Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Anavassuta cittassa, ananvāhatacetaso,
puñña pāpapahῑnassa, natthi jāgarato bhayaṁ
Seseorang yang pikirannya tidak ternoda oleh nafsu, terbebas dari kebencian,
dapat mengatasi baik dan buruk, maka tidak ada lagi perasaan takut.
(Dhammapada III:7)
Dalam hidup ini, tentunya kita menginginkan hidup yang bahagia damai dan tentram. Tetapi apakah kenyataannya kita sudah benar-benar merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya? Tentunya kita sulit untuk menjawabnya. Karena kenyataannya, apa yang dilakukan, belum tentu mendapatkan atau membuahkan kebahagiaan yang berarti. Terkadang kita sudah merasa mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau yang didambakan. Kenyataannya apa yang diinginkan itu tidak membawa ke arah kebahagiaan yang sesungguhnya, malahan sebaliknya, apa yang dilakukan itu membawa penderitaan, bukan kebahagiaan. Sungguh membingungkan, apa yang dicita-citakan malahan membawa seseorang ke penderitaan. Memang awalnya bahagia, tetapi akhirnya kebahagiaan itu berakhir dengan penderitaan.
Memang, kalau membicarakan kebahagiaan, semua orang sangat senang. Karena, siapa yang mau hidupnya selalu menderita? Rasanya tidak ada yang mau, kalau hidupnya menderita. Masalahnya, apakah cara untuk membuat kebahagiaan itu sudah benar-benar sesuai dengan kebenaran itu sendiri? Lalu apakah kebahagiaan yang kita kejar itu benar-benar sudah sesuai dengan ajaran Buddha?
Ada dua jenis kebahagiaan:
1. Kebahagiaan mendapat
Kebahagiaan mendapat inilah yang selalu dinginkan, dirindukan, dan didambakan oleh banyak orang, yaitu mendapatkan kesuksesan, usaha maju, kekayaan, ketampanan, dan sebagainya. Hal tersebut adalah bentuk-bentuk pada umumnya yang selalu dinanti-nanti oleh kebanyakan orang. Siapa yang tidak mau mendapatkan hal tersebut di atas? Rasanya semua mau, karena hal tersebut akan membawa kemajuan dan kesuksesan demi tercapainya hidup yang bahagia, tanpa kekurangan.
Kebahagiaan mendapat, tidaklah jaminan untuk membebaskan diri kita dari derita. Karena kebahagiaan mendapat itu, jikalau kita tidak hati-hati, maka apa yang didapat itupun berubah menjadi belenggu. Ketika kita berpisah dan tidak mendapat apa yang dicita-citakan, maka kita akan menderita, kecewa serta bersedih. Makanya, ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, di sana sudah tertanam penderitaan. Memang sepintas menyenangkan, tetapi sesungguhnya apa yang didapat, tidaklah permanen, dan seseorang cenderung untuk melekatinya. Ketika kebahagiaan itu hilang, timbullah penderitaan, kekecewaan dan penyesalan.
Pada dasarnya seseorang yang cenderung mengikuti kesenangan indria, pada akhirnya berakhir dengan penderitaan dan terus datang silih berganti. Senang hilang, penderitaan datang, penderitaan hilang, bahagia datang. Begitulah hidup. Jadi pada umumnya apa yang didapatkan, semua itu termotivasi untuk kesenangan saja, bukan berpikiran bahwa, apa yang dicarinya itu demi kebutuhan, bukan hanya kesenangan semata. Mendapatkan apa yang dicita-citakan memang hal yang wajar. Tetapi, di sana setelah mendapatkan kita harus ekstra hati-hati agar kita tidak digerogoti oleh kesenangan itu sendiri, yang nantinya akan berubah menjadi penderitaan. Jadi kita juga harus memperhatikan kebahagiaan yang kedua, yaitu bahagia karena memberi.
Sang Buddha mengatakan, “Magandiya, pada masa lalu, kesenangan indriawi menyakitkan jika disentuh, panas, serta menghanguskan; pada masa mendatang pun kesenangan-kesenangan indriawi akan menyakitkan jika disentuh, panas, serta menghanguskan; dan sekarang, pada saat ini, kesenangan indriawi menyakitkan jika disentuh, panas, serta menghanguskan. Namun orang-orang yang belum terbebas dari nafsu akan kesenangan indriawi, yang digerogoti nafsu keinginan akan kesenangan indriawi, yang terbakar dengan demam kesenangan indriawi, kemampuannya tengah terganggu; karenanya, walaupun kesenangan indriawi sesungguhnya menyakitkan jika disentuh, mereka mendapatkan pencerapan yang salah bahwa kesenangan indriawi itu menyenangkan.” (Majjhima Nikāya, Magandiya Sutta I 504-8)
2. Kebahagiaan memberi
Kebahagiaan memberi inilah yang justru harus kita buat, agar kita mendapatkan berkah dari memberi tersebut. Dalam hal ini adalah bukan memberi yang didasari untuk mendapatkan, tetapi memberi yang didasari oleh niat yang ingin melepas dengan tulus ikhlas atas apa yang dimiliki untuk makhluk lain yang membutuhkan. Tetapi kebanyakan orang menganggap memberi adalah untuk mendapatkan. Atau bahkan ada yang merasa, dengan memberi berarti kehilangan. Sulit memang untuk dilakukan, tetapi kita harus melatih untuk memberi atas dasar pelepasan bukan untuk mendapatkan. Kalau memberi atas dasar mendapatkan, di sana masih ada kekikiran dan keserakahan, dan jika kehilangan apa yang dimiliki, maka orang tersebut akan menderita.
Jadi, memberi atas dasar untuk melepaskan inilah yang sesungguhnya akan membuat hidup kita tambah bahagia, karena di samping kita mendapat, kita juga latihan untuk melepas apa yang kita miliki untuk makhluk lain yang membutuhkan.
Sang Buddha mengatakan, ”Seandainya para makhluk tahu, seperti apa yang Aku tahu, buah dari perbuatan memberi serta berbagi, mereka tidak akan makan sebelum memberi; mereka tidak akan membiarkan noda-noda kekikiran menguasai mereka dan mengakar di dalam pikiran. Bahkan seandainya makanan itu adalah makanan terakhir, suapan terakhir, mereka tidak akan menikmatinya tanpa membaginya seandainya ada orang yang diajak berbagi” (Itivuttaka 26)
Jadi, sebenarnya bukan hanya kebahagiaan mendapat saja yang kita buat. Kalau hanya ini saja, berarti kebahagiaan ini akan membuahkan penderitaan di kemudian. Maka dari itu, kebahagiaan melepas juga amat penting, agar hidup kita terasa seimbang, di samping kita juga bahagia karena mendapat. Kita juga bisa latihan memberi yang didasari untuk melepas apa yang kita miliki diberikan kepada makhluk lain yang benar-benar membutuhkan. Maka dari itu, hidup kita akan benar-benar bahagia karena mendapat dan bahagia karena memberi.
”Jasa timbul dari orang yang memberi; tidak ada rasa permusuhan yang terbentuk bagi seseorang yang terkendali; seseorang yang cakap meninggalkan perbuatan jahat; dengan berakhirnya keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan, seseorang mencapai pembebasan, Nibbāna akhir.” (Itivuttaka 8.5)
(10 Januari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar