Check out the Latest Articles:

Sabtu, 16 April 2011

Tujuan Hidup (Dhammapada) oleh "Bhikkhu Cittavaro"

Tujuan Hidup

Nama Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa



Dhammaṁ care sucaritaṁ, na taṁ duccaritaṁ care,

Dhammacārῑ sukhaṁ seti, asmiṁ loke paramhi cā

Jalankan praktik hidup yang benar, jangan jalankan praktik hidup yang salah

barangsiapa menempuh kehidupan benar,

maka ia akan hidup berbahagia di dunia ini maupun di dunia berikutnya.

(Dhammapada 169)

Apakah kelahiran merupakan sesuatu yang harus disyukuri atau disesali, karena ternyata penderitaan melekat pada eksistensi setiap bentuk kehidupan. Seseorang seharusnya memastikan dua hal, saya gembira telah dilahirkan dan saya dilahirkan untuk tujuan tertentu. Jika tujuan nyata dari kehidupan ialah pembebasan dari kelahiran kembali, maka kita dilahirkan untuk tidak mengalami kelahiran kembali, tetapi kenapa harus ada kelahiran sejak dari awal? Apakah kita dilahirkan atas kehendak-bebas sendiri atau kelahiran itu dipaksakan kepada kita? Percuma saja kita memperdebatkan suatu ketidaktahuan. Bagaimanapun kelahiran adalah kenyataan yang telah terjadi karena itu seseorang hanya dapat menanyakan kepada dirinya: ’Apa yang harus dilakukan sekarang?’.

Dahulu kala hiduplah seorang guru agama bernama Araka yang bebas dari nafsu indria, dia mempunyai beratus-ratus murid dan inilah doktrin yang diajarkannya kepada mereka: ’Sungguh pendek kehidupan manusia, sungguh terbatas dan singkat, kehidupan ini penuh dengan penderitaan, penuh dengan pusaran. Hal ini harus dipahami dengan bijaksana, orang harus melakukan hal yang baik dan menjalani kehidupan yang murni, karena tak seorang pun yang telah lahir dapat lolos dari kematian. (Aṅguttara Nikāya VII. 70)

Hidup diuraikan sebagai gabungan dari unsur batin dan unsur materi. Sebagai kelanjutan dari gabungan ini, makhluk muncul dalam alam kehidupan dan terus-menerus berubah sampai kematian tiba. Tenaga mental yang tersebar bergabung dengan unsur materi kemudian muncul kembali dalam berbagai bentuk dan dalam suasana berbeda sebagai suatu kehidupan yang sesuai dengan pembawaan dari kehidupan lampau. Arus kehidupan yang berkesinambungan seperti ini berlangsung terus-menerus selama tenaga kamma dan keserakahan untuk hidup tetap berada dalam kesadarannya.

Untuk mengetahui tujuan hidup agar lebih bermakna, terlebih dahulu kita perlu mengetahui bahwa untuk menjadi seorang manusia yang hidup ternyata sungguh sangat sulit sekali, sehingga jika kita mengetahui sulitnya menjadi seorang manusia, maka kita akan benar-benar memanfaatkan kesempatan hidup sebagai manusia.

Kebanyakan kita tidak menyukai kenyataan hidup yang sebenarnya dan lebih suka menidurkan dirinya sendiri dalam sensasi palsu, rasa nyaman dengan bermimpi dan berkhayal. Kebanyakan orang salah mengira bayangan sebagai benda sebenarnya, kebanyakan orang gagal menyadari bahwa hidup tidak pasti tetapi kematian itu pasti. Salah satu cara untuk memahami hidup adalah dengan menghadapi dan memahami kematian yang tidak lebih dari akhir yang sementara menuju keberadaan yang sementara. Dalam Dhammaniyama Sutta, Sang Buddha mengatakan bahwa, apakah para Tathagata muncul ataupun tidak muncul di dunia, terdapat suatu hukum yang tetap keberadaannya, terdapat suatu hukum yang pasti keberadaannya bahwa segala bentukan adalah anicca, segala bentukan adalah dukkha, segala bentukan maupun bukan bentukan adalah anatta. Itulah sifat dari kehidupan.

Beberapa orang tertentu berpendapat bahwa tidak ada tujuan tertentu dari hidup, tetapi hidup dapat dipergunakan untuk tujuan apa saja. Berdasarkan hal ini, kita menemukan sesuatu untuk dipertimbangkan secara bijaksana dalam menggunakan hidup untuk tujuan yang menguntungkan bagi diri kita sendiri dan kemanusiaan serta tidak menggunakannya berdasarkan pengertian salah. Dengan demikian, tujuan hidup dapat dikatakan tergantung dari cara kita menangani dan memanfaatkannya. Jika kita menyalahgunakannya dengan melanggar martabat kemanusiaan, yaitu dengan merendahkan kemuliaan kita sebagai manusia dan melakukan kejahatan dengan memberi jalan bagi kelemahan manusiawi, tidaklah mungkin bagi kita untuk mencapai sesuatu yang berharga dan baik sebagai tujuan hidup.

Sebaliknya, jika kita bertindak secara bijaksana dan penuh perhatian menjalankan prinsip yang diterima secara umum, memiliki kemoralan serta mengerti tata cara etika pergaulan, melatih kesabaran, bertoleransi antar sesama kita, memiliki simpati, rendah hati, ramah-tamah dengan orang lain, dapat menciptakan saling pengertian, gemar menolong sesama tanpa harus mementingkan kepentingan sepihak, melatih pikiran untuk mencapai kebijaksanaan, maka dapatlah kita capai sesuatu yang nyata dan menguntungkan sebagai tujuan hidup. Mereka yang gemar mengembangkan kebajikan mulia seperti itu akan merasakan kedamaian, kebahagiaan, ketenangan, dan kepuasan. Hidup akan menjadi berarti serta akan merupakan hal yang menggembirakan untuk hidup.

Etika dalam agama Buddha dikembangkan sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan yang berpuncak pada pencapaian Nibbāna sebagai tujuan akhir agar supaya terbebas dari kelahiran kembali. Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi (Dhammapada 204), apa yang kita sebut sebagai kebahagiaan memiliki dua pengertian (Aṅguttara Nikāya I. 80) yaitu:

1. Kebahagiaan dengan mata kail berumpan (sāmisa sukha), kebahagiaan ini timbul karena terpenuhinya hawa nafsu, terkait dengan kemelekatan dan menyembunyikan sifat duka, tidak kekal, sehingga pada waktunya kemudian akan berlanjut dengan ketidakpuasan, kesedihan, atau penderitaan. Kebahagiaan seperti ini membuat orang tenggelam dalam arus lingkaran kelahiran dan kematian.

2. Kebahagiaan tanpa mata kail berumpan (nirāmisa sukha), kebahagiaan ini timbul dengan menyingkirkan hawa nafsu yang rendah, memelihara dan mengembangkan kesucian dan pandangan terang, membuat batin tenang dan tentram. Kebahagiaan ini memungkinkan tercapainya kebebasan, jalan inilah yang seharusnya ditempuh untuk mencapai tujuan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar