yang lebih sempurna dan maha-kuasa itu tidak bertindak? Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa penderitaan adalah hukuman “maha-dewa” bagi yang berbuat kejahatan. Tapi bukankah orang yang baik juga ditimpa bencana, sakit, kematian mendadak, sebaliknya penjahat juga ada yang sukses, sehat dan bahagia. Lalu, apa pula yang mengatakan bahwa semua penderitaan manusia disebabkan oleh dosa. Walau manusia memang harus bertanggung jawab dalam bentuk penderitaan, namun tetap mereka tidak dapat dipersalahkan untuk beberapa macam penderitaan seperti kanker, gempa bumi, paceklik, kekeringan dan juga terlahir cacat. Satu lagi, juga ada pendapat bahwa kejahatan dan penderitaan disebabkan oleh para iblis. Tetap, tak dapat diterangkan mengapa “maha-dewa pengasih” tidak dapat menyelamatkan orang-orang tak berdosa. Mengapa “maha-dewa pengasih” membiarkan penderitaan terjadi? Oleh karenanya, adanya penderitaan yang mengerikan dan tanpa tujuan itu merupakan bukti tidak adanya “maha-dewa maha-pengasih” tersebut.

Sang Buddha bersabda:



Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan;

Mengapa “maha-dewa” itu tidak menciptakan secara baik?

Bila kekuatannya demikian tak terbatas,

Mengapa tangannya begitu jarang memberkati,

Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?

Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela.

Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal.

Saya menganggap, “maha-dewa” adalah ketak-adilan.

Yang membuat dunia yang diatur keliru.7



16. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanyalah kepercayaan pada “maha-dewa yang bercirikan sifat seperti diatas” yang dapat menjamin kebahagiaan serta membuat hidup berarti atau hanya dengan keyakinan seperti itu kita dapat mengatasi masalah kita sendiri. Namun, jutaan manusia yang juga berbahagia, produktif dan bermoral dalam hidupnya tanpa harus menyandang konsep tentang adanya “maha-dewa” berciri sedemikian. Mereka juga berhasil mengatasi kecacatan, ketidak-mampuan dan kekerasan hidup melalui kekuatan dan ketetapan hati mereka sendiri, tanpa bersandar pada kekuasaan “maha-dewa” tersebut. Apabila manusia bermoral, bahagia dan berkasih-sayang pada sesamanya serta mempunyai tujuan hidup, maka kepercayaan sedemikian diatas kiranya tidaklah diperlukan. Namun, adalah penting diketahui bahwa untuk orang tertentu kepercayaan pada bentuk-bentuk atau ciri-ciri “maha-dewa” sedemikian diatas adalah berarti dan penting untuk hidupnya. Oleh karenanya, walau tidak menganut paham sedemikian bagi dirinya sendiri, seorang umat Buddha hendaknya tetap menghormati mereka yang berkeyakinan seperti itu.



17. Alam Manusia (Manussa loka) adalah terbaik di antara alam-alam kehidupan sebab hanya di alam inilah kita mendapat kesempatan terbesar untuk mengembangkan kebijaksanaan dan mencapai Pencerahan. Para dewa menikmati kebahagiaan yang demikian tinggi, sedemikian rupa sehingga mereka tidak terdorong untuk mengembangkan batinnya, sebaliknya makhluk di alam-alam rendah mengalami demikian banyak penderitaan sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Manusia mengalami kebahagiaan dan kesengsaraan dalam bagian yang sama. Ukuran dan struktur otak manusia memungkinkan kesadaran untuk berpikir, menalar dan memiliki daya ingat. Sebenarnya, Buddhis kuno mengungkapkan keberadaan manusia dalam berpikir, dalam kata manusia (manussa), yang berasal dari kata mana ussannata, yang berarti “mengutamakan berpikir”. Manusia juga mempunyai bahasa yang berkembang baik, yang memungkinkan komunikasi Dhamma dengan baik. Dibalik kenyataan bahwa alam manusia adalah yang terbaik dari segala alam, namun terlahir sebagai manusia adalah kesempatan yang sangat jarang, oleh karena kita seharusnya menggunakan sebaik mungkin kesempatan tersebut. Sang Buddha bertanya:

“Yang mana lebih banyak – pasir diujung kuku saya, atau pasir seluruh bumi?”

“Guru, jauh lebih banyak pasir di bumi ini. Sangat sedikit pasir di ujung kuku Guru. Satu sama lain tidak dapat dibandingkan.”

“Demikian pula, makhluk yang dilahirkan sebagai manusia adalah sangat sedikit. Jauh lebih banyak yang terlahir dalam alam-alam lainnya. Oleh karenanya engkau hendaknya melatih dirimu, dengan senantiasa berpikir: “Kita akan hidup sebaik mungkin”.8



18. Tidak hanya, terlahir sebagai manusia adalah kesempatan terbaik untuk mencapai Pencerahan, namun juga karena semua manusia bisa mencapai Pencerahan. Alasan untuk itu adalah karena umat manusia hanyalah satu. Hal itu perlu disebutkan karena ada agama-agama dan paham-paham politik yang menganggap perbedaan ras, kasta atau kelas menyebabkan perbedaan kapasitas intelektual, oleh karenanya mereka harus diperlakukan berbeda dan diberi kesempatan berbeda. Hindu kuno mengajarkan pemahaman seperti itu, dengan membagi manusia atas empat kasta dan mengeluarkan yang terendah, kasta Sudra, dari kehidupan sosial dan agama, karena dianggap tidak mempunyai kemampuan intelektual. Sang Buddha menentang keras paham tersebut. Puluhan khotbah Beliau menampilkan alasan untuk meruntuhkan sistim kasta dan menegakkan persamaan martabat dan harkat manusia.9 Beliau bersabda:



Apabila engkau memperhatikan pepohonan atau rumput,

Tanpa mengetahuinya,

Mereka tampak beraneka macam dan ragam,

Ada bermacam jenisnya



Lalu perhatikan ngengat dan kumbang,

Atau serangga kecil seperti semut;

Mereka tampak beraneka macam dan ragam,

Ada bermacam jenisnya



Dan pada makhluk ber-kaki empat,

Yang besar dan kecil,

Mereka tampak beraneka macam dan ragam,

Ada bermacam jenisnya



Perhatikan makhluk yang merayap pada perutnya,

Ular dan hewan melata lainnya.

Mereka tampak beraneka macam dan ragam,

Ada bermacam jenisnya.



Perhatikan ikan

Dan semua yang hidup di air

Mereka tampak beraneka macam dan ragam,

Ada bermacam jenisnya



Perhatikan burung yang beterbangan

Mereka yang bepergian melalui angkasa;

Mereka juga tampak beraneka macam dan ragam,

Ada bermacam jenisnya

Pada semua makhluk-makhluk itu,

Macam dan ragamnya dapat terlihat;



Pada manusia tidak ada perbedaan diantaranya.

Tidak dirambut atau kepala, ditelinga atau mata,

Tidak di mulut atau hidung, bibir atau alis,

Adanya perbedaan yang mencolok.

Tidak di leher atau bahu,

Tidak di perut atau dada,

Tidak pula pada kelamin

Adanya perbedaan mencolok.



Tidak pada tangan atau kaki, pada jari atau kuku,

Tidak pada betis, paha atau bentuk penampilan,

Adanya perbedaan ragam dan macamnya,

Seperti pada makhluk lainnya.



Ragam manusia tidak berbeda banyak,

Seperti makhluk lainnya.

Yang berbeda antara umat manusia,

Hanyalah perbedaan tak bermakna.10



19. Ada pendapat bahwa wanita mempunyai kemampuan spiritual yang kurang dibanding laki-laki. Dalam hal ini Agama Buddha, beranggapan bahwa maskulinitas dan feminitas adalah perbedaan bentuk, bukanlah perbedaan batin.11 Pencerahan dicapai mengembangkan kebijaksanaan dan welas-asih, dan siapa saja, tidak tergantung dari jenis kelaminnya dapat mencapainya. Sang Buddha bersabda:



Wanita, dari perumah-tangga biasa sampai yang telah meninggalkan keduniawian, dapat mencapai tingkat Pemenang-Arus, tingkat Yang-Kembali-Sekali, tingkat Yang-Tak-Kembali, tingkat Arahat.12

Oleh karenanya wanita seharusnya diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama dengan kaum lelaki. Pandangan Sang Buddha pada kemampuan pencapaian Pencerahan oleh wanita dirangkum dengan baik oleh seorang murid Beliau bernama Soma.



Kodrat sebagai wanita tidaklah berperan

Tatkala batin tenang dan kokoh,

Tatkala pengetahuan berkembang hari ke hari,

Dan ketika dia merenungkan Dhamma.

Seseorang yang berpikir seperti ini:

Oleh karena “Saya wanita” atau “Saya pria”

Ataupun setiap pikiran “Saya adalah ……”

Mara akan dapat menyapanya.13

Beberapa agama mengajarkan bahwa wanita diberi peran oleh Tuhan, biasanya sebagai ibu atau isteri, dan mereka wajib melaksanakan peran itu. Agama Buddha tidaklah mengajarkan demikian. Wanita sebagai halnya lelaki bebas untuk memilih perannya, sebagai ibu, isteri, pengusaha, biarawati, dan lainnya; apapun yang mereka pikir memberi kepuasan dan kebahagiaan.

Karena mengetahui bahwa setiap insan dapat mencapai Pencerahan, Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua orang, dengan harapan semuanya mempelajarinya, melaksanakannya dan saling mengajarkannya. Ketika Mara membujuknya agar mati lebih dini, Sang Buddha menjawab:

Saya tidak akan mati sebelum para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria serta wanita telah mempelajari mendalami, kebijaksanaan dan terlatih, dapat mengingat ajaran, menguasai ajaran utama dan tambahan serta bermoral; sampai mereka dapat menguasai, dapat menyampaikan pada lainnya, mengajarkannya, memaklumkannya, memperdalam, menghayati, menerangkan serta membabarkannya; sampai mereka mampu membedakannya dari ajaran salah yang diajarkan oleh yang lainnya dan dapat menyebarkan kebenaran yang meyakinkan serta dapat membebaskan ini, ke segala penjuru. Saya tidak akan mati sampai tata kehidupan yang suci telah dicapai, dihargai dan dihormati; sampai ajaran kebenaran ini dikenal luas diantara dewa dan manusia.14



20. Alam Binatang (tiracchana yoni) termasuk semua hewan menyusui, burung-burung, ikan, binatang melata dan serangga. Pada Alam Binatang; perasaan setia, mengasihi, berkorban dan sebagainya hampir tidak ada lagi, unsur pendorong utama dalam kehidupan mereka adalah sekadar naluri makan, seks dan mempertahankan hidup. Karenanya binatang saling memangsa tanpa cinta-kasih atau welas-asih, tanpa mengharapkan bantuan atau simpati dari yang lainnya. Sang Buddha bersabda tentang Alam Binatang:

Disana tidak ada kehidupan sesuai Dhamma, tidak ada keseimbangan hidup, tidak dilakukan yang baik dan terlatih; hanya saling memangsa dan memakan yang lebih lemah.15



21. Alam Roh-Lapar (peta) adalah alam makhluk yang batinnya senantiasa tersiksa oleh kerinduan, keinginan dan perasaan frustasi karena tidak mendapatkan yang diinginkan, mereka senantiasa mengembara mencoba memuaskan lapar.



22. Alam Roh-Cemburu (asura) disebut demikian karena mereka tersiksa oleh cemburu dan keinginan memiliki. Kebahagiaan di alam lain terutama Alam Dewa, menyebabkan mereka terbakar api cemburu.



23. Makhluk yang semata-mata mengalami rasa sakit berada di Alam Neraka (niraya). Kesakitan yang mereka alami bukan jasmaniah, tapi adalah rasa takut, kwatir, tertekan dan penyesalan mendalam.
24. Walau alam kehidupan adalah tempat, namun sebenarnya lebih dari demikian; alam-alam tersebut terutama adalah keadaan batin. Seseorang yang anggun, berdaya dan bahagia dapat dikatakan berada di alam dewa seperti kebahagiaan dewa sebenarnya. Pula, manusia yang mengalami banyak penderitaan batin dapat dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan batin dapat dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan di alam neraka sebenarnya. Sang Buddha menegaskan, dengan bersabda:

Apabila seorang dungu berkata bahwa neraka ada dibawah laut, maka mereka sebenarnya berkata palsu tak berdasar. Istilah “neraka” adalah menunjukkan perasaan-perasaan yang menyakitkan.16

Pada umumnya semua agama menerima adanya alam surga dan alam neraka, namun adalah anggapan salah bahwa keberadaan di kedua alam itu adalah selamanya. Sang Buddha mengajarkan, bahwa sesudah masa hidup satu makhluk di suatu alam habis, makhluk itu akan lahir lagi di alam lain. Proses kelahiran dan kematian yang tak berujung pangkal, berpindah dari satu alam ke alam lain, itulah yang disebut samsara. Ajaran Sang Buddha menolong kita untuk berbahagia pada kehidupan sekarang ini dan agar terlahir di alam yang penuh kebahagiaan pada kehidupan yang akan datang. Namun, kebahagiaan yang lengkap hanya bisa dicapai setelah terbebas dari Samsara dan mencapai Pencerahan, dan inilah tujuan tertinggi dari ajaran Sang Buddha.





25. Andaikata ada seorang ilmuwan yang tinggal di tengah-tengah perkampungan suatu suku tertentu, katakanlah untuk mempelajari adat istiadat mereka; lalu, pada suatu hari dia melihat penduduk kampung sedang mengadakan permainan tradisonal mereka. Si ilmuwan, walau memperhatikan dengan seksama permainan itu, tidak akan mengerti apapun, karena tidak mengetahui aturan main permainan tersebut. Lalu, setelah dia diberitahu aturan permainan tersebut, maka semua gerakan atau tindakan dari para pemain yang sebelumnya tidak berarti, sekarang telah mempunyai arti baginya.

Kehidupan kita sebenarnya menyerupai perumpamaan diatas. Semua yang terjadi pada kita dan sekeliling kita tampak tidak berarti dan membingungkan, oleh karena tiadanya pengertian.

Untuk dapat mengerti makna kehidupan, kita masing-masing mengadakan penelitian lewat ajaran agama, namun selalu ada kejanggalan-kejanggalan yang tidak dapat dijelaskan oleh agama, atau malah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri (yang mungkin lalu dianggap saja sebagai “misteri”). Namun setelah Sang Buddha tampil menerangkan, mengapa dan bagaimana semua ini terjadi, barulah kehidupan ini tampak berarti dan mempunyai makna bagi kita. Tujuan hidup tak lain adalah melepaskan diri dari samsara dan membebaskan batin kita untuk mencapai kedamaian Nibbana. Sang Buddha bersabda:

Kehidupan suci bukanlah demi keberuntungan karena mendapat kekayaan, kehormatan dan kemasyuran, dan kehidupan bermoral; bukan pula demi keberuntungan yang dikarenakan dapat memusatkan pikiran, pula bukan untuk keberuntungan yang dikarenakan oleh pengetahuan dan kewaskitaan. Tapi adalah sesuatu “kebebasan batin yang tak tergoyahkan” itulah yang menjadi tujuan dari kehidupan yang suci, itulah sasaran-nya, itulah titik puncak-nya.17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar