Mengakui, Memaafkan dan Melepaskan
Bagi kamu yang mengalami kesulitan bermeditasi, hal ini disebabkan kamu belum belajar bagaimana melepas pada saat bermeditasi. Mengapa kita tidak bisa melepaskan hal-hal sederhana seperti masa lampau atau masa mendatang? Mengapa kita begitu mempedulikan apa yang telah dilakukan dan dikatakan seseorang terhadap kita hari ini? Semakin banyak kamu memikirkannya, semakin bodohlah jadinya. Seperti pepatah kuno, “Ketika seseorang menyebutmu idiot, semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin seringlah mereka telah menyebutmu idiot!” Jika kamu segera melepaskannya, kamu tidak akan pernah memikirkannya lagi. Paling banyak mereka hanya menyebutmu idiot sekali saja. Sudah! Selesai! Kamu bebas!
Mengapa kita memenjarakan diri kita dalam masa lalu kita? Mengapa kita masih tidak bisa melepaskannya? Apakah kamu sungguh-sungguh ingin bebas? Maka akuilah, maafkan dan lepaskan. Akui, maafkan dan lepaskan hal apapun yang menyakitimu, baik itu sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh seseorang, maupun apa yang telah terjadi dalam kehidupanmu. Sebagai contoh, seseorang dalam keluargamu telah meninggal dan kamu berdebat dengan dirimu sendiri bahwa mereka tidak seharusnya meninggal. Atau kamu telah kehilangan pekerjaanmu dan kamu berpikir tanpa henti bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi. Atau hanya karena sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, kemudian kamu begitu terobsesi menyatakan bahwa itu tidaklah adil. Kamu boleh menghukum dirimu atas hal yang kamu lakukan sepanjang sisa hidupmu jika kamu mau, tetapi tidak ada seorangpun yang memaksamu untuk melakukannya. Sebaliknya kamu dapat mengakui, memaafkan dan belajar memaafkan. Pelepasan adalah proses pembelajaran. Pelepasan memberikan kebebasan bagi kita untuk menyongsong masa depan dengan mudah, serta memutuskan rantai keterikatan terhadap masa lalu.
Baru-baru ini saya berbicara dengan beberapa orang mengenai komunitas orang-orang Kamboja di Perth yang menjadi komunitas Buddhis, masih banyak hal yang harus saya lakukan bersama komunitas ini. Seperti layaknya umat Buddha tradisional lainnya, ketika mereka terbentur masalah, mereka akan datang dan berkonsultasi dengan para bhikkhu. Inilah yang telah mereka lakukan selama berabad-abad. Vihara dan para bhikkhu adalah pusat sosial, pusat keagamaan, dan pusat konseling bagi komunitas tersebut. Bahkan ketika para pria bertengkar dengan istri mereka, merekapun datang ke vihara.
Suatu ketika pada saat saya masih seorang bhikkhu muda di Thailand, seorang pria datang ke vihara dan bertanya pada saya, “Bolehkah saya tinggal di vihara selama beberapa hari?” Saya pikir ia ingin bermeditasi, jadi saya berkata, “Oh, kamu mau bermeditasi ya?” “Oh, tidak”, ia menjawab, “Saya ingin tinggal di vihara karena saya baru saja bertengkar dengan istri saya.” Jadi ia pun tinggal di vihara. Tiga atau empat hari kemudian ia menjumpai saya dan berkata, “Saya merasa lebih baik sekarang, bolehkah saya pulang?” Sungguh bijak, ia bukannya pergi ke bar dan mabuk-mabukan, ia tidak mendatangi teman-temannya dan membeberkan kepada mereka hal-hal jelek yang ia pikirkan mengenai apa yang telah dilakukan istrinya sehingga memperkuat rasa sakit hati dan kemarahannya, melainkan ia tinggal dengan sekumpulan bhikkhu yang penuh kebaikan dan kedamaian, yang tidak akan berkomentar apapun mengenai istrinya. Ia merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya dalam kedamaian itu, dalam lingkungan yang mendukung dan akhirnya ia pun merasa lebih baik. Kadang-kadang inilah fungsi vihara: sebagai pusat konsultasi, tempat pengungsian, tempat dimana orang melepaskan segala permasalahannya. Bukankah hal ini lebih baik daripada tetap melekat pada masa lalu, terutama ketika kita marah terhadap sesuatu yang telah terjadi? Ketika kita memperbesar kemarahan, apakah kita dapat benar-benar melihat hal yang sedang terjadi? Atau kita melihatnya melalui kacamata kemarahan yang menyesatkan, mencari kesalahan orang lain, hanya memperhatikan hal-hal jelek yang telah dilakukannya pada kita, tanpa pernah benar-benar melihat gambarannya secara utuh?
Satu hal yang saya amati dari komunitas orang orang Kamboja ini adalah bahwa mereka semua telah melalui penderitaan pada masa zaman Pol Pot. Saya mengenal seorang pria Kamboja yang istrinya ditembak tepat di hadapannya oleh Khmer Merah, hanya karena mencuri sebuah mangga. Istrinya sangat lapar sehingga ia memetik sebuah mangga dari pohon. Salah seorang kader Khmer Merah melihatnya dan, tanpa diadili, ia menarik senapannya di depan suaminya dan menembak mati sang istri. Ketika pria ini menceritakan hal ini kepada saya, saya memperhatikan wajahnya, gerak gerik tubuhnya, sungguh menakjubkan, tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, bahkan tidak ada kesedihan yang tampak. Yang ada hanyalah penerimaan yang penuh kedamaian atas apa yang telah terjadi. Hal ini tidak seharusnya terjadi, tetapi pada kenyataannya hal inilah yang terjadi.
Dengan melepaskan masa lalu, kita dapat menikmati masa sekarang dan bebas menyongsong masa depan. Mengapa kita selalu membawa-bawa sesuatu yang telah berlalu? Kemelekatan terhadap masa lalu bukanlah suatu teori, melainkan suatu sikap. Kita dapat mengatakan, “Oh, saya tidak melekat.” Atau kita dapat mengatakan, “Saya sama sekali tidak melekat, bahkan tidak melekat pada ketidakmelekatan tersebut,” yang terasa sangat bijak dan terdengar sangat indah, tetapi semua itu hanyalah sampah. Tahukah kamu jika kamu melekat, tidak bisa melepaskan hal-hal penting yang menyebabkanmu menderita, maka hal ini akan menghalangi kebebasanmu. Kemelekatan laksana bola besi dengan rantai yang terikat di kakimu. Tidak ada orang yang mengikatkannya padamu. Kamu memiliki kunci untuk membebaskan dirimu, tetapi kamu tidak menggunakannya. Mengapa kita begitu membatasi diri kita sendiri dan mengapa kita tidak bisa melepaskan segala urusan dan kekhawatiran terhadap masa yang akan datang? Apakah kamu khawatir mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya, besok, minggu depan, atau tahun depan? Mengapa kamu melakukan hal ini? Sudah berapa kali kamu mengkhawatirkan ujian atau ulangan, atau kunjungan ke dokter, atau kunjungan ke dokter gigi? Kamu bisa saja khawatir kamu akan sakit dan ketika kamu telah bersiap mengunjungi dokter gigi, ternyata mereka telah membatalkan perjanjianmu dan kamu pun tidak perlu pergi lagi!
Sesuatu tidak akan pernah terjadi sesuai dengan pengharapanmu. Belumkah kita belajar bahwa masa yang akan datang itu begitu tidak pasti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika kita melepaskan masa lalu dan masa yang akan datang, bukankah kita telah berada pada jalur meditasi yang mendalam? Bukankah kita sebenarnya sedang belajar bagaimana cara untuk menjadi damai, bebas, dan puas?
Ini adalah indikasi dari makna pencerahan. Ini berarti melihat bahwa banyak kemelekatan kita yang didasari oleh kebodohan belaka. Kita tidak memerlukan hal ini. Seiring kita mengembangkan meditasi dengan lebih mendalam, kita semakin bisa lebih melepaskannya. Semakin banyak kita melepas, semakin bahagia dan damailah diri kita. Inilah alasan mengapa Buddha menyebut semua jalan dalam ajaran Buddha sebagai latihan yang bertahap. Ini adalah jalan yang membimbing seseorang, selangkah demi selangkah, dan pada setiap langkahnya kamu akan mendapatkan suatu penghargaan. Itulah sebabnya ini merupakan sebuah jalan yang sangat membahagiakan dan semakin jauh kamu melangkah, maka semakin membahagiakan dan berhargalah penghargaan itu. Bahkan pada langkah pertama saja kamu sudah akan mendapatkan penghargaan.
Saya masih ingat pertama sekali saya bermeditasi. Saya ingat ruangannya, di Universitas Cambridge, di Ruang Wordsworth, Kampus King. Saya belum pernah bermeditasi sebelumnya, jadi saya hanya duduk di sana lima sampai sepuluh menit dengan beberapa teman saya. Walaupun hanya sepuluh menit, tetapi saya berpikir, “Oh, alangkah menyenangkannya”, saya masih ingat perasaan itu bahwa ada sesuatu yang bergaung dalam diriku, memberitahukan bahwa inilah jalan yang membimbing saya ke suatu tempat yang luar biasa. Saya telah mendiskusikan segala jenis filosofi sambil minum kopi dan bir dengan teman-teman saya, tetapi “diskusi” selalu berakhir dengan perdebatan dan mereka tidak pernah membuat saya lebih bahagia. Bahkan profesor besar di unversitas yang kamu kenal dengan sangat baik tidak terlihat bahagia. Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak melanjutkan karir akademis saya. Mereka memang sangat brilian dalam bidang mereka, tetapi di sisi lain mereka juga sebodoh orang biasa. Mereka juga berdebat, khawatir dan tertekan, sama seperti setiap orang yang lain. Dan hal ini benar-benar mengena padaku. Mengapa orang-orang pintar di universitas yang terkenal ini tidak merasa bahagia? Apa gunanya menjadi pintar jika hal ini tidak memberikanmu kebahagiaan? Yang saya maksud adalah kebahagiaan sejati, kepuasan sejati dan kedamaian sejati.
Kepuasan dan Kedamaian Sejati
Orang yang penuh kepuasan dan kedamaian sejati yang pertama saya jumpai adalah Ajahn Chah, guru saya di Thailand. Ada sesuatu dalam dirinya! Saya melihat apa yang dimilikinya dan saya berkata pada diriku sendiri, “Saya menginginkan hal itu, saya menginginkan pengertian itu, kedamaian itu.” Orang-orang dari segala penjuru dunia datang mengunjunginya. Hanya karena beliau seorang bhikkhu tidak berarti setiap orang merasa hormat, mengabdi dan selalu memujinya. Sebagian orang datang dan berdebat dengannya, bahkan berusaha mencari kesalahannya, atau bahkan membentaknya. Saya ingat sebuah cerita mengenai saat pertama kalinya ia mengunjungi Inggris dengan Ajahn Sumedho. Beliau ber-pindapata di Hampstead dan ketika beliau sedang berjalan, hal ini terjadi dua puluh tahun silam, seorang pengacau muda mendatangi orang Asia yang berkostum lucu ini dan berpura-pura meninju hidungnya. Ajahn Chah tidak tahu orang ini hanya berpura-pura. Kemudian ia berusaha untuk menendangnya tetapi luput dari sasaran. Ia hanya ingin bercanda dengan bhikkhu Asia kecil yang berkostum lucu. Ajahn Chah tidak tahu kapan beliau akan dipukul. Beliau tidak pernah terkena sasaran, karena beliau tetap damai, tenang dan tidak pernah marah. Kemudian, ia mengatakan bahwa Inggris adalah tempat yang sangat bagus dan ia ingin mengirim semua bhikkhu bhikkhu seniornya ke sana untuk benar-benar menguji mereka. Sedangkan bagi Ajahn Chah, beliau telah memiliki ketenangan hati dalam latihannya.
Mudah bagi kita untuk mengatakan, “saya telah tercerahkan”, tetapi ketika hal demikian terjadi, kamu pun berlari sejauh satu mil. Pada saat itu bhikkhu lain di Hampstead sedang jalan-jalan sore ketika ia melewati sebuah pub. Pada saat itu, beliau tidak menyadari pada hari tersebut ada pertandingan sepak bola besar-besaran antara Inggris dan Skotlandia. Pertandingan tersebut telah berakhir dan para pendukung Skotlandia berada di pub tersebut dalam keadaan mabuk. Pada masa itu, ada sebuah drama seri TV mengenai seorang bhikkhu Kung Fu, yang pada saat masih kecil dijuluki “jangkrik”. Penggemar sepakbola Skotlandia itu melihat melalui jendela pub dan berkata, “Oh, ia adalah jangkrik kecil” dan bhikkhu ini terkejut. Mereka adalah orang Skotlandia yang berbadan besar dan mereka sangat mabuk, jadi ia pun melarikan diri dan mereka mengejarnya di sepanjang jalan kembali ke vihara. “Jangkrik kecil” sedang menyelamatkan dirinya. Ia kalah. Tetapi jenis praktik pelepasan yang dilakukan oleh Ajahn Chah di Hampstead adalah sesuatu yang memberikanmu sebuah perasaan bahwa kamu berada di jalan menuju pencerahan.
Sebuah Jalan Bertahap
Inti ajaran Buddha adalah sebuah jalan bertahap, selangkah demi selangkah dan kamu akan berhasil. Beberapa orang berkata kamu seharusnya tidak bermeditasi untuk mendapatkan hasil. Semua itu omong kosong! Bermeditasilah untuk mendapatkan hasil. Bermeditasilah untuk menjadi bahagia. Bermeditasilah untuk mendapatkan kedamaian. Bermeditasilah untuk mencapai pencerahan, sedikit demi sedikit. Tetapi jika kamu mengharapkan hasil maka bersabarlah. Salah satu masalah yang dihadapi manusia adalah ketika mereka menetapkan tujuannya, mereka tidak cukup bersabar. Karena itulah mereka kecewa, tertekan dan merasa frustrasi. Mereka tidak meluangkan waktu yang cukup untuk berlatih hingga berkembang secara alami menuju pencerahan. Hal ini membutuhkan waktu, bahkan mungkin beberapa kali kehidupan, jadi jangan terburu buru. Seiring kamu menempuh setiap langkahnya, selalu ada sesuatu yang dapat kamu pelajari. Lepaskanlah sedikit maka kamu akan mendapatkan kebebasan dan kedamaian. Lepaskanlah lebih banyak maka kamu akan merasakan kebahagiaan. Inilah cara saya mengajarkan meditasi, baik di vihara saya maupun di sini. Saya mendorong para meditator untuk mencoba mencapai tingkat-tingkat pelepasan ini, tingkat kebahagiaan yang disebut Jhana.
Jhana
Setiap orang ingin bahagia dan jhana adalah caramu agar dapat meraih kebahagiaan, maksud saya kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang mendalam. Satu satunya masalah yang timbul adalah bahwa keadaan ini tidak bertahan lama. Hanya beberapa jam, tapi mereka tetap saja sangat menarik. Mereka muncul melalui pelepasan, pelepasan yang nyata. Terutama melalui pelepasan keinginan, pilihan dan kendali. Sungguh merupakan suatu hal yang sangat menarik, jika kita mempraktikkan meditasi secara mendalam dan memahami bagaimana hal itu dapat terjadi. Melalui pengalaman seperti itulah kamu menyadari bahwa semakin kamu mengendalikan, kamu akan semakin ketagihan karena kemelekatan, semakin berkurang pula kedamaian yang kamu peroleh. Tetapi semakin kamu melepaskan, semakin kamu menanggalkan, semakin kamu menyingkir dari jalan tersebut, kamu akan merasa semakin bahagia. Ini adalah ajaran dari sesuatu yang sangat mendalam, jauh lebih mendalam daripada yang dapat kamu baca dalam buku atau kamu dengar dalam sebuah ceramah dan tentu saja lebih bermanfaat daripada hanya mendiskusikannya di sekeliling meja kopi. Kamu benar-benar mengalami sesuatu. Hal ini langsung menuju kepada inti ajaran, sesuatu yang disebut orang mistisisme. Kamu benar-benar mengalaminya sendiri. Tepatnya ketika kamu melepaskan “pengendali” ini, ”pelaku” ini. Nah, inilah masalah utama yang dihadapi manusia. Kita tidak dapat berhenti mengacau. Sering kali kita seharusnya membiarkannya, tetapi kita tidak mampu, kita tidak melakukannya. Kita malah mengacaukannya. Mengapa sih kamu tidak bisa bersenang-senang saja dan menikmatinya, daripada terus melakukan sesuatu tanpa henti?
Sangat sulit untuk hening pada saat bermeditasi, tetapi semakin mampu kamu hening, semakin banyak hadiah yang kamu dapatkan, kamu akan merasa semakin damai. Ketika kamu melepaskan pada saat bermeditasi, melepaskan keinginan, melepaskan kendali, ketika kamu berhenti berbicara dalam hati, kamu akan medapatkan keheningan sejati dalam dirimu. Berapa banyak orang yang merasa jengkel akan keributan yang berkecamuk dalam kepala mereka sepanjang waktu? Berapa banyak orang yang terkadang sulit tidur pada malam hari, tatkala tidak ada keributan yang berasal dari tetangga, melainkan sesuatu yang jauh lebih berisik di antara kedua telinga mereka. Bicara, Bicara, Bicara, Cemas, Cemas, Cemas, Berpikir, Berpikir, Berpikir! Inilah masalah yang dihadapi manusia, pada saat mereka seharusnya berpikir, mereka tidak dapat berpikir jernih, dan pada saat mereka seharusnya berhenti berpikir, mereka tidak bisa merasa damai. Saat kita belajar cara bermeditasi, kita dapat merasa menjadi lebih seimbang, dan kita tahu bagaimana cara melepas. Kita tahu bagaimana melepaskan hingga titik dimana semua pemikiran lenyap. Pemikiran ini hanyalah komentar komentar, mereka hanyalah gambaran-gambaran. Perbedaan antara pemikiran dan kenyataan seperti layaknya perbedaan, katakanlah, membaca buku mengenai New York dan mengunjungi New York. Mana yang lebih nyata? Ketika kamu berada di sana, kamu menghirup udara di sana, kamu merasakan suasana disana, kamu merasakan karakternya, semua ini adalah hal-hal yang tidak dapat kamu tuliskan di buku. Kebenaran itu selalu berhubungan dengan keheningan. Kebohongan itu selalu berhubungan dengan kata-kata.
Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin
Bagi kamu yang mengalami kesulitan bermeditasi, hal ini disebabkan kamu belum belajar bagaimana melepas pada saat bermeditasi. Mengapa kita tidak bisa melepaskan hal-hal sederhana seperti masa lampau atau masa mendatang? Mengapa kita begitu mempedulikan apa yang telah dilakukan dan dikatakan seseorang terhadap kita hari ini? Semakin banyak kamu memikirkannya, semakin bodohlah jadinya. Seperti pepatah kuno, “Ketika seseorang menyebutmu idiot, semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin seringlah mereka telah menyebutmu idiot!” Jika kamu segera melepaskannya, kamu tidak akan pernah memikirkannya lagi. Paling banyak mereka hanya menyebutmu idiot sekali saja. Sudah! Selesai! Kamu bebas!
Mengapa kita memenjarakan diri kita dalam masa lalu kita? Mengapa kita masih tidak bisa melepaskannya? Apakah kamu sungguh-sungguh ingin bebas? Maka akuilah, maafkan dan lepaskan. Akui, maafkan dan lepaskan hal apapun yang menyakitimu, baik itu sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh seseorang, maupun apa yang telah terjadi dalam kehidupanmu. Sebagai contoh, seseorang dalam keluargamu telah meninggal dan kamu berdebat dengan dirimu sendiri bahwa mereka tidak seharusnya meninggal. Atau kamu telah kehilangan pekerjaanmu dan kamu berpikir tanpa henti bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi. Atau hanya karena sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, kemudian kamu begitu terobsesi menyatakan bahwa itu tidaklah adil. Kamu boleh menghukum dirimu atas hal yang kamu lakukan sepanjang sisa hidupmu jika kamu mau, tetapi tidak ada seorangpun yang memaksamu untuk melakukannya. Sebaliknya kamu dapat mengakui, memaafkan dan belajar memaafkan. Pelepasan adalah proses pembelajaran. Pelepasan memberikan kebebasan bagi kita untuk menyongsong masa depan dengan mudah, serta memutuskan rantai keterikatan terhadap masa lalu.
Baru-baru ini saya berbicara dengan beberapa orang mengenai komunitas orang-orang Kamboja di Perth yang menjadi komunitas Buddhis, masih banyak hal yang harus saya lakukan bersama komunitas ini. Seperti layaknya umat Buddha tradisional lainnya, ketika mereka terbentur masalah, mereka akan datang dan berkonsultasi dengan para bhikkhu. Inilah yang telah mereka lakukan selama berabad-abad. Vihara dan para bhikkhu adalah pusat sosial, pusat keagamaan, dan pusat konseling bagi komunitas tersebut. Bahkan ketika para pria bertengkar dengan istri mereka, merekapun datang ke vihara.
Suatu ketika pada saat saya masih seorang bhikkhu muda di Thailand, seorang pria datang ke vihara dan bertanya pada saya, “Bolehkah saya tinggal di vihara selama beberapa hari?” Saya pikir ia ingin bermeditasi, jadi saya berkata, “Oh, kamu mau bermeditasi ya?” “Oh, tidak”, ia menjawab, “Saya ingin tinggal di vihara karena saya baru saja bertengkar dengan istri saya.” Jadi ia pun tinggal di vihara. Tiga atau empat hari kemudian ia menjumpai saya dan berkata, “Saya merasa lebih baik sekarang, bolehkah saya pulang?” Sungguh bijak, ia bukannya pergi ke bar dan mabuk-mabukan, ia tidak mendatangi teman-temannya dan membeberkan kepada mereka hal-hal jelek yang ia pikirkan mengenai apa yang telah dilakukan istrinya sehingga memperkuat rasa sakit hati dan kemarahannya, melainkan ia tinggal dengan sekumpulan bhikkhu yang penuh kebaikan dan kedamaian, yang tidak akan berkomentar apapun mengenai istrinya. Ia merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya dalam kedamaian itu, dalam lingkungan yang mendukung dan akhirnya ia pun merasa lebih baik. Kadang-kadang inilah fungsi vihara: sebagai pusat konsultasi, tempat pengungsian, tempat dimana orang melepaskan segala permasalahannya. Bukankah hal ini lebih baik daripada tetap melekat pada masa lalu, terutama ketika kita marah terhadap sesuatu yang telah terjadi? Ketika kita memperbesar kemarahan, apakah kita dapat benar-benar melihat hal yang sedang terjadi? Atau kita melihatnya melalui kacamata kemarahan yang menyesatkan, mencari kesalahan orang lain, hanya memperhatikan hal-hal jelek yang telah dilakukannya pada kita, tanpa pernah benar-benar melihat gambarannya secara utuh?
Satu hal yang saya amati dari komunitas orang orang Kamboja ini adalah bahwa mereka semua telah melalui penderitaan pada masa zaman Pol Pot. Saya mengenal seorang pria Kamboja yang istrinya ditembak tepat di hadapannya oleh Khmer Merah, hanya karena mencuri sebuah mangga. Istrinya sangat lapar sehingga ia memetik sebuah mangga dari pohon. Salah seorang kader Khmer Merah melihatnya dan, tanpa diadili, ia menarik senapannya di depan suaminya dan menembak mati sang istri. Ketika pria ini menceritakan hal ini kepada saya, saya memperhatikan wajahnya, gerak gerik tubuhnya, sungguh menakjubkan, tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, bahkan tidak ada kesedihan yang tampak. Yang ada hanyalah penerimaan yang penuh kedamaian atas apa yang telah terjadi. Hal ini tidak seharusnya terjadi, tetapi pada kenyataannya hal inilah yang terjadi.
Dengan melepaskan masa lalu, kita dapat menikmati masa sekarang dan bebas menyongsong masa depan. Mengapa kita selalu membawa-bawa sesuatu yang telah berlalu? Kemelekatan terhadap masa lalu bukanlah suatu teori, melainkan suatu sikap. Kita dapat mengatakan, “Oh, saya tidak melekat.” Atau kita dapat mengatakan, “Saya sama sekali tidak melekat, bahkan tidak melekat pada ketidakmelekatan tersebut,” yang terasa sangat bijak dan terdengar sangat indah, tetapi semua itu hanyalah sampah. Tahukah kamu jika kamu melekat, tidak bisa melepaskan hal-hal penting yang menyebabkanmu menderita, maka hal ini akan menghalangi kebebasanmu. Kemelekatan laksana bola besi dengan rantai yang terikat di kakimu. Tidak ada orang yang mengikatkannya padamu. Kamu memiliki kunci untuk membebaskan dirimu, tetapi kamu tidak menggunakannya. Mengapa kita begitu membatasi diri kita sendiri dan mengapa kita tidak bisa melepaskan segala urusan dan kekhawatiran terhadap masa yang akan datang? Apakah kamu khawatir mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya, besok, minggu depan, atau tahun depan? Mengapa kamu melakukan hal ini? Sudah berapa kali kamu mengkhawatirkan ujian atau ulangan, atau kunjungan ke dokter, atau kunjungan ke dokter gigi? Kamu bisa saja khawatir kamu akan sakit dan ketika kamu telah bersiap mengunjungi dokter gigi, ternyata mereka telah membatalkan perjanjianmu dan kamu pun tidak perlu pergi lagi!
Sesuatu tidak akan pernah terjadi sesuai dengan pengharapanmu. Belumkah kita belajar bahwa masa yang akan datang itu begitu tidak pasti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika kita melepaskan masa lalu dan masa yang akan datang, bukankah kita telah berada pada jalur meditasi yang mendalam? Bukankah kita sebenarnya sedang belajar bagaimana cara untuk menjadi damai, bebas, dan puas?
Ini adalah indikasi dari makna pencerahan. Ini berarti melihat bahwa banyak kemelekatan kita yang didasari oleh kebodohan belaka. Kita tidak memerlukan hal ini. Seiring kita mengembangkan meditasi dengan lebih mendalam, kita semakin bisa lebih melepaskannya. Semakin banyak kita melepas, semakin bahagia dan damailah diri kita. Inilah alasan mengapa Buddha menyebut semua jalan dalam ajaran Buddha sebagai latihan yang bertahap. Ini adalah jalan yang membimbing seseorang, selangkah demi selangkah, dan pada setiap langkahnya kamu akan mendapatkan suatu penghargaan. Itulah sebabnya ini merupakan sebuah jalan yang sangat membahagiakan dan semakin jauh kamu melangkah, maka semakin membahagiakan dan berhargalah penghargaan itu. Bahkan pada langkah pertama saja kamu sudah akan mendapatkan penghargaan.
Saya masih ingat pertama sekali saya bermeditasi. Saya ingat ruangannya, di Universitas Cambridge, di Ruang Wordsworth, Kampus King. Saya belum pernah bermeditasi sebelumnya, jadi saya hanya duduk di sana lima sampai sepuluh menit dengan beberapa teman saya. Walaupun hanya sepuluh menit, tetapi saya berpikir, “Oh, alangkah menyenangkannya”, saya masih ingat perasaan itu bahwa ada sesuatu yang bergaung dalam diriku, memberitahukan bahwa inilah jalan yang membimbing saya ke suatu tempat yang luar biasa. Saya telah mendiskusikan segala jenis filosofi sambil minum kopi dan bir dengan teman-teman saya, tetapi “diskusi” selalu berakhir dengan perdebatan dan mereka tidak pernah membuat saya lebih bahagia. Bahkan profesor besar di unversitas yang kamu kenal dengan sangat baik tidak terlihat bahagia. Itulah salah satu alasan mengapa saya tidak melanjutkan karir akademis saya. Mereka memang sangat brilian dalam bidang mereka, tetapi di sisi lain mereka juga sebodoh orang biasa. Mereka juga berdebat, khawatir dan tertekan, sama seperti setiap orang yang lain. Dan hal ini benar-benar mengena padaku. Mengapa orang-orang pintar di universitas yang terkenal ini tidak merasa bahagia? Apa gunanya menjadi pintar jika hal ini tidak memberikanmu kebahagiaan? Yang saya maksud adalah kebahagiaan sejati, kepuasan sejati dan kedamaian sejati.
Kepuasan dan Kedamaian Sejati
Orang yang penuh kepuasan dan kedamaian sejati yang pertama saya jumpai adalah Ajahn Chah, guru saya di Thailand. Ada sesuatu dalam dirinya! Saya melihat apa yang dimilikinya dan saya berkata pada diriku sendiri, “Saya menginginkan hal itu, saya menginginkan pengertian itu, kedamaian itu.” Orang-orang dari segala penjuru dunia datang mengunjunginya. Hanya karena beliau seorang bhikkhu tidak berarti setiap orang merasa hormat, mengabdi dan selalu memujinya. Sebagian orang datang dan berdebat dengannya, bahkan berusaha mencari kesalahannya, atau bahkan membentaknya. Saya ingat sebuah cerita mengenai saat pertama kalinya ia mengunjungi Inggris dengan Ajahn Sumedho. Beliau ber-pindapata di Hampstead dan ketika beliau sedang berjalan, hal ini terjadi dua puluh tahun silam, seorang pengacau muda mendatangi orang Asia yang berkostum lucu ini dan berpura-pura meninju hidungnya. Ajahn Chah tidak tahu orang ini hanya berpura-pura. Kemudian ia berusaha untuk menendangnya tetapi luput dari sasaran. Ia hanya ingin bercanda dengan bhikkhu Asia kecil yang berkostum lucu. Ajahn Chah tidak tahu kapan beliau akan dipukul. Beliau tidak pernah terkena sasaran, karena beliau tetap damai, tenang dan tidak pernah marah. Kemudian, ia mengatakan bahwa Inggris adalah tempat yang sangat bagus dan ia ingin mengirim semua bhikkhu bhikkhu seniornya ke sana untuk benar-benar menguji mereka. Sedangkan bagi Ajahn Chah, beliau telah memiliki ketenangan hati dalam latihannya.
Mudah bagi kita untuk mengatakan, “saya telah tercerahkan”, tetapi ketika hal demikian terjadi, kamu pun berlari sejauh satu mil. Pada saat itu bhikkhu lain di Hampstead sedang jalan-jalan sore ketika ia melewati sebuah pub. Pada saat itu, beliau tidak menyadari pada hari tersebut ada pertandingan sepak bola besar-besaran antara Inggris dan Skotlandia. Pertandingan tersebut telah berakhir dan para pendukung Skotlandia berada di pub tersebut dalam keadaan mabuk. Pada masa itu, ada sebuah drama seri TV mengenai seorang bhikkhu Kung Fu, yang pada saat masih kecil dijuluki “jangkrik”. Penggemar sepakbola Skotlandia itu melihat melalui jendela pub dan berkata, “Oh, ia adalah jangkrik kecil” dan bhikkhu ini terkejut. Mereka adalah orang Skotlandia yang berbadan besar dan mereka sangat mabuk, jadi ia pun melarikan diri dan mereka mengejarnya di sepanjang jalan kembali ke vihara. “Jangkrik kecil” sedang menyelamatkan dirinya. Ia kalah. Tetapi jenis praktik pelepasan yang dilakukan oleh Ajahn Chah di Hampstead adalah sesuatu yang memberikanmu sebuah perasaan bahwa kamu berada di jalan menuju pencerahan.
Sebuah Jalan Bertahap
Inti ajaran Buddha adalah sebuah jalan bertahap, selangkah demi selangkah dan kamu akan berhasil. Beberapa orang berkata kamu seharusnya tidak bermeditasi untuk mendapatkan hasil. Semua itu omong kosong! Bermeditasilah untuk mendapatkan hasil. Bermeditasilah untuk menjadi bahagia. Bermeditasilah untuk mendapatkan kedamaian. Bermeditasilah untuk mencapai pencerahan, sedikit demi sedikit. Tetapi jika kamu mengharapkan hasil maka bersabarlah. Salah satu masalah yang dihadapi manusia adalah ketika mereka menetapkan tujuannya, mereka tidak cukup bersabar. Karena itulah mereka kecewa, tertekan dan merasa frustrasi. Mereka tidak meluangkan waktu yang cukup untuk berlatih hingga berkembang secara alami menuju pencerahan. Hal ini membutuhkan waktu, bahkan mungkin beberapa kali kehidupan, jadi jangan terburu buru. Seiring kamu menempuh setiap langkahnya, selalu ada sesuatu yang dapat kamu pelajari. Lepaskanlah sedikit maka kamu akan mendapatkan kebebasan dan kedamaian. Lepaskanlah lebih banyak maka kamu akan merasakan kebahagiaan. Inilah cara saya mengajarkan meditasi, baik di vihara saya maupun di sini. Saya mendorong para meditator untuk mencoba mencapai tingkat-tingkat pelepasan ini, tingkat kebahagiaan yang disebut Jhana.
Jhana
Setiap orang ingin bahagia dan jhana adalah caramu agar dapat meraih kebahagiaan, maksud saya kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang mendalam. Satu satunya masalah yang timbul adalah bahwa keadaan ini tidak bertahan lama. Hanya beberapa jam, tapi mereka tetap saja sangat menarik. Mereka muncul melalui pelepasan, pelepasan yang nyata. Terutama melalui pelepasan keinginan, pilihan dan kendali. Sungguh merupakan suatu hal yang sangat menarik, jika kita mempraktikkan meditasi secara mendalam dan memahami bagaimana hal itu dapat terjadi. Melalui pengalaman seperti itulah kamu menyadari bahwa semakin kamu mengendalikan, kamu akan semakin ketagihan karena kemelekatan, semakin berkurang pula kedamaian yang kamu peroleh. Tetapi semakin kamu melepaskan, semakin kamu menanggalkan, semakin kamu menyingkir dari jalan tersebut, kamu akan merasa semakin bahagia. Ini adalah ajaran dari sesuatu yang sangat mendalam, jauh lebih mendalam daripada yang dapat kamu baca dalam buku atau kamu dengar dalam sebuah ceramah dan tentu saja lebih bermanfaat daripada hanya mendiskusikannya di sekeliling meja kopi. Kamu benar-benar mengalami sesuatu. Hal ini langsung menuju kepada inti ajaran, sesuatu yang disebut orang mistisisme. Kamu benar-benar mengalaminya sendiri. Tepatnya ketika kamu melepaskan “pengendali” ini, ”pelaku” ini. Nah, inilah masalah utama yang dihadapi manusia. Kita tidak dapat berhenti mengacau. Sering kali kita seharusnya membiarkannya, tetapi kita tidak mampu, kita tidak melakukannya. Kita malah mengacaukannya. Mengapa sih kamu tidak bisa bersenang-senang saja dan menikmatinya, daripada terus melakukan sesuatu tanpa henti?
Sangat sulit untuk hening pada saat bermeditasi, tetapi semakin mampu kamu hening, semakin banyak hadiah yang kamu dapatkan, kamu akan merasa semakin damai. Ketika kamu melepaskan pada saat bermeditasi, melepaskan keinginan, melepaskan kendali, ketika kamu berhenti berbicara dalam hati, kamu akan medapatkan keheningan sejati dalam dirimu. Berapa banyak orang yang merasa jengkel akan keributan yang berkecamuk dalam kepala mereka sepanjang waktu? Berapa banyak orang yang terkadang sulit tidur pada malam hari, tatkala tidak ada keributan yang berasal dari tetangga, melainkan sesuatu yang jauh lebih berisik di antara kedua telinga mereka. Bicara, Bicara, Bicara, Cemas, Cemas, Cemas, Berpikir, Berpikir, Berpikir! Inilah masalah yang dihadapi manusia, pada saat mereka seharusnya berpikir, mereka tidak dapat berpikir jernih, dan pada saat mereka seharusnya berhenti berpikir, mereka tidak bisa merasa damai. Saat kita belajar cara bermeditasi, kita dapat merasa menjadi lebih seimbang, dan kita tahu bagaimana cara melepas. Kita tahu bagaimana melepaskan hingga titik dimana semua pemikiran lenyap. Pemikiran ini hanyalah komentar komentar, mereka hanyalah gambaran-gambaran. Perbedaan antara pemikiran dan kenyataan seperti layaknya perbedaan, katakanlah, membaca buku mengenai New York dan mengunjungi New York. Mana yang lebih nyata? Ketika kamu berada di sana, kamu menghirup udara di sana, kamu merasakan suasana disana, kamu merasakan karakternya, semua ini adalah hal-hal yang tidak dapat kamu tuliskan di buku. Kebenaran itu selalu berhubungan dengan keheningan. Kebohongan itu selalu berhubungan dengan kata-kata.
Semoga Semua Makhluk Berbahagia,
Elin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar