Check out the Latest Articles:

Sabtu, 16 April 2011

Sang Buddha Pelindungku - 4

1
Sang Buddha Pelindungku IV
1. Jaya Mangala Gãthã
(Syair tentang Kemenangan Sempurna)
Bãhum sahassa mabinimmita sãyudhantam
Girimekhalam udita ghora sasena mãram
Dãnãdi dhamma vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Mãrãtireka mabhiyujjhita sabbarattim
Gorampanãlavaka makkhamathaddha yakkham
Khanti sudhanta vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Nãlãgirim gajavaram atimatta bhutam
Dãvaggi cakka masaniva sudãrunantam
Mettambuseka vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhvatu te jayamangalãni
Ukkhitta khagga matihattha sudãrunantam
Dhãvantiyo janapathan gulimãla vantam
Uddhibhisankhatamano jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Katvãna ktthamudaram iva gabbhiniyã
Ciñcãya duttha vacanam janakãya majjhe
Santena somaviddhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Saccam vihãya matisaccaka vãdaketum
Vãdãbhiropitamanam atiandabhutam
Paññãpadipa jalito jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Nandopananda bhujagam vibudham mahiddhim
Puttena Thera bhujagena damãpayanto
Iddhupadesa vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Duggãhaditthi bhujagena sudattha hattham
Brahmam visudhi jutimiddhi bakãbhidhãnam
Ñãnãgadena vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Etã'pi Buddha jayamangala atthagãthã
Yo vãcano dinadine sarate matandi
Hitvãna nekavividhãni cupaddavãni
Mokkham sukham adhigameyya maro sapañño


2. Menaklukkan Mara
(dengan Paramita)
Bãhum sahassa mabinimmita sãyudhantam
Girimekhalam udita ghora sasena mãram
Dãnãdi dhamma vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Dengan seribu tangan, yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekkhala,
Mara bersama pasukannya meraung menakutkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan dana dan paramita yang lainnya
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Di dalam perjuanganNya yang luar biasa untuk mencapai Penerangan Sempurna, Bodhisatva
Siddhartha yang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, dengan tekad
yang amat kuat, untuk tidak akan bangun dari tempat dudukNya sebelum memperoleh
Penerangan Sempurna dan mencapai Nibbana, datanglah Mara.
Mara adalah mahluk halus atau penggoda, yang bermaksud menghalang-halangi Bodhisatva
memperoleh Penerangan Sempurna. Mara muncul dengan disertai oleh bala tentaranya yang amat
besar, bermaksud menyerang Bodhisatva Siddhartha.
Balatentara Mara yang amat mengerikan ini mengelilingi Bodhisatva, dari depan sejauh dua
belas yojana 1), dari belakang sejauh dua belas yojana, dari kiri dan kanan selebar sembilan
yojana.
Mara sendiri membawa seribu senjata yang amat berbahaya dan duduk menunggangi Gajah
Girimekhala, yang amat besar dengan tinggi seratus lima puluh yojana. Diikuti dengan bala
tentaranya yang berwajah amat menyeramkan, mereka semuanya membawa senjata dengan
meraung menakutkan, siap menyerang Bodhisatva Siddhartha.
Pada saat Mara mendatangi Bodhisatva dengan bala tentara yang begitu besar, maka para dewa,
seperti Maha Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan para dewa lainnya, menyingkir dari tempat
itu. Bodhisatva menghadapi sendiri Mara beserta bala tentaranya dengan berlindung kepada
sepuluh Paramita yang telah sejak lama dilatihnya.
Sepuluh Paramita itu adalah :

1. Dana Paramita (Kesempurnaan Kerelaan Hati)
2. Sila Paramita (Kesempurnaan Kemoralan)
3. Nekkhama Paramita (Kesempurnaan Pelepasan Keduniawian)
4. Panna Paramita (Kesempurnaan Kebijaksanaan)
5. Viriya Paramita (Kesempurnaan Semangat)
6. Khanti Paramita (Kesempurnaan Kesabaran)
7. Sacca Paramita (Kesempurnaan Kebenaran)
8. Adhitthana Paramita (Kesempurnaan Tekad)
9. Metta Paramita (Kesempurnaan Cinta Kasih)
10. Upekkha Paramita (Kesempurnaan Keseimbangan Batin)

Dengan berlindung kepada sepuluh Paramita inilah, maka semua usaha Mara beserta bala
tentaranya untuk menakut-nakuti Bodhisatva, dengan hujan besar yang disertai angin kencang
dan halilintar yang menggelegar terus-menerus, juga diikuti dengan pemandangan-pemandangan
lain yang amat mengerikan ternyata gagal semua.
Akhirnya Mara dengan penuh kemarahan menyambit Bodhisatva dengan senjatanya yang
terakhir yaitu Cakkavudha 2). Tetapi senjata ini berubah menjadi payung yang amat indah, yang
dengan tenang bergantung dan memayungi Bodhisatva.
Bumi telah menjadi saksi, bahwa Bodhisatva Siddhartha telah lulus dari semua kesulitan dan
layak untuk menjadi seoarang Buddha.
Sang Bodhisatva berkata :
"Dengan melihat bala tentara pada semua sisi berbaris dengan Mara yang mengatur di atas Gajah
Girimekhala. Aku maju ke depan untuk berperang, Mara tidak akan dapat mendorongKu dari
posisiKu. Bala tentaramu dengan dunia beserta dewa-dewa tak terkalahkan. Dengan
KebijaksanaanKu, Aku terus menghancurkan mereka, bagaikan Aku menghancurkan mangkok
yang belum dibakar.
Dengan mengawasi pikiranKu, dan dengan kesadaran yang kuat, Aku akan mengembara dari
negara ke negara, sambil melatih banyak murid.
Dengan rajin dan bersungguh-sungguh, dalam mempraktekkan AjaranKu, mereka tidak akan
memperdulikanmu dan akan pergi ke tempat yang tidak ada lagi penderitaan."
Gajah Girimekhala lalu berlutut di hadapan Bodhisatva dan Mara menghilang, lari tunggang
langgang bersama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir ketika Mara datang
menyerang, datang kembali menghampiri Bodhisatva. Mereka semua amat bahgia dengan
keberhasilan Bodhisatva Siddhartha menaklukkan Mara.
Keterangan :
1. Yojana : Ukuran panjang yang digunakan di India, 1 yojana kurang lebih 7 mil.
2. Cakkavudha : Senjata Mara yang amat sakti.


3. Menaklukkan Yakkha1 Alavaka
(dengan Kesabaran / Khanti)
Mãrãtireka mabhiyujjhita sabbarattim
Gorampanãlavaka makkhamathaddha yakkham
Khanti sudhanta vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni

Lebih dari Mara yang membuat onar sepanjang malam
Adalah Yakkha Alavaka yang menakutkan, bengis dan congkak
Raja para Bijaksana menaklukkannya, menjinakkan dengan kesabaran
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.

Sudah menjadi kebiasaan Raja Alava, ketika sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi
peperangan yang melelahkan, ia selalu menghibur diri dengan pergi berburu ke hutan selama
tujuh hari tanpa henti. Pada saat itu, ketika sedang mengepung binatang buruannya di sebuah
hutan, raja memerintahkan kepada para pengawalnya, untuk menjaga agar tidak seekor binatang
pun yang dapat meloloskan diri. Namun seekor rusa dapat menerobos penghalang yang berada di
dekat raja. Raja mengejar rusa itu seorang diri, sesudah mengejar rusa itu cukup jauh, akhirnya ia
dapat membunuh rusa itu. Ia memang tidak membutuhkan daging rusa itu tetapi untuk
menunjukkan kehebatannya di hadapan para pengawalnya, ia memotong rusa itu menjadi dua
bagian. Lalu ia mengikatkannya pada sepotong kayu. Raja lalu berjalan kembali ke tempat ia
telah meninggalkan para pengawalnya.
Dalam perjalanan kembali ke tempat para pengawal yang menunggunya, raja tiba di bawah
sebuah pohon Banyan2, di perempatan sebuah jalan. Karena ia amat lelah, maka ia berhenti
sejenak untuk beristirahat di bawah pohon tersebut. Pohon Banyan ini adalah tempat kediaman
Yakkha Alavaka (raksasa) yang mempunyai kebiasaan untuk membunuh orang-orang yang
mendekati pohon tersebut.
Yakkha Alavaka menangkap raja yang sedang berteduh di bawah pohon itu. Raja amat ketakutan
dan berjanji apabila Yakkha Alavaka tidak membunuh dan melepaskannya, maka ia akan
mempersembahkan korban sebagai pengganti dirinya, seorang manusia dan sepiring nasi setiap
hari.
Tetapi Yakkha Alavaka menjawab :
"Kalau kamu kembali ke istana, kamu pasti akan melupakan janjimu ini. Saya hanya dapat
menangkap orang-orang yang mendekati pohon ini, oleh karena itu saya tidak akan
melepaskanmu."
Raja berkata dengan amat ketakutan, bahwa apabila suatu hari ia ingkar janji, Yakkha Alavaka
dapat mendatangi istana untuk mengambil korbannya. Setalah menerima janji dari raja ini,
Yakkha Alavaka lalu melepaskan raja untuk kembali pulang ke istana.
Setibanya di istana, raja memanggil walikota dan menceritakan apa yang telah terjadi. Walikota
bertanya kepada raja; apakah ketika berjanji kepada Yakkha Alavaka, raja menyebutkan kapan
berakhirnya persembahan korban itu. Raja mengatakan, ia tidak menyebutkannya. Walikota
menyesali karena raja telah melakukan suatu kesalahan besar, namun ia berjanji untuk mengatasi
bencana ini, tanpa menysahkan raja.
Kemudian walikota pergi ke penjara, dan berkata bahwa narapidana yang telah dijatuhi hukuman
mati karena membunuh, akan dibebaskan apbila mereka membawa sepiring nasi dan
mempersembahkannya di bawah pohon Banyan. Para pembunuh menyambut gembira usul ini,
tetapi ketika mereka mendekati pohon Banyan tersebut, mereka ditangkap dan dibunuh oleh
Yakkha Alavaka. Setlah narapidana sudah habis, perintah ini dialihkan kepada para pencuri dan
merekapun dibunuh oleh Yakkha Alavaka, sehingga penjara akhirnya kosong.
Lalu perintah ini diteruskan kepada orang yang tidak bersalah, yang dituduh melakukan
kesalahan yang tidak mereka lalukan. Karena cara ini akhinya tidak berhasil, perintah ini lalu
dialihkan kepada orang-orang yang berusia lanjut. Orang-orang tua ini diambil dari rumah lalu
dibawa ke pohon Banyan tersebut. Raja lalu memberitahukan kepada walikota bahwa rakyat
mengeluh karena kakek nenek mereka diambil dari rumah mereka. Raja lalu memerintahkan cara
lain untuk memenuhi janjinya kepada Yakkha Alvaka. Walikota lalu berkata apabila ia tidak
diijinkan untuk mengorbankan orang-orang berusia lanjut, ia harus mengorbankan bayi-bayi.
Ketika penduduk mengetahui hal ini, sebagian dari mereka terutama ibu-ibu yang mempunyai
bayi ataupun yang sedang hamil pindah ke negara lain.
Kejadian ini berlangsung selama dua belas tahun lamanya. Sehingga tidak ada lagi anak kecil
yang tersisa, kecuali putera raja sendiri. Karena tidak ada jalan lain, maka raja dengan terpaksa
merelakan puteranya sendiri untuk dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka. Ratu dan selir-selir
raja menangis tersedu-sedu, ketika raja memerintahkan agar membawa puteranya untuk
dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka.
Di pagi hari yang sama, Sang Buddha ketika itu sedang bersemayam di Vihara Jetavana. Beliau
melihat dengan Mat BuddhaNya, bahwa Pangeran Alava mempunayi karma baik, ia dapat
mencapai Tingkat Kesucian Anagami3. Demikian pula Yakkha Alavaka, ia masih mempunyai
karma baik karena ia dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna4. Kemudian Sang Buddha
membawa mangkuk pindapatta dan meninggalkan Vihata Jetavana menuju ke pintu kediaman
Yakkha Alavaka.
Penjaga pintu memperingatkan Sang Buddha, untuk jangan mendekat karena berbahaya.
Majikannya sangat kejam, bahkan kepada orang tuanya sendiri dia tidak pernah menaruh hormat.
Sang Buddha berkata, bahwa tidak akan terjadi apapun terhadap diriNya, asalkan Beliau
diijinkan untuk menetap semalam di tempat itu. Penjaga pintu kemudian mengatakan bahwa
majikannya akan mencabut jantung siapapun yang datang mendekat dan akan mengoyak tubuh
korbannya menjadi dua bagian. Sang Buddha tetap mendesak untuk tinggal di sana satu malam.
Akhirnya penjaga itu berkata ia akan meminta ijin dahulu kepada majikannya di Hutan Himala.
Setelah penjaga itu pergi, Sang Buddha lalu memasuki tempat tinggal Yakkha Alavaka dan
duduk di singgasana, tempat yang biasa diduduki oleh Yakkha Alavaka. Para selir dari istana
datang dan memberi hormatnya kepada Sang Buddha. Sang Guru lalu membabarkan Dhamma
kepada mereka, mengajarkan untuk mengasihi semua mahluk dan tidak menyakiti siapapun.
Setelah mendengarkan Dhamma menreka mengucapkan "Sadhu".
Ketika gandrabbha atau pengawal memberitahukan kepada Yakkha Alavaka bahwa Sang Buddha
sedang berada di tempat kediamannya, ia sangat marah dan berkata dengan suara keras; bahwa
Bhikkhu Gotama akan sangat menderita karena telah memasuki tempat tinggalnya.
Ketika itu para Yakkha yaitu Satagira dan Hemavata bersama para pengikutnya sedang dalam
perjalanan menuju ke suatu pertemuan. Para Yakkha ketika terbang di angkasa harus
menghindari jalur yang biasa dilewati para Dewa. Tempat tinggal Yakkha Alavaka dikelilingi
pagar besi dan di atasnya dilindungi jala emas. Kedua Yakkha tersebut harus melintasi tempat ini
dari dekat, dan karena para Yakkha tidak diperkenankan untuk mendekati Sang Buddha (kecuali
untuk memberi penghormatan kepada Beliau), mereka tertangkap dan ketika ingin mencari
penyebabnya, mereka menemukan Sang Guru Agung sedang duduk di tahta Yakkha Alavaka,
keduanya lalu menghampiri dan menghormati Beliau.
Setelah itu mereka pergi ke Hutan Himalaya. Pada saat itu, mereka bertemu dengan Yakkha
Alavaka dan memberitahukan bahwa suatu kejadian yang menguntungkan telah terjadi padanya.
Karena Sang Buddha sedanga berada di tempat kediamannya, dan dia harus pergi untuk
menyambut Beliau. Mendengar hal ini, Yakkha Alavaka menjadi gelisah dan bertanya :
"Siapakah Sang Buddha ini yang telah berani memasuki tempat tinggalku?"
Kedua Yakkha menjawab :
"Apakah kamu tidak mengenal Sang Buddha, Penguasa ke Tiga Alam5?"
Yakkha Alavaka berkata bahwa siapapun Beliau, ia akan mengusirnya dari tempat kediamannya.
Kemudian kedua temannya itu berkata :
"Yakkha Alavaka, kamu hanyalah bagaikan seekor anak kerbau yang baru lahir di dekat seekor
kerbau dewasa. Bagaikan gajah kecil di dekat raja pemimpin suku. Bagaikan seekor serigala tua
di dekat seekor singa yang perkasa. Apa yang dapat kamu perbuat?"
Yakkha Alavaka berdiri dari tempat duduknya dengan penuh kemarahan, ia lalu menaruh
kakinya di puncak Gunung Ratgal, ia tampak seperti kobaran api dan berkata :
"Sekarang kita lihat, siapakan yang lebih kuat."
Yakkha Alavaka dengan penuh kemarahan menendang Gunung Kailasa, yang menimbulkan
percikan api seperti besi panas yang dipukul dengan palu. Sekali lagi ia berteriak dengan
kerasnya : "Saya adalah Yakkha Alavaka .........!"
Dan suaranya menggema ke seluruh Jambudwipa (India).
Tanpa menunda lagi, Yakkha Alavaka pergi ke tempat kediamannya dan berusaha keras untuk
mengusir Sang Buddha. Ia menciptakan badai hebat yang didatangkan dari empat penjuru, yang
dapat menumbangkan pohon dan bukit karang berukuran besar. Tetapi dengan kekuatan cinta
kasih Sang Buddha, semua itu tidak dapat melukai Beliau. Setelah itu terjadi hujan lebat, hujan
senjata, hujan pasir, arang, abu dan kegelapan. Namun tidak ada satupun yang dapat melukai
Sang Buddha. Kemudian Yakkha Alavaka mengubah wujudnya menjadi mahluk yang sangat
menyeramkan, namun Sang Buddha tidak menghentikannya dan membiarkan Yakkha Alavaka
melakukannya sepanjang malam, sehingga ia menjadi amat lelah.
Kemudian ia melemparkan senjatanya yang amat sakti, namun tidak berhasil juga. Ketika itu
para Dewa mulai berkumpul untuk menyaksikan pertandingan ini. Yakkha Alavaka sangat heran
menyaksikan senjata andalannya tidak berdaya, dan mencari penyebabnya. Ia menemukan bahwa
semua itu adalah karena cinta kasih dan kasih sayang Sang Buddha yang mat besar. Cinta kasih
hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih, bukan dengan kemarahan.
Kemudian Yakkha Alavaka meminta dengan lemah lembut kepada Sang Buddha untuk
meninggalkan tempat kediamannya dan Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa
kemarahannya telah ditaklukkan dengan kelembutan. Beliau berdiri dan meninggalkan tempat
tersebut. Melihat hal ini, Yakkha Alavaka berpikir :
"Saya telah menentang Pertapa ini sepanjang malam dengan tanpa membawa hasil, dan sekarang
hanya dengan satu kata Beliau meninggalkan tempat ini."
Melihat hal ini hatinya menjadi lembut. Namun demikian ia berpikir, akan lebih baik lagi apabila
ia mengetahui apakah Sang Buddha pergi karena kemarahan atau ketidakpatuhan, ia lalu
memanggil Beliau :
"Yang Mulia, silakan masuk," kata Yakkha Alavaka. Sang Buddha lalu masuk menghampirinya.
Tiga kali hal tersebut diulangi, namun ketika Yakkha Alavaka berkata untuk yang keempat
kalinya, supaya Sang Buddha meninggalkan kediamannya, Sang Buddha menolak dan
menanyakan apa yang dapat Beliau lakukan untuknya.
"Baiklah Yang Mulia, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan," kata Yakkha Alavaka.
Sudah menjadi kebiasaan Yakkha Alavaka untuk menangkap para pertapa dan bhikkhu yang
datang ke tempat kediamannya dan bertanya kepada mereka, jadi ia berpikir ia akan melakukan
hal yang sama terhadap Sang Buddha.
Lalu ia berkata :
"Apabila Anda tidak mau menjawab pertanyaan saya, saya akan mengacaukan pikiran Anda, atau
membelah jantung Anda, atau memegang kedua kaki dan melemparkan Anda ke seberang
Sungai Gangga."
Sang Buddha menjawab :
"Tidak saudara, Saya melihat tidak ada satupun mahluk di dunia ini maupun di alam dewa, di
alam Brahma, para pertapa, brahmana, para dewa dan manusia yang dapat mengacaukan pikiran
Saya, membelah jantung ataupun memegang ke dua kaki dan melemparkan Saya ke seberang
Sungai Gangga. Tetapi saudara, tanyakanlah yang ingin kamu ketahui."
Yakkha Alavaka kemudian menanyakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
"Apakah milik manusia yang paling berharga?
Praktek apakah yang membawa kebahagiaan?
Apakah yang paling manis dari semua rasa?
Bagaimana cara yang terbaik dalam menjalani kehidupan ini?"
Sang Buddha menjawab:

"Keyakinan adalah milik manusia yang paling berharga.
Dhamma yang dipraktekkan dengan benar akan menghasilkan kebahagiaan.
Kebenaran adalah yang termanis dari semua rasa.
Kehidupan yang dijalani dengan pengertian adalah yang terbaik."

Kemudian Yakkha Alavaka bertanya lagi :
"Bagaimanakah seseorang menyeberangi arus?
Bagaimanakah seseorang menyeberangi laut?
Bagaimanakah seseorang mengatasi penderitaan?
Bagaimanakah seseorang disucikan?"
Yang Maha Sempurna menjawab :

"Dengan keyakinan seseorang menyeberangi arus.
Dengan perhatian benar seseorang menyeberangi laut.
Dengan usaha seseorang mengatasi penderitaan.
Dengan kebijaksanaan seseorang disucikan.

Yakkha Alavaka bertanya kembali :
"Bagaimanakah kebijaksanaan diperoleh?
Bagaimanakah kekayaan didapatkan?
Bagaimanakah ketenaran diperoleh?
Bagaiamanakah mempererat persahabatan?
Ketika meninggalkan dunia ini menuju ke dunia lain, bagaimana agar orang tidak bersedih?"
Sang Guru Agung menjawab :

"Orang yang memiliki keyakinan, perhatian dan pandai memperoleh kebijaksanaan dengan
mendengarkan Dhamma dari Para Suci, Yang membimbing ke Nibbana.
Dia yang melaksanakan apa yang pantas dilaksanakan, tidak tergoyahkan dan giat berusaha,
memperoleh kekayaan.
Dengan kebenaran seseorang memperoleh ketenaran.
Kedermawanan mempererat persahabatan.
Perumah tangga setia yang memiliki keempat kebajikan ini : kejujuran, moral yang baik,
semangat dan kedermawanan, tidak akan menderita setelah meninggal dunia.
Tanyakanlah kepada para pertapa dan brahmana yang lain, apakah ada yang lebih hebat dari
pada kejujuran, pengendalian diri, kedermawanan dan kesabaran."

Setelah mengerti dengan baik maksud dari sabda Sang Buddha, Yakkha Alavaka berkata :
"Yang Mulia, bagaimana saya dapat bertanya kepada para pertapa dan brahmana yang lain? Hari
ini saya telah mengetahui rahasia dari kebahagiaan saya di masa yang akan datang. Untuk
kebaikan saya sendiri, Sang Tathagata telah datang ke Avali. Hari ini telah saya ketahui di mana
timbunan jasa yang menghasilkan buah yang berlimpah. Dari desa ke desa, dari kota ke kota,
saya akan mengembara memberikan penghormatan kepada yang Maha Sempurna dan kepada
Dhamma Yang Mulia."
Pada saat Yakkha Alavaka mengucapkan hal ini, Pangeran Alava sedang diantarkan ke tempat
kediamannya. Ketika para pengawal mendengarkan kata "Sadhu", mereka mengetahui bahwa
kata ini tidak pernah diucapkan kecuali di hadapan Sang Buddha, oleh karena itu mereka
mendekat tanpa rasa takut. Ketika memasuki tempat kediaman Yakkha Alavaka, mereka melihat
Yakkha Alavaka sedang bernamaskara, menghormat kepada Sang Buddha. Para pengawal
mengatakan bahwa hari ini mereka datang untuk membawa Pangeran Alava yang akan
dipersembahkan sebagai korban kepada Yakkha Alavaka, ia dapat memakan dagingnya dan
meminum darahnya atau melakukan apa saja yang diinginkannya. Yakkha Alavaka merasa amat
malu mendengar pernyataan ini, ia lalu mempersembahkan Pangeran kepada Sang Buddha.
Sang Guru Agung memberkati Pangeran Alava dan menyerahkannya kembali kepada para
pengawal yang menyambutnya dengan sukacita. Sejak saat itu Pangeran Alava diberi nama
Hatthalavaka.
Penduduk desa mat ketakutan ketika melihat Pangeran Alava dibawa pulang kembali ke istana.
Ketika mereka mendengar apa yang telah terjadi, mereka serentak berseru :
"Sadhu, Sadhu, Sadhu."
Kemudian Sang Buddha meninggalkan tempat kediaman Yakkha Alavaka, pergi ke desa untuk
berpindapatta. Setelah Sang Buddha selesai bersantap, Beliau duduk di bawah pohon. Raja dan
para penduduk berduyun-duyun menemui dan memberikan hormatnya dengan bernamaskara.
Sang Guru Agung menjelaskan kepada mereka tentang Alava Sutta, yang menyebabkan ribuan di
antara mereka mencapai Tingkat Kesucian.
Ketika Pangeran Alava dewasa, ayahnya memberitahukan bahwa ia diselamatkan dari kematian
oleh Sang Buddha, maka ia harus pergi menemui, memberikan hormat dan melayani Beliau.
Pangeran melakukan apa yang dikatakan oleh ayahnya dan bersama dengan lima ratus orang
pengikutnya mencapai tingkat kesucian.
Keterangan :
1. Yakkha : Raksasa
2. Pohon Banyan : Sejenis pohon beringin
3. Anagami : Orang suci tingkat ketiga yang tidak akan terlahir kembali.
4. Sotapanna : Prang suci tingkat pertama yang akan terlahir kembali tidak lebih dari tujuh
kali.
5. Tiga Alam :
1. Alam Bahagia atau Alam Surga
2. Alam Manusia
3. Alam Menderita


4. Menaklukkan Gajah Nalagiri
(dengan Cinta Kasih /Metta)
Nãlãgirim gajavaram atimatta bhutam
Dãvaggi cakka masaniva sudãrunantam
Mettambuseka vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhvatu te jayamangalãni
Nalagiri gajah mulia menjadi sangat gila
Sangat kejam bagaikan hutan terbakar, bagai senjata roda atau halilintar
Raja para Bijaksana menaklukkannya dengan kemampuan pikiran sakti yang mengagumkan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Sang Buddha seperti biasa sedang berjalan ke suatu daerah untuk membabarkan Dhamma kepada
umatNya. Beliau diiringi oleh murid-muridNya, yang penuh cinta kasih dan pengabdian yang
besar kepada Sang Buddha, Sang Guru Agung.
Melihat Sang Buddha yang dicintai oleh murid-muridNya, menyebabkan Devadatta berpikir :
"Adalah suatu kenyataan, bahwa tidak ada satu mahlukpun yang dengan melihat Kesempurnaan
Manusia Gotama mampu dan berani untuk menyentuhNya. Tetapi raja gajah Nalagiri adalah
binatang yang amat galak dan liar, ia tidak mengetahui kesucian Buddha, Dhamma serta Sangha.
Ia akan saya lepaskan untuk menghancurkan Bhikkhu Gotama."
Kemudian Devadatta pergi menemui Raja Ajatasattu dan membicarakan masalah ini. Raja
terpengaruh oleh penjelasannya dan memanggil penjaga gajah, lalu memberi perintah :
"Penjaga, besok kamu harus memberi minuman keras kepada Nalagiri. Dan lepaskanlah Nalagiri
di jalan raya saat Bhikkhu Gotama sedang berjalan."
Devadatta bertanya kepada penjaga itu berapa banyak air yang biasa diberikan kepada gajah itu,
penjaga itu menjawab :
"Delapan guci."
Devadatta lalu berkata :
"Besok, berikan kepada Nalagiri enam belas guci minuman keras dan lepaskan dia ke arah jalan
raya yang akan dilalui oleh Bhikkhu Gotama."
"Baiklah," jawab penjaga itu.
Raja lalu menabuh tambur di seluruh kota dan mengumumkan :
"Besok gajah Nalagiri akan menjadi mabuk karena minum minuman keras dan akan dilepas ke
dalam kota. Penduduk di kota ini dapat melakukan semua pekerjaannya hanya pada pagi hari,
sesudah itu tidak boleh ada satu orangpun yang berada di jalan raya."
Devadatta lalu turun dari istana dan mendatangi kandang gajah Nalagiri, ia mendekati penjaga
gajah itu dan berkata :
"Saya katakan kepadamu, kita mampu untuk menghancurkan seseorang dari posisinya yang
tinggi ke posisi yang rendah. Dan menaikkan posisi seseorang yang rendah menjadi posisi yang
tinggi. Kalau kamu menginginkan kehormatan, besok pagi-pagi sekali, berikan Nalagiri enam
belas guci minuman keras minuman keras dan ketika Bhikkhu Gotama melewati jalan itu,
lukailah gajah itu dengan tongkat berduri. Karena gajah yang kesakitan itu akan marah, ia akan
menerobos kandangnya dan berlari keluar, arahkanlah ia ke jalan raya di mana Bhikkhu Gotama
sedang berjalan. Maka gajah itu akan menghancurkanNya."
Keduanya setuju dengan rencana seperti itu. Berita ini bergema ke seluruh kota. Pengikut Sang
Buddha mendengar berita ini amat khawatir, lalu mendatangi Vihara dan meminta Sang Buddha
untuk tidak masuk ke kota esok hari, karena ada bahaya besar yang menghadang Beliau. Mereka
berjanji akan membawakan semua kebutuhan yang diperlukan oleh Sang Guru beserta muridmuridNya.
Tatapi Sang Buddha menyatakan tetap akan menjalankan tugasNya seperti biasa. Para
pengikutNya melihat bahwa mereka tidak akan merubah rencana Sang Guru Agung akhirnya
mereka meninggalkan Vihara dengan perasaan amat khawatir.
Setelah mereka pergi, Sang Buddha merenungkan semua keluargaNya yang sudah mengerti akan
Kebenaran. Beliau juga melihat apabila Nalagiri berhasil ditaklukkanNya, maka delapan puluh
ribu mahluk akan mendapatkan penegrtian yang jelas tentang Dhamma Yang Mulia.
Keesokan paginya, Beliau memanggil Ananda, dan berkata untuk memberitahukan kepada para
bhikkhu di delapan belas vihara yang berada di sekitar Rajagaha untuk menyertaiNya masuk ke
kota. Bhikkhu Ananda melaksanakan apa yang diminta oleh Sang Guru, dan semua bhikkhu
berkumpul di Vihara Veluvana.
Sang Buddha dengan disertai oleh semua murid-muridNya, berjalan memasuki Rajagaha.
Penjaga gajah itu bekerja sesuai dengan instruksi Devadatta dan banyak orang berkerumun di
sekitar jalan raya. Para pengikut Sang Buddha berpikir :
"Hari ini mungkin akan terjadi pertempuran antara Sang Guru Agung dan gajah liar itu. Kami
akan menyaksikan kekalahan gajah Nalagiri dari Sang Buddha yang tiada bandingannya."
Penduduk lalu menaiki atap-atap rumah, gudang-gudang yang ada di sekitar jalan raya itu.
Tetapi ada pula pertapa lain yang berpikir :
"Nalagiri adalah gajah yang amat galak, binatang liar dan tidak mengetahui kebaikan dan cinta
kasih yang besar dari seorang Buddha. Hari ini ia akan menghancurkan tubuh Bhikkhu Gotama
dan Beliau akan meninggal. Hari ini kami akan melihat apa yang terjadi denganNya."
Para pertapa lalu berdiri di atas sebuah gudang dan di tempat-tempat yang tinggi. Gajah Nalagiri
melihat Yang Maha Sempurna berjalan menghampirinya, penduduk yang ada di sana amat ngeri
melihat gajah tersebut. Gajah yang amat kesakitan itu berlari dengan liarnya, ia menghancurkan
pagar rumah-rumah dan mengangkat belalainya tinggi-tinggi, serta menginjak-injak kereta
menjadi hancur berantakan. Dengan kuping dan ekornya yang terangkat, ia berlari dengan
kencangnya seperti gunung yang tinggi menghampiri Yang Maha Sempurna.
Para bhikkhu yang melihat gajah Nalagiri berlari mendatangi Sang Buddha, memberitahu Sang
Guru Agung :
"Yang Mulia, gajah Nalagiri berlari di sepanjang jalan ini, ia adalah binatang yang amat galak
dan liar, ia pembunuh manusia. Kami mohon Yang Mulia balik kembali."
"O....Para Bhikkhu datanglah ke sini, jangan takut; tidak ada satu mahlukpun yang dapat
menghancurkan Sang Tathagata dengan suatu serangan. Tathagata mencapai Parinibbana bukan
karena suatu serangan."
Para bhikkhu, tetap memperingatkan Sang Guru sampai tiga kali. Yang Mulia Sariputta lalu
meminta Sang Buddha dengan berkata :
"Yang Mulia, apabila ada satu persembahan yang harus diberikan kepada seorang ayah, maka
beban itu terletak pada anak sulungnya. Saya akan mengalahkan binatang ini."
Sang Buddha lalu berkata :
"Sariputta, kekuatan seorang Buddha adalah satu hal dan pengikutnya adalah hal yang lain."
Beliau menolak tawaran itu, dan berkata :
"Sariputta, tetaplah tinggal di sini."
Para bhikkhu lainnya juga meminta ijin untuk mengalahkan gajah liar itu, tetapi Sang Guru
menolak permintaan mereka. Kemudian Yang Mulia Ananda, pembantu Sang Buddha yang
mempunyai pengaruh besar terhadap Sang Buddha, tidak mampu bersikap diam dalam
menghadapi masalah ini, ia lalu berteriak :
"Biarkan gajah itu membunuh saya terlebih dahulu."
Yang Mulia Ananda berdiri di depan Sang Buddha, siap untuk mengorbankan hidupnya untuk
Sang Tathagata. Tetapi Sang Buddha berkata kepadanya :
"Bergeserlah Ananda, jangan berdiri di hadapanKu."
Yang Mulia Ananda berkata :
"Yang Mulia, gajah ini amat galak dan liar, ia dapat membunuh orang, seperti nyala api pada
permulaan suatu lingkaran. Biarkanlah ia membunuh saya terlebih dahulu dan sesudah itu ia baru
dapat menghampiri Yang Mulia."
Yang Mulia Ananda memohon tiga kali, dan Beliau tetap berdiri di depan Sang Tathagata, Beliau
tidak mau mundur. Kemudian Sang Buddha dengan kekuatan kesaktianNya membuat Yang
Mulia Ananda berada di belakang Beliau dan menempatkanNya di tengah-tengah para bhikkhu
yang tengah berkerumun.
Pada waktu itu ada seorang ibu, terlihat oleh pandangan gajah Nalagiri, ibu itu amat ketakutan, ia
ingin berlari karena ketakutan, tetapi anaknya terjatuh ketika ia ingin menggendong anak itu di
pinggangnya. Posisinya berada di antara Sang Tathagata dan gajah Nalagiri, ibu itu berusaha
berlari. Gajah itu mengejar ibu tersebut, ibu tersebut terpaku berdiri di tempatnya dengan amat
ketakutan bersama anaknya yang menjerit sekeras-kerasnya.
Hati Sang Buddha bergetar, dengan penuh cinta kasih yang terpancar dengan kuatnya
(odissakametta) dan dengan suaraNya yang penuh kelembutan seperti suara Dewa Brahma,
memanggil Nalagiri :
"Ho..! Nalagiri...! Siapa yang mebuatmu menjadi gila dengan enam belas guci minuman keras,
kamu tidak diperintahkan untuk menyerang orang lain, tetapi diarahkan untuk menyerangKu.
Jangan keluarkan kekuatanmu dengan merusak tanpa tujuan, datanglah kepadaku."
Mendengar suara Sang Buddha, Nalagiri membuka matanya dan melihat tubuh Sang Buddha
yang bersinar terang. Ia menjadi gelisah dan dengan kekuatan cinta kasih Sang Buddha yang
amat besar, maka pengaruh minuman keras yang amat kuat itu hilang. Dengan menurunkan
belalainya dan mengoyang-goyangkan kupingnya ia mendatangi dan berlutut di kaki Sang
Tathagata. Kemudian Sang Tathagata berkata :
"Nalagiri, kamu adalah gajah jahat, Aku adalah Gajah Buddha, tidak jahat dan liar, tidak
membunuh manusia, tetap mengembangkan cinta kasih."
Sambil berkata demikian Sang Tathagata lalu mengulurkan tangan kananNya dan mengelus-elus
kepala gajah itu dan mengajarkan Dhamma kepadanya dengan bersabda :
"Jangan menyerang Sang Buddha, O, gajah..! Dengan pikiran akan melukaiNya, akan
membuatmu menderita. Pembunuh seorang Buddha tidak akan memperoleh alam kehidupan
yang baik setelah kematiannya."
"Bebaskanlah dirimu dari mabuk-mabukkan dan melakukan perbuatan bodoh. Karena orang
yang bodoh tidak akan dapat pergi ke alam yang baik. Kamu harus melakukan perbuatan baik
sehingga kamu dapat menuju ke alam bahagia."
Seluruh badan gajah itu bergetar karena diliputi oleh kebahagiaan yang amat besar, dan ia
sekarang bukan hanya binatang berkaki empat biasa lagi, tetapi ia telah mencapai Tingkat
Kesucian Pertama (Sotapanna).
Penduduk yang melihat keajaiban ini berseru dengan gembira dan bertepuk tangan dengan riang.
Dengan penuh kebahagiaan, mereka menutupi badan gajah itu dengan hiasan-hiasan. Kemudian
Nalagiri terkenal dengan nama Dhanapalaka (pemilik kekayaan) dan ia menjadi amat jinak dan
tidak menyakiti siapapun.
Setelah Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ini, Beliau berpikir adalah tidak patut untuk
mencari dana di tempat yang sama. Sesudah mengalahkan para pertapa tersebut, dengan diiringi
oleh murid-muridNya, Beliau melangkah menuju ke kota seperti orang yang telah memenangkan
suatu pertempuran dan pulang kembali ke Vihara Jetavana. Para penduduk menuju Vihara
Jetavana, berdana makanan berupa nasi, minuman dan makanan enak lainnya kepada Sang Guru
Agung berserta murid-muridNya. Penduduk kota itu telah menanam kebajikan yang besar sekali.


5. Menaklukkan Angulimala
(dengan Kesaktian/Iddhi)
Ukkhitta khagga matihattha sudãrunantam
Dhãvantiyo janapathan gulimãla vantam
Uddhibhisankhatamano jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Sangat kejam dengan pedang terhunus dalam tangan yang kokoh kuat
Angulimala berlari mengejar sepanjang jalan tiga yojana dengan berkalung untaian jari
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan kesaktian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.
Istri kepala penasehat (Purohita Brahmana) Raja Pasenadi Kosala yang bernama Mantani,
melahirkan seorang anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, semua senjata di dalam kota berkilau
mengeluarkan cahaya yang terang benderang. Kejadian ini menyebabkan ayahnya bertanya
kepada ahli perbintangan, mereka meramalkan bahwa anak tersebut di kemudian hari akan
menjadi perampok. Keesokan harinya, ketika ia mengunjungi istana, sang ayah bertanya kepada
Raja Pasenadi, apakah tadi malam Raja dapat tidur nyenyak. Raja menjawab, tadi malam ia tidak
dapat tidur dengan nyenyak karena melihat semua senjata di dalam gudang berkilauan. Hal ini
menandakan adanya bahaya yang akan menimpa Raja sendiri atau kerajaannya. Brahmana
tersebut lalu menyampaikan kepada Raja, bahwa semalam istrinya telah melahirkan seorang anak
laki-laki. Pada saat kelahirannya, tidak hanya pedang kerajaan, semua senjata yang ada di seluruh
kota berkilauan, yang menandakan bahwa anaknya kelak akan menjadi perampok.
Brahmana tersebut bertanya kepada Raja, apakah Raja menghendaki agar ia membunuh anaknya
yang baru lahir itu. Raja lalu bertanya, apakah anak tersebut kelak akan menjadi kepala
perampok ataukah menjadi perampok tunggal. Ia menjawab bahwa anak tersebut akan menjadi
perampok tunggal.
Raja tidak terlalu khawatir, karena beliau beranggapan bahwa kerajaannya tidak akan dapat
dikacaukan hanya oleh seorang perampok. Jadi beliau membiarkan anak tersebut hidup dan
tumbuh menjadi dewasa.
Anak itu diberi nama Ahimsaka, yang berarti tidak melukai siapapun (=tanpa kekerasan). Anak
itu diberi nama demikian karena ia berasal dari keluarga yang tidak pernah dinodai dengan
kejahatan dan juga karena sifat anak itu sendiri.
Ketika Ahimsaka dewasa, ia disekolahkan di Taxila, suatu pusat pendidikan yang terkenal pada
masa lampau. Ahimsaka amat pandai, dapat melampaui murid-murid yang lain dan menjadi
murid yang paling menonjol, dan ia amat disayang oleh gurunya. Teman-temannya menjadi iri
kepadanya. Mereka berusaha mencari kesalahan agar Ahimsaka dapat dihukum. Mereka tidak
dapat mencela kemampuan maupun reputasi baik keluarga Ahimsaka.
Mereka lalu memfitnah bahwa Ahimsaka telah melakukan hal yang tidak pantas dengan istri
gurunya. Mereka lalu membagi kelompoknya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
memberitahukan kepada guru mereka tentang kesalahan Ahimsaka, kelompok kedua dan ketiga
membenarkan apa yang dikatakan oleh kelompok yang pertama. Ketika guru mereka tidak
mempercayai apa yang mereka katakan, mereka mengusulkan supaya guru mereka
membuktikannya sendiri.
Guru Ahimsaka kemudian melihat istrinya berbicara dengan ramah kepada Ahimsaka, hal ini
menambah kecurigaannya, sehingga ia merencanakan untuk melenyapkan Ahimsaka. Sebagai
orang terpelajar, di dalam usahanya untuk melenyapkan Ahimsaka, ia tidak melakukannya secara
terbuka, karena ia takut tidak ada lagi murid yang mau berguru kepadanya.
Oleh karena itu ia berkata kepada Ahimsaka :
"Muridku, saya tidak sanggup lagi mengajarmu lebih lanjut, kecuali kamu dapat mengumpulkan
seribu buah jari tangan kanan manusia sebagi biaya pendidikanmu."
Guru Ahimsaka mengira bahwa Ahimsaka tidak akan pernah berhasil melaksanakan
keinginannya. Dan di dalam usahanya untuk mengumpulkan jari manusia, ia pasti akan
tertangkap oleh pengawal raja.
Ahimsaka menjawab, bahwa di dalam keluarga mereka tidak mempunyai kebiasaan untuk
melakukan kejahatan kepada orang lain. Berulang-ulang Ahimsaka memohon kepada gurunya,
agar ia dapat membayar biaya pendidikannya dengan cara yang lain, tetapi gurunya tetap pada
pendiriannya. Apabila ia menolak melaksanakannya, ia akan mendapat kutukan. Karena ia
mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar dan tidak ada jalan lain lagi untuk melanjutkan
pendidikannya, ia lalu mempersenjatai dirinya dan masuk ke hutan Jalini di Kosala, yang
merupakan pertemuan dari delapan jalan dan mulai membunuh siapapun yang lewat di situ untuk
mengumpulkan jari tangan manusia sesuai dengan permintaan gurunya.
Jari yang terkumpul digantungnya pada sebuah pohon. Namun karena jari-jari tersebut selalu
dihancurkan oleh burung gagak dan burung pemakan bangkai, ia lalu membuat untaian jari untuk
memastikan jumlah jari yang telah dikumpulkannya. Sejak itu ia dikenal dengan nama
Angulimala (=Untaian Jari).
Rakyat lalu pergi ke Savatthi, menghadap Raja untuk memberitahukan bahwa jumlah penduduk
semakin berkurang, karena kekejaman seorang perampok yang selalu membunuh penduduk yang
lewat di hutan itu. Mereka memohon supaya Raja mengirim pasukan untuk menangkapnya. Raja
mengabulkan permohonan rakyat dan segera memerintahkan pasukan kerajaan untuk menyelidiki
perampok tersebut.
Brahmana yang merupakan ayah Ahimsaka, berkata kepada istrinya bahwa ia amat khawatir
kalau-kalau perampok yang kejam itu adalah anak mereka sendiri, dan bertanya apa yang harus
mereka lakukan. Istrinya lalu berkata, sebaiknya ia cepat-cepat pergi ke hutan, sebelum pasukan
kerajaan tiba, untuk menyadarkan anaknya. Namun brahmana itu menolak untuk pergi. Istri
brahmana itu lalu memutuskan untuk masuk ke hutan seorang diri. Dengan kecintaan seorang ibu
terhadap anaknya yang amat besar, ia meratap dan berseru agar anaknya mau mengikuti tradisi
keluarga, berhenti melakukan pembunuhan dan berkata bahwa pasukan raja sedang dalam
perjalanan untuk menangkapnya.
Pada waktu yang sama, Sang Buddha yang sedang bersemayam di Vihara Jetavana melihat
dengan Mata Buddha (melalui Maha Karuna Samapatti), bahwa dari kumpulan karma baik yang
dimiliki pada kehidupannya yang lampau, Angulimala memiliki cukup banyak kebajikan untuk
menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan mempunyai kemampuan untuk mencapai
Tingkat Kesucian Tertinggi yaitu menjadi Arahat pada kehidupan ini juga. Sang Buddha juga
melihat bahwa ibu Angulimala dapat terbunuh apabila Angulimala melihatnya, karena ia sudah
amat ingin melengkapi untaian jari yang diminta oleh gurunya.
Untuk mencegah hal ini, Sang Buddha lalu mengubah wujudNya menjadi seorang bhikkhu dan
segera memasuki hutan. Para pengembala dan petani berusaha mencegah Sang Buddha untuk
masuk ke hutan seorang diri, karena empat puluh orang yang pergi bersama-sama pun dapat
dibunuh oleh Angulimala. Meskipun mendapat peringatan, Sang Buddha tetap melanjutkan
perjalanNya dengan berdiam diri. Untuk kedua dan ketiga kalinya mereka berusaha mencegah
Sang Guru masuk ke hutan tersebut, namun Sang Buddha dengan berdiam diri tetap meneruskan
perjalananNya masuk ke dalam hutan.
Pada pagi hari itu, Angulimala telah mengumpulkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan
buah jari dan telah merencanakan bahwa siapapun yang ditemuinya pada hari itu harus
dibunuhnya. Tetapi ia mendapat kesulitan untuk menemukan orang yang dapat dibunuhnya,
karena orang-orang selalu berjalan dalam rombongan yang besar dan bersenjata lengkap.
Akhirnya ia melihat seorang bhikkhu seeang berjalan seorang diri, tanpa membawa senjata. Ia
berpikir tentu amat mudah untuk membunuhnya. Angulimala lalu membawa pedang, tameng,
anak panah beserta busurnya mengikuti Sang Buddha dari jarak yang dekat.
Sang Buddha menunjukkan kesaktianNya, sehingga bagaimanapun Angulimala berusaha berlari
sekuat tenaga, sedangkan Sang Buddha berjalan dengan kecepatan biasa, ia tetap tidak dapat
menyusul Sang Buddha.
Angulimala lalu berpikir, "Saya telah mengejar gajah, kuda, kijang dan dapat mengalahkan
mereka, sekarang meskipun saya sudah berlari sekuat tenaga, dan Bhikkhu ini berjalan dengan
kecepatan biasa saja, saya tetap tidak dapat mendekatiNya."
Dengan terengah-engah dan berkeringat, ia beretriak meminta Sang Buddha untuk berhenti :
"Tittha (+Berhentilah) Samana!"
Sang Buddha menjawab : "Saya sudah berhenti! Hentikan dirimu sendiri!"
Angulimala keheranan akan jawaban Sang Buddha dan bertanya : "Apa maksudMu?"
Sang Buddha menjawab :
"Saya telah bertekad untuk melimpahkan kasih sayang kepada semua mahluk, sedangkan kamu
tidak mempunyai belas kasih terhadap mahluk lain. Oleh karena itu Saya sudah berhenti,
sedangkan kamu belum berhenti melakukan pembunuhan."
Karena tumpukan karma baik Angulimala yang amat besar pada kehidupannya yang lampau,
bahwa ia diberi tahu oleh Buddha Padumuttara, bahwa ia akan menjadi seorang Arahat. Sebagai
seorang yang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang Arahat, setalah mendengar apa
yang dikatakan oleh Sang Buddha, ia mengetahui bahwa pertapa mulia ini adalah Buddha
Gotama yang karena cinta kasihNya yang amat besar datang untuk menolongnya.
Angulimala segera melemparkan untaian jari dan senjatanya, lalu bernamaskara di kaki Sang
Buddha dan memohon untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sambil mengangkat
tanganNya, Sang Buddha berkata :
"Ehi Bhikkhu (Mari, O Bhikkhu)."
Dengan demikian Angulimala dapat menerima delapan kebutuhan pokok seorang bhikkhu pada
saat yang bersamaan dan langsung menerima Upasampada, tanpa terlebih dahulu menjadi
seorang samanera. Dengan disertai oleh Angulimala, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.
Sementara itu Raja Pasenadi Kosala didesak untuk menangkap perampok Angulimala. Sudah
menjadi kebiasaannya untuk menemui Sang Buddha apabila ada kejadian genting. Setalah Raja
Pasenadi Kosala bernamaskara, lalu duduk di salah satu sisi, Sang Buddha bertanya :
"O, Raja, ada hal apakah yang membuat anda risau?
Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menantang anda?
Apakah para Pangeran Licchavi dari Vesali?
Atau para bangsawan sainganmu?"
Raja lalu menjelaskan masalah yang sedang dihadapinya, ia mengakui tidak dapat menangkap
Angulimala si perampok yang haus darah itu. Sang Buddha lalu bertanya :
"Apa yang akan anda lakukan kalau perampok itu memakai jubah seorang bhikkhu?"
Raja menjawab :
"Yang Mulia, saya akan menghormatinya seperti saya menghormat kepada seorang bhikkhu."
Pada saat itu Bhikkhu Angulimala sedang duduk di dekat Sang Buddha. Beliau lalu berkata
kepada raja :
"O, Raja, inilah Angulimala."
Raja Pasenadi Kosala menjadi ketakutan, badannya gemetar, rambutnya berdiri. Sang Buddha
lalu menenangkannya dan berkata bahwa ia tidak perlu takut lagi, karena Angulimala telah
menjadi seorang bhikkhu. Raja lalu mendekati Bhikkhu Angulimala dan menanyakan tentang
orang tuanya, dan menawarkan untuk memenuhi semua kebutuhannya. Pada saat itu Bhikkhu
Angulimala telah menjalani latihan hidup di hutan, berpindapatta, memakai jubah dari kain perca
yang terdiri ari tiga bagian. Oleh karena itu ia menolak tawaran raja, karena ia sudah tidak
memerlukannya lagi. Kemudian Raja Pasenadi Kosala memberi hormat kepada Bhikkhu
Angulimala dan menyatakan keheranannya kepada Sang Buddha akan perubahan yang dialami
oleh Bhikkhu Angulimala. Ia lalu pulang ke istana dengan hati yang bahagia.
Pada suatu hari, ketika Bhikkhu Angulima sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau melihat
seorang wanita yang sangat kesakitan karena akan melahirkan. Beliau melihat penderitaan wanita
itu, tergerak hatunya, lalu berpikir :
"Betapa menderitanya mahluk hidup, betapa menderitanya mahluk hidup!"
Beliau yang pernah membunuh sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang, sekarang merasa
amat kasihan melihat seorang wanita menderita kesakitan karena akan melahirkan. Ketika Beliau
selesai berpindapatta dan makan pagi, Beliau pergi ke vihara menemui Sang Buddha dan
menyampaikan apa yang dilihatnya. Sang Buddha lalu meminta Bhikkhu Angulimala pergi
menemui wanita itu dan berkata :
"Saudari, sejak saat saya dilahirkan dalam Keluarga Ariya, saya tidak saar, dengan sengaja telah
membunuh mahluk hidup. Berdasarkan kebenaran ini, semoga anda selamat dan semoga anak
anda selamat."
Beliau lalu pergi menemui wanita yang akan melahirkan bayinya. Layar penyekat diletakkan
melingkari sang ibu, Bhikkhu Angulimala duduk dan mengulang Paritta yang diajarkan Sang
Buddha. Segera saja bayi tersebut lahir dengan mudah dan selamat. (Kemanjuran Paritta
Angulimala Sutta ini masih terbukti hingga saat ini).
Tidak lama kemudian, Bhikkhu Angulimala mencapai Tingkat Kesucian Arahat.
Pada suatu hari, ketika Yang Mulia Angulimala sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau
dilempari bongkahan tanah, tongkat dan batu. Kepalanya terluka, bercucuran darah dan
mangkokNya pecah. Beliau pulang kembali ke vihara dan mendekati Sang Buddha yang sedang
duduk. Sang Buddha yang melihat keadaanNya lalu menjelaskan, bahwa semua kejadian ini
adalah akibat dari perbuatan burukNya, yang sesungguhnya dapat membuatNya menderita di
Alam Neraka selama ribuan tahun.
Sekarang Yang Mulia Angulimala hidup menyendiri, menikmati Kebahagiaan dari Kebebasan,
mengucapkan pernyataan-pernyataan Kebijaksanaan, meninggal dunia dan mencapai Nibbana.
Para bhikkhu membicarakan tempat kelahiran kembali dari Yang Mulia Angulimala, Sang
Buddha memberitahu mereka, bahwa Beliau telah mencapai Nibbana. Para bhikkhu keheranan,
bagaimana mungkin seseorang yang telah melakukan begitu banyak pembunuhan dapat
mencapai Nibbana. Sang Buddha menjawab bahwa pada masa yang lampau, karena bimbingan
yang kurang baik, Angulimala telah melakukan perbuatan-perbuatan buruk namun kemudian
ketika Beliau mendapat bimbingan yang baik, Beliau menjalani kehidupan suci. Dengan
demikian Beliau dapat mengatasi perbuatan buruk dengan perbuatan baiknya. Setalah berkata
demikian, Sang Buddha mengucapkan syair :

"Mereka yang dapat mengatasi perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik, menyinari
dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan." (Dhammapada 173).


6. Mengalahkan Cinca
(dengan Kedamaian / Santi)
Katvãna ktthamudaram iva gabbhiniyã
Ciñcãya duttha vacanam janakãya majjhe
Santena somaviddhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni

Setelah membuat perutnya gendut seperti wanita hamil dengan mengikatkan sepotong kayu
Cinca memfitnah di tengah-tengah banyak orang
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan sikap kesatria dan kedamaian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.

Pada saat para pertapa kehilangan banyak pengikut yang menyokong kehidupan mereka, mereka
amat iri melihat banyak orang, baik kaya maupun miskin mendatangi Sang Buddha untuk
menyampaikan hormat dan mendengarkan Dhamma. Mereka lalu melakukan perbuatan buruk,
dan berteriak-teriak di tengah jalan :
"Hai saudara-saudara ..... Apakah hanya Bhikkhu Gotama saja yang dapat menjadi seorang
Buddha? Kami adalah para Buddha juga! Apakah hanya dengan berdana kepadaNya saja yang
akan memperoleh kebajikan? Yang berdana kepada kami, juga akan memperoleh kebajikan yang
sama. Karena itu kamu harus memberikan dana dan penghormatan kepada kami juga."
Tetapi penduduk di desa itu tetap tidak memperhatikan mereka. Akhirnya para pertapa dengan
diam-diam berkumpul bersama dan berunding :
"Dengan cara bagaimana kita dapat mencela Bhikkhu Gotama di depan orang banyak, sehingga
orang-orang akan berhenti memberikan dana dan penghormatan kepadaNya?"
Pada waktu itu di Savatthi, tinggallah seorang pertapa wanita bernama Cinca Manavika. Ia
mempunyai kecantikan dan keelokan yang luar biasa. Dari tubuhnya memancar sinar terang
seperti seorang dewi. Seorang penasihat pertapa yang kasar menusulkan, dengan bantuan Cinca
mereka akan dapat mencela Sang Buddha Gotama. Para pertapa yang lain menyetujui usulannya.
Mereka lalu memanggil Cinca Manavika.
Cinca Manavika mendatangi para pertapa, lalu memberi hormat dan berdiri menanti, tetapi para
pertapa itu diam saja. Ia lalu bertanya :
"Ada masalah apakah Anda ingin bertemu dengan saya?"
Pertanyaan ini diulangnya tiga kali, tetapi para pertapa itu diam saja. Kemudian ia berkata lagi :
"Tuan yang mulia, saya datang menghadap untuk memperoleh jawaban. Ada masalah apakah
Anda ingin bertemu dengan saya? Mengapa Anda tidak mau menjawab pertanyaanku?"
"Saudari," jawab salah seorang pertapa, "Tahukah kamu, kalau Bhikkhu Gotama sangat
merugikan kami, sehingga penghasilan dan penghormatan orang-orang kepada kami menjadi
hilang?"
"Tidak yang mulia, saya tidak mengenalnya, tetapi adakah yang dapat saya bantu dalam hal ini?"
"Saudari, kalau kamu mengharapkan kami hidup sejahtera, gunakanlah segala kemampuanmu,
susunlah rencana untuk mencela Bhikkhu Gotama, sehingga orang-orang tidak memberikan dana
dan penghormatan lagi kepadaNya."
Cinca Manavika menjawab :
"Baiklah yang mulia, saya akan melakukannya, jangan khawatir."
Setelah berkata demikian, ia pergi dari pertapaan itu.
Sejak saat itu, Cinca meningkatkan keahliannya dalam bidang kewanitaan untuk mencapai
maksudnya. Ia lalu menyusun rencana, apabila penduduk Savatthi kembali dari Vihara Jetavana
setelah mendengarkan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, ia dengan sengaja
mengenakan mantel panjang yang berwarna merah menyala, menyemprotkan minyak wangi dan
mengenakan untaian bunga di tangannya, dan berjalan menuju ke arah Vihara Jetavana. Orangorang
bertanya :
"Mau kemana kamu pada malam hari begini?"
"Saya mau pergi kemana saja, apa urusannya denganmu?"
Ia lalu menghabiskan malam itu di dekat Vihara Jetavana, di tempat para pertapa. Keesokan
harinya ketika para penduduk keluar dari rumah menuju ke vihara untuk menyampaikan
hormatnya kepada Sang Buddha, ia berjalan balik pulang masuk ke kota, seperti ia baru saja
kembali dari Vihara Jetavana. Orang-orang bertanya : "Tidur di mana kamu semalam?"
"Apa urusannya dengan kamu, di mana saya tidur semalam?" jawabnya.
Setelah satu setengah bulan berlalu, apabila orang bertanya dengan pertanyaan seperti di atas, ia
selalu menjawab :
"Oh, saya menghabiskan malam ini di Vihara Jetavana sendirian bersama Bhikkhu Gotama di
Ruang Dhammasala."
Karena jawabannya itulah membuat orang-orang mempunyai perasaan curiga dan khawatir, tetapi
mereka tidak percaya akan apa yang dikatakan Cinca. Mereka bertanya-tanya : "Ini benar atau
salah...?"
Ketika tiga minggu sampai empat bulan berlalu, Cinca lalu membalut perutnya dengan kain,
sehingga terlihat ia sedang hamil muda. Ia lalu pergi dan berkata kepada para penduduk :
"Saya mengandung bayi dari Bhikkhu Gotama."
Jadi ia menipu dengan melakukan perbuatan yang sangat bodoh. Ketika delapan sampai sembilan
bulan berlalu, ia mengikat dengan kuat sepotong kayu di perutnya, dan menutupinya dengan
jubah panjang. Ia lalu membuat seluruh tubuhnya membengkak, dengan cara memukuli tangan,
kaki dan punggungnya dengan sepotong tulang kerbau. Ia merasa tubuhnya seperti orang yang
sedang hamil tua.
Pada malam itu ia mendatangi Ruang Dhammasala dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Saat itu
Sang Buddha sedang duduk di tempat duduknya yang indah, di tengah Ruang Dhammasala dan
sedang membabarkan Dhamma. Dengan berdiri di hadapan Sang Buddha, Cinca Manavika
membuka mulutnya, mencerca dengan berkata :
"Hai Bhikkhu Yang Perkasa, kekuatanMu adalah mengumpulkan orang ketika sedang
mengajarkan AjaranMu; dengan suaraMu yang halus dan lembut keluar dari bibirMu. Sayang
sekali ternyata Kamu adalah orang yang menjadikan saya hamil dan saya akan melahirkan tidak
lama lagi. Tetapi, Kamu juga tidak berusaha untuk menyediakan tempat berbaring di ruangan ini
untukku, ataupun menawarkan kepadaku susu, minyak ataupun keperluan lainnya yang aku
butuhkan. Batalkan semua tugas yang harus Kamu kerjakan, tidakkah Kamu katakan ke orangorang
yang menjadi pengikutMu, seperti Raja Kosala, Anathapindika dan Visakha pendukungMu
yang terkenal itu. Katakanlah : 'Berikanlah apa yang perempuan muda ini butuhkan.' Kamu
mengetahui dengan baik bagaimana membuat kesenangan, tetapi Kamu tidak mengetahui
bagaimana memelihara anak yang menjadi keturunanMu ini."
Cinca nmencerca Sang Tathagata di tengah-tengah orang banyak, seperti seorang perempuan
yang membawa kotoran di tangannya dan ingin mengotori permukaan bulan.
Sang Buddha yang diganggu oleh Cinca saat Beliau membabarkan Dhamma hanya berkata :
"Saudari, apa yang kamu katakan itu benar atau salah, hanya Tathagata 1) dan kamu yang tahu."
"Ya, Bhikkhu Yang Perkasa, siapakah yang dapat memutuskan apakah hal ini benar atau salah
kalau hanya saya dan Kamu yang tahu?" jawab Cinca.
Pada saat itu juga tempat duduk Dewa Sakka 2) terasa panas. Dewa Sakka mencari sebabnya
mengapa tempat duduknya menjadi panas, Beliau segera menyadari bahwa :
"Cinca Manavika berbohong dengan menuduh Sang Tathagata."
Dewa Sakka lalu berkata sendiri :
"Saya akan membuat masalah ini menjadi terang dan jelas."
Dewa Sakka beserta keempat dewa lainnya pergi ke Ruang Dhammasala itu. Para Dewa itu lalu
mengubah dirinya menjadi tkus-tikus kecil. Dengan satu gigitan dari tkus-tikus kecil itu, tali yang
mengikat kayu di perut perempuan itu putus. Pada waktu itu juga angin bertiup dengan
kencangnya sehingga jubah panjang itu terlepas dari tubuh Cinca, dan sepotong kayu segera jatuh
dari perutnya. Kayu itu menimpa kaki dan memutuskan jari-jari kakinya. Orang-orang berteriak :
"Perempuan jahat ini telah mencerca Yang Maha Sempuna, usir dia dari sini."
Dengan segera mereka lalu mencengkeram kepalanya, dengan segumpal tanah dan tongkat di
tangan mereka mengusir Cinca, lalu melemparkan Cinca keluar dari Vihara Jetavana.
Ketika ia tidak terlihat lagi oleh Sang Tathagata, bumi di hadapannya merekah terbelah dua dan
membenamkannya sampai di kedua lututnya, dan api Neraka Avici 3) segera menyambarnya.
Tubuh Cinca lalu ditelan kobaran api, dan seperti diselimuti oleh selimut yang indah, dengan
segera ia terlahir kembali di Neraka Avici.
Sejak saat itu orang-orang tidak menghormati para pertap itu lagi, sebaliknya pengikut Sang
Buddha bertambah banyak.
Keesokan harinya, para bhikkhu berdiskusi di Ruang Dhammasala :
"Bhante, Cinca Manavika karena kesalahannya menuduh Yang Maha Suci, Yang Maha
Sempurna, ia menjadi hancur."
Sang Guru Agung mendekati mereka dan bertanya :
"O, Para Bhikkhu, apa yang kalian bicarakan?"
Ketika mereka menjelaskan apa yang mereka perbincangkan, Sang Buddha lalu menjelaskan :
"O, Para Bhikkhu, ini bukanlah yang pertama kali ia melakukan kesalahan dengan melakukan
tuduhan bohong kepadaKu dan menjadi hancur. Ia telah melakukan hal yang sama pada
kelahirannya yang terdahulu."
Setelah berkata demikian, Sang Guru lalu bersabda :
Kalau seorang raja melihat dengan jelas kesalahan pada suatu bagian
Sesudah ia sendiri menyelidiki semua fakta dengan teliti
Baik kecil maupun besar, ia tidak harus memberikan hukuman
Setelah berkata demikian, Beliau menjelaskan hal ini secara terperinci di dalam Maha Paduma
Jataka (No. 472), di Nipata Dua Belas.
Keterangan :
1. Tathagata : Yang Maha Sempurna; Sebutan untuk Sang Buddha yang digunakan oleh
Beliau apabila berbicara untuk diriNya.
2. Dewa Sakka : Raja para dewa
3. Neraka Avici : Salah satu dari neraka yang menakutkan


7. Menaklukkan Saccaka, Sang Orator
(dengan Kebijaksanaan / Paññã)
Saccam vihãya matisaccaka vãdaketum
Vãdãbhiropitamanam atiandabhutam
Paññãpadipa jalito jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni
Saccaka, yang biasanya berkata menyimpang dari Kebenaran
Dengan pikiran buta, mengembangkan teorinya bagaikan bendera
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan terangnya pelita kebijaksanaan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Seorang pertapa yang mempunyai kemampuan untuk mengingat lima ratus argumentasi dan
perdebatan, tiba di Vesali dan ia disambut dengan baik di tempat itu. Seorang pertapa wanita
yang mempunyai kemampuan yang sama juga datang ke Vesali. Para pemimpin bangsa Licchavi
lalu mempertemukan keduanya dalam suatu perdebatan seru. Ketika mereka terbukti sebanding
sebagai pendebat, tidak dapat saling mengalahkan, orang-orang Licchavi lalu mendapatkan ide
bahwa pasangan yang demikian pasti akan menghasilkan anak-anak yang pandai. Mereka lalu
mengatur pernikahan di antara keduanya. Mereka mempunyai empat orang anak perempuan dan
seorang anak laki-laki. Anak-anak perempuan itu bernama : Sacca, Lola, Avavadaka dan
Patacara, sedangkan anak laki-laki diberi nama Saccaka. Kelima anak ini ketika mencapai usia
dewasa telah mempelajari seribu argumentasi dan perdebatan, lima ratus dipelajari dari ibu
mereka dan lima ratus dari ayah mereka. Orang tua mereka mengajarkan kepada anak-anak
perempuannya demikian :
"Bila ada pria yang dapat membuktikan kekeliruan dari pendapatmu, maka engkau harus menjadi
istrinya, namun bila ia seorang pertapa, engkau harus menjadi muridnya."
Setelah beberapa waktu kemudian, orang tua mereka meninggal dunia. Ketika orang tuanya telah
meninggal dunia, Saccaka tetap tinggal di tempat yang sama, mempelajari pengetahuan dan
tradisi bangsa Licchavi dan mengajar para pangeran Licchavi. Ke empat orang saudara
perempuan Saccaka membawa sebuah cabang pohon apel, mengembara sebagai pendebat dari
kota ke kota dan pada akhirnya tiba di Savatthi. Mereka lalu menanam cabang pohon apel
tersebut di depan gerbang kota dan berkata kepada para pemuda yang berada di sana :
"Bila ada seorang pria, apakah dia orang biasa ataupun seorang pertapa yang dapat menandingi
kami di dalam mempertahankan suatu pendapat, biarkan ia mengacak tumpukan tanah dan
menginjak cabang pohon ini."
Setelah berkata demikian mereka memasuki kota untuk mengumpulkan dana makanan.
Ketika itu Yang Mulia Sariputta, setelah merapikan dan membersihkan vihara, dan mengunjungi
orang-orang sakit, Beliau memasuki kota Savatthi untuk berpindapatta. Yang Mulia Sariputta lalu
melihat dan mendengar tentang cabang pohon tersebut, Beliau lalu meminta para pemuda yang
ada di situ untuk mencabut cabang pohon dan melemparkannya ke tanah. Beliau lalu berkata :
"Katakanlah kepada yang telah menanam cabang pohon ini, apabila mereka telah selesai
bersantap untuk datang dan menemuiKu di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana."
Yang Mulia Sariputta lalu memasuki kota dan setelah selesai bersantap, Beliau duduk menunggu
di ruangan di atas gerbang Vihara Jetavana. Demikian pula dengan para pertapa wanita itu,
setelah mereka kembali dari mengumpulkan dana makanan, mereka menemukan cabang pohon
yang mereka tanam telah tercabut dan tergeletak di tanah. Mereka segera menanyakan siapa yang
telah berani melakukannya. Para pemuda di situ mengatakan bahwa Yang Mulia Sariputtalah
yang telah melakukannya, bila mereka ingin berdebat, mereka ditunggu di ruangan di atas
gerbang vihara.
Para pertapa wanita itu lalu kembali ke kota, diikuti dengan banyak penonton yang ingin
menyaksikan perdebatan itu. Mereka lalu menuju ke tempat di mana Yang Mulia Sariputta
menunggu. Mereka segera mengajukan seribu macam pertanyaan kepada Yang Mulia Sariputta,
dan Beliau dapat menjawab semua pertanyaan itu dengan baik, sampai akhirnya tidak ada lagi
yang dapat mereka tanyakan. Yang Mulia Sariputta bertanya, apa lagi yang akan mereka
utarakan, mereka menjawab :
"Tidak ada lagi yang akan kami tanyakan Yang Mulia."
Yang Mulia Sariputta berkata :
"Saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada kalian."
Tetapi mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu, akhirnya mereka mengaku kalah :
"Yang Mulia, kami mengaku kalah, Andalah pemenangnya."
"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Yang Mulia Sariputta.
Mereka menjawab :
"Orang tua kami menasihatkan demikian : 'Apabila kamu dikalahkan di dalam suatu perdebatan
oleh orang biasa, maka kamu harus menjadi istrinya, tetapi apabila ia seorang pertapa, kamu
harus menjadi muridnya.' Oleh karena itu, kami mohon kepada Yang Mulia untuk membimbing
kami memasuki kehidupan suci."
Yang Mulia Sariputta menyetujui dan mentahbiskan mereka dalam Sangha Bhikkhuni yang
bernama Uppalavana. Dan dalam waktu yang singkat, mereka semua mencapai Tingkat Kesucian
Arahat.
Saudara laki-laki mereka, Saccaka belajar lebih banyak dibandingkan saudara-saudara
perempuannya. karena selain ia belajar dari orang tuanya, ia juga belajar kepada guru-guru yang
lain. Saccaka menetap di Vesali menjadi guru bagi para pangeran. Ia terkenal sebagi pendebat
ulung, yang tak terkalahkan dan ia ditakuti oleh lawan-lawannya. Karena ia merasa semakin
banyak ilmu yang dipelajari, ia takut tubuhnya akan meledak, karena itu ia memakai ikat
pinggang besi. Kepada semua orang ia memproklamirkan :
"Tidak seorangpun yang mempunyai ilmu yang melebihi diriku."
Dan banyak orang yang menjadi pengikutnya.
Pada suatu hari, Saccaka bertemu dengan Yang Mulia Assaji, yang sedang berpindapatta di kota
Vesali. Ketika melihat Beliau, ia berpikir alangkah baiknya kalau ia dapat melakukan perdebatan
dengan Sang Buddha. Ia telah sering mendengar tentang Sang Buddha, tetapi ia ingin mengetahui
terlebih dahulu apa yang diajarkan oleh Sang Guru Agung. Ia lalu menghampiri Yang Mulia
Assaji dan bertanya : "Yang Mulia, bagaimanakah Bhikkhu Gotama mengajar murid-muridNya?
Apakah Ajaran Beliau yang paling mutakhir dan paling populer?"
Yang Mulia Assaji menjawab :
"Yang Maha Suci menerangkan :
·  Bentuk (=Rupã) adalah tidak kekal (=Aniccã);
·  Kelompok perasaan (=Vedanã) adalah tidak kekal;
·  Pencerapan (=Saññã) adalah tidak kekal;
·  Bentuk batin yang berhubungan dengan keinginan (=Sankhãrã) adalah tidak kekal;
·  Kesadaran (=Viññãna) adalah tidak kekal; dan
·  Segala yang berwujud adalah tanpa jiwa / inti (=Anattã).
Demikianlah Yang Maha Suci mengajarkan murid-muridNya dan inilah Ajaran Beliau yang
paling mutakhir dan paling populer."
Ketika Saccaka mendengar pernyataan ini, ia berkata :
"Sebelumnya saya tidak pernah mendengar doktrin seperti itu, saya akan menemui Bhikkhu
Gotama dan meyakinkan Beliau akan kesalahan besar ini."
Sebelumnya Saccaka takut mengadakan perdebatan dengan Sang Buddha karena ia belum
mengetahui Ajaran Beliau, tapi sekarang rasa takutnya telah lenyap dan dengan membual tentang
apa yang akan dicapainya, ia membujuk para pangeran untuk menyertainya menemui Sang
Buddha. Ia berangkat ke Vihara Mahavana, dengan diiringi lima ratus orang pangeran Licchavi.
Sang Buddha telah mengetahui Saccaka akan datang menemuiNya, sekembali dari berpindapatta
Beliau lalu meminta para bhikkhu untuk menyiapkan tempat duduk di bawah sebuah pohon di
hutan yang berdekatan dengan vihara tersebut. Ketika Saccaka datang, ia dipersilakan menuju ke
tempat tersebut. Para penduduk yang mendengar bahwa Saccaka datang dengan disertai lima
ratus orang pangeran, untuk berdebat dengan Sang Buddha, berduyun-duyun datang ke hutan itu
untuk menyaksikan perdebatan seru itu.
Setelah Saccaka memberikan salam hormat kepada Sang Buddha, Saccaka meminta ijin untuk
mulai mengajukan pertanyaan. Sang Buddha berkata, ia dapat bertanya apa saja yang ingin
ditanyakannya. Saccaka lalu mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakannya
kepada Yang Mulia Assaji. Sang Buddha menjawab pertanyaan itu dengan memberi penjelasan
yang menyeluruh dan terperinci mengenai dasar-dasar Ajaran Beliau, dan menunjukkan
kekeliruan pandangan Saccaka. Untuk orang-orang tertentu, hanya seorang Samma Sambuddha
yang dapat meyakinkan dan meluruskan pandangan mereka yang keliru, dan Saccaka adalah
salah seorang di antaranya.
Setelah perdebatan berlangsung beberapa saat, Sang Buddha mengajukan sebuah pertanyaan
kepada Saccaka, tetapi ia diam tidak menjawab. Untuk kedua kalinya Sang Buddha bertanya,
Saccaka tetap diam. Kemudian Sang Buddha bertanya untuk ketiga kalinya, pada saat itu raja
para dewa yaitu Dewa Sakka dengan memegang kapak di tangannya, berdiri melayang di udara,
tepat di atas kepala Saccaka dan berkata :
"Saccaka, apabila kamu tidak mau menjawab pertanyaan Sang Tathagata yang telah diajukan
untuk ketiga kalinya, maka Aku akan membelah kepalamu menjadi tujuh bagian."
Hanya Sang Buddha dan Saccaka yang dapat melihat Dewa Sakka.
Akhirnya Saccaka mengakui bahwa Ajaran Sang Buddha benar, ia mengaku kalah. Keringat
membasahi tubuhnya sehingga jubahnya basah kuyup. Melihat kejadian ini, Sang Buddha
menunjukkan bahwa jubah Saccaka basah kuyup oleh keringat sedangkan Beliau sendiri tidak
berkeringat sedikitpun. Merasa terkalahkan Saccaka tertunduk dan diam seribu bahasa.
Seorang pangeran Licchavi bernama Durmukha mengibaratkan Saccaka sebagai seekor kepiting
yang semua kakinya telah patah. Saccaka mengakui kekalahannya. Kemudian ia bertanya lagi
tentang Ajaran Sang Buddha yang lebih terperinci.
Ia lalu mengundang Sang Buddha berserta murid-muridNya untuk menerima dana makanan yang
dipersembahkan di tempat kediamannya.
Pada kesempatan lain, Saccaka seorang diri mengunjungi Sang Buddha untuk mendengarkan
uraian lebih lanjut tentang Dhamma Yang Mulia. Uraian Dhamma ini tercantum di dalam Maha
Saccaka Sutta.


