Check out the Latest Articles:

Senin, 18 April 2011

Menjadi Manusia Yang Seutuhnya : Bhikkhu Adhiratano

Menjadi Manusia Yang Seutuhnya
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Candanaṁ tagaraṁ vāpi, uppalaṁ atha vassikā
Etesaṁ gandhajātānaṁ, slagandho anuttaro
Harumnya kebajikan (sila) adalah jauh melebihi harumnya kayu cendana,
bunga tagara, teratai ataupun melati hutan.
(Dhammapada 55)

Di suatu senja Y.A. Ananda sedang duduk sendiri. Dalam pikiran Beliau timbul masalah yang berkaitan dengan bau dan wangi-wangian. Ia berpikir: "Harumnya kayu, harumnya bunga-bunga, dan harumnya akar-akaran semuanya menyebar searah dengan arah angin tetapi tidak bisa berlawanan dengan arah angin. ”Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat melawan arah angin? Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat merebak ke seluruh dunia?” Tanpa menjawab pertanyaannya sendiri, Y.A. Ananda menghampiri Sang Buddha dan meminta jawaban dari-Nya. Sang Buddha mengatakan, ”Ananda, andai saja, ada seseorang yang berlindung terhadap Tiga Permata (Buddha, Dhamma, Saṅgha), yang melaksanakan lima latihan sila, yang murah hati dan tidak kikir, seseorang yang sungguh bijaksana dan layak memperoleh pujian. Kebaikan orang tersebut akan menyebar jauh dan luas, dan para bhikkhu, brahmana dan semua umat akan menghormatinya di manapun ia tinggal”.

Lima sila (lima aturan kemoralan) yang diajarkan oleh Sang Buddha merupakan pedoman dasar yang menjadikan kita manusia yang seutuhnya, tanpa lima sila ini, manusia hanya akan menjadi ”seperti manusia”. Sila merupakan langkah awal yang menjadi dasar dari jalan kesucian, tanpa sila tidak ada jalan pembebasan dari penderitaan (dukkha), Sang Buddha merangkum jalan kebebasan ini menjadi Sla-Samādhi-Paññā di mana yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan menunjang.

Lima sila tersebut adalah penghindaran dari menyakiti terlebih membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil barang yang bukan miliknya (mencuri), menghindari perbuatan asusila, menghindari ucapan yang tidak benar dan menghindari makan dan minuman yang dapat melemahkan kesadaran. Lima sila ini merupakan pagar yang mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang buruk (akusala kamma) melalui tiga pintu perbuatan yaitu :

1. Melalui jasmani berupa penghindaran dari menyakiti terlebih membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil barang yang bukan miliknya, dan menghindari perbuatan asusila.
2. Melalui ucapan berupa penghindaran dari ucapan yang tidak benar termasuk ucapan yang memecah-belah, ucapan kasar dan pembicaraan yang tidak bermanfaat.
3. Melalui pikiran berupa niat jahat, serakah dan pandangan yang keliru karena absennya kesadaran.

Dalam Dgha Nikāya 26: Cakkavatti Slhanāda Sutta, Sang Buddha menjelaskan umur kehidupan manusia akan menurun seiring dengan turunnya kemoralan yang dimiliki oleh manusia. ”...Pembunuhan meningkat, dan dari pembunuhan kebohongan meningkat, dari meningkatnya kebohongan umur kehidupan manusia menurun...”. Dengan mentaati sila berarti kita peduli pada kepentingan, kesejahteraan dan kedamaiaan diri sendiri dan orang lain, karena sila berfungsi untuk menghancurkan kejahatan, dan menjaga, memelihara serta mempertahankan perbuatan baik yang telah ada, dengan kata lain melaksanakan sila berarti kita menciptakan keharmonisan dalam kehidupan ini.

Lima sila ini akan terwujud dalam diri seseorang apabila orang tersebut mau mengembangkan perasaan malu untuk berbuat jahat (hiri) dan takut pada akibat dari perbuatan jahat yang dilakukan (ottappa). Terdapat dua jenis pelaksanaan sila. Tingkatan yang dasar di mana seseorang melaksanakan sila karena dorongan dari luar, karena adanya peraturan, adat, norma sosial, malu dan takut. Pada tahapan ini sila dilaksanakan dengan perhatian, pengetahuan, kesabaran dan kekuatan dari kemauan dan semangat. Jenis yang kedua karena dorongan dari dalam yang terbentuk karena kebiasaan dari pengendalian diri, seseorang yang telah membiasakan hidup sesuai dengan Sila maka tidak akan melanggar walaupun ada kesempatan, telah pantang untuk melanggar.

Banyak manfaat dari sila yang ditaati sebagai pedoman hidup setidaknya dapat digolongkan menjadi 3 tingkatan manfaat yaitu pada kehidupan saat ini berupa rasa aman, ketiada penyesalan dan reputasi yang baik. Sang Buddha bersabda kepada Ananda sebagai berikut: ”Ananda, Sila memiliki tiada penyesalan sebagai tujuan dan buahnya”. (Aguttara Nikāya IV).

Manfaat yang kedua pada kehidupan yang akan datang berupa kelahiran ke alam-alam bahagia. Sang Buddha menjelaskan di dunia ini berlaku hukum alam yang bekerja secara alamiah tanpa ada yang mengatur hukum ini yang di kenal sebagai hukum sebab-akibat, taat pada sila berarti kita telah membuat sebab-sebab kebahagiaan yang nantinya akan berakibat pada kelahiran ke alam-alam surga. Manfaat ketiga yang paling tinggi dari pelaksanaan sila adalah pencapaian Nibbāna, kebebasan total dari penderitaan yang dapat dicapai baik dalam kehidupan sekarang atau dalam kehidupan masa depan tergantung pada kematangan spiritual kita. Mengingat besarnya manfaat sila, hendaklah seseorang yang menginginkan kebahagiaan baik pada saat ini maupun yang akan datang untuk hidup sesuai dengan sila.

Oleh: Bhikkhu Adhiratano (29 November 2009)

1 komentar:

  1. Menginspirasi sekali ceritanya....
    Oh iya... Untuk bagian terakhir itu ingin saya perjelas maksudnya biar ga salah paham.
    Pandangan salah bahwa dengan sila saja akan membuat kita mencapai pembebasan... Cuma dengan kebijaksanaan kita bisa mencapai pembebasan... Sebuah bangunan tidak akan kokoh bisa pondasinya tidak kuat... Sila itu sebagai pondasi untuk membantu kita memperoleh kebijaksanaan.

    BalasHapus