8. Menaklukkan Raja Naga1) Nandopananda
(dengan Kekuatan Kesaktian / Iddhi)
Nandopananda bhujagam vibudham mahiddhim
Puttena Thera bhujagena damapayanto
Iddhupadesa vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani
Nandopananda naga berpengertian salah memiliki kekuatan besar
Putra Sang Buddha yang Terkemuka (Moggallana Thera) sebagai naga pergi untuk menjinakkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan kekuatan kesaktian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Pada suatu hari, jutawan Anathapindika, sesudah mendengarkan Ajaran Sang Buddha di Vihara
Jetavana, mengundang Sang Guru Agung dengan lima ratus bhikkhu untuk menerima dana pada
esok harinya.
Pagi-pagi sekali, pada saat Sang Buddha memeriksa keadaan di dunia ini, Beliau melihat Raja
Naga Nandopananda mempunyai pandangan salah, tetapi mempunyai karma baik untuk
berlindung kepada Sang Tri Ratna. Sang Guru juga melihat hanya Bhikkhu Moggallana yang
mempunyai kemampuan untuk menaklukkan Raja Naga itu.
Sang Buddha meminta Bhikkhu Ananda untuk memanggil lima ratus muridNya untuk menyertai
Beliau ke Surga Tavatimsa 2). Sang Buddha beserta para bhikkhu terbang di udara. Dalam
perjalanan menuju Surga Tavatimsa, mereka melintas di atas kediaman Nandopananda. Ketika
itu, ia sedang menikmati makanannya yang enak. Ia sangat marah melihat para bhikkhu terbang
itu, ia sedang menikmati makanannya yang enak. Ia sangat marah melihat para bhikkhu terbang
melintas di atas kediamannya, dan berniat untuk menghalangi perjalanan mereka.
Ia lalu bergelung melingkari Gunung Sineru sebanyak tujuh kali dan kepalanya berada di puncak
gunung. Ia menciptakan kegelapan, membuat segala sesuatu tidak kelihatan, sehingga
menyebabkan Surga Tavatimsa tidak dapat terlihat. Kegelapan yang terjadi dengan mendadak ini,
menyebabkan Bhikkhu Ratthapala berkata kepada Sang Buddha, bahwa tidak ada surga maupun
Istana Vejayanta dapat terlihat pada hari itu. Sang Buddha lalu menjelaskan kepadanya bahwa
Raja Naga Nandopanandalah yang menyembunyikan gunung tersebut. Setelah mendengar
penjelasan Sang Guru, Bhikkhu Ratthapala berkata ia akan pergi dan menaklukkan Raja Naga itu,
tetapi Sang Buddha tidak mengijinkannya.
Kemudian Bhikkhu Bhaddiya maju ke depan, menawarkan diri untuk menaklukkannya, tetapi
Sang Buddha juga tidak mengijinkannya. Kemudian Bhikkhu Rahula dan beberapa bhikkhu
lainnya juga tidak diijinkan oleh Sang Buddha untuk menaklukkan Raja Naga itu.
Dengan seijin Sang Buddha, Bhikkhu Moggallana pergi untuk menaklukkan Raja Naga
Nandopananda. Beliau lalu mengubah dirinya seperti Raja Naga juga, lalu mendekati
Nandopananda. Ia lalu melingkari Nandopananda sebanyak empat belas kali dengan ekornya.
Ia menaruh kepalanya di atas kepala Nandopananda dan menekannya ke bawah ke Gunung
Sineru. Raja Naga berusaha keras untuk melepaskan diri dengan menyemburkan bisanya. Tetapi
Bhikkhu Moggallana mengirimkan serangan balasan, yang lebih kuat daripada Raja Naga yang
membuat Raja Naga itu amat menderita. Kemudian Raja Naga menyemburkan api, dan Bhikkhu
Moggallana juga melakukan hal yang sama. Semburan api itu amat menyakiti Raja Naga, tetapi
sebaliknya semburan api Raja Naga tidak menyakiti Bhikkhu Moggallana.
Nandopananda lalu berteriak dengan marah : "Siapakah engkau?"
"Saya adalah Moggallana," jawab Bhikkhu Moggallana yang sudah kembali ke wujudNya
semula.
Sesudah itu Bhikkhu Moggallana masuk ke dalam salah satu kuping Raja Naga dan keluar dari
kuping lainnya. Ketika Raja Naga membuka mulutnya, Bhikkhu Moggallana memasuki perutnya,
dan mulai berjalan naik turun, dari kepala sampai ke ekor dan dari ekor sampai ke kepala. Sang
Buddha menegur Bhikkhu Moggallana dan mengingatkanNya akan kekuatan Raja Naga itu.
Raja Naga amat marah dengan gangguan pada ususnya yang amat menyakitkan. Ia lalu
memutuskan untuk menekan sampai mati kalau Bhikkhu Moggallana keluar dari mulutnya. Ia
lalu berkata :
"Yang Mulia, keluarlah dan jangan berjalan naik turun di dalam perutku ini."
Tetapi Bhikkhu Moggallana keluar tanpa diketahuinya. Ketika Raja Naga itu melihatNya sudah
berada di luar, ia lalu menyemburkan racun berbisanya yang lain. Bhikkhu Moggallana dengan
segera masuk ke Jhana Keempat 3), di sana semburan racun berbisa itu tidak dapat menyentuh
selembar rambutpun di tubuhNya.
Selain Sang Buddha, hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat masuk ke Jhana Keempat dengan
segera. Para bhikkhu lainnya harus mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan bermeditasi.
Bagaimanapun mereka tidak akan dapat dengan segera memasuki Jhana Keempat agar dapat
terhindar dari semburan racun berbisa Raja Naga itu, karena apabila terlambat mereka akan
hangus menjadi abu. Sang Buddha telah mengetahui kejadian yang amat kritis ini, dan tidak
mengijinkan para bhikkhu yang lain, kecuali hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat
menaklukkan Raja Naga ini.
Nandopananda menerima kekalahannya dan mengubah dirinya menjadi seorang pemuda dan
berkata :
"Yang Mulia, saya ingin berlindung kepadaMu."
Ia bersimpuh di kaki Bhikkhu Moggallana. Kemudian Bhikkhu Moggallana mengatakan bahwa
Sang Buddha ada di sini dan mereka lalu pergi menemui Beliau.
Bhikkhu Moggallana membawa Raja Naga ke hadapan Sang Buddha, lalu bersujud :
"Yang Mulia, saya ingin berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha."
Sang Buddha bersabda :
"O, Raja Naga, semoga kamu bahagia."
Dengan diiringi ke lima ratus bhikkhu, Sang Buddha lalu melanjutkan perjalanan menuju Surga
Tavatimsa menemui Raja Sakka.
Setelah selesai, Sang Buddha kemudian kembali ke Savatthi. Jutawan Anathapindika yang sedang
menunggu kedatangan Sang Buddha untuk memberikan dananya, mendengar bahwa Bhikkhu
Moggallana dapat menaklukkan Raja Naga Nandopananda merasa amat gembira, lalu ia
mempersembahkan dana kepada Sang Buddha dan ke lima ratus bhikkhu terus-menerus selama
satu minggu.
Keterangan :
1. Naga : Mahluk Asura yang mempunyai kesaktian
2. Surga Tavatimsa : Alam 33 Dewa yang diketuai oleh Dewa Sakka
3. Jhana Keempat : Salah satu tingkat pencapaian meditasi
9. Menaklukkan Dewa Brahma1) Baka
(dengan Pengetahuan / Nana)
Duggahaditthi bhujagena sudattha hattham
Brahmam visudhi jutimiddhi bakabhidhanam
Nanagadena vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani
Bagaikan ular yang melilit pada lengan,
Demikian pandangan salah dimiliki oleh Baka, Dewa Brahma yang memiliki sinar dan kekuatan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan obat pengetahuan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Ketika Sang Buddha sedang bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau mengetahui bahwa Dewa
Brahma Baka, mempunyai pandangan yang salah. Ia berpendapat bahwa Brahma-loka (=Alam
Brahma) adalah kekal, tetap untuk selama-lamanya, abadi, tidak berubah; selain di alam Brahma
tidak ada penyelamatan atau pembebasan secara menyeluruh.
Di dalam kelahirannya yang terdahulu, Dewa Brahma Baka yang berlatih meditasi, terlahir
kembali di Surga Vehapphala. Beliau berada di sana selama lima ratus kalpa 2), lalu terlahir
kembali di Surga Subhakinna. Sesudah berada di sana selama enam puluh empat kalpa, ia terlahir
kembali di Surga Abhassara, di sana ia berada selama delapan kalpa. Di Surga Abhassara inilah ia
mempunyai pandangan salah. Ia lupa bahwa ia pindah dari Alam Brahma yang tertinggi dan
terlahir di Alam Surga yang lebih rendah yaitu Surga Abhassara.
Sang Buddha mengetahui pandangan yang salah ini. Beliau lalu menghilang dari Vihara Jetavana
dan muncul di Alam Brahma. Vasavatti Mara mengetahui maksud Sang Guru Agung ini; dan ia
berniat untuk menghalangi, ia lalu pergi ke Alam Brahma yang sama.
Ketika Sang Buddha mulai berbicara dengan Dewa Brahma Baka, Mara menyela pembicaraan
dengan mengatakan bahwa Dewa Brahma Baka amat bijaksana dan mempunyai kekuatan
terhadap Dewa Brahma lainnya. Bahwa ialah yang menciptakan dunia ini, menciptakan Gunung
Maha Meru (nama gunung tertinggi di dunia ini), dan menciptakan dunia-dunia lain; ia pula yang
menentukan kasta atau tingkatan suatu mahluk; ia pula yang menciptakan bermacam-macam
binatang.

Mara berkata kepada Sang Buddha :
"Tidak ada seorang pertapapun sebelum Kamu yang berpikir bahwa dunia ini tidak abadi. Dan
sesudah mempelajari bahwa segala sesuatu itu tidak abadi, mereka langsung masuk ke neraka.
Ada beberapa Dewa Brahma yang menyangkal hal ini, mereka menyatakan bahwa segala sesuatu
adalah abadi, maka mereka terlahir kembali di Alam Brahma. Karena itu, lebih baik Kamu
mengajarkan hal yang sama, seperti yang para Dewa Brahma lakukan. Saya memberiMu nasehat
ini, kalau Kamu mengajarkan doktrin yang sama, maka Kamu akan memperoleh hadiah yang
sama pula; tetapi kalau Kamu menyangkalnya maka Kamu akan hancur."

Tetapi Sang Buddha menjawab :
"Saya tahu siapa kamu ini. Kamu adalah Mara si Penggoda, janganlah kamu berpikir kamu dapat
mengelabuiKu."

Kemudian Dewa Brahma Baka berkata bahwa Alam Brahma selalu ada, di mana tidak ada
kehancuran ataupun kematian. Tidak ada perpindahan dari satu alam ke alam lain; segala
sesuatunya selalu kekal, tetap, abadi, mutlak dan tidak berubah; selain di Alam Brahma tidak ada
keselamatan. Dan banyak Para Buddha sebelum Buddha Gotama, kemanakah mereka lenyap?
Tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan mereka pergi kemana; dan akan lebih baik apabila
Buddha Gotama merasa malu dengan doktrinNya, dan lebih baik menerima doktrin yang sama
dengan para Dewa Brahma.
Tetapi Sang Buddha Gotama memperlihatkan kemampuanNya yang luar biasa kepada Dewa
Brahma Baka, dengan menjelaskan tentang enam kelahiran Dewa Brahma Baka yang terdahulu,
dimana Beliau sendiri menghilang tanpa diketahui berada di mana. Sang Buddha lalu
menjelaskan :
Dalam salah satu kelahirannya, Dewa Brahma Baka adalah seorang pertapa yang bertempat
tinggal di tepi sungai. Pada waktu itu, ada lima ratus orang pedagang datang dengan membawa
keretanya ke tempat yang sama pula, mereka amat sopan dan ramah. Tidak lama kemudian, sapi
jantan pertama yang menarik kereta, pulang kembali ke rumah dan diikuti sapi-sapi jantan
lainnya. Keesokan paginya, para pedagang itu tidak mempunyai minyak, makanan ataupun air
minum, mereka amat kelaparan dan kehausan. Mereka amat lemas, hanya berbaring saja dengan
berpikir mereka akan mati di sana. Tetapi pertapa yang melihat mereka dalam kesulitan
membawakan air minum, sehingga para pedagang itu selamat dari kematian.
Pada lain waktu, beberapa pencuri mencuri di suatu desa, mereka mengambil barang yang mereka
sukai. Si Pertapa yang mengetahui perbuatan para pencuri itu, lalu menciptakan suara-suara dari
barang-barang yang mereka curi itu, dalam lima tangga nada yang cukup keras, sehingga para
pencuri itu terkejut dan membuang barang-barang yang mereka curi. Dengan ketakutan mereka
melarikan diri, karena mengira raja datang.
Pada kesempatan lain, penduduk dari dua desa yang bersisian di tepi sebuah sungai setuju pergi
bersama-sama naik sebuah kapal untuk berdagang. Kepergian mereka diketahui oleh Naga jahat
yang berniat ingin menghancurkan mereka, tetapi pertapa yang mengetahui niat jahat Naga itu
lalu menampakkan dirinya sebagai garuda raksasa. Garuda itu menakut-nakuti dan menyerang
Naga jahat itu, sehingga Naga tersebut terbang ketakutan tanpa menyentuh para pedagang.
Mereka selamat dari mara bahaya.
Karena tindakan-tindakannya yang penuh dengan cinta kasih kepada mahluk lain inilah, yang
menyebabkan pertapa itu terlahir kembali di Alam Brahma.
Sang Buddha Gotama menunjukkan kemampuanNya yang luar biasa sebagai seorang Buddha
dalam membabarkan Dhamma, menjelaskan tentang Empat Kesunyataan Mulia. Sehingga pada
akhirnya pikiran dari seribu dewa di Alam Brahma terbebas dari kemelekatan dan pandangan
keliru.
Dewa Brahma Baka mengakui bahwa apa yang Sang Buddha Gotama katakan adalah benar, dan
mengakui pengetahuan Sang Guru Agung yang luar biasa, sehingga ia menyatakan diri
berlindung kepada Sang Tri Ratna, demikian pula para Dewa Brahma lainnya. Sang Buddha lalu
pulang kembali dari Alam Brahma ke Vihara Jetavana.
Keterangan :
1. Brahma : Dewa istimewa yaitu Dewa yang mempunyai Jhana
2. Kalpa : Umur satu masa dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